BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Dwi Sulistiyorini Bab II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obat Tradisional Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa

  bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan obat herbal adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, dan mineral, dapat berupa obat herbal tradisional atau obat herbal non tradisional (BPOM, 2014).

  Pengelompokan obat herbal tradisional di Indonesia dapat berupa Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) serta Fitofakmaka, yang mana untuk masing-masing kelompok memerlukan bukti dukung yang berbeda (empiris, nonklinik dan/atau klinik). Ketiga kelompok tersebut tidak diperbolehkan mengandung bahan kimia. Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi. Sedangkan fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi (BPOM, 2005; BPOM 2014).

  Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil data empiris harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik. Beberapa tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka yaitu: seleksi; uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik; standardisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar; dan uji klinik (Dewoto, 2007).

B. Uji Toksisitas

  Pada umumnya metode uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua golongan. Golongan pertama terdiri dari uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan eksperimental. Uji-uji ini diidentifikasikan sebagai uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronik, dan uji toksisitas kronik. Beda antara ketiga jenis uji tersebut terletak pada sifat dan lama pemberian atau pemejanan senyawa uji serta sasaran dan luaran ujinya. Golongan kedua terdiri dari uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi dengan rinci tipe toksisitas spesifik meliputi uji potensial, uji reproduksi, uji kemutagenikan, uji karsinogenikan, uji kulit dan mata, serta uji perilaku (Loomis, 1978).

  Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secra oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10% seluruh umur hewan (BPOM, 2014).

  Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek tertunda atau efek yang bersifat reversibel. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji, bila belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi,dan organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi (BPOM, 2014).

  Efek toksik sangat bervariasi dalam hal sifat, organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau beberapa organ saja. Hal tersebut dikarenakan lebih pekanya suatu organ, atau lebih tingginya kadar bahan kimia dan metabolitnya di organ. Toksisitas merupakan sifat bawaan suatu zat, oleh karena itu bentuk dan tingkat manifestasi toksiknya pada suatu organisme bergantung pada berbagai faktor. Faktor yang nyata adalah dosis dan lamanya pajanan. Sedangkan faktor yang kurang nyata yaitu spesies dan strain hewan, jenis kelamin, umur, serta status gizi dan hormonal. Faktor lain turut berperan yaitu faktor fisik, lingkungan dan sosial. Di samping itu, efek toksik suatu zat dapat dipengaruhi oleh zat kimia lain yang diberikan secara bersamaan. Efek toksik dapat berubah karena berbagai hal seperti perubahan absorpsi, distribusi, dan ekskresi zat kimia, peningkatan atau pengurangan biotranformasi, serta perubahan kepekaan reseptor pada organ sasaran (Lu, 1995).

  Efek toksik pada makhluk hidup dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel organ. Jika sel banyak yang mengalami kerusakan, maka organ tersebut tidak dapat lagi berfungsi dengan normal. Organ-organ tersebut meliputi lambung, usus, paru, jantung, hati dan ginjal.

1. Toksisitas Ginjal Urin adalah jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan.

  Akibatnya, ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui sel tubulus, dan mengaktifkan toksikan tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh efek toksikan. Beratnya beberapa efek beragam dari suatu perubahan biokimia atau lebih sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai perubahan kecil pada fungsi ginjal atau gagal ginjal total. Pada analisis Nitrogen Urea Darah

  (BUN) dapat dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan hepatotoksisitas yang merupakan efek umum beberapa toksikan. Pemeriksaan makroskopik ginjal, perubahan berat organ, bila dibandingkan dengan hewan pembanding, sering menunjukkan lesi ginjal. Sedangkan pada pemeriksaan histopatologik dapat mengungkapkan tempat, luas dan sifat marfologik lesi ginjal (Lu, 1995).

2. Toksisitas Hati

  Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metebolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati, mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati. Hati sering menjadi organ sasaran karena beberapa hal. Sebagian besar toksikan masuk ke dalam tubuh melalui sistem gastrointestinal, setelah diserap toksikan dibawa vena portal hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi (terutama sitokrom P-450). Hal tersebut membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air, sehingga lebih mudah diekskresikan. Tetapi dalam beberapa kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi. Pada pemeriksaan makroskopik, warna dan penampilan sering dapat menunjukkan sifat toksisitas, seperti perlemakan hati atau sirosis. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat mendeteksi berbagai jenis kelainan histologi. Sedangkan pada pemeriksaan biokimia, beberapa enzim ini dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel. Enzim tertentu meningkat secara nyata pada keadaan kolestatik, tetapi hanya meningkat sedikit pada nekrosis hati (Lu, 1995; Zimmerman, 1982).

  3. Lambung

  Lambung terdiri dari bagian atas, yaitu fundus, batang utama dan bagian bawah yang horisontal, yaitu antrum pilorik. Lambung berhubungan dengan usofagus melalui orifisium atau kardia, dan dengan duodenum melalui orisium pilorik. Lambung menerima makanan dari usofagus melalui orifisium kardiak dan bekerja sebagai penimbun sementara, sedangkan kontraksi otot mencampur makanan dengan getah lambung (Pearce, 1993).

  4. Usus

  Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus besar. Fungsi usus alus adalah mencerna dan mengabsorbsi khime dari lambung. Absorpsi makanan yang telah dicerna seluruhnya berlangsung di dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu pembuluh kapiler darah dan saluran limfe di vili disebelah dalam permukaan usus halus (Pearce, 1993).

C. Produk Obat Tradisional

  Produk herbal “X” mengandung ekstrak jamur dewa (Agaricus

  

blazei Murrill), ekstrak tumbuhan sarang semut (Myrmecodia pendans),

dan ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.).

a. Jamur Dewa (Agaricus blazei Murrill) a. Sistematika

  Kingdom : Fungi Divisi : Basidiomycota Kelas : Agaricomycetes Ordo : Agaricales Family : Agaricaceae Genus : Agaricus Spesies :A. subrufescens

  Sinonim : Agaricus rufotegulis, Agaricus brasiliensis,

  Agaricus blazei Murrill (Anonim, 2014) b.

   Deskripsi

  Bentuk mahkota yang awalnya berbentuk hemisfera, kemudian berubah menjadi cembung, dengan diameter 5 sampai 18cm (2,071in) permukaan Mahkota yang ditutupi dengan serat seperti sutra, meskipun dalam kedewasaan ia berkembang dalam skala kecil (squamulose). Warna mahkota dapat berkisar dari putih sampai keabu- abuan atau coklat kemerahan kusam; batas mahkota biasanya membelah seiring bertambahnya usia. Dagingnya berwarna putih, dan memiliki rasa seperti kacang hijau, dengan bau almond. Lamellae tidak terpasang ketangkai (bebas), dan sempit. Awalnya berwarna keputihan, kemudian merah muda dan akhirnya hitam kecoklatan sebagai spora dewasa. Sporanya adalah ellipsoida, halus, coklat keunguan gelap bila dilihat secara mikroskopis. Stipe yang awalnya padat, menjadi berongga seiring bertambahnya usia; dengan bentuk seperti kapas (floccose) yang bersisik sampai pangkalnya. Anulusnya berlimpah dan berlapis ganda; dimana annulus tersebut bengkok ke bawah menuju batang, halus dan keputihan pada sisi atas, dan ditutupi dengan sisik kapas di sisi bawah (Anonim, 2014).

c. Kandungan Kimia dan Efek Farmakologi

  Secara umum, komposisi kotor jamur adalah air (90%), protein (2- 40%), lemak (2-8%), karbohidrat (1-55%), serat (3-32%) dan abu (8- 10%) (abu terutama terdiri dari garam, logam dan sebagainya).

  Metabolit aktif dapat diisolasi dari tubuh buah, biakan murni miselia dan filtrat kultur, saat ini banyak usaha yang dilakukan untuk memperoleh metabolit aktif dari miselia melalui kultur fermentasi submerged untuk memperoleh persiapan yang lebih murah. Kawagishia adalah orang pertama yang memisahkan sebuah senyawa aktif antikanker yang dimurnikan dari ekstrak natrium hidroksida tubuh buah ABM. Penulis tersebut mendeteksi polisakarida dengan aktivitas antitumor yang jelas, fraksi utamanya adalah FIII-2-b, yang terdiri dari kompleks protein yang terdiri dari 43,4% protein dan 50,2% karbohidrat. Fraksi FIII-2-b mengandung rantai (1-6)-b-D- glucopyranosyl sederhana. Suatu kontribusi yang signifikan terhadap aktivitas antikanker dari bagian protein dari FIII-2-b yang juga berspekulasi mengikuti hilangnya aktivitas lengkap antitumor setelah formolysis. Tubuh buah ABM dalam berbagai tahap kematangan mengandung glukan dan b-glukan: hasil dan keragaman struktural glukan meningkat pada tubuh buah yang dewasa (Firenzuoli et al, 2007).

b. Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) a. Sistematika Tanaman

  Sistematika tanaman sarang semut (Myrmecodia pendens) adalah sebagai berikut : Divisi : tracheophyta Kelas : magnoliopsida Subkelas : lamiidae Ordo : Rubiales Family : Rubiaceae Genus : Myrmecodia Spesies : Myrmecodia pendens Merr. & Perry (subroto dan Saputro, 2006).

b. Manfaat Tanaman

  Secara empiris ekstrak rebusan air (dekoktum) dari tumbuhan sarang semut tersebut dapat menyembuhkan beragam penyakit berat seperti tumor, kanker, jantung, wasir, TBC, rematik, gangguan asam urat, stroke, maag, gangguan fungsi ginjal dan prostat. Selain itu, ekstrak rebusan air tumbuhan sarang semut juga terbukti dapat memperlancar air susu ibu (ASI), meningkatkan gairah seksual, dan berguna untuk memperlancar haid, serta mengatasi keputihan (Subroto dan Saputro, 2006).

c. Kandungan Kimia dan Efek Farmakologi

  Uji penapisan kimia dari tumbuhan sarang semut menunjukkan bahwa tumbuhan ini mengandung senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tannin. Flavonoid merupakan golongan senyawa bahan alam dari senyawa fenolik yang banyak merupakan pigmen tumbuhan. Fungsi kebanyakan flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Subroto dan Saputro, 2006).

  Berdasarkan uji toksisitas akut ekstrak air tanaman sarang semut, pada pemberian dosis ekstrak 375 mg/kg bb menunjukkan adanya gangguan aktivitas dari unit fungsional hati. Namun pada pemberian dosis ekstrak 3750 mg/kg bb dapat menimbulkan nekrosis pada jaringan hati dan ginjal (Soeksmanto et al, 2010).

c. Manggis (Garcinia mangostana L.) a. Sistematika Tanaman

  Sistematika tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Sub Kingdom : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Family : Guttiferae

  Genus : Garcinia Spesies : Garcinia mangostana L (Prihatman, 2000).

  b. Manfaat

  Bagian tanaman yang secara tradisional sering dipakai dalam pengobatan tradisional untuk penyakit diare, disentri eksim dan penyakit kulit lainnya adalah kulit buahnya. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah menggis dan senyawa aktifnya memiliki aktivitas farmakologi yaitu anti-alergi, anti-inflamasi, anti- oksidan, anti-kanker, antimikroorganisme, anti-aterosklerosis, dan bahkan anti-HIV (Nugroho, 2009).

  c. Kandungan Kimia dan Efek Farmakologi

  Kandungan metabolit sekunder dalam buah manggis diantaranya yaitu triterpen, mangostin, tanin, dan resin.Sedangkan kulit buah manggis ternyata dilaporkan mengandung kaya senyawa golongan xanton. Dari percobaan isolasi yang dipandu uji aktivitas diketahui senyawa paling aktifnya adalah alfa-mangostin, gamma-mangostin dan garsinon-E (Nugroho, 2009).

  Pada uji toksisitas, ekstrak etanol buah manggis yang mengandung senyawa aktif xanthon tidak menunjukkan toksisitas baik secara akut maupun subkronis. Senyawa xanthon dapat bersifat hepatoprotektor (Nugroho, 2009).