BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq) - POTENSI EKSTRAK DAUN MAHONI (Swietenia mahagoni (L) Jacq) SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq)

  Menurut Haekal (2010), tumbuhan mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq) merupakan salah satu tumbuhan yang dianjurkan dalam pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni merupakan tumbuhan tropis dari famili Meliaceae. Tumbuhan tersebut berasal dari Hindia Barat yang dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan tempat-tempat lain yang dekat dengan pantai atau ditanam ditepi jalan sebagai pohon pelindung (Qodri dkk., 2014).

  Ada dua spesies yang cukup dikenal yaitu: Swietenia macrophyla yang berdaun lebar dan Swietenia mahagoni yang berdaun sempit. S. macrophylla merupakan jenis pohon tropis endemik Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang memiliki persebaran alami yang luas, terbentang dari Meksiko Bolivia dan Brasil tengah. Tinggi spesies tersebut antara 30-35 m, daun dengan panjang 35-50 cm (Haekal, 2010). S. mahagoni memiliki ukuran lebih kecil dari segi pohon, dan daun dibandingkan dengan S. macrophylla (Prasetyono, 2012).

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan Mahoni

  Klasifikasi tumbuhan mahoni (S. mahagoni) menurut Cronquist (1981) sebagai berikut: Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Meliacea

  6 Genus : Swietenia Species : Swietenia mahagoni (L) Jacq

2.1.2 Deskripsi Tumbuhan Mahoni

  Tumbuhan mahoni merupakan tumbuhan tahunan dengan tinggi ± 5-25 m

  (Gambar 2.1), berakar tunggang, berbatang bulat, percabangan banyak dan

  kayunya bergetah. Daun pohon mahoni termasuk daun majemuk menyirip genap, helaian daun berbentuk bulat telur, ujung dan pangkalnya runcing, tepi rata, tulang daunnya menyirip dan panjang 3-15 cm. Daun muda berwarna merah, setelah tua berwarna hijau (Prasetyono, 2012).

  Bunga mahoni termasuk bunga majemuk yang tersusun dalam karangan yang keluar dari ketiak daun. Ibu tangkai bunga berbentuk silindris dan berwarna coklat muda. Kelopak bunga lepas satu sama lain, berbentuk seperti sendok dan berwarna hijau. Mahkota bunga berbentuk silindris dan berwarna kuning kecoklatan. Benang sari dari bunga mahoni melekat pada mahkota, sedangkan kepala sarinya berwarna putih atau kuning kecoklatan. Mahoni baru berbunga setelah berumur tujuh tahun (Yuniarti, 2008).

  Buah mahoni mempunyai tipe buah kotak, bulat telur, berlekuk lima, dan berwarna cokelat. Di dalam buah terdapat biji berbentuk pipih dengan ujung agak tebal dan warnanya coklat kehitaman (Hariana, 2008).

  Mahoni merupakan pohon penghasil kayu keras yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat perabot rumah tangga serta barang ukiran.

  Perbanyakan pohon mahoni dapat dilakukan dengan biji (Prasetyono, 2012). Di

  Indonesia sendiri tumbuhan berkayu keras ini mempunyai nama lokal lainnya yaitu mahoni, maoni atau moni (Hartati, 2013).

  (a) (b)

Gambar 2.1. Tumbuhan Mahoni (Swietenia mahagoni (L) Jacq) : (a) pohon

  mahoni, (b) daun mahoni (Sumber: Dokumen Pribadi, 2017)

2.1.3 Manfaat Tumbuhan Mahoni

  Mahoni banyak digunakan di bidang kesehatan. Mahoni dapat memberikan efek hepatoprotektif terhadap kerusakan hati yang disebabkan oleh parasetamol.

  Ekstrak etanolik daun mahoni juga dapat memberikan aktivitas neuroprotektif dan aktivitas antibakteri dan antifungal (Rasyad dkk., 2012). Adapun ekstrak metanolik biji mahoni memiliki aktivitas farmakologik antara lain aktivitas antiinflamasi, analgesik, antipiretik (dan dapat menghambat polimerisasi hem lebih baik ketimbang klorokuin. Campuran ekstrak air dan metanolik dari biji mahoni dapat memberikan aktivitas anti hiperglikemik, aktivitas antioksidan, aktivitas anti ulcer, aktivitas antifungal, aktivitas hipoglikemik, aktivitas penghambatan aggregasi platelet, dan aktivitas antimikrobial (Oktavia dkk., 2013).

2.1.4 Metabolit Sekunder Tumbuhan

  Metabolit sekunder merupakan senyawa organik yang tidak berperan langsung dalam pertumbuhan dan perkembangan, namun diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Metabolit sekunder dihasilkan oleh berbagai organisme (tumbuhan, hewan, jamur, mikroorganisme) yang meliputi berbagai senyawa dari golongan: terpen (isoprenoid), senyawa fenolik (fenilpropanoid), dan senyawa mengandung nitrogen (terutama alkaloid) (Robinson, 1995). Tanpa senyawa tersebut organisme akan menderita kerusakan atau menurunnya kemampuan bertahan hidup. Fungsi senyawa tersebut pada suatu organisme diantaranya untuk bertahan terhadap predator, kompetitior dan mendukung proses reproduksi (Ardwiantoro, 2011).

  Terpen termasuk kelompok terbesar dari metabolit sekunder disebut juga terpenoid atau isoprenoi. Terpen merupakan aneka produk tumbuhan yang mempunyai beberapa sifat umum lipid dengan satuan rumus bangun lima-karbon (unit isopren). Umumnya berperan sebagai antiherbivora, karena bersifat toksik dan mencegah pemakanan oleh serangga dan mamalia (Robinson, 1995).

  Senyawa fenolik (fenilpropanoid) merupakan substansi aromatik yang disintesis melalui jalur asam shikimat atau asam malonat. Salah satu senyawa yang tergolong fenolik (tanin dan flavonoid). Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang termasuk dalam golongan polifenol mempunyai rasa sepat dan memiliki kemampuan menyamak kulit. Secara kimia, tanin dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi hampir terdapat ditanaman paku-pakuan, gymnospermae, angiospermmae yang terutama pada jenis tanaman berkayu, sedangkan tanin yang terhidrolisis penyebarannya terbatas pada tanaman. Tanin dapat mencegah pemakanan oleh herbivora, karena menyebabkan inaktifasi enzim pencernaan herbivora. Juga bersifat antimikroba (Harbone, 1987). Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid dan flavonol disintesis tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba, sehingga secara in vitro efektif terhadap mikroorganisme. Senyawa ini merupakan antimikroba karena kemampuannya membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta dinding sel mikroba (Robinson, 1995).

  Senyawa mengandung nitrogen, seperti alkaloid, biosintesisnya terutama dari asam amino. Alkaloid sejati berasal dari asam amino dasar dan mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklik, misalnya nikotin dan atropine. Senyawa alkaloid mempunyai kemampuan untuk melindungi tumbuhan dari serangga, antifungus, dan dapat menghambat pembentukan peptidoglikan sebagai penyusun dinding sel bakteri sehingga lapisan dinding sel tidak berbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson, 1995).

2.1.5 Kandungan Kimia Tumbuhan Mahoni

  Tumbuhan mahoni merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki potensi sebagai antimikroba. Menurut Fera (2002), biji mahoni memiliki kemampuan dalam mengahmbat pertumbuhan bakteri E.coli dan B. subtilis. Penelitian yang dilakukan oleh Rasyad dkk., (2012); Matin dkk., (2013); dan Septian dkk., (2013), menunjukan bahwa biji dan daun mahoni mengandung senyawa aktif berupa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, terpenoid dan steroid.

  Alkaloid pada tumbuhan mahoni memiliki kemampuan sebagai antibakteri, namun mekanisme antibakteri dari alkaloid belum diketahui secara pasti (Fera, 2002). Menurut Oktavia dkk., (2013) menyebutkan bahwa terdapat kemungkinan gugus basa alkaloid apabila mengalami kontak dengan bakteri akan bereaksi dengan senyawa-senyawa asam amino yang akan menyusun dinding sel bakteri dan juga DNA bakteri, sehingga akan menimbulkan kerusakan dan mendorong terjadinya lisis sel bakteri yang akan menyebabkan kematian sel.

  Flavonoid dari tumbuhan berfungsi sebagai kerja antimikroba dan antivirus. Senyawa flavonoid dapat merusak membran sitoplasma yang dapat menyebabkan bocornya metabolit penting dan menginaktifkan system enzim bakteri. Kerusakan ini memungkinkan nukleotida dan asam amino merembes keluar dan mencegah masuknya bahan-bahan aktif ke dalam sel, keadaan ini dapat menyebabkan kematian bakteri (Oktavia dkk., 2013).

  Tanin memiliki aktivitas antibakteri, secara garis besar mekanismenya adalah dengan merusak membran sel bakteri. Senyawa astringent tanin dapat menginduksi pembentukan ikatan senyawa kompleks terhadap enzim atau substrat mikroba dan pembentukan suatu ikatan kompleks tanin terhadap ion logam yang dapat menambah daya toksisitas tanin itu sendiri (Akiyama dkk., 2001). Ajizah (2004), menjelaskan bahwa kemampuan aktivitas antibakteri senyawa tanin adalah dengan cara mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga permeabilitas sel menjadi terganggu. Akibat terganggunya permeabilitas tersebut, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati.

  Saponin adalah senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Mekanisme sebagai antibakteri dengan menurunkan tegangan permukaan sel sehingga menyebabkan kerusakan sel (Qodri dkk., 2014). Terpenoid sebagai antibakteri diduga melibatkan kerusakan membran oleh senyawa lipofilik . Terpenoid bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada membran luar dinding sel bakteri membentuk ikatan polimer yang kuat dan merusak porin (Rachmawati dkk., 2011). Steroid dapat berinteraksi dengan membran fosfolipid sel yang bersifat permeabel terhadap senyawa-senyawa lipofilik sehingga menyebabkan integritas membran menurun serta morfologi membran sel berubah yang menyebabkan sel rapuh dan lisis (Ahmed, 2007).

2.1.6 Metode Ekstraksi

  Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Departemen Kesehatan RI, 2000). Hasil dari proses ekstraksi adalah ekstrak, yaitu sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Departemen Kesehatan RI, 2000). Simplisia sendiri didefinisikan sebagai bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Departemen Kesehatan RI, 2000).

  Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan dan biota laut dengan pelarut organik tertentu. dinding sel dan masuk dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam pelarut organik dan karena adanya perbedaan antara konsentrasi di dalam dan konsentrasi di luar sel, mengakibatkan terjadinya difusi pelarut organik yang mengandung zat aktif keluar sel. Proses ini berlangsung terus menerus sampai terjadi keseimbangan konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Fadli, 2016).

  Faktor-faktor yang menentukan hasil ekstraksi adalah jangka waktu sampel kontak dengan cairan pengekstraksi (waktu ekstraksi), perbandingan antara jumlah sampel terhadap jumlah cairan pengekstraksi (jumlah bahan pengekstraksi), ukuran bahan dan suhu ekstraksi. Semakin lama waktu ekstraksi, kesempatan untuk bersentuhan makin besar sehingga hasilya juga bertambah sampai titik jenuh larutan. Perbandingan jumlah pelarut dengan jumlah bahan berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi. Jumlah pelarut yang berlebihan tidak akan mengekstraksi lebih banyak, pelarut akan mengekstraksi secara optimal dalam jumlah tertentu (Departemen Kesehatan RI, 2000).

  Ekstraksi akan lebih cepat dilakukan dalam suhu tinggi, tetapi hal tersebut dapat mengakibatkan beberapa komponen mengalami kerusakan. Penggunaan

  o o

  suhu 50 C menghasilkan ekstrak yang optimum dibandingkan suhu 40 C dan

  o

  60 C (Voight, 1994). Salah satu metode ekstraksi bahan alam, yaitu metode maserasi (metode perendaman). Penekanan utama dalam metode maserasi adalah tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dan jaringan yang diekstraksi (Mukhriani, 2014).

  Maserasi merupakan cara yang sederhana, maserasi dilakukan dengan cara merndam serbuk simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat-zat aktif sehingga zat aktif akan larut. Karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan dan zat aktif di dalam sel, maka larutan yang pekat didesak keluar. Pelarut yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain (Khunaifi, 2010).

  Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses estraksi. Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, yaitu yang dapat melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Pemilihan pelarut organik yang digunakan dalam mengekstrak komponen bioaktif merupakan faktor penentu untuk pencapaian tujuan dan sasaran ekstraksi komponen (Mukhriani, 2014).

2.2 Bahan Antibakteri

  Mikroorganisme dapat dibunuh atau dihambat pertumbuhannya secara fisika atau kimia. Bahan kimia yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba disebut bahan antimikroba. Mikroba yang dimaksudkan bisa berupa bakteri, fungi, virus, dan protozoa. Dalam penggunaan umum, istilah antimikroba menyatakan penghambatan pertumbuhan, dan bila dimaksudkan untuk kelompok- kelompok organisme yang khusus, maka seringkali digunakan istilah-istilah seperti antibakteri atau antifungi (Pelczar & Chan, 2008).

  Bahan antibakteri adalah obat atau senyawa yang digunakan untuk membunuh bakteri patogen yang merugikan manusia ataupun senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut dalam konsentrasi yang cukup rendah untuk menghindari kerusakan yang tidak diinginkan terhadap inangnya (Brooks dkk., 2005). Bahan antibakteri tersebut dapat bersifat bakteriostatik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau bersifat bakterisida yang dapat mematikan bentuk-bentuk vegetatif bakteri (Pelczar & Chan, 2008).

  Antimikroba yang ideal harus menunjukkan sifat toksisitas selektif, yaitu harus membunuh atau menghambat bakteri patogen dan tidak membahayakan inangnya serta harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Brooks dkk., 2005): a.

  Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang luas (broad spectrum antibiotic).

  b.

  Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dari mikroorganisme patogen.

  c. Tidak menimbulkan efek samping (side effect) yang buruk pada tubuh, seperti reaksi alergi, kerusakan syaraf, iritasi lambung, dan sebagainya.

  d.

  Tidak mengganggu keseimbangan flora normal tubuh seperti flora usus atau flora kulit.

  Mekanisme kerja bahan antimikroba dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok utama, yaitu: a.

  Penghambatan terhadap sintesis dinding sel

  Dinding sel bakteri berisi polimer mukopeptida kompleks (peptidoglikan) yang secara kimia berisi polisakarida dan campuran rantai polipeptida yang tinggi, polisakarida ini berisi gula amino N-acetylglucosamine dan asam acetylmuramic (hanya ditemui pada bakteri). Dinding sel berfungsi mempertahankan bentuk mikroorganisme dan pelindung sel bakteri, yang mempunyai tekanan osmotik internal yang tinggi 3-5 kali lebih besar pada bakteri gram-positif daripada bakteri gram-negatif (Brooks dkk., 2005). Struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk (Pelczar & Chan, 1988). Trauma pada dinding sel atau penghambatan dalam pembentukan dinding sel tersebut dapat menimbulkan lisis pada sel (Brooks dkk., 2005).

  b. Penghambatan terhadap Permeabilitas Membran sel Sitoplasma semua makhluk hidup dibatasi oleh selaput yang disebut membran sel. Membran sel bersifat selectif permeable dan tersusun atas fosfolipid dan protein. Membran sel berfungsi mengatur keluar masuknya zat antar sel dengan lingkungan luar, melakukan pengangkutan zat-zat yang diperlukan baik kedalam maupun keluar sel. Selain sifatnya yang selectif permeable, pada membran sel juga terdapat enzim proten untuk mensintesis peptidoglikan komponen membran luar (Volk & Wheeler, 1988).

  Beberapa bahan antimikroba seperti fenol, kresol, detergen dan beberapa antibiotik dapat menyebabkan kerusakan pada membran sel. Bahan- bahan tersebut akan menyerang dan merusak membran sel sehingga fungsi semi permeabilitas membran sel mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut akan mengakibatkan terhambatnya berbagai proses di dalam sel atau mengakibatkan kematian sel (Djide & Sartini, 2008).

  c.

  Menghambat Sintesis Protein DNA, RNA dan protein memegang peranan sangat penting di dalam proses kehidupan normal sel. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan penghentian sintesis protein dan kematian sel pada akhirnya (Volk & Wheeler, 1988). Bakteri mempunyai 70S ribosom, sedangkan sel mamalia mempunyai 80S ribosom yang mempunyai komposisi kimia dan spesifikasi fungsi yang berbeda.

  Inilah sebabnya antibakteri dapat menghambat sintesis protein dalam ribosom bakteri tanpa berpengaruh pada ribosom mamalia (Brooks dkk., 2005).

  Kebanyakan antibiotik menghambat sintesis protein dengan mengikat ribosom prokariot. Beberapa tahap berbeda yang dapat terpengaruh adalah ikatan tRNA- aminoasil, ikatan formasi peptida, mRNA reading dan translokasi (Brooks dkk., 2005).

  d.

  Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat Mekanisme obat antibakteri yang berfungsi menghambat sintesis asam nukleat yaitu dengan cara menghambat DNA polymerase, DNA helicase atau RNA

  polymerase , sehingga menghalangi proses replikasi ataupun transkripsi dan

  dengan jelas menghambat pertumbuhan dan pembelahan sel (Volk & Wheeler, 1988). Obat ini tidak menunjukkan toksistas selektif seperti antibiotik lainnya karena tidak membedakan respon sintesis asam nukleat antara prokariot dan eukariot (Djide & Sartini, 2008). Bahan antibakteri dapat menghambat atau mematikan mikroorganisme dengan cara kerja yang berbeda-beda. Berbagai proses serta substansi yang terdapat dalam bahan antibakteri bekerja menurut salah satu dari cara diatas. Contohnya adalah senyawa fenol yang dapat mendenaturasikan protein dan merusak membran sel (Pelczar & Chan, 2008).

  e.

  Mengganggu metabolisme sel mikroba Pada umumnya mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya yang disintesis dari asam amino para benzoat (PABA). Antimikroba bersifat sebagai antimetabolit dimana antimikroba bekerja memblok terhadap metabolit spesifik mikroba, seperti sulfonamida. Sulfonamida menghambat pertumbuhan sel dengan menghambat sintesis asam folat oleh bakteri. Sulfanamida secara struktur mirip dengan asam folat, asam amino para benzoat PABA), dan bekerja secara kompetitif untuk enzim-enzim yang langsung mempersatukan PABA dan sebagian petidin menjadi asam dihidrofolat (Djide & Sartini, 2008).

2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Zat Antimikroba

  Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kerja zar antimikroba menurut Pelczar & Chan (2008), antara lain : 1.

  Konsentrasi Atau Intensitas Zat Antimikroba Semakin tinggi konsentrasi suatu zat antimikroba maka semakin tinggi daya antimikrobanya. Artinya banyak bakteri akan terbunuh lebih cepat apabila konsenrasi zat antimikroba lebih tinggi.

  2. Jumlah Organisme Semakin banyak jumlah organisme yang ada maka makin banyak pula waktu yang dibutuhkan untuk membunuhnya.

  3. Suhu Kenaikkan suhu mampu meningkatkan keefektifan suatu bahan antimikroba. Hal tersebut disebabkan zat kimia merusak mikroorganisme melalui reaksi kimia. Reaksi kimia dapat dipercepat dengan meninggikan suhu.

  4. Spesies Mikroorganisme Spesies mikroorganisme menunjukkan ketahanan yang berbeda-beda terhadap suatu bahan kimia tertentu.

  5. Adanya Bahan Organik Adanya bahan organik asing dapat menurunkan keefektifan bahan antimikroba dengan cara menonaktifkan bahan antimikroba tersebut. Adanya bahan organik dalam campuran bahan antimikroba dapat mengakibatkan : a.

  Penggabungan bahan/ zat antimikroba dengan bahan organik dapat membentuk produk yang tidak bersifat antimikroba.

  b. Penggabungan zat antimikroba dengan bahan organik menghasilkan suatu endapan sehingga zat antimikroba tidak mungkin lagi mengikat mikroorganisme.

  c.

  Akumulasi bahan organik pada permukaan sel mikroba menjadi suatu pelindung yang akan mengganggu kontak antara zat antimikroba dengan sel mikroba sasaran.

  6. Keasaman (pH) Atau Kebasaan (pOH)

  Mikroorganisme yang hidup pada pH asam akan lebih mudah dibasmi pada suhu rendah dan dalam waktu yang singkat bila dibandingkan dengan mikroorganisme yang hidup pada pH basa.

2.4 Bakteri

  Bakteri adalah sel prokariotik yang khas dan uniseluler serta tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Sel-selnya secara khas berbentuk bulat (kokus), batang (basilus) atau spiral (spirilium). Diameter bakteri sekitar 0,5-1,0 µm dengan panjang 1,5-2,5 µm. Bakteri tidak memiliki membran internal yang memisahkan nukleus dari sitoplasma serta tidak terdapat membran internal yang melingkupi struktur atau tubuh lain di dalam sel. Bahan sel prokariotik (sitoplasma dan isinya) dikelilingi oleh membran sitoplasma (membran plasma). Di sebelah luar membran sitoplasma terdapat dinding sel yang amat kaku karena mengandung peptidoglikan (Pelczar & Chan, 2008).

  Berdasarkan komposisi dan struktur dinding sel, bakteri dibedakan menjadi dua golongan, yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Dinding sel pada bakteri gram positif mengandung lapisan peptidoglikan tunggal yang tebal (15-80 nm) dengan polimer-polimer asam tekoat yang melekat padanya. Lapisan periplasmik pada bakteri gram positif antara dinding sel dengan membran sitoplasma lebih kecil dibanding pada bakteri gram negatif (Djide & Sartini, 2008).

  Bakteri gram negatif memiliki struktur dan komposisi yang lebih kompleks dibanding bakteri gram positif. Bakteri gram negatif tersebut memiliki dinding sel yang tipis, memilki 3 lapisan peptidoglikan yang tipis dan berada pada lapisan periplasmik yang ukurannya lebih besar daripada bakteri gram positif (1-71 nm), kandungan lemak tinggi tetapi peptidoglikannya rendah. Selain itu terdapat membran luar yang melapisi sebelah luar lapisan peptidoglikan (Pelczar & Chan, 2008).

  Bakteri gram negatif berbeda dari bakteri gram positif yaitu bakteri gram negatif lebih rentan terhadap antibiotik-antibiotik seperti streptomisi. Bakteri gram positif pada umumnya lebih rentan terhadap antibiotik penisilin dan kurang rentan terhadap desintegrasi oleh perlakuan mekanis (sepeti diberi tekanan yang tinggi atau getaran ultrasonik) atau bila diberi enzim-enzim tertentu (Volk & Wheeler, 1988).

2.4.1 Bakteri Staphylococcus aureus

2.4.1.1 Klasifikasi Staphylococcus aureus

  Klasifikasi dari bakteri Staphylococcus aureus menurut Holt dkk., (1998) sebagai berikut : Kingdom : Bacteria Phyllum : Firmicutes Classis : Bacilli Ordo : Bacillales Familia : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus Species : Staphylococcus aureus

  2.4.1.2 Karakteristik Staphylococcus aureus

  S. aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat dengan ukuran diameter sekitar 1 μm biasanya tersusun dalam bentuk menggerombol yang tidak teratur. Bakteri tersebut tidak membentuk spora dan tidak bergerak. Sel-selnya terdapat dalam kelompok seperti buah anggur, akan tetapi pada biakan cair mungkin terdapat secara terpisah (tunggal), berpasangan berbentuk tetrad (jumlahnya 4 sel), dan berbentuk rantai. Koloni bakteri tersebut berwarna abu- abu sampai kuning emas tua (Ali, 2005).

  2.4.1.3 Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus S. aureus mudah tumbuh pada berbagai pembenihan dengan aktif

  melakukan metabolisme, melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari warna putih hingga kuning gelap. S. aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriol di bawah suasana aerobic atau

  o o

  mikroaerofilik. Tumbuh dengan cepat pada temperatur 20 -37

  C. Koloni pada media padat berbentuk bulat, lambat dan mengkilat (Ali, 2005). Beberapa media yang dapat digunakan untuk penanaman S. aureus antara lain Mueller Hinton Agar, Gliseril Monostearat Agar , MSA, dan Nutrient Agar (Jawetz dkk., 2011).

  2.4.1.4 Patogenitas dan gambaran klinis bakteri Staphylococcus aureus Sifat khas infeksi S. aureus yang bersifat patogen adalah penahanan lokal.

  Infeksi tersebut antara lain, meningitis, endokarditis, perikarditis, dan bisul. Jaringan atau alat tubuh dapat diinfeksi oleh bakteri S. aureus dapat menyebabkan timbul penyakit dengan tanda-tanda yaitu peradangan dan pembentukan abses.

  Biasanya reaksi peradangan berlangsung hebat, terlokalisasi, dan nyeri yang mengalamai pernanahan sentral. Infeksi S. aureus juga dapat disebabkan oleh kontaminasi langsung pada luka. Misalnya pada infeksi luka pasca bedah atau infeksi setelah trauma. Apabila S. aureus menyebar dan terjadi bakterimia, maka dapat terjadi endokartidis, osteomielitis akut hematogen, meningitis, atau infeksi paru-paru (Jawetz dkk., 2011).

2.4.2 Bakteri Pseudomonas aeuoginosa

  2.4.2.1 Klasifikasi bakteri Pseudomonas aeruginosa

  Klasifikasi bakteri Pseudomonas aeruginosa menurut Holt dkk., (1998) sebagai berikut: Kingdom : Bacteria Phyllum : Proteobacteria Classis : Gamma proteobacteria Ordo : Pseudomonadales Familia : Pseudomonadaceae Genus : Pseudomonas Species : Pseudomonas aeruginosa

  2.4.2.2 Karakteristik Pseudomonas aeruginosa P. aeruginosa merupakan bakteri yang tersebar luas di alam dan biasanya

  ditemukan pada lingkungan yang lembab. Bakteri tersebut membentuk koloni yang bersifat saprofit pada manusia yang sehat, tetapi menyebabkan penyakit pada manusia dengan pertahanan tubuh yang lemah (Mayasari, 2005).

  P. aeruginosa berbentuk batang dan motil, berukuran sekitar 0,6 x 2 um. Bakteri ini bersifat gram negatif dan tampak dalam bentuk tunggal, berpasangan dan kadang-kadang rantai pendek. P.aeruginosa merupakan bakteri obligat aerob yang mudah tumbuh pada berbagai medium kultur, kadang-kadang menghasilkan aroma yang manis atau berbau seperti anggur atau seperti jagung taco (Jawetz dkk., 2011).

  2.4.2.3 Pertumbuhan Bakteri Pseudomonas aeruginosa

  Bakteri P.aeruginosa tumbuh baik pada suhu 37 C-42

  C, kemampuan

  o

  untuk tumbuh pada suhu 42 C membantu membedakan dari spesies Pseudomonas lain dari grup fluoresens. P aeruginosa tidak memfermentasi karbohidrat, tetapi banyak galur yang mengoksidasi glukosa. Semua spesies Pseudomonas dapat tumbuh baik dalam sample nutrient agar dan dalam kebanyakan media selektif seperti Eosin Methylen Blue (EMB), GSP (Glutamat Salt Agar) dan Mc Conkey Agar (Todar, 2004).

  2.4.2.4 Patogenitas dan gambaran klinis bakteri Pseudomonas aeruginosa P.aeruginosa menyebabkan infeksi pada luka fisik dan luka bakar,

  menimbulkan nanah hijau kebiruan, menyebabkan meningitis, infeksi saluran kemih, pneumonia nekrotikans, dan infeksi mata (Jawetz dkk., 2011).

2.5 Penelitian yang Relevan

  Hasil penelitian Ananda (2014) menyebutkan bahwa ekstrak air daun mahoni dengan dosis 2,4 g/60 ml memberikan rata-rata diameter zona hambat terbesar yaitu 16,03 mm terhadap bakteri Aeromonas hydrophila. Hasil uji in vivo menunjukan bahwa pemberian ekstrak air daun mahoni dosis 2,4 g/60 ml dapat menyembuhkan peradangan pada tubuh ikan dan memperbaiki kondisi hati menjadi merah pucat, tidak bengkak dan kenyal.

  Hasil penelitian Fadli (2017) menunjukkan bahwa ekstrak partisi etil asetat biji mahoni ( Swietenia mahagoni (L) Jacq) mempunyai aktivitas antimikroba yang baik, dapat menghambat mikroba (Bacillus subtilis, Escherichia coli,

  Salmonella thypi, Staphylococcus epidermis, Streptococcus mutans, Vibrio sp, dan Candida albican .)

  Hasil penelitian Ayyappadhas dkk., (2012) menunjukkan bahwa ekstrak daun mahoni (Swietenia macrophylla) mengandung flavonoid, terpenoid, dan tanin yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap berbagai bakteri patogen terutama terhadap Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella

  typhi, Pyogens streptococcus dan Escherichia coli . Hasil skrining fitokimia

  menunjukkan adanya alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin, glikosida, dan antrakuinon. Telah dilaporkan bahwa flavonoid, terpenoid dan tannin memiliki aktivitas antibakteri terhadap berbagai bakteri patogen terutama terhadap

  Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, pyogens Streptococcus, Salmonella typhi dan Escherichia coli dll. Dalam penelitian ini, ekstrak petroleum

  eter dan kloroform menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik karena adanya flavonoid dan terpenoid. Tanin menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap semua mikroorganisme yang diuji. Staphylococcus aureus merupakan yang paling tahan/resisten terhadap tanin yang diisolasi dari bahan tanaman diikuti dengan dan

  Streptococcus pyogens, Salmonella typhi, Escherichia coli, Proteus vulgar Pseudomonas auruginosa . Telah ditemukan bahwa ekstrak etanol dan petroleum

  eter menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih tinggi terhadap mikroorganisme yang dipilih. Ekstrak etanol dan petroleum eter menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik pada konsentrasi tinggi (20 mg/ml). Disimpulkan bahwa daun

  Swietenia macrophylla terbukti menjadi tanaman obat yang sangat berguna sebagai agen antibakteri.

  Hasil penelitian Oktavia dkk., (2013) menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji mahoni berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli FNCC 0091 yang diuji dengan metode difusi cakram. Perlakuan ekstrak etanol biji mahoni dengan konsentrasi 100% dan 80% memiliki aktivitas antibakteri yang terbaik dengan zona hambat sebesar 2,33 mm dan 2,13 mm.