TINJAUAN PUSTAKA Mahoni (Swietenia mahagoni Jack)

  

TINJAUAN PUSTAKA

Mahoni (Swietenia mahagoni Jack) Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni Jack) merupakan salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri).

  Mahoni dalam klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Ada dua spesies yang cukup dikenal yaitu: S. macrophyla (mahoni daun lebar) dan S. mahagoni (mahoni daun sempit) (Khaeruddin, 1999).

  Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun dalam sistematika sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Rotales Genus : Swietenia Spesies : Swietenia mahagoni

  Swietenia mahagoni yang berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis

  sudah lama dibudidayakan di Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany.

  Tanaman mahoni banyak ditanam di pinggir jalan atau di lingkungan rumah dan halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Tanaman ini tumbuh secara liar di hutan-hutan atau di antara semak-semak belukar. Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pestisida alami adalah jenis mahoni S. mahagoni dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat (pada Gambar 1 dan 2).

  Gambar 1. Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun

Gambar 2. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun

  Buah tanaman mahoni terlihat muncul diujung-ujung ranting berwarna coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi sekitar 10-30 m, percabangannya banyak, daun majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik di tempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari secara langsung, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (Sutarni, 1995).

  Ekstraktif Kayu (Kulit, Daun, Buah) Mahoni a.

Pengertian Ekstraksi

  Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut. Campuran bahan padat maupun cair (biasanya bahan alami) sering kali tidak dapat atau sulit dipisahkan dengan metode pemisah mekanik, misalnya karena komponennya bercampur secara homogen. Campuran bahan yang tidak dapat atau sukar dipisahkan dengan metode pemisahan mekanik adalah dengan metode ekstraksi (Achmadi, 1990).

  Menurut Sjöström (1995) komponen kayu beranekaragam, meskipun biasanya merupakan bagian kecil, larut dalam pelarut-pelarut organik netral atau air, yang disebut ekstraktif. Ekstraktf terdiri atas jumlah yang sangat besar dari senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil maupun hidrofil. Ekstraktif dapat dipandang sebagai konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat molekul randah. Tipe konstituen yang mirip disebut eksudat, yang dibentuk oleh pohon melalui metabolisme sekunder setelah kerusakan mekanik atau penyerangan oleh serangga atau fungi. Meskipun ada kesamaan terdapatnya ekstraktif kayu di dalam famili, ada perbedaan- perbedaan yang jelas dalam komposisi bahkan di antara spesies-spesies kayu yang sangat dekat.

  b.

Peran Zat Ekstraktif

  Syafii (2000) meyatakan bahwa zat-zat ekstraktif yang dikenal menghambat pelapukan adalah senyawa–senyawa fenolik, dengan keefektifan yang ditentukan oleh macam dan jumlah zat ekstraktif yang ada. Zat ekstrsktif yang bersifat racun memberikan karakteristik terhadap pelapukan pada kayu. Hal ini dibuktikan bahwa ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun daripada bagian kayu gubal pada pohon yang sama dan ketahanan terhadap pelapukan kayu teras akan berkurang jika diekstraksi dengan air panas atau dengan pelarut organik.

  Sejumlah senyawa aktif telah diidentifikasi dari sejumlah tanaman keras sebagai anti rayap dan anti fungi. Senyawa tersebut berupa zat ekstraktif yaitu senyawa suatu senyawa yang mengisi rongga sel kayu. Zat ekstraktif ini berperan dalam keawetan alami kayu terhadap serangan biologis yaitu berupa senyawa polipenol, terpenoid dan tanin (Findlay, 1987 dalam Sari, dkk, 2004). Zat ekstraktif tidak hanya terdapat dalam bagian kayu tetapi juga terdapat pada kulit, daun, buah, dan biji. Findlay (1987 dalam Sari, dkk, 2004) menjelaskan bahwa beberapa kayu dari hutan tropika mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun.

  Lebih lanjut dikatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada kayu teras, kulit dan xylem, bersifat racun atau anti fungi yang dapat melindungi pohon dari gangguan perusak kayu.

  Diperkirakan masih banyak tumbuhan berkhasiat obat yang belum diketahui kandungan senyawa aktifnya, sehingga diperlukan penelitian khusus.

  Agar pengobatan secara tradisional dapat dipertanggungjawabkan maka diperlukan penelitian ilmiah seperti penelitian di bidang farmakologi, toksikologi, identifikasi dan isolasi zat kimia aktif yang terdapat dalam tumbuhan. Tumbuhan dapat digunakan sebagai obato-obatan karena tumbuhan tersebut menghasilkan suatu senyawa yang memperlihatkan aktifitas biologis tertentu. Senyawa aktif biologis itu merupakan senyawa metabolit sekunder yang meliputi alkaloid, flavonoid, terpenoid dan steroid (Sjöström, 1995). c.

  Penggolongan Zat Ekstraktif

   Ekstraktif terdiri atas komposisi bahan kimia yang bervariasi, seperti

  getah, lemak, polisakarida, minyak, pati, senyawa alkaloid, dan tannin. Istilah ini berasal dari ekstraksi (sebagian kecil) dari kayu dengan air panas atau air dingin atau dengan pelarut organik netral, seperti alkohol, benzene, aseton atau eter. Proporsi zat ekstraktif bervariasi mulai kurang dari 1% (jenis kayu popral) hingga lebih dari 10% (jenis kayu red wood) dari berat kering kayu. Zat ekstraktif beberapa spesies pohon tropis berkisar antara 20%. Variasi ini tidak hanya disebabkan oleh perbedaan spesies, tetapi juga perbedaan pada bagian satu pohon yang sama, misalnya antara kayu gubal dan kayu teras (Sjöström, 1995).

  Achmadi (1990) mengelompokkan zat ekstraktif menjadi fraksi lipofilik dan hidrofilik, walaupun batasnya kurang jelas. Yang termasuk fraksi lipofilik adalah: lemak, waxes, terpene, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Cara pemisahannya dapat dilakukan dengan pelarut non polar, seperti etil eter atau

  

diklorometana . Sedangkan fraksi hidrofilik meliputi senyawa fenolik (tanin dan

  lignin), karbohidrat terlarut, protein,vitamin dan garam anorganik. Bahan jenis kayu yang mempunyai kadar resin tinggi, misalnya resin (damar) yang banyak terdapat pada famili Dipterocarpaceae. Resin ini berfungsi patologis (melindungi terhadap kerusakan, terdapat pada saluran resin) dan fungsi fisiologis (cadangan energi, terdapat dalam sel-sel jari-jari) yang sering ditemukan pada daun.

  Fungi

  Fungi adalah organisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel tunggal eukariotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, berproduksi secara seksual dan aseksual. Fungi dimasukkan dalam kingdom tersendiri sebab cara mendapatkan makanannya berbeda dari organisme eukariotik lainnya, yaitu melalui absorbsi. Fungi berkembangbiak secara seksual melalui peleburan dua inti sel dengan urutan terjadinya plasmogami, kariogami, dan miosis dan secara aseksual dengan membentuk karpus yang di dalamnya mengandung hifa-hifa fertil yang menghasilkan spora atau konidia. Sebagian besar tubuh fungi terdiri atas benang- benang yang disebut hifa, jalinan hifa yang semacam jala disebut miselium. Menurut Gandjar et al (2006) hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang fungsinya berbeda, yaitu yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang menyangga alat-alat reproduksi.

  Menurut Hendayana (1994) kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan fungi pembusuk kayu ada empat macam, yaitu : (a) sumber-sumber energi dan bahan makanan yang cocok; (b) kadar air kayu di atas titik jenuh serat kayu ; (c) persediaan oksigen yang cukup; dan (d) suhu yang cocok. Kekurangan dalam salah satu persyaratan ini, akan menghalangi pertumbuhan suatu fungi, meskipun fungi tersebut telah berada di dalam kayu.

  Menurut Gandjar et al (2006) secara umum pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.

  1. Substrat, merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi yang baru dapat dimanfatkan oleh fungi setelah fungi mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluler yang dapat menguraikan senyawa-senyawa menjadi bentuk yang lebih sederhana.

  3. Suhu, kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan fungi dapat dikelompokkan menjadi : (a) fungi psiklorofil (suhu minimum di bawah 0 ˚C, dan suhu optimum berkisar 0

  ˚C - 17˚C, (b) fungi mesofil (suhu minimum di atas 0 ˚C dan suhu optimum 15˚- 40˚C), dan (c) fungi termofil (suhu minimum di atas 20

  ˚C dan optimum berkisar 35˚C atau lebih).

  4. Derajat keasaman lingkungan, pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi dapat hidup pada pH di bawah 7.

  5. Bahan kimia, banyak bahan kimia yang terbukti dapat mencegah pertumbuhan fungi sehingga banyak digunakan oleh manusia sebagai bahan pengendali fungi.

  Botryosphaeria dothidea

  Botryosphaeria merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan yang menyerang Eucalyptus spp. di Afrika Selatan. Penyakit ini disebabkan oleh patogen Botryosphaeria dothidea. Penyakit ini dikenal di berbagai belahan dunia dan umumnya terkenal dengan gejala kanker dan mati pucuk pada tanaman berkayu. Fungi ini dikenal sebagai patogen yang sangat kuat yang mampu beradaptasi dan memanipulasi tubuhnya sendiri untuk bertahan pada kondisi stress lingkungan seperti di Afrika Selatan yang meliputi kekeringan, suhu dingin bahkan bersalju, badai panas dan dingin, musim gugur dan serangan serangga (Slippers, at al, 2004).

  Menurut Slippers (2004 ) klasifikasi Botryosphaeria dothidea sebagai berikut: Kelas Ordo Famili Genus Species : Botryosphaeria dothidea.

  Berbagai macam gejala dikaitkan dengan B. dothidea yang menyerang ekaliptus. Suatu penelitian menunjukkan bahwa penyerangan dari fungi ini menyebakan matinya pohon yang dimulai dari pucuk. Fungi ini menyebabkan terjadinya infeksi pada kayu teras dan kayu gubal berupa peruban warna kayu dan akan terus menjalar bahkan hingga keseluruh bagian batang. Gejala ini sering dijumpai pada E. grandis atau pada jenis ekaliptus lain dan sering berkembang pada waktu kondisi suhu lingkungan yang panas atau pada data kemarau. Sebagian kecil gejala ditemukan pada E. nitens pada umur 1-2 tahun yang menyebabkan pohon tersebut telah rusak akibat suhu yang terlalu dingin (Carnegie, 2000).

  Satu dari banyaknya gejala yang cukup parah yang diakibatkan oleh infeksi B. dothidea adalah kanker batang. Kanker ini paling umum ditemukan pada pohon yang stress akibat kekeringan dan ditandai dengan membengkaknya batang, kulit pecah atau retak dan adanya eksudat dalam jumlah yang berlebihan berupa cairan kino berwarna hitam. Bahkan dalam kondisi yang parah, beberapa gejala ditemukan pada cabang dan batang lateral sebagai tempat tumbuhnya kanker ini (Carnegie, 2000).

  Pohon dalam keadaan stress dan menunjukkan tanda-tanda kanker

  

Botryosphaeria juga sering terinfeksi oleh patogen Endothia gyrosa. Gejala khas

  serangan E. gyrosa adalah kulit retak khususnya pada dasar pohon. Gejala ini akan jelas terlihat pada kondisi suhu yang rendah dimana terlihat bahwa retak yang terjadi, memiliki warna oranye atau kuning dan terus naik melalui pemukaan sebagai akibat dari stuktur tubuh buah fungi yang semakin berkembang. Retaknya kulit yang diakibatkan oleh fungi E. gyrosa, dalam beberapa kasus terkadang dapat menginfeksi bahkan menembus kambium dan hasilnya adalah terdapat eksudat kino. Retakan inilah yang menjadi jelah untuk masuknya infeksi oleh B.

  dothidea (Carnegie, 2000).

  Penanggulangan kerugian akibat dari Botryosphaeria dothidea semakin sulit dilakukan akibat dari fakta yang menyatakan bahwa patogen ini mampu memanipulasi dirinya sendiri ketika dihadapkan dengan banyak faktor lingkungan yang ekstrim. Sulitnya penanganan masalah akibat dari serangan fungi ini diperkuat dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa serangan yang timbul pada daun yang sehat dan jaringan batang tanpa diawali dengan gejala-gejala apapun dan akan terlihat ketika jaringan menjadi stress. Kanker Botryosphaeria pada beberapa jenis pohon ekaliptus berkembang pada daerah mata kayu. Dalam kasus ini, pohon gagal atau tidak mampu untuk menyembuhkan dirinya sendiri, kemudian adanya kantong-kantong cairan kino yang masih halus terus berkembang dan terus menginfeksi seluruh bagian batang (Slippers, dkk, 2004).

  Dalam beberapa kasus serangga perusak selalu memiliki kaitan erat dengan terjadinya infeksi dari B. dithidea ini. Salah satu kejadian yang paling serius sebagai akibat dari perpaduan antara serangga perusak dengan B. dithidea ini adalah diakibatkan oleh kumbang Ambrosia. Dalam situasi ini, serangga tersebut masuk kedalam kayu dengan cara melobangi kayu sehingga lobang yang terbentuk tadi menjadi luka yang menjadi jalan masuk untuk B. dithidea. Kemudian dengan berkembangnya jamur di dalam kayu akan menyebabkan perubahan warna menjadi lebih gelap dan kantung-kantung kino terus berkembang (Slippers, dkk, 2004).

  Pemberantasan Hama dan Penyakit Tanaman Secara Umum a.

  Secara Fisik Mekanik Pembasmian hama dan penyakit secara fisik dapat dilakukan melalui: 1. Pemangkasan lokal ; bagian tanaman yang terserang dipotong atau dipangkas, hasil pangkasan kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan aman, lalu dilakukan pembakaran.

  2. Dicabut ; jika tanaman yang diserang dalam ukuran kecil (umur < 5 tahun atau bibit di persemaian) dan hampir semua bagian tanaman terserang maka tanaman tersebut di cabut sampai ke akarnya kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang terbuka dan aman lalu di bakar.

  3. Ditebang ; jika intensitas serangan tinggi (hampir semua bagian tanaman diserang/>70 % bagian tanaman diserang) atau sudah sangat parah dan tanaman berumur lebih dari 5 tahun, maka dilakukan tebangan D2 penyakit. Prosedur penebangan mengikuti prosedur tebangan yang sudah ada.

  4. Penghalang isolasi adalah daya upaya yang dijalankan untuk mencegah penyebaran hama dan penyakit tanaman berdasarkan peraturan perundang- undangan

  Pembasmian hama dan penyakit secara mekanik dapat dilakukan melalui:

  1. Pengambilan menggunakan tangan. Dapat dilakukan pada jenis hama ulat dan belalang, dengan intensitas serangan hama dalam skala kecil.

  2. Penangkapan bersama-sama oleh banyak orang (gropyokan-Jawa) pada hama belalang.

  3. Pemasangan perangkap antara lain ;

  • Penggunaan lampu perangkap (light trap) untuk hama penggerek batang pada fase kupu-kupu. Lampu perangkap ini dipasang pada saat malam hari, peralatan yang diperlukan berupa : kain putih 2 x 1,5 m, lampu bohlam/neon, dan nampan penampung air. Kupu/ngengat yang diperoleh kemudian dimusnahkan.
  • Penggunaan perangkap kertas warna (colour trapping) untuk hama lalat putih. Warna kertas yang digunakan bisa berwarna kuning atau lainnya yang cerah. Kertas terlebih dahulu diberi lem perekat atau racun tikus atau ter agar hama terperangkap pada kertas tersebut.

  b.

  Penggunaan Pestisida 1.

Biopestisida/ Pestisida organik

  Penggunaan pestisida organik dapat berupa bakterisida atau insektisida yang disesuaikan dengan jenis hama dan penyakit dan sesuai dengan dosis yang dianjurkan (sesuai buku petunjuk pengendalian hama dan penyakit). Beberapa contoh tanaman yang bisa digunakan sebagai pestisida misalnya daun mimba, mahoni, gadung, tembakau, daun sirsak dan sebagainya. Atau jika dalam keadaan yang sangat memaksa bisa menggunakan pestisida kimia dengan catatan penggunaannya harus mengacu pada prosedur kerja Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang sudah ada.

  Penggunaan pestisida kimia harus diminimalisir. Jika atas pertimbangan ekologi dan sosial terpaksa harus menggunakan pestisida kimia, maka pemilihan jenis pestisidanya harus yang tidak dilarang oleh FSC, WHO maupun peraturan perundangan yang lainnya serta menggunakan prosedur keamanan dan keselamatan sesuai dengan Lembar data keselamatan bahan masing-masing. Penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara :

  • Dioleskan/bacok oles; cara ini digunakan untuk jenis pestisida sistemik, contoh untuk pemberantasan hama penggerek batang atau penggerek pucuk. Aplikasinya dengan membuat lubang pada batang dengan paku kemudian cairan insektisida dimasukkan ke lubang atau melukai kulit batang sampai dengan bagian luar kayu gubal (jaringan sebelah dalam jaringan kambium), kemudian insektisida dioleskan dengan kuas atau disemprotkan ke bekas bacokan. Selanjutnya insektisida akan diangkut melalui jaringan gubal ke bagian batang atas.
  • Ditabur pada tanah atau di campur dengan media tanam atau media semai.

  Cara ini digunakan untuk jenis pestisida berwujud granular (kode G dalam kemasan).

  • Disemprot langsung pada target hama/penyakit. Cara ini digunakan untuk jenis pestisida racun kontak atau racun lambung yang memiliki kode SC, WP, EC.
  • Fumigasi; cara ini digunakan untuk jenis-jenis pestisida fumigan.

  Contohnya untuk memberantas oleng-oleng dalam fase larva. Caranya dengan memasukan insektisida fumigan pada lubang gerek kemudian lubang ditutup malam.

  Cara penggunaan bergantung jenis hama yang menyerang dan kondisi tanaman yang diserang.

  c.

Musuh Alami

  Penggunaan musuh alami dengan pengendalian biologis yaitu penggunaan serangga atau bakteri dalam pengendalian hama secara innundative (pelepasan musuh alami secara berulang dengan jenis lokal) dan klasikal (pelepasan musuh alami secara tidak berulang dengan jenis eksotik). Musuh alami kita pilih musuh alami yang paling dekat dengan target hama, dipilih dalam jumlah yang terbatas/lebih sedikit sehingga tidak akan menyerang di luar target. Penggunaan musuh alami harus mengacu pada aturan penggunaan kontrol biologi.

  Penciptaan musuh alami juga dibarengi dengan penciptaan habitat hidup bagi predator alami tersebut misalnya penanaman pohon atau tegakan sebagai tempat bersarang atau penghasil biji makanan predator. Secara umum prinsip penggunaan musuh alami tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem yang ada (Rahayu, 1999).

  Pengawetan Kayu

  Keberhasilan dalam mencegah organisme perusak kayu selain ditentukan oleh sifat efikasi bahan yang digunakan juga ada hubungannya dengan retensi, penetrasi dan distribusi bahan pengawet tersebut di dalam kayu. Namun demikian, sebagai sarana produksi, pengawetan harus dilakukan secara efisien dan tepat, baik dari jenis, formulasi maupun prosesnya (Tambunan, 1974).

  Bahan pengawet kayu adalah pestisida yang bersifat racun sistemik, yaitu masuk ke dalam jaringan kayu kemudian bersentuhan atau dimakan oleh hama (sistemik) atau sebagai racun kontak, yaitu langsung dapat menyerap melalui kulit pada saat pemberian sehingga beracun bagi hama. Penerapannya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara mulai dari cara sederhana, seperti pelaburan, penyemprotan, pencelupan, perendaman, dan atau diikuti proses difusi sampai dengan cara vakum-tekan. Secara singkat metode pengawetan dibagi ke dalam dua golongan, yaitu cara tanpa tekanan (non pressure process) dan cara tekanan (pressure process). Proses tanpa tekanan atau disebut proses sederhana, seperti: pelaburan, penyemprotan, pencelupan, perendaman panas, dingin dan proses difusi mudah dalam penerapannya sehingga bisa dilakukan oleh semua orang. Proses tekanan relative lebih sulit karena memerlukan peralatan yang mahal dan keahlian khusus dalam mengoperasikannya. Proses tekanan memiliki banyak variasi, tetapi secara teknis dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu proses sel penuh (full cell process) seperti proses Bethel dan proses sel kosong (empty cell

  

process ) seperti proses Rueping. Kedua proses itu prinsip kerjanya sama yang

berbeda pada pelaksanaan awal (Tarumingkeng, 2007).

  Retensi Bahan Pengawet

  Meskipun penilaian keberhasilan suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur pakai kayu yang bersangkutan, namun ada kriteria langsung dari perlakuan yang harus diketahui, yaitu jumlah bahan pengawet yang mampu diabsorsi dan tinggal dalam kayu. Menurut Tambunan (1974), retensi adalah bayaknya bahan pengawet (kering) yang masuk dan mampu tinggal dalam kayu dinyatakan dalam kg/m3. Banyaknya retensi pengawet ke dalam kayu berbeda- beda pada setiap proses pengawetan dan tergantung pada spesies kayu, arah peresapan, macam-macam bahan pengawet serta proses pengawetan yang dilakukan (Hunt dan Garratt, 1986).

  Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam kayu. Besarnya retensi dan penetrasi yang bias dicapai ditentukan oleh stukturanatomi kayu, persiapan kayu sebelum diawetkan, metode pengawetan serta jenis dan konsentrasi bahan pengawet (Tambunan, 1974).

  Cara pengawetan dengan tekanan hasilnya biasanya lebih baik daripada tanpa tekanan, akan tetapi biaya dan peralatan yang digunakan jauh lebih mahal.

  Cara ini cocok dilakukan untuk mengawetkan kayu yang dalam pemakaiannya memiliki resiko kerusakan tinggi seperti bantalan kereta api, kayu dermaga, tiang listrik, menara pendingin, pemakaian lain yang berhubungan langsung dengan tanah, serta untuk mengawetkan kayu yang sulit ditembus bahan pengawet terutama bahan pengawet yang tidak mudah luntur. Cara pengawetan tanpa tekanan pada umumnya hasilnya kurang begitu baik dibandingkan dengan cara tekanan karena penembusannya lebih rendah namun masih dapat memenuhi syerat yang baik retensi maupun penembusan tergantung tujuan pemakaian (Hunt dan Garratt, 1986).

Dokumen yang terkait

SENYAWA BIOAKTIF PADA UMBI-UMBIAN LOKAL UNTUK PENURUNAN TEKANAN DARAH: KAJIAN PUSTAKA Bioactive Compounds on Local Tubers for Lowering Blood Pressure: A Review

0 0 6

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN SUPLEMEN HERBAL DAUN SIRSAK (Annona muricata L.) DAN KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.): KAJIAN PUSTAKA Antioxidant Activity Herbal Supplements of Soursop Leaf (Annona muricata L.) and Pericarp of Mangosteen (Garcinia mangostana

0 0 8

FAKTOR PENGARUH EKSTRAKSI CINCAU HITAM (Mesona palustris BL) SKALA PILOT PLANT: KAJIAN PUSTAKA Influence Factor of Black Cincau (Mesona palustris BL) Extraction in Pilot Plant Scale: A Review

1 1 8

MIE INSTAN BELALANG KAYU (Melanoplus cinereus): KAJIAN PUSTAKA Instant Noodle from Wood Grasshopper (Melanoplus cinereus): A Review

0 1 7

MIKRO DAN NANOEMULSIFIKASI FRAKSI TIDAK TERSABUNKAN (FTT) DARI DISTILAT ASAM LEMAK MINYAK SAWIT (DALMS) YANG MENGANDUNG SENYAWA BIOAKTIF MULTI KOMPONEN: KAJIAN PUSTAKA Micro and Nanoemulsification Unsaponifiable Fraction of Palm Fatty Acid Distillate (PFA

0 0 6

POTENSI SENYAWA BIOAKTIF RAMBUT JAGUNG (Zea mays L.) UNTUK TABIR SURYA ALAMI : KAJIAN PUSTAKA The Potency of Bioactive Compounds from Corn Silk (Zea mays L.) for the Use as a Natural Sunscreen : A Review

0 1 6

LIANGTEH BERBASIS CINCAU HITAM (Mesona palustris Bl), PANDAN (Pandanus amaryllifolius), DAN JAHE MERAH (Zingiber officinale) : KAJIAN PUSTAKA Herbal Tea Based Black Cincau (Mesona palustris Bl), Pandanus (Pandanus amaryllifolius) and Red Ginger (Zingiber

0 2 6

LOGISTIK KOTA : SEBUAH TINJAUAN LITERATUR

0 0 8

BAHAYA SEX BEBAS PADA REMAJA SUATU TINJAUAN ASPEK MEDIS DAN ISLAM

1 3 74

POTENSI CINCAU HITAM (Mesona palustris Bl.) SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL UNTUK KESEHATAN: KAJIAN PUSTAKA Healthy Potential of Black Grass Jelly (Mesona palustris Bl.) As Functional Foods: A Review

0 0 5