Isolasi Senyawa Alkaloida Dari Biji Tumbuhan Mahoni (Swietenia mahogani Jacq)

(1)

Jurusan Kimia

Bahan Seminar Hasil

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA

DARI BIJI TUMBUHAN MAHONI

(Swietenia mahogani Jacq)

SKRIPSI

PHILIP PINONDANG SIAHAAN

020802053

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI BIJI TUMBUHAN MAHONI

( Swietenia mahogani Jacq )

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

PHILIP PINONDANG SIAHAAN

020802053

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

PERSETUJUAN

Judul : ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI

BIJI TUMBUHAN MAHONI

( Swietenia mahogani Jacq )

Kategori : SKRIPSI

Nama : PHILIP PINONDANG SIAHAAN

Nomor Induk Mahasiswa : 020802053

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, Agustus 2007

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Drs. Phillipus Siregar , MSi Prof.Dr.Tonel Barus NIP. 131 572 435 NIP. 130 517 489

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan Nst., MS NIP. 131 459 466


(4)

PERNYATAAN

ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI BIJI TUMBUHAN MAHONI

( Swietenia mahogani Jacq )

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2007

PHILIP PINONDANG SIAHAAN 020802053


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kertas kajian ini berhasil diselesaikan dalam waktu yang telah ditetapkan.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Prof.Dr.Tonel Barus dan Drs.Phillipus Siregar,Msi selaku pembimbing pada penyelesaian skripsi ini yang telah memberikan panduan dan penuh kepercayaan kepada saya untuk menyempurnakan kajian ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Drs.Mimpin Ginting,MS selaku dosen wali saya yang telah membimbing saya dalam akademik saya dan juga Ketua dan Sekretaris Departemen Dr. Rumondang Bulan Nst, M.S dan Drs. Firman Sebayang, M.S., Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, semua dosen pada Departemen Kimia FMIPA USU khususnya para dosen Kimia Bahan Alam, pegawai di FMIPA USU. Serta kepada Sri Aika Barus yang telah membantu saya dalam proses penyelesaian skripsi ini dan juga teman-teman stambuk 02,asisten laboratorium Kimia bahan Alam (Robby,Edo,Tulus,willy,Andy,Julius).Akhirnya terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya Johnny Arifin Siahaan,Spd dan Delima Simanjuntak serta adik-adik yang selama ini telah memberikan dukungan baik secara materi dan mental dan doa kepada saya . Tuhan memberkati.


(6)

ABSTRAK

Isolasi senyawa alkaloida yang terdapat pada biji tumbuhan mahoni (Swietenia mahogani Jacq.) dilakukan dengan teknik maserasi dengan pelarut methanol. Ekstrak metanol yang dihasilkan dipekatkan kemudian di ekstraksi partisi dengan n-heksana, kemudian diasamkan dengan HCl 2M sampai pH=2. dibasakan dengan Na2CO3 5%

sampai pH = 8-9 kemudian diekstraksi partisi dengan dietil eter,lalu dipekatkan. Ekstrak pekat dietil yang merupakan alkaloida total dianalisis KLT lalu dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen kloroform : metanol ( 70:30 ) v/v yang

menghasilkan kristal berwarna kuning pucat pada fraksi 10-15 dengan Rf=0,74 sebanyak 2,008 g dengan titik lebur 92-94 oC dan pada fraksi 18-20 dengan Rf=0,70 sebanyak 0,731 g dengan titik lebur 83-85 oC. Kristal tersebut dianalisis dengan menggunakan spektroskopi Infra Merah dan Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton.


(7)

ISOLATION OF ALKALOIDA COMPOUNDS WHICH ARE CONTAINED IN SEED OF MAHONI

( Swietenia mahogani Jacq.)

ABSTRACT

Isolation alkaloida compound which contained in seed of mahoni ( Swietenia mahogani Jacq.) has been done with maceration technique with methanol solvent. Methanol extract then concentrated and then partition extraction with n-heksana then acidified with HCl 2M until pH=2. Basidified with Na2C03 5% until pH 8-9 then

partition with diethyl ether,then concentrated. Concentrated diethyl ether exract which is total alkaloid was analysed with Thin Layer Chromatography then separated with coulomb chromatography with eluent chloroform : methanol ( 70 : 30 ) v/v. The yellow

pale ,amorf crystal was obtained in 10-15 fraction with Rf=0,74 ;2,008 g with melting point 92-94 oC, and in fraction 18-20 with Rf=0,70 ;0,731 g with melting point 83-85

o

C. That crytal then identified using infra red spectroscopy and Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy.


(8)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sejak ribuan tahun yang lalu,obat dan pengobatan tradisional sudah ada di Indonesia, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modernnya dikenal masnyarakat. Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat merupakan pengobatan dimanfaatkan dan diakui masnyarakat dunia,yang menandai kessadaran untuk kembali kea lam (back to nature) untuk mencapai kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami.

Indonesia memiliki lahan tropis yang cukup luas dengan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Lebih kurang 30.000 sampai 40.000 jenis tumbuhan yang tersebar dari Aceh sampai Papua,dari dataran rendah hingga dataran tinggi, dari daerah tropic hingga daerah sejuk,bahkan hingga tumbuhan dari kekayaan laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat.

Namun sayangnya, sampai saat ini di Indonesia belum ada sarana yang dapat menunjang perkembangan obat tradisional Indonesia seperti perguruan tinggi maupun rumah sakit tradisional untuk melakukan uji klinis kedokteran timur.

Agar peranan pengobatan tradisional lebih dapat ditingkatkan,perlu didorong upaya pengenalan,penelitian,pengujian dan pengembangan ilmu farmakologi,fatologi, biologi ,mikrobiologi, kimia, biokimia, bioteknologi, botani, sehingga akan menghapus anggapan yang salah tadi.Untuk itu harus dilakukan uji klinis dan dibuat ilmiah untuk mengangkat pengobatan tradisional warisan nenek moyang sehingga dapat memberikan sumbangan untuk bangsa dan dunia ini.


(9)

Salah satu tumbuhan yang sering digunakan sebagai obat adalah tumbuhan mahoni ( Swietenia mahogani Jacq ). Mahoni dapat ditemukan tumbuh liar dihutan jati dan tempat-tempat lain yang dekat dengan pantai, atau ditanam sebagai pohon pelindung.

Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lain disebutkan, tanaman ini memiliki sifat pahit, antipiretik (penurun panas), anti jamur dan menurunkan tekanan darah tinggi. Efek farmakologis ini diperoleh dari penggunaan biji yang dikeringkan, digiling halus sampai menjadi serbuk.

(www.pikiran-rakyat.com)

Dari biji buah Mahoni telah berhasil diisolasi senyawa tetranortriterpenoid yang mempunyai efek PAF (Platelet Activating Factor) yaitu obat yang berkhasiat untuk penyakit cardio vascular (hipertensi). (Marpaung, L., 1989)

Pada kulit batang mahoni telah berhasil diisolasi senyawa ß-Sitosterol dengan menggunakan pelarut diklorometan. ( Sitanggang, L., 1998)

Pada daun mahoni telah berhasil diisolasi senyawa ß-Sitosterol dengan menggunakan pelarut n-heksana (Silalahi, Riki, 1999)

Pada biji mahoni telah berhasil diisolasi senyawa alkaloida pada fraksi 4-5 dan 8-9 dimana merupakan alkaloida golongan pirolidin (Sirait,Robby,2006)

Dari uraian diatas dan berdasarkan literatur mengenai banyaknya fungsi mahoni sebagai obat dari berbagai penyakit maka penulis merasa tertarik untuk mengisolasi senyawa alkaloida dari biji tumbuhan mahoni.


(10)

1.2.Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mengisolasi senyawa alkaloida yang terdapat di dalam biji tumbuhan mahoni.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi senyawa alkaloida yang terdapat dalam biji tumbuhan mahoni.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber informasi ilmiah pada bidang Kimia Bahan Alam dan juga bidang Farmasi dalam upaya pengembangan zat-zat kimia alkaloida dalam biji tumbuhan mahoni.

1.5. Lokasi Penelitian

Biji Tumbuhan Mahoni diperoleh dari areal pepohonan Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian dilakukan di laboratorium Kimia Bahan Alam Hayati FMIPA USU. Analisis Spektrofotometri Infra Merah (FT-IR) dan Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) dilakukan di Laboratorium Dasar Bersama FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya.

1.6. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, isolasi senyawa Alkaloida digunakan biji tumbuhan Mahoni, berupa serbuk halus yang kering sebanyak 1700 g. Tahap awal dilakukan uji skrining fitokimia dengan menggunakan pereaksi- pereaksi untuk senyawa alkaloida, yaitu


(11)

dengan menggunakan pereaksi Wagner, Meyer, Drangendorf, dan pereaksi Bouchardat.

Tahap isolasi yang dilakukan adalah Ekstraksi Maserasi

Ekstraksi Partisi

Analisis Kromatografi Lapis Tipis Analisis Kromatografi Kolom Analisis Kristal Hasil Isolasi

Analisis kristal mencakup kromatografi lapis tipis, pengukuran titik lebur dan identifikasi dengan menggunakan Spektrofotometer Infra Merah (FT-IR) dan Spektrometer Resonansi Magnetik Inti Proton ( 1H-NMR ).


(12)

ABSTRAK

Isolasi senyawa alkaloida yang terdapat pada biji tumbuhan mahoni (Swietenia mahogani Jacq.) dilakukan dengan teknik maserasi dengan pelarut methanol. Ekstrak metanol yang dihasilkan dipekatkan kemudian di ekstraksi partisi dengan n-heksana, kemudian diasamkan dengan HCl 2M sampai pH=2. dibasakan dengan Na2CO3 5%

sampai pH = 8-9 kemudian diekstraksi partisi dengan dietil eter,lalu dipekatkan. Ekstrak pekat dietil yang merupakan alkaloida total dianalisis KLT lalu dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen kloroform : metanol ( 70:30 ) v/v yang

menghasilkan kristal berwarna kuning pucat pada fraksi 10-15 dengan Rf=0,74 sebanyak 2,008 g dengan titik lebur 92-94 oC dan pada fraksi 18-20 dengan Rf=0,70 sebanyak 0,731 g dengan titik lebur 83-85 oC. Kristal tersebut dianalisis dengan menggunakan spektroskopi Infra Merah dan Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti Proton.


(13)

ISOLATION OF ALKALOIDA COMPOUNDS WHICH ARE CONTAINED IN SEED OF MAHONI

( Swietenia mahogani Jacq.)

ABSTRACT

Isolation alkaloida compound which contained in seed of mahoni ( Swietenia mahogani Jacq.) has been done with maceration technique with methanol solvent. Methanol extract then concentrated and then partition extraction with n-heksana then acidified with HCl 2M until pH=2. Basidified with Na2C03 5% until pH 8-9 then

partition with diethyl ether,then concentrated. Concentrated diethyl ether exract which is total alkaloid was analysed with Thin Layer Chromatography then separated with coulomb chromatography with eluent chloroform : methanol ( 70 : 30 ) v/v. The yellow

pale ,amorf crystal was obtained in 10-15 fraction with Rf=0,74 ;2,008 g with melting point 92-94 oC, and in fraction 18-20 with Rf=0,70 ;0,731 g with melting point 83-85

o

C. That crytal then identified using infra red spectroscopy and Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy.


(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sejak ribuan tahun yang lalu,obat dan pengobatan tradisional sudah ada di Indonesia, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modernnya dikenal masnyarakat. Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat merupakan pengobatan dimanfaatkan dan diakui masnyarakat dunia,yang menandai kessadaran untuk kembali kea lam (back to nature) untuk mencapai kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami.

Indonesia memiliki lahan tropis yang cukup luas dengan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Lebih kurang 30.000 sampai 40.000 jenis tumbuhan yang tersebar dari Aceh sampai Papua,dari dataran rendah hingga dataran tinggi, dari daerah tropic hingga daerah sejuk,bahkan hingga tumbuhan dari kekayaan laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat.

Namun sayangnya, sampai saat ini di Indonesia belum ada sarana yang dapat menunjang perkembangan obat tradisional Indonesia seperti perguruan tinggi maupun rumah sakit tradisional untuk melakukan uji klinis kedokteran timur.

Agar peranan pengobatan tradisional lebih dapat ditingkatkan,perlu didorong upaya pengenalan,penelitian,pengujian dan pengembangan ilmu farmakologi,fatologi, biologi ,mikrobiologi, kimia, biokimia, bioteknologi, botani, sehingga akan menghapus anggapan yang salah tadi.Untuk itu harus dilakukan uji klinis dan dibuat ilmiah untuk mengangkat pengobatan tradisional warisan nenek moyang sehingga dapat memberikan sumbangan untuk bangsa dan dunia ini.


(15)

Salah satu tumbuhan yang sering digunakan sebagai obat adalah tumbuhan mahoni ( Swietenia mahogani Jacq ). Mahoni dapat ditemukan tumbuh liar dihutan jati dan tempat-tempat lain yang dekat dengan pantai, atau ditanam sebagai pohon pelindung.

Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lain disebutkan, tanaman ini memiliki sifat pahit, antipiretik (penurun panas), anti jamur dan menurunkan tekanan darah tinggi. Efek farmakologis ini diperoleh dari penggunaan biji yang dikeringkan, digiling halus sampai menjadi serbuk.

(www.pikiran-rakyat.com)

Dari biji buah Mahoni telah berhasil diisolasi senyawa tetranortriterpenoid yang mempunyai efek PAF (Platelet Activating Factor) yaitu obat yang berkhasiat untuk penyakit cardio vascular (hipertensi). (Marpaung, L., 1989)

Pada kulit batang mahoni telah berhasil diisolasi senyawa ß-Sitosterol dengan menggunakan pelarut diklorometan. ( Sitanggang, L., 1998)

Pada daun mahoni telah berhasil diisolasi senyawa ß-Sitosterol dengan menggunakan pelarut n-heksana (Silalahi, Riki, 1999)

Pada biji mahoni telah berhasil diisolasi senyawa alkaloida pada fraksi 4-5 dan 8-9 dimana merupakan alkaloida golongan pirolidin (Sirait,Robby,2006)

Dari uraian diatas dan berdasarkan literatur mengenai banyaknya fungsi mahoni sebagai obat dari berbagai penyakit maka penulis merasa tertarik untuk mengisolasi senyawa alkaloida dari biji tumbuhan mahoni.


(16)

1.2.Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mengisolasi senyawa alkaloida yang terdapat di dalam biji tumbuhan mahoni.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi senyawa alkaloida yang terdapat dalam biji tumbuhan mahoni.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber informasi ilmiah pada bidang Kimia Bahan Alam dan juga bidang Farmasi dalam upaya pengembangan zat-zat kimia alkaloida dalam biji tumbuhan mahoni.

1.5. Lokasi Penelitian

Biji Tumbuhan Mahoni diperoleh dari areal pepohonan Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian dilakukan di laboratorium Kimia Bahan Alam Hayati FMIPA USU. Analisis Spektrofotometri Infra Merah (FT-IR) dan Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) dilakukan di Laboratorium Dasar Bersama FMIPA Universitas Airlangga, Surabaya.

1.6. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, isolasi senyawa Alkaloida digunakan biji tumbuhan Mahoni, berupa serbuk halus yang kering sebanyak 1700 g. Tahap awal dilakukan uji skrining fitokimia dengan menggunakan pereaksi- pereaksi untuk senyawa alkaloida, yaitu


(17)

dengan menggunakan pereaksi Wagner, Meyer, Drangendorf, dan pereaksi Bouchardat.

Tahap isolasi yang dilakukan adalah Ekstraksi Maserasi

Ekstraksi Partisi

Analisis Kromatografi Lapis Tipis Analisis Kromatografi Kolom Analisis Kristal Hasil Isolasi

Analisis kristal mencakup kromatografi lapis tipis, pengukuran titik lebur dan identifikasi dengan menggunakan Spektrofotometer Infra Merah (FT-IR) dan Spektrometer Resonansi Magnetik Inti Proton ( 1H-NMR ).


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumbuhan Mahoni

2.1.1. Morfologi Tumbuhan Mahoni

Pohon mahoni selama ini dikenal sebagai penyejuk jalanan atau sebagai bahan untuk membuat segala bentuk furniture. Berdasarkan penelitian di laboratorium,pohon mahoni (Swietenia mahogany),termasuk pohon yang bisa mengurangi polusi udara sekitar 47-69%.

Mahoni merupakan tanaman yang berasal dari Hindia barat dan Afrika, dapat tumbuh subur bila tumbuh dipasir payau dekat dengan pantai. Mahoni dikelompokkan menjadi dua, mahoni berdaun kecil (Switenia mahogany Jacq.) dan mahoni berdaun besar (Swietenia macrophylla King). Keduanya termasuk kedalam keluarga Meliaceae. Sifat ekologis yang sangat penting untuk membedakan Switenia mahogani dari Swietenia macrophylla yaitu kemampuan tumbuh didaerah kering. Jenis ini secara alami dijumpai pada iklim dengan curah hujan tahunan 580-800mm.

Pohon mahoni selalu hijau sampai semi hijau,tinggi mencapai30-35 m. Penyebarannya dengan biji,setelah umurnya antara 7-8 tahun mahoni sudah mulai berbunga. Kulit abu-abu dan halus ketika masih muda,berubah menjadi coklat tua, membumbung (beralur) dan mengelupas setelah tua. Daun bertandan,licin,tidak berbulu,panjang 12-15 cm majemuk menyirip dengan 2-4 pasang daun. Daun bulat telur,ujung lancip,panjang 5-6 cm.lebar 2-3 cm hijau tua,licin ,tidak berbulu. Bunga berkelamin tunggal,kecil,putih,panjang 8-15 cm malai ramping. Benih berwarna coklat yang panjangnya 4-5 cm. Kotiledon berada pada dua pertiga panjang sisi benih.


(19)

2.1.2. Sistematika Tumbuhan Mahoni

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan mahoni diklasifikasikan sebagai berikut,

Sinonim : Swietenia mahagoni Bl.Jacq

Klasifikasi

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Rutales

Suku : Meliaceae

Marga : Swietenia

Jenis : Swietenia mahagoni Jacq Nama umum/dagang : Mahoni

Nama daerah

Jawa : Mahoni (Jawa tengah)

Deskripsi

Habitus : Pohon, tahunan, tinggi 5-25 m

Batang : Tegak, berkayu, ujung cabang berbulu, putih kotor.

Daun : Majemuk, menyirip genap, bulat telur, ujung dan pangkal runcing,tepi rata,panjang 3-15 cm, masih muda merah setelah tua hijau.

Bunga : Majemuk, dalam karangan, di ketiak daun, ibu tangkai bunga silindris,kuning kecoklatan, benang sari melekat pada mahkota, kepala sari putih, kuning kecoklatan.

Buah : Kotak, bulat telur, berlekuk lima, coklat Biji : Pipih, hitam atau coklat

Akar : Tunggang, coklat .


(20)

Tanaman mahoni merupakan tanaman tropis dan banyak ditemukan tumbuh liar dihutan jati serta didekat pantai. Tanaman ini menyukai tempat yang cukup sinar matahari langsung dan tahan hidup ditanah gersang. Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan biji,cangkok atau okulasi. Untuk tanaman mahoni yang digunakan sebagai tanaman obat maka tidak boleh diberi pupuk anorganik maupun pestisida.

2.1.3. Manfaat Tumbuhan Mahoni

Menurut Anggota Sentra Pengembangan Dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T) DKI Jakarta,dr Setiawan Dalimarta ,kandungan kimia mahoni ada dua macam yaitu Saponin dan Flavonoida yang sangat baik untuk mengobati tekanan darah tinggi, kencing manis, reumatik, eksim, demam, masuk angina, dan mengatasi orang yang tidak mempunyai nafsu makan.

Untuk kencing manis sebaiknya diminum 30 menit sebelum makan pagi, sebelum makan siang dan sebelum makan malam. Sedang untuk masuk angin caranya sama dengan kencing manis,reumatik. Bila menggunalan bubuk mahoni sebagai obat otomatis nafsu makan bangkit. (www.suaramerdeka.com)

Kandungan Flavonoida berguna untuk melancarkan peredaran darah,terutama untuk mencegah tersumbatnya saluran darah,mengurangi tingkat kolesterol, mengurangi penimbunan lemak pada dinding saluran darah, membantu mengurangi rasa sakit, pendarahan dan lebam, bertindak sebagai anti oksidan dan berfungsi menyingkirkan radikal bebas.

Sedangkan Saponin berguna mencegah penyakit sampar,mengurangi lemak badan, meningkatkan sistem kekebalan, mencegah pembekuan darah dan tingkat gula dalam darah, serta fungsi hati dan memperlambat proses pembekuan darah.


(21)

Kini pembuatan obat tradisional dari mahoni semakin maju. Beberapa peramu jamu sudah tidak lagi menjual bubuk mahoni, tetapi sudah dikemas dalam bentuk

kapsul menjadi kapsul mahoni

2.1.4. Kandungan Kimia Tumbuhan Mahoni

Di dalam biji mahoni memiliki kandungan kimia yaitu Saponin dan flavonoida.

2.2. Senyawa Organik Bahan Alam

Senyawa organik bahan alam dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat- sifat yang dimilikinya. Ada empat cara klasifikasi senyawa organik bahan alam, yaitu:

1. Klasifkasi berdasarkan Struktur Kimiawi

Klasifikasi ini didasarkan pada kerangka molekul dari senyawa yang bersangkutan. Menurut sistem ini, ada 4 kelas senyawa organik bahan alam, yaitu: a. Senyawa alifatik rantai terbuka atau lemak dan minyak

Contoh : asam- asam lemak, gula dana asam- asam amino pada umumnya b. Senyawa alisiklik atau sikloalifatik

Contoh : Terpenoid, steroida c. Senyawa aromatik atau benzenoid

Contoh : Golongan fenolat, golongan kuinon d. Senyawa heterosiklik

Contoh : alkaloida, flavonoida

2. Klasifikasi Berdasarkan Sifat Fisiologik

Setelah penelitian yang lebih mendalam dilakukan terhadap morfin, penisilin dan prostaglandin, maka perhatian para ahli sering ditujukan terhadap isolasi dan penentuan fungsi fisiologis dari senyawa-senyawa organik bahan alam tertentu.


(22)

Hampir separuh dari obat-obatan yang kita gunakan sehari-hari merupakan bahan- alam, misalnya alkaloida dan antibiotik. Oleh karena itu senyawa organik bahan alam dapat juga diklasifikasikan dari segi aktivitas fisiologik dari bahan alam yang bersangkutan. Misalnya : kelas hormon, vitamin, antibiotik dan mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh jamur). Meskipun senyawa-senyawa dalam satu kelas mempunyai struktur dan asal-usul biogenetik yang sangat bervariasi, namun ada kalanya terdapat korelasi yang dekat antara aspek-aspek tersebut dengan kegiatannya.

3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi

Pengklasifikasian ini didasarkan pada penyelidikan morfologi komparatif dari tumbuh- tumbuhan yaitu taksonomi tumbuhan. Pada hewan dan sebagian mikroorganisme, metabolit terakhir biasanya dibuang keluar tubuh, sedang pada tumbuh-tumbuhan, metabolit tersimpan di dalam tubuh tumbuhan itu sendiri.

Pada mulanya beberapa metabolit dianggap hanya berasal dari tumbuhan tertentu. Kemudian diketahui bahwa beberapa metabolit tersebar pada berbagai tumbuhan dan ternyata banyak konstituen tumbuhan tumbuhan (seperti alkaloida dan terpenoida) yang dapat diisolasi dari spesies, genus, suku atau famili tumbuhan tertentu. Malah dalam satu spesies tunggal, dapat ditemukan sejumlah konstituen yang strukturnya berhubungan erat satu sama lain. Misalnya, “opium” dari Papaver somniferum mengandung dua puluhan alkaloida termasuk alkaloida morfin, tebain, kodein dan narkotin yang kesemuanya dibiosintesis dari prekusor yaitu 1-benzilisokuinolin melalui penggandengan/coupling secara oksidasi. Oleh karena itu alkaloida - alkaloida tersebut yang strukturnya mirip satu sama lain dan berasal dari genus tumbuhan tertentu, disebut alkaloida opium.

4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis

Semua konstituen tumbuhan dan binatang dibiosintesis dalam mikroorganisme melalui reaksi- reaksi yang dibantu oleh enzim tertentu. Dalam hal ini sumber utama dari karbon biasanya adalah glukosa, yang dibiosintesis dalam tumbuhan hijau atau yang diperoleh dari lingkungan dalam organisme.


(23)

Beberapa ahli mulai menyusun teori langkah-langkah biogenetik dari senyawa organik bahan alam yang berlangsung dalam mikroorganisme hidup. Basis dari teori ini adalah keteraturan struktural yang teramati sejak awal sampai akhir reaksi. Teori yang paling menonjol adalah “aturan isoprena” yang diusulkan oleh Ruzicka. Dia menyatakan semua senyawa terpenoid terbentuk dari “unit isoprena” C5.

Dari kesemua teori biogenesis ini dapat disimpulkan adanya 4 kelas senyawa organik bahan alam, yakni :

(a) Poliketida (asetogenin) (b) Fenolat (fenilpropanoid) (c) Isoprenoid

(d) Alkaloida ( Nakanishi, 1974).

2.2.1. Senyawa Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa turunan asam amino dan dibagi berdasarkan kerangka asam amino yang menyusunnya. Alkaloid tidak selalu asam amino namun kadang juga oleh pemasukan senyawa amoniak atau transaminasi kedalam kerangka suatu senyawa. Alkaloid diturunan asam amino diindikasikan dengan terdapatnya atom nitrogen didalam kerangka suatu senyawa. Dikarenakan atom nitrogen merupakan electron donor atau kelebiohan satu pasang electron,berakibat dia bersifat basa atau alkali.

Alkaloida telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik perhatian terutama karena pengaruh fisiologinya terhadap binatang menyusui dan pemakaiannya di bidang farmasi, tetapi fungsinya dalam tumbuhan hampir sama sekali kabur. Beberapa pendapat mengenai kemungkinan peranannya ialah sebagai berikut :

1. Salah satu pendapat yang dikemukakan pertama kali,sekarang tidak dianut lagi,ialah bahwa alkaloid berfungsi hasil sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat dalam hewan


(24)

2. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tendon penyimpanan nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.

3. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit atau pemangsa tumbuhan. Meskipun dalam beberapa peristiwa bukti yang mendukung fungsi ini tidak dikemukakan, ini barang kali merupakan konsep yang direka-reka dan bersifat ‘manusia sentries’.

4. alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh karena, dari segi struktur, beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa alkaloid merangsang perkecambahan yang lainnya menghambat.

5. Semula disarankan oleh Liebieg bahwa alkaloid, karena sebagian besar bersifat basa,dapat mengganti basa mineral dalam mempertahakan kesetimbangan ion dalam tumbuhan.

Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen tumbuhan lain berdasarkan sifat basanya. Oleh karena itu senyawa ini biasanya terdapat dalam tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering dilakukan di laboratorium sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini dan alkaloida bebas, berupa senyawa padat berbentuk kristal tanpa warna. Beberapa alkaloida berupa cairan, dan alkaloida yang berwarnapun langka (Berberina dan Terpentina berwarna kuning). Alkaloida sering bersifat aktif optik, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa hal dikenal campuran rasemat, dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya. ( Robinson, 1995 ).

2.2.2. Sifat-sifat alkaloida

2.2.2.1. Sifat-sifat fisika

Kebanyakan alkaloid yang telah diisolasi berupa padatan kristal dengan titik lebur yang tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Sedikit alkaloid yang berbentuk amorf, dan beberapa seperti nikotin dan konini berupa cairan.


(25)

Kebanyakan dari alkaloid tidak berwarna,tetapi beberapa senyawa yang kompleks, spesies aromatik berwarna seperti berberin yang berwarna kuning dan betamin yang berwarna merah. Pada umumnya basa bebas alkaloid hanya larut dalam pelarut organik,meskipun beberapa pseudo dan protoalkaloid larut dalam air. Garam alkaloid dan alkaloid quartener sangat larut dalam air.

2.2.2.2. Sifat-sifat kimia

Kebanyakan alkaloid bersifat basa. Sifat tersebut tergantung pada adanya pasangan electron pada nitrogen. Jika gugus fungsinal yang berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan electron,sebagai contoh gugus alkil,maka ketersediaan electron pada nitrogen naik dan senyawa lebih bersifat basa. Dimana trietilamin lebih basa dari dietil amin dan senyawa dietilamin lebih basa daripada etilamin. Sebaliknya, bila gugus fungsional yang berdekatan bersifat menarik electron misalnya gugus karbonil, maka ketersediaan pasangan electron berkurang dan pengaruh yang ditimbulkan alkaloid dapat bersifat netral atau bahkan sedikit asam.

Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa tersebut sangat midah mengalami dekomposisi,terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen. Hasil dari reaksi ini sering berupa N-oksida Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu yang lama. (Sastrohamidjojo,1996)

2.2.3. Deteksi Alkaloida

Karena secara kimia alkaloida begitu heterogen dan begitu banyak, maka tidak dapat diidentifikasi dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan kromatografi tunggal. Pada umumnya sukar mengidentifikasi alkaloida dari sumber tumbuhan baru tanpa mengetahui kira-kira jenis alkaloida apa yang mungkin ditemukan dalam tumbuhan tersebut.


(26)

Di samping itu, karena kelarutan dan sifat alkaloida sangat berbeda-beda, cara penyaringan umum untuk alkaloida dalam tumbuhan mungkin tidak akan berhasil mendeteksi senyawa khas.

Sebagai basa, alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah ( HCl 1M atau asam asetat 10% ), kemudian diendapkan dengan amonia pekat. Pemisahan pendahuluan demikian dari bahan tumbuhan lainnya dapat diulang, atau pemurnian selanjutnya dilakukan dengan cara ekstraksi pelarut (ekstraksi cair- cair). Adanya alkaloid pada ekstrak nisbih kasar yang demikian dapat diuji dengan menggunakan berbagai pereaksi ‘alkaloid’.Tetapi sebaiknya dilakukan kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis dalam beberapa pengembang umum yang dapat digunakan, dan kemudian kertas serta pelat disemprot dengan penampak bercak untuk alkaloid. (Harborne, 1987 ).

Pereaksi deteksi yang paling umum dipakai untuk menyemprot kromatogram pereaksi ini beberapa nonalkaloid meskipun kepekaan terhadap alkaloid sekitar sepuluh kalinya, beberapa pereaksi lain untuk mendeteksi alkaloid adalah flouresamina dan 7,7,8,8-tetra sianokuinondimetana. Keuntungan nya adalah bahwa pereaksi ini bereaksi secara berlainan dengan jenis struktur yang berbeda. Alkaloid

yang mengandung gugus fenol dapat dideteksi dengan pereaksi khusus fenol. (Robinson, T . 1995)

Beberapa pereaksi pengendapan digunakan untuk memisahkan jenis alkaloid. Pereaksi ini sering didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismut, yodium. Pereaksi Mayer mengandung kalium yodida dan merkuri klorida. Pereaksi Dragendroff mengandung bismut nitrat dan merkuri klorida dalam asam nitrit berair. Pereaksi Bouchardat mirip dengan pereaksi Wagner dan mengandung kalium yodida dan yodium. Berbagai pereaksi tersebut menunjukkan perbedaan yang besar dalam hal sensitifitas terhadap gugus alkaloid yang berbeda. (Sastrohamidjojo, 1996)


(27)

Pada penelitian yang lebih mutakhir kromatografi gas cair dan kromatografi cair kinerja tinggi digunakan untuk alkaloid yang lebih atsiri. Kromatografi gas cair sering digabung dengan spektrofotometri massa untuk bermacam-macam penentuan kuantitatif dan identifikasi alkaloid. Cara spektrofotometri massa baru telah ditemukan,yang dapat mengidentifikasi langsung masing-masing komponen dalam campuran alkaloid sejenis. Cara ini cukup peka untuk mendeteksi cuplikan yang letaknya dibawah ukuran mikrogram. (Harborne, 1987 )

2.2.4. Isolasi alkaloida

Isolasi alkaloid berdasarkan metode harborne

Ekstraksi jaringan kering dengan asam asetat 10% dalam etanol, biarkan sekurang- kurangnya empat jam. Pekatkan ekstrak sampai seperempat volume asal dan endapkan alkaloid dengan meneteskan NH4OH pekat. Kumpulkan endapan dengan

pemusingan, cuci dengan NH4OH 1%. Larutkan sisa dalam beberapa tetes etanol atau

kloroform.

Kromatografi sebagian larutan pada kertas dapar asam sitrat dalam air. Kromatografi sebagian lain pada pelat silika gel G dalam metanol-NH4OH pekat

(200:3). Deteksi adanya alkaloid pada kertas dan pelat, mula- mula dengan flouresensi dibawah sinar uv, kemudian menggunakan penyemprot : pereaksi Dragendorff.

Membuat pereaksi Dragendorff

Untuk pereaksi dragendorff dibuat dengan dua larutan persediaan: (1) 0,6g bismutsubnitrat dalam 2 ml HCl pekat dan 10 ml air; (2) 6g kalium iodida dalam 10ml air. Larutan persediaan ini dicampur dengan 7 ml HCl pekat dan 15 ml air. Untuk mnyemprot kertas dengan pereaksi iodoplatinat, 10ml larutan platina klorida 5% dicampurkan dengan 240 ml kalium iodida 2% dan diencerkan dengan air sampai 500 ml. Untuk menyemprot pelat, campurkan 10 ml platina klorida 5%, 5 ml HCl pekat dan 240 ml kalium iodida 2%


(28)

Pada umumnya alkaloid diekstraksi dari tumbuhan/ sumbernya melalui proses sebagai berikut:

1. Tumbuhan (daun, bunga, buah, kulit dan/atau akar) dikeringkan, lalu dihaluskan

2. Alkaloid diekstraksikan dengan pelarut tertentu, misalnya dengan etanol, kemudian pelarutnya diuapkan.

3. Residu yang diperoleh diberi asam anorganik untuk menghasilkan garam ammonium kuartener; kemudian diekstraksikan kembali

4. Garam N+

5. Campuran alkaloid- alkaloid yang diperoleh akhirnya diisolasi melalui berbagai cara, misalnya dengan metode kromatografi.

yang diperoleh direaksikan dnegan Natrium Karbonat (sehingga menghasilkan alkaloid- alkaloid yang bebas) kemudian diekstraksi dengan pelarut tertentu seperti eter, kloroform atau pelarut lainnya.

Sebagaimana telah dikemukakan, alkaloid diperoleh dari tumbuh- tumbuhan namun, ada juga yang dibuat sintesis, misalnya efedrin dan papaverin.

(Tobing, L.Rangke, 1983)

2.2.5. Klasifikasi Alkaloida

Pada bagian yang memaparkan sejarah alkaloida, jelas kiranya bahwa alkaloida sebagai kelompok senyawa.Banyak usaha untuk mengklasifikasikan alkaloida. Sistem klasifikasi yang paling banyak diterima, menurut Hegnauer, alkaloida dikelompokkan sebagai (a) alkaloida sesesungguhnya, (b) protoalkaloida (c) pseudoalkaloida.

(a) Alkaloida Sesungguhnya.

Alkaloida sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam organik. Beberapa pengecualian terhadap aturan tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan alkaloida kuartener, yang bersifat agak asam.


(29)

(b) Protoalkaloida

Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloida diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian amin biologis sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh adalah meskalin, efedrin , dan N, N-dimetiltriptamin .

(c) Pseudoalkaloida

Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat basa.

Ada dua seri alkaloida yang penting dalam klas ini, yaitu alkaloida stereoidal ( konessin, purin dan kaffein ). ( Sastrohamijojo, 1996 ).

Dari beberapa alkaloida yang telah ditemukan, kita dapat melihat letak dari atom Nitrogen yang membuat alkaloida bersifat basa. Ada beberapa alkaloida yang mempunyai atom Nitrogen lebih dari satu, dan ada juga pengecualian yang diberikan pada beberapa senyawa alkaloida yang mempunyai fungsi yang khas, dan juga jika elemen penyusun alkaloida yang lainnya khas, seperti alkaloida steroidal, terpena, spermidina, spermina, alkaloida peptide. Berdasarkan hal diatas maka kita dapat membuat suatu klasifikasi dari alkaloida, yaitu :

1. Alkaloida Heterosiklik, dimana pada alkaloida jenis ini atom Nitrogen berada pada cincin hetrosikliknya. Contohnya: Alkaloida pirolidin, Alkaloida indole, Alkaloida Piperidine, alkaloida pyridine, alkaloida Tropane, Histiane, Imidazole dan juga alkaloida isokuinolin.

2. Alkaloida dengan atom Nitrogen eksosiklik (atom Nitrogen berada diluar cincin heterosiklis dan alkaloida Spermine). Contohnya: Casseine, Epehedrine, Capsaicine, Uvariosamine.

3. Alkaloida Putrescina, Alkaloida Spermidina dan Alkaloida Spermine, ketiga jenis alkaloida ini merupakan amina biogenetik, akan tetapi turunan-turunannya (kebanyakan mengandung residu asam lemak atau asam sinamat) merupakan suatu alkaloida. Contohnya Paucino yang merupakan turunan dari Pentaclethra sp, dan Inandenine yang merupakan turunan dari Oncinotis sp


(30)

4. Alkaloida peptide, merupakan suatu bagian grup peptide yang bersifat basa, yang telah dianggap merupakan suatu jenis alkaloida, misalnya ergot, integerrine, yang mengandung asam amino triptopan.

5. Alkaloida diterpen, dimana alkaloida monoterpen dan seskuiterpen telah dianggap sebagai alkaloida pirolidin, pipridine. Contoh alkaloida diterpen adalah Veatchine, Atisine, Aeonitine, Heteratisine.

6. Alkaloida Steroidal, merupakan jenis alkaloida dengan bentuk cincin seperti steroida dengan atom Nitrogen yang bergabung. Alkaloida steroidal dapat berada baik pada hewan ataupun tumbuh-tumbuhan. Samandarino merupakan alkaloida yang berasal dari hewan. Contoh alkaloida steroidaal yaitu : Paravallarine, Terminaline, Conessine, Solasodine ( Manfred Hesse, 1995) .

Senyawa alkaloid dapat diklasifikasikan dari segi sumber atau dari segi gugus fungsi yang dikandungnya. Klasifikasi berdasarkan gugus fungsi adalah sebagai berikut:

1. Alkaloid feniletilamin, misalnya efedrin, dimana struktur dasar alkaloid feniletilamin yaitu:

NH2

2. Alkaloid pirolidin, misalnya higrin dari koka. Struktur dasar alkaloid pirolidin yaitu:

N


(31)

3. Alkaloid piridin, misalnya asam nikotinat. Struktur dasar alkaloid piridin yaitu:

N

4. Alkaloid perpaduan pirolidin dan piridin, misalnya nikotin. Struktur dasar alkaloid pirolidin yaitu:

N

N

5. Alkaloid kuinolin, misalnya kinin. Struktur dasar alkaloid kuinolin yaitu:

N

6. Alkaloid isokuinolin, misalnya papaverin. Struktur dasar alkaloid isokuinolin yaitu:

N

7. Alkaloid fenantren, misalnya morfin. Struktur dasar alkaloid fenantren yaitu:


(32)

8. Alkaloida indole yang masih dapat digolong- golongkan menjadi: a. Alkaloida sederhana, misalnya triptamin

b. Alkaloida ergot, misalnya serotonin c. Alkaloida Harmala, misalnya ß-karbolin d. Alkaloida Yohimbe, misalnya reserpin

e. Alkaloida Strychnos, misalnya brusin dan striknin. (Tobing,L. Rangke, 1983).

2.3. Metode Pemisahan

Pemisahan adalah keadaan hipotesis dari suatu pemisahan sempurna, m dipisahkan dari unit makroskopik, dimana m merupakan komponen kimia penyusun dari campuran. Dengan kata lain, tujuan dari proses pemisahan adalah mengisolasi komponen kimia m dari bentuk aslinya, ke dalam tabung tempat hasil m dipisahkan, misalnya gelas vial atau botol polyethylene. (Miller, 1988). Berikut ini adalah metode yang sering digunakan dalam melakukan isolasi suatu senyawa dari jaringan tumbuhan:

2.3.1. Ekstraksi

Ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi dengan metode sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut berdasarkan kepolarannya, misalnya: n–heksana, eter, benzene, kloroform, etil asetat, etanol, metanol, dan air.

Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan ekstrak yang terakhir memberikan reaksi negatif terhadap pereaksi alkaloida. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotary evaporator. (Harborne,1987).


(33)

2.3.2. Kromatografi

Penjelasan terperinci tentang kromatografi pertama kali diberikan oleh Michael Tswett, seorang ahli botani Rusia yang bekerja di Warsawa. Pada tahun 1906, dia mengumumkan pemerian pemisahan klorofil dan pigmen lainnya dalam suatu seri tanaman. Larutan eter petroleum yang mengandung cuplikan diletakkan pada ujuna atas tabung gelas sempit yang telah diisi dengan serbuk kalsium karbonat. Ketika ke dalam kolom itu dituangi eter petroleum maka akan terlihat bahwa pigmen-pigmen itu terpisah dalam beberapa daerah. Setiap daerah bewarna itu diisolasi dan diidentifikasi senyawa penyusunnya. Adanya pita bewarna itu maka dia mengusulkan nama “kromatografi” yang berasal dari bahasa Yunani “kromatos” yang berarti warna dan “graphos” yang berarti menulis. ( Sudjadi, 1986 ).

Berbagai metode kromatografi memberikan cara pemisahan paling kuat di laboratorium kimia. Gagasan dasarnya sederhana untuk dipahami,mulai dari cara yang sederhana sampai yang agak rumit dari segi kerja dan peralatan, metode ini dapat dipakai untuk setiap jenis senyawa. Kata kromatografi mengandung makna warna namun tidak ada hubungannya langsung karena senyawa pertama yang dipisahkan dengan cara ini adalah pigmen hijau tumbuhan.

Metode kromatografi, karena pemanfaatannya yang leluasa, dipakai secara luas untuk pemisahan analitik dan preparatif. Hampir setiap campuran kimia, mulai dari bobot molekul rendah sampai tinggi, dapat dipisahkan menjadi komponen-komponennya dengan beberapa metode kromatgrafi. Jenis pemisahan analitik atau preparatif, tidak ditentukan oleh ukuran cuplikan, melainkan lebih oleh keperluan khusus. Biasanya kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk semua cuplikan, dan kromatografi preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi murni dari campuran.

Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat adalah:


(34)

2. Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorbsi, penjerapan)

3. Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian)

Pada kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam keadaan sedemikian rupa, sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga sifat tersebut. Ini mungkin melibatkan dua sifat yang berlainan, misalnya penjerapan dan kelarutan, atau mungkin melibatkan satu sifat pada dua lingkungan. Misalnya kelarutan didalam dua cairan yang tidak bercampur. (Gritter, 1991)

Ada beberapa cara dalam mengelompokkan teknik kromatografi. Kebanyakan berdasarkan pada macam fasa yang digunakan (fasa gerak-fasa diam), misalnya kromatografi gas dan kromatografi cairan. Cara pengelompokan lainnya berdasarkan mekanisme yang membuat distribusi fasa. Disini metoda kromatografi sebagian dikelompokkan berdasarkan macam fasa yang digunakan dan sebagian lain berdasarkan pada mekanisme pada distribusi fasa.

Kromatografi cairan-padat atau kromatografi serapan, ditemukan oleh Tswett dan dikenalkan kembali oleh Khun dan Lederer pada 1931, telah digunakan sangat luas untuk analisis organik dan biokima. Pada umumnya sebagai isi kolom adalah silika gel atau alumina, yang mempunyai angka banding luas permukaan terhadap volume sangat besar. Sayangnya hanya ada beberapa bahan penyerap, maka pemilihannya sangat terbatas. Keterbatasan yang lebih nyata pada kenyataan bahwa koefisien distribusi untuk serapan kerap kali tergantung pada kadar total. Hal ini akan menyebabkan pemisahan tidak sempurna.

Kromatografi cairan-cairan atau kromatografi partisi, dikenalkan oleh Martin dan Synge pada 1941, dan kemudian mendapatkan hadiah Nobel untuk itu. Fasa diam terdiri atas lapisan tipis cairan yang melapisi permukaan dari padatan inert yang berpori-pori. Ada banyak macam kombinasi cairan yang dapat digunakan


(35)

sehingga metode ini sangat berguna. Lebih lanjut, koefisien distribusi sistem ini lebih tidak tergantung pada kadar, memberikan pemishan yang lebih tajam.

Kromatografi gas-padat, digunakan sebelum tahun 1800 untuk memurnikan gas. Pada waktu dulu teknik ini tidak berkembang karena keterbatasannya yang sama seperti halnya kromatografi cairan-padat, tetapi penelitian lebih lanjut dengan macam fasa padat baru memperluas penggunaan teknik ini.

Kromatografi gas-cairan merupakan metoda pemisahan yang sangat efisien dan serba guna. Teknik ini telah menyebabkan revolusi dalam kimia Organik sejak dikenalkan pertama kali oleh James dan martin pada 1052. Hambatan yang paling utama adalah bahan cuplikan harus mempunyai tekanan uap paling tidak beberapa torr pada suhu kolom. Sistem ini sangat baik sehingga dapat dikatakan sebagai metoda pilihan dalam kromatografi karena dapat memisahkan dengan cepat dan peka ( Sudjadi, 1986 ).

Berikut ini merupakan jenis kromatografi yang sering digunakan untuk memisahkan senyawa bahan alam, yaitu :

2.3.2.1. Kromatografi Lapisan Tipis

Cara pemisahan dengan adsorbsi pada lapisan tipis adsorben yang sekarang dikenal dengan kromatografi lapis tipis (thin layer chromatography atau TLC) sebenarnya telah dipakai sejak tahun 1938 oleh Ismailov dan Shraiber. Sampai tahun 1956,cara ini masih belum dianggap mantap. Meskipun demikian pada tahun 1991 penggunaannya telah meluas dan diakui merupakan cara pemisahan yang baik, khususnya untuk kegunaan analisis kualitatif. Kini TLC dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion-ion anorganik,kompleks senyawa organik dan anorganik, dan senyawa-senyawa organic alam maupun sintetik.

Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan kromatografi kertas adalah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih


(36)

sempurna,kepekaan yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat. Banyak pemisahan yang memakan waktu berjam-jam bila dikerjakan dengan kromatografi kertas tetapi dapat dilaksanakan hanya beberapa menit saja bila dikerjakan dengan kromatografi lapis tipis.

Teknik standart dalam melaksanakan pemisahan dengan TLC adalah sebagai berikut. Pertama kali lapisan tipis adsorben dibuat pada permukaan plat kaca atau plat lain,misalnya berukuran 5 x 20 cm atau 20 x 20 cm. Tebal lapisan tersebut dapat

bervariasi tergantung penggunaannya. Sering digunakan ketebalan 250 μ. Larutan

campuran senyawa yang akan dipisahkan diteteskan pada kira-kira 1,5 cm dari bagian bawah plat tersebut dengan menggunakan pipet mikro atau syringe.

Zat pelarut yang terdapat pada sampel yang diteteskan tersebut kemudian diuapkan terlebih dahulu. Selanjutnya plat kromatografi tersebut dikembangkan dengan mencelupkannya pada tangki yang berisi campuran zat pelarut. Tinggi permukaan zat pelarut harus lebih rendah dari letak tetesan sampel pada plat kromatografi. Dengan pengembangan tersebut masing-masing komponen senyawa dalam sampel akan bergerak keatas dengan kecepatan yang berbeda. Perbedaan kecepatan gerakan ini merupakan akibat dari terjadinya pengaruh proses dengan TLC,mulai pemilahan adsorben sampai identifikasi masing-masing komponen yang telah terpisah. (Adnan,1997)

Zat-zat bewarna dapat terlihat langsung, tetapi dapat juga digunakan reagen penyemprot untuk melihat bercak suatu noda. Untuk menempatkan posisi suatu zat, reagen dapat juga disemprotkan pada bagian tepi saja. Bagian yang lain dapat diperoleh kembali tanpa pengotoran dari reagen dengan pengerokan setelah pemisahan selesai. Aplikasi KLT sangatlah luas. Senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap serta terlalu labil untuk kromatografi cair dapat dianalisis dengan KLT ( Khopkar, 1990 ).


(37)

2.3.2.2. Kromatografi Kolom

Ada empat jenis kromatografi yang dapat dimasukkan dalam kromatografi kolom, yaitu kromatografi adsorbsi, kromatografi pertukaran ion, kromatografi partisi, dan kromatografi filtrasi gel. Secara umum dapat digambarkan,bahwa kromatografi tersebut dilaksanakan dalam suatu kolom yang diisi dengan fase stasioner yang porous. Cairan dipakai sebagai fase mobil untuk mengelusi komponen sampel keluar melalui kolom.

Dalam kromatografi adsorbsi,komponen yang dipisahkan secara selektif teradsorbsi pada permukaan adsorben yang dipakai untuk bahan isian kolom. Dalam kromatografi partisi komponen yang dipisahkan secara selektif mengalami partisi antara lapisan cairan tipis pada penyangga padat yang bertindak sebagai fase stasioner dan eluen yang bertindak sebagai fase gerak. Kromatografi pertukaran ion memisahkan komponen yang berbentuk ion. Komponen-komponen ion tersebut yang terikat pada penukar ion sebagai fase stasioner secara selektif akan terlepas atau terelusi oleh fase gerak. Dalam kromatografi filtrasi gel,kolom diisi dengan gel yang permiabel sebagai fase stasioner. Pemisahan berlangsung seperti proses pengayakan, yang didasarkan atas ukuran molekul dari komponen yang dipisahkan. (Adnan,1997)

Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam, atau bahkan tabung plastik. Pelarut atau fasa gerak dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah, dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom.

Ada empat perubahan utama yang dilakukan pada cara kolom klasik. Pertama dipakai penyerap yang lebih halus dengan kisaran ukuran mesh lebih sempit, agar tercipta kesetimbangan yang lebih baik di dalam sistem. Kedua sistem tekanan biasanya pompa mekanis, dipakai untuk mendorong pelarut melalui penyerap yang halus. Ini perlu karena ukuran partikel kecil, tetapi pompa itu juga menyebabkan


(38)

kromatografi lebih cepat, jadi memperkecil difusi. Ketiga detector telah dikembangkan sehingga diperoleh analisis senyawa yang bersinambungan ketika senyawa itu keluar dari kolom. Data analisi ini dapat dipakai untuk membagi- bagi fraksi ketika keluar, dan jika diperlakukan dengan tepat, dapat memberikan data kuantitatif mengenai banyaknya senyawa yang ada. Akhirnya penyerap baru dan cara pengemasan kolom baru dikembangkan sehingga memungkinkan derajat daya pisah yang tinggi tercapai. ( Gritter, 1991 )

2.3.2.3. Kromatografi Kertas

Satu keuntungan utama kromatografi kertas ialah kemudahan dan kesederhanaannya pada pelaksanaan pemisahan, yaitu hanya pada lembaran kertas saring yang berlaku sebagai medium pemisahan dan juga penyangga. Keuntungan lain ialah keterulangan bilangan Rf yang besar pada kertas sehingga penggukuran Rf merupakan parameter yang berharga dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru.

Kromatografi pada kertas biasanya melibatkan kromatografi pembagian atau penjerapan. Pada kromatografi pembagian, senyawa terbagi dalam pelarut alkohol yang sebagian besar tidak bercampur dengan air (misalnya n-butanol) dan dalam air. Sebaliknya gaya jerap merupakan salah satu ciri utama kromatogarafi kertas dalam pengembang air. Air murni ialah pengembang kromatografi yang sungguh-sungguh serba guna dan dapat digunakan untuk memisahkan purina dan pirimidina biasa, dan secara umum dapat dipakai juga untuk senyawa fenol dan glikosida tumbuhan. (Harbone,1987).

2.4. Teknik Spektroskopi

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi cahaya dengan atom dan molekul. Radiasi cahaya atau elektromagnet dapat menyerupai gelombang. Beberapa sifat fisika cahaya paling baik diterangkan dengan ciri gelombangnya, sedangkan sifat lain diterangkan dengan sifat partikel. (Creswell,1982)


(39)

Pada zaman awal kimia oraganik, penetapan struktur senyawa baru sering merupakan tugas yanag berat. Tetapi sejak tahun 1940-an,munculnya bermacam-macam jenis spektroskopi sangat membantu menyederhanakan masalah ini. Metode spektroskopi mempunyai banyak keuntungan. Biasanya hanya diperlukan sejumlah kecil untuk analisis. Dan kadang-kadang jumlah itupun dapat diperoleh kembali (tidak musnah atau rusak). Pengerjaannya cepat,biasanya hanya diperlukan beberapa menit saja. Sering sekali diperoleh informasi struktur yang lebih banyak dari spektra dibandingkan dengan metode laboratorium biasa. (Hart,Harold.1983)

Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe-tipe dari adanya gugus fungsi dalam satu molekul, Resonansi Magnet Inti yang memberikan informasi tentang bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Ini juga memberikan informasi yang menyatakan tentang alam serta lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Kombinasinya dan data yang ada kadang-kadang menentukan struktur yang lengkap dari molekul yang tidak diketahui ( Pavia, 1979 ).

2.4.1. Spektrofotometri Inframerah ( FT-IR )

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapannya kurang dari 100 cm -1 (panjang gelombang lebih daripada 100 µm) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi putaran energi molekul.

Penyerapan ini tercantum, namun spektrum getaran terlihat bukan sebagai garis – garis melainkan berupa pita – pita. Hal ini disebabkan perubahan energi getaran tunggal selalu disertai sejumlah perubahan energi putaran( Silverstein, 1984 ).

Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan yaitu vibrasi regang (stretching) dan vibrasi lentur (bending vibrations).


(40)

1. Vibrasi Regang

Terjadi perubahan jarak antara dua atom dalam suatu molekul secara terus-menerus. Vibrasi regang ada dua macam, yakni vibrasi regang simetris dan tak simetris.

2. Vibrasi Lentur

Terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada dua macam vibrasi lentur yaitu vibrasi lentur dalam bidang (scissoring dan rocking) dan vibrasi luar bidang (waging dan twisting) ( Noerdin, 1985 ).

Vibrasi spektrum Infra merah dari amina primer dan sekunder yang sangat khas dapat dihubungkan dengan adanya ikatan N-H. Keduanya dalam bentuk alkil dan aril amina primer dapat ditunjukkan dengan adanya dua buah vibrasi N-H yang merupakan sebuah ikatan stretching yang asimetrik ditunjukkan pada panjang gelombang 3490 cm-1 dan juga sebuah ikatan stretching simetrik pada panjang gelombang mendekati 3400 cm-1 . Serapan pada bagian ini dapat terjadi karena adanya ikatan hidrogen,akan tetapi pengaruh dari ikatan hidrogen ini pada N-H tidak sama dengan pengaruh ikatan hydrogen 0-H pada vibrasi molekulnya. Dimana ketika ikatan hidrogen intra molekul terjadi,maka akan membentuk sebuah kompleks yang menyebabkan serapan panjang gelombang pada 3300-3000 cm-1 ( Silverstain, 1986 ).

Amina sekunder memberikan satu vibrasi molekul N-H pada panjang gelombang 3450-3300 cm-1 . Sebuah frekuensi serapan yang tinggi biasanya menunjukkan sebuah aril dan alkil sekunder,ketika sebuah serapan terjadi pada panjang gelombang 3350-3300 cm-1 menunjukkan sebuah alkil amina sekunder,akan tetapi Amina tersier tidak menunjukkan adanya vibrasi molekul N-H.

Vibrasi C-N dari amina akan terjadi dengan vibrasi molekul sama dengan yang dimiliki oleh ikatan C-C dan C-0 ( biasanya mendekati panjang gelombang 1350-1200 cm-1 ) dan data ini tidak cocok dalam penentuan strukturnya. N-metil amina hadir dengan vibrasi molekul mendekati 2750 ±50 cm-1 .(Ternau,J.R.1979)


(41)

Hanya getaran yang menghasilkan perubahan momen dwikutub secara berirama saja yang teramati di dalam infra-merah. Medan listrik yang berganti-ganti, yang dihasilkan oleh perubahan penyebaran muatan yang menyertai getaran menjodohkan getaran molekul dengan medan listrik pancaran elektromagnet yang berayun ( Silverstain, 1986 ).

2.4.2. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton ( 1H-NMR )

Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) merupakan alat yang berguna pada penentuan struktur molekul organik. Teknik ini memberikan informasi mengenai berbagai jenis atom hidrogen dalam molekul. Struktur NMR memberikan informasi mengenai lingkungan kimia atom hidrogen, jumlah atom hidrogen dalam setiap lingkungan dan struktur gugusan yang berdekatan dengan setiap atom hidrogen ( Cresswell, 1982 ).

Pergeseran kimia adalah pengukuran medan dalam keadaan bebas. Semua proton-proton dalam satu molekul yang ada dalam lingkungan kimia yang serupa kadang-kadang menunjukkan pergeseran kimia yang sama. Setiap senyawa memberikan penaikan menjadi puncak absorpsi tunggal dalam spektrum NMR ( Bernasconi, 1995 ).

Spektrum NMR dari amina sangat beragam, sama seperti NMR yang ditunjukkan pada alkohol. Serapan N-H dari sebuah amina alifatik berada pada δ 0,5

sampai 3 ppm, sedangkan serapan amina aromatik berada pada δ 3,0 sampai 5,0 ppm.

Sebagai hasil dari adanya ikatan hidrogen pada amina sekunder ataupun amina primer maka pergeseran kimia dari proton N-H bervariasi, dimana pergeseran kimia ini tergantung pada pelarut, konsentrasi dan temperaturnya. Hal ini hampir serupa dengan alkohol. Sama juga dengan alkohol, amina juga mungkin dapat dibedakan proton dari N-H dengan menggunakan deuterium yaitu D2O. Serapan proton dari N-H juga dapat

dengan mudah diketahui dengan mencocokkan dengan pertukaran isotopnya dengan kontaminan yang mendekati peak dari HOD dengan pertukarannya menggunakan air ( Alan, 1981 ).


(42)

Beberapa keuntungan dari pemakaian standar internal TMS yaitu :

1. TMS mempunyai 12 proton yang setara sehingga akan memberikan spektrum puncak tunggal yang kuat.

CH H

3

3C Si CH

CH

3

2. TMS merupakan cairan yang mudah menguap, dapat ditambahkan ke dalam larutan sampel dalam pelarut CDCl

3

3 atau CCl4

Boleh dikatakan semua senyawa organik memberikan resonansi bawah medan terhadap TMS. Hal ini disebabkan Si lebih bersifat elektro positif dibandingkan atom C.

.

TMS sendiri dari segi kimia bersifat lembam, tidak bercampur dengan H2O ataupun

air berat ( Muldja, 1955 ).


(43)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Alat-alat

1. Neraca analitis Mettler PM 480 1. Kertas saring

2. Rotary evaporator Buchi 3. Chamber

4. Plat lapis tipis E. Merck. Art 554 5. Gelas Beaker Pyrex 6. Pipet tetes

7. Corong pisah Pyrex

8. Corong

9. Gelas Erlenmeyer Pyrex 10.Plat skrining test

11.Kolom kromatografi

12.Tabung reaksi Pyrex

13.Spektrofotometer IR Jasco FT-IR-5300 14.Spektrometer 1

15.Indikator universal

H-NMR Hitachi FT-NMR-1900

16.Penangas air 17.Batang pengaduk


(44)

3.2. Bahan

1. Biji Tumbuhan Mahoni (Swietenia mahagoni Jack.) 2. Dietil eter P.a. E. merck

3. Aquadest

4. Kloroform P.a. E. merck

5. N-heksan P.a. E. merck

6. Kieselgel 60 F 254 E. Merck. Art 554 7. silika gel 60 G E. Merck. Art. 7734 8. Na2CO3

9. HCl

pellet

10.Pereaksi Meyer 2M

11.Pereaksi Drangendorff 12.Pereaksi Wagner

13.Pereaksi Lieberman bouchard

14.Kloroform P.a. E. merck

15.Metanol P.a. E. merck

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Penyediaan Sampel

Sampel yang diteliti adalah 1700g biji Tumbuhan Mahoni (Swietenia mahogani Jacq.) yang diperoleh dari areal pepohonan Universitas Sumatera Utara dikeringkan kemudian dihaluskan.

3.3.2. Uji Skrining Fitokimia

Dilakukan uji pendahuluan terhadap biji tumbuhan mahoni (Swietenia mahogani Jacq.) untuk membuktikan adanya senyawa alkaloid yang terdapat di dalamnya. Uji pendahuluan secara kualitatif dengan reaksi warna.


(45)

1. Serbuk kering biji tumbuhan mahoni ditimbang sebanyak 20 gram, dimaserasi dengan metanol sebanyak 100 ml dan ditambah HCl 2M sampai pH=2 didiamkan selama 2 jam lalu disaring dan filtratnya dibasakan dengan Na2CO3 5% sampai pH 8-9, didiamkan selama 2 jam lalu diekstraksi dengan

dietil eter. Ekstrak dietil eter yang diperoleh dibagi dalam 4 tabung reaksi.

2. Kemudian keempat tabung reaksi tersebut ditambahkan masing-masing pereaksi:

Tabung I :dengan pereaksi Meyer menghasilkan endapan berwarna putih kekuningan.

Tabung II :dengan pereaksi Wagner menghasilkan endapan berwarna

coklat

Tabung III :dengan pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan berwarna coklat.

Tabung IV :dengan pereaksi Drangendorf menghasilkan endapan berwarna jingga

3.3.3. Pengadaan Ekstrak Dietil Eter Biji Tumbuhan Mahoni

Serbuk biji tumbuhan Mahoni yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 1700 g kemudian dimaserasi dengan metanol sebanyak 3 liter selama ± 48 jam, kemudian disaring dan dipekatkan dengan menggunakan alat rotarievaporator sehingga terbentuk ekstrak pekat metanol. Ekstrak pekat metanol tersebut dipartisi berulang dengan menggunakan n-heksana sebanyak 3 kali. Lapisan metanol diambil kemudian diasamkan dengan menggunakan HCl 2 M hingga mencapai pH=2. Kemudian didiamkan selama 1 malam lalu dibasakan dengan menggunakan Na2CO3 5% sampai

pH 8-9 lalu didiamkan kembali selama 1 malam, kemudian diekstraksi partisi dengan menggunakan dietil eter 3x masing- masing sebanyak 25ml, lapisan dietil eter ditampung lalu dipekatkan sehingga diperoleh ekstrak pekat dietil eter, yaitu total alkaloid.


(46)

3.3.4. Analisis Kromatografi Lapis Tipis

Analisis dimaksudkan untuk mencari pelarut yang sesuai di dalam analisis kromatografi kolom. Pelarut yang digunakan adalah kloroform 100% dan variasi pelarut kloroform : metanol (90 : 10 ; 80 : 20 ; 70 : 30 ; 60 : 40 ; 50 : 50; 40 : 60; 30 : 70; 20 :80; 10 : 90) v/v. Sehingga akan diperoleh perbandingan pelarut kloroform : metanol yang sesuai untuk kromatografi kolom.

Pelarut yang sesuai didasarkan pada jumlah bercak atau noda yang paling banyak diperoleh dalam kromatografi lapis tipis.

Prosedur :

Ke dalam bejana kromatografi lapis tipis dimasukkan 10 ml larutan fasa gerak kloroform 100 %. Ekstrak encer dietil eter ditotolkan pada palat KLT yang diaktifkan. Plat dimasukkan ke dalam bejana yang berisi pelarut yang dijenuhkan , kemudian ditutup. Setelah dielusi, plat dikeluarkan dari bejana, dikeringkan. Noda yang terbentuk diamati dengan sinar ultraviolet. Kemudian harga Rf dihitung dan dicatat.

Perlakuan yang sama dilakukan untuk campuran pelarut antara kloroform : metanol. Sehingga dari hasil KLT akan diperoleh pelarut kloroform 100% dan pelarut kloroform : metanol dengan variasi pelarut (90 : 10 ; 80 : 20 ; 70 : 30 ; 60 : 40; 50 : 50; 40 : 60; 30 : 70; 20 : 80; 10 :80) v/v, yang memberi pemisahan bercak/noda yang baik adalah kloroform : methanol (70 : 30) v/v yang memberikan noda dengan harga Rf yaitu 0,70; 0,74; 0,77 dan 0,82. (Lampiran B)


(47)

3.3.5. Isolasi Senyawa alkaloida dengan Kromatografi Kolom

Terhadap total alkaloid yang diperoleh dilakukan isolasi senyawa alkaloida dengan menggunakan kromatografi kolom. Sebagai fasa diam yaitu silika gel 60 G netral type E( E. Merck. Art. 7734) dan fasa garak kloroform : metanol (70:30 v/v).

Prosedur :

Peralatan untuk kromatografi kolom dirangkai, kemudian silika gel 60 G netral type E (E. Merck. Art. 7734) sebanyak 60 gram dibuburkan dengan kloroform, diaduk sampai homogen dan dimasukkan ke dalam kolom kromatografi. Lalu dielusi dengan kloroform 100% selama ±5 jam, kemudiankan didiamkan selama ±24 jam hingga bubur silika gel padat dan homogen. Total alkaloid sebanyak 10 g yang telah dibuburkan dengan silika gel dimasukkan ke dalam kolom kromatografi yang telah diaktifkan. Sampel dibiarkan turun dan terserap dengan baik pada silika gel 60 G netral type E (E. Merck. Art. 7734). Kemudian fasa gerak kloroform : metanol (70:30v/v) ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam kolom, diatur sehingga aliran fraksi keluar dari kolom kromatografi bergerak secara kontinu dan ditampung tiap fraksi dalam botolfial masing- masing sebanyak 5 ml. Tiap- tiap fraksi diKLT lalu digabung fraksi dengan Rf yang sama, pelarutnya diuapkan hingga diperoleh kristal.

3.3.6. Analisis Kristal Hasil Isolasi

3.3.6.1. Uji Kemurnian Hasil Isolasi dengan Kromatografi Lapis Tipis

Uji kemurnian kristal dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis yang menggunakan fasa diam Kieselgel 60 F 254

Prosedur :

(E. Merck. Art 554) dan fasa gerak kloroform : metanol (80 : 20; 70 : 30;60 : 40) v/v.

Kristal yang diperoleh dilarutkan dengan kloroform, lalu ditotolkan pada plat KLT. 1. Larutan fase gerak kloroform : metanol (80 : 20 v/v) dimasukkan dalam bejana


(48)

dimasukkan ke dalam bejana kromatografi dan dibiarkan hingga pelarut naik sampai batas atas yang telah ditentukan.

2. Plat dikeluarkan dari bejana kromatografi selanjurnya dikeringkan dan noda yang terlihat di bawah lampu UV berwarna coklat dan kemudian difiksasi dengan pereaksi drangendorff menghasilkan noda berwarna jingga yang menunjukkan bahwa senyawa alkaloida positif.

Perlakuan yang sama dilakukan untuk campuran pelarut kloroform : metanol 70 :30 dan 60 : 40. Dimana dihasilkan satu noda (Lampiran C)

3.3.6.2 Uji Reaksi Warna terhadap Kristal Hasil Isolasi dengan Pereaksi Alkaloida

Larutan kristal dibagi empat :

1. Larutan pertama ditetesi dengan pereaksi Mayer memberikan endapan berwarna putih kekuningan.

2. Larutan kedua ditetesi dengan pereaksi Wagner memberikan endapan berwarna coklat.

3. Larutan ketiga ditetesi dengan pereaksi Bouchardat memberikan endapan berwarna coklat.

4. Larutan keempat ditetesi dengan pereaksi Drangendorff memberikan endapan berwarna jingga.

3.3.6.3. Penentuan Titik Lebur

Kristal hasil isolasi yang telah murni dimasukkan ke dalam peralatan melting point apparatus, diatur temperatur. Lalu diamati temperatur sampai kristal melebur.

3.3.7. Analisis Spektoskopi kristal hasil isolasi


(49)

Analisis dengan alat Spektrofotometer FT-IR diperoleh dari Laboratorium Dasar Bersama FMIPA UNAIR. (Lampiran D)

3.3.7.2. Uji Kristal Hasil Isolasi dengan Spektrofotometer Resonansi Magnetik

Inti Proton 1H-NMR

Analisis alat Spektrofotometer 1H-NMR diperoleh dari Laboratorium Kimia Dasar FMIPA UNAIR Surabaya dengan menggunakan CDCl3 sebagai pelarut.


(50)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Hasil isolasi senyawa alkaloida dari biji tumbuhan mahoni ( Swietenia mahogani Jacq. ) dengan cara maserasi dengan metanol, dipekatkan lalu dipartisi berulang- ulang dengan n-heksana. Kemudian ekstrak metanol hasil partisi diasamkan dengan HCl 2M, didiamkan satu malam lalu diendapkan dengan Na2CO3 5%. Kemudian

didiamkan selama satu malam lalu dipartisi berulang- ulang dengan dietil eter, lalu dipekatkan. Ekstrak pekat dietil eter yang merupakan alkaloid total kemudian dipisahkan dengan kromatografi kolom menggunakan fasa diam silika gel 60 G netral type E (E. Merck. Art. 7734) dengan fasa gerak kloroform : metanol (70 : 30 v/v), diperoleh kristal kuning pucat berbentuk amorf pada fraksi10-15 dengan Rf=0,74 sebanyak 1,876 g dengan titik lebur 92-94oC dan pada fraksi 18-20 dengan Rf= 0,70 sebanyak 0,70 g dengan titik lebur 83-85 oC.

4.2. Pembahasan

Hasil analisis Spektrofotometer infra merah (FT-IR) 1H-NMR kristal hasil isolasi sebagai berikut:

A. Untuk kristal pada fraksi 16-17

Hasil analisis Spektrofotometer infra merah (FT-IR) kristal hasil isolasi memberikan pita-pita serapan pada daerah bilangan gelombang (cm-1

1. Pada bilangan gelombang 3508,83 cm

) sebagai berikut:

-1

2. Pada bilangan gelombang 2926,28 cm

(puncak sedang)

-1


(51)

3. Pada bilangan gelombang 2361,08 cm-1 4. Pada bilangan gelombang 1734,16 cm

(puncak kuat)

-1

5. Pada bilangan gelombang 1541,26; 1506,54; 1458,32; 1377,37 cm (puncak kuat)

-1

6. Pada bilangan gelombang 1228.87 cm

(puncak sedang)

-1

7. Pada bilangan gelombang 1130,39 cm

(puncak kuat)

-1

dan 1026,22 cm-1 8. Pada bilangan gelombang 875,76 cm

(puncak sedang)

-1

(puncak sedang) (lampiran D)

Hasil analisis Spektrofotometer resonansi nagnetik int proton (1

1. Pergeseran kimia pada daerah 0,813 – 1,960 ppm terdapat puncak multiplet H-NMR) memberikan pergeseran kimia pada daerah (ppm) sebagai berikut :

2. Pergeseran kimia pada daerah 2,041–2,414 ppm terdapat puncak multipet 3. Pergeseran kimia pada daerah 2,770 ; 3,117 ; 3,249 ppm terdapat puncak

singlet

4. Pergeseran kimia pada daerah 3,420 – 3,566 ppm terdapat puncak dublet 5. Pergeseran kimia pada daerah 3,664 – 3,754 ppm terdapat puncak triplet 6. Prgeseran kimia pada daerah 4,464-4,581; 4,825-4,933 ppm terdapat puncak

dublet

7. Pergeseran kimia pada daerah 5,119 – 5,387 ppm terdapat puncak multiplet 8. Pergeseran kimia pada daerah 5,475 dan 7,269 ppm terdapat puncak singlet 9. Pergeseran kimia pada daerah 6,397 – 6,456 ppm terdapat puncak dublet (Lampiran F )

Hasil interpretasi spektrum infra merah dan Spektrum 1

1. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 0,813 – 1,960 ppm terdapat puncak

multiplet yang menunjukkan adanya proton proton pada gugus CH ( -CH

H-NMR kristal pada fraksi 16-17 adalah sebagai berikut :

3, CH2, CH) dan dimungkinkan mempunyai proton pada atom

tetangganya. Hal ini didukung oleh bilangan gelombang 2926,28 – 2852,98 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regang gugus –CH pada CH3,CH2

2. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 2,041-2,414 ppm dan pada pergeseran

kimia (δ) 3,664-3,754 ppm terdapat puncak triplet yang menunjukkan


(52)

adanya proton- proton pada gugus metilen (CH2,

3. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 2,770 ; 3,117 ; 3,249 ppm terdapat

puncak singlet yang menunjukkan adanya proton- proton gugus H CH) yang terdapat pada senyawa pirolidin. (Creaswell, 1982)

3C-N.

Yang tidak mempunyai proton atom tetangganya. Hal ini didukung oleh bilangan gelombang 1458,32 cm-1

4. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 7,454-7,405 ppm terdapat puncak triplet

yang menunjukkan adanya proton atom H pada gugus NH pada senyawa piroidin (Creasswell, 1982) yang dimungkinkan adanya proton atom tetangga. Hal ini didukung oleh bilangan gelombang yang terdapat di daerah 3476,04 cm

yang menunjukkan adanya vibrasi regang dari C-N.(Bieman, 1983, hal:I105)

-1

5. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 7,545 – 7,691 ppm terdapat puncak

dublet yang menunjukkan proton- proton atom pada gugus aromatis. Hal ini didukung oleh vibrasi gugus fungsi pada bilangan gelombang 1541,26 ; 1506,54 ; 1458,32 ; 1375,37 cm

yang merupakan vibrasi dari gugus NH-

-1

yang merupakan vibrasi ulur dari gugus metilen pada senyawa aromatis.

B. Untuk kristal pada fraksi 18-20

Hasil analisis Spektrofotometer infra merah (FT-IR) kristal hasil isolasi memberikan pita-pita serapan pada daerah bilangan gelombang (cm-1

1. Pada bilangan gelombang 3503,04 cm

) sebagai berikut:

-1

2. Pada bilangan gelombang 2926,28 cm

(puncak sedang)

-1

3. Pada bilangan gelombang 2854,90 cm

(puncak kuat)

-1

4. Pada bilangan gelombang 2361,08 cm

(puncak kuat)

-1

5. Pada bilangan gelombang 1732,23 cm

(puncak sedang)

-1

6. Pada bilangan gelombang 1541,26 cm

(puncak kuat)

-1

, 1506,54 cm-1, 1458,32 cm-1, 1381,16 cm-1

7. Pada bilangan gelombang 1228,77 cm (puncak sedang)

-1

8. Pada bilangan gelombang 1128,46 cm

(puncak kuat)

-1


(53)

9. Pada bilangan gelombang 1026,22 cm-1 10.Pada bilangan gelombang 875,76 cm

(puncak sedang)

-1

(lampiran E)

(puncak sedang)

Hasil analisis Spektrofotometer resonansi nagnetik inti proton (1

1. Pergeseran kimia pada daerah 0,813 –1,518 ppm terdapat puncak multiplet H-NMR) memberikan pergeseran kimia pada daerah (ppm) sebagai berikut :

2. Pergeseran kimia pada daerah 2,226 – 2,419 ppm terdapat puncak triplet 3. Pergeseran kimia pada daerah 2,770- 2,800 ppm terdapat puncak dublet 4. Pergeseran kimia pada daerah 3,664 - 3,754 ppm terdapat puncak triplet 5. Pergeseran kimia pada daerah 4,142 ppm terdapat puncak singlet

6. Pergeseran kimia pada daerah 6,392 – 6,456 ppm terdapat puncak dublet 7. Pergeseran kimia pada daerah 7,405 – 7,542 ppm terdapat puncak triplet (Lampiran H )

Hasil interpretasi spektrum infra merah dan Spektrum 1

1. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 0,818 – 1,562 ppm terdapat puncak multiplet yang menunjukkan adanya proton- proton CH pada gugus metilen ( -CH

H-NMR kristal pada fraksi 8-9 adalah sebagai berikut :

3-

CH2-CH3- ). Yang mempunyai proton pada atom C tetangganya. Hal ini

didukung oleh bilangan gelombang 2926,28 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regang gugus CH pada CH3,CH2

2. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 2,770-2,800 ; 3,122-3,173 ppm terdapat

puncak dublet yang menunjukkan adanya proton pada gugus CH yang terikat pada -C-N. Hal ini didukung oleh bilangan gelombang 1228,77 cm

,CH

-1

3. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 3,800-3,756 ; 3,920-3,952 ppm terdapat

puncak dublet yang menunjukkan adanya proton- proton CH pada gugus –C-O-C- dimana dimungkinkan mempunyai proton atom tetangga. Hal ini didukung oleh vibrasi regang pada bilangan gelombang 1028,15 cm

yang merupakan vibrasi regang dari gugus C-N.(Bieman, 1983, hal:I105)

-1

yang merupakan gugus -C-O-C-


(54)

4. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 5,294 - 5,560 ppm terdapat puncak dublet yang menunjukkan adanya proton- proton CH pada (C=C)- dan dimungkinkan mengandung proton atom tetangga. Hal ini didukung oleh bilangan gelombang 1649,29 cm-1

5. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 6,397 – 6,456 ppm terdapat puncak dublet

yang menunjukkan adanya proton atom H pada gugus NH pada senyawa pirolidin. (Creasswell, 1982) yang menunjukkan adanya proton atom tetangga. Hal ini didukung oleh bilangan gelombang yang terdapat di daerah 3468,32 cm

yang merupakan vibrasi regang dari gugus -C=C-

-1

yang merupakan vibrasi dari gugus NH-

6. Pergeseran kimia pada daerah (δ) 7,405 – 7,691 ppm terdapat puncak dublet yang menunjukkan proton- proton atom pada gugus aromatis. Hal ini didukung oleh vibrasi gugus fungsi pada bilangan gelombang 1651,22 – 1375,37 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur dari gugus metilen pada senyawa aromatis.


(55)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan

1. Hasil isolasi yang diperoleh dari 1700 g biji tumbuhan mahoni (Swietenia mahogani Jacq) diperoleh banyak noda pada KLT fraksi hasil isolasi. Dari fraksi tersebut diambil 2 noda yaitu pada fraksi 10-15 dan fraksi 18-20, yang merupakan kristal berwarna kuning pucat dengan fraksi 10-15 dengan Rf = 0,74 titik lebur 92-94oC sebanyak 1,876 g dan pada fraksi 18-20 dengan Rf = 0,70, titik lebur 83-85 oC sebanyak 0,731g.

2. Berdasarkan hasil uji skrining fitokimia dan KLT dengan penampakan noda menggunakan pereaksi drangendorf dan wagner maka disimpulkan kristal hasil isolasi merupakan senyawa alkaloida.

3. Dari interpretasi spektrum FT-IR dan resonansi magnetik inti proton (1 H-NMR), dan berdasarkan literatur bahwa kristal hasil isolasi merupakan alkaloida golongan pirolidin. Dimana adanya vibrasi molekul NH, vibrasi molekul CH (CH2 atau CH) dari senyawa pirolidin dan adanya vibrasi

molekul C-N pada data FT-IR, yang didukung oleh pergeseran kimianya pada data 1H-NMR.

5.2.Saran

1. Perlu dilakukan penelitian terhadap kulit buah mahoni (Swietenia mahaogani Jacq.) apakah juga mengandung senyawa alkaloida.

2. Perlu dilakukan analisis dengan Spektroskopi yang lain seperti Spektroskopi NMR 2 dimensi (COSY-NMR), MS, dan analisis elementer agar diperoleh data-data yang lebih mendukung untuk mendukung kebenaran struktur senyawa alkaloida hasil isolasi.


(56)

Lampiran A. Gambar Tumbuhan Mahoni (Swietenia mahogani Jacq)


(57)

Lampiran B. Kromatogram Lapisan Tipis Ekstrak dietil eter Biji Tumbuhan

Mahoni (Swietenia mahogani Jacq.).

I II III IV V VI VII VIII IX

E E E E E E E E E

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 F 254 (E. Merck. Art 554) E : Ekstrak dietil eter biji tumbuhan mahoni I : Fase gerak kloroform : metanol (9:1 v/v) II : Fase gerak kloroform : metanol (8: 2 v/v) III : Fase gerak kloroform : metanol (7 : 3 v/v) IV : Fase gerak kloroform : metanol (6: 4 v/v) V : Fase gerak kloroform : metanol (5: 5v/v) VI : Fase gerak kloroform : metanol (4: 6 v/v) VII : Fase gerak kloroform : metanol (3: 7 v/v) VIII : Fase gerak kloroform : metanol (2: 8 v/v)


(58)

No Fasa Gerak Jumlah noda Warna noda Rf 1 2 3 4 5 6 7 8 9

kloroform : metanol (9: 1 v/v)

kloroform : metanol (8: 2 v/v)

kloroform : metanol (7 : 3 v/v)

kloroform : metanol (6: 4 v/v)

kloroform : metanol (5: 5 v/v)

kloroform : metanol (4: 6 v/v)

kloroform : metanol (3: 7 v/v)

kloroform : metanol (2: 8 v/v)

kloroform : metanol (1: 9 v/v)

2 3 4 2 2 3 3 2 2 coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat 0,83 0,74 0,89 0,77 0,75 0,82 0,77 0,74 0,70 0,83 0,78 0,85 0,80 0,91 0,86 0,72 0,93 0,89 0,82 0,90 0,87 0,92 0,85


(59)

Lampiran C. Kromatogram Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui Penampakan Noda Dengan Pereaksi alkaloid

1. Dengan eluen kloroform : metanol (80:20) v/v

Pereaksi drangendorff Pereaksi wagner

Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20 Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20

Rf = Rf = Rf = Rf =

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 F 254 (E. Merck. Art 554) Fasa gerak : kloroform : metanol (80:20) v/v

: Pereaksi drangendorf menghasilkan warna jingga : Pereaksi wagner menghasilkan warna coklat


(60)

2. Dengan eluen kloroform : metanol (70:30) v/v

Pereaksi drangendorff Pereaksi wagner

Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20 Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20

Rf = Rf = Rf = Rf =

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 F 254 (E. Merck. Art 554) Fasa gerak : kloroform : metanol (70:30) v/v

: Pereaksi drangendorf menghasilkan warna jingga : Pereaksi wagner menghasilkan warna coklat


(61)

3. Dengan eluen kloroform : metanol (60:40) v/v

Pereaksi drangendorff Pereaksi wagner

Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20 Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20

Rf = Rf = Rf = Rf =

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 F 254 (E. Merck. Art 554) Fasa gerak : kloroform : metanol (60:40) v/v

: Pereaksi drangendorf menghasilkan warna jingga : Pereaksi wagner menghasilkan warna coklat.


(62)

(1)

Lampiran B. Kromatogram Lapisan Tipis Ekstrak dietil eter Biji Tumbuhan

Mahoni (Swietenia mahogani Jacq.).

I II III IV V VI VII VIII IX

E E E E E E E E E

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 F 254 (E. Merck. Art 554) E : Ekstrak dietil eter biji tumbuhan mahoni I : Fase gerak kloroform : metanol (9:1 v/v) II : Fase gerak kloroform : metanol (8: 2 v/v) III : Fase gerak kloroform : metanol (7 : 3 v/v) IV : Fase gerak kloroform : metanol (6: 4 v/v) V : Fase gerak kloroform : metanol (5: 5v/v)


(2)

No Fasa Gerak Jumlah noda Warna noda Rf 1 2 3 4 5 6 7 8 9

kloroform : metanol (9: 1 v/v)

kloroform : metanol (8: 2 v/v)

kloroform : metanol (7 : 3 v/v)

kloroform : metanol (6: 4 v/v)

kloroform : metanol (5: 5 v/v)

kloroform : metanol (4: 6 v/v)

kloroform : metanol (3: 7 v/v)

kloroform : metanol (2: 8 v/v)

kloroform : metanol (1: 9 v/v)

2 3 4 2 2 3 3 2 2 coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat coklat 0,83 0,74 0,89 0,77 0,75 0,82 0,77 0,74 0,70 0,83 0,78 0,85 0,80 0,91 0,86 0,72 0,93 0,89 0,82 0,90 0,87 0,92 0,85


(3)

Lampiran C. Kromatogram Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui Penampakan Noda Dengan Pereaksi alkaloid

1. Dengan eluen kloroform : metanol (80:20) v/v

Pereaksi drangendorff Pereaksi wagner

Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20 Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20

Rf = Rf = Rf = Rf =

Keterangan :


(4)

2. Dengan eluen kloroform : metanol (70:30) v/v

Pereaksi drangendorff Pereaksi wagner

Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20 Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20

Rf = Rf = Rf = Rf =

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 F 254 (E. Merck. Art 554) Fasa gerak : kloroform : metanol (70:30) v/v

: Pereaksi drangendorf menghasilkan warna jingga : Pereaksi wagner menghasilkan warna coklat


(5)

3. Dengan eluen kloroform : metanol (60:40) v/v

Pereaksi drangendorff Pereaksi wagner

Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20 Kristal fraksi 16-17 Kristal Fraksi 18-20

Rf = Rf = Rf = Rf =

Keterangan :

Fasa diam : Kieselgel 60 F 254 (E. Merck. Art 554) Fasa gerak : kloroform : metanol (60:40) v/v

: Pereaksi drangendorf menghasilkan warna jingga : Pereaksi wagner menghasilkan warna coklat.


(6)