BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian - Arif Susilo BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian Asertif menurut Corey (2007) adalah ekspresi langsung, jujur

  dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang beralasan. Langsung artinya, pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat terfokus dengan benar. Jujur berarti pernyataan dan gerak-geriknya sesuai dengan apa yang diarahkannya. Sedangkan pada tempatnya berarti perilaku tersebut juga memperhitungkan hak-hak dan perasaan orang lain serta tidak mementingkan dirinya sendiri. pendapat yang menggunakan prinsip menang-menang (Marjadi, 2004). Asertivitas adalah perilaku antar perorangan (interpersonal) yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan.

  Perilaku asertif ditandai oleh kesesuaian sosial dan seseorang yang berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain (Gunarsa, 2003).

  Perilaku asertif adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat menciptakan dan mengembangkan kemampuan komunikasi penyesuaian diri yang baik dan efektif. Kemampuan

  10 komunikasi penyesuaian diri yang baik dan efektif diperlukan oleh remaja terutama pada masa pubertas. Hal tersebut berkaitan dengan tugas perkembangan tersulit yaitu penyesuaian sosial (Setiono dan Parmadi, 2005).

  Hasil penelitiian Rosita (2004) menunjukan bahwa ada perbedaan antara mahasiswa tingkat 5 dengan tingkat dibawahnya dalam berperilaku asertif. Hal ini dikarenakan mahasiwa tingkat 5 sudah mengetahui banyak hal tentang kampus dan dengan wawasan yang telah dimilikinya mengenai cara-cara berinteraksi dengan orang lain supaya tujuan yang mereka kehendaki dapat tercapai, maka mahasiswa tingkat 5 cendrung berperilaku asertif.

  Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah suatu kemampuan seorang mahasiswa tentang bagaimana mereka keterbukaan pikiran dengan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain.

2. Macam-macam asertif

  Menurut Christoff dan Kelly (1989) dalam Gunarsa (2003), ada tiga kategori asertivitas yakni: a. Asertif penolakan ditandai oleh ucapan untuk memperhalus kata menolak seperti: maaf b. Asertif pujian ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif seperti menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji, dan bersyukur.

  c. Asertif permintaan: jenis asertif ini terjadi jika seseorang meminta orang lain melakukan sesuatu yang memungkinkan kebutuhan atau tujuan seseorang tercapai, tanpa tekanan atau paksaan.

3. Karakteristik individu yang bersifat asertif

  Karakteristik individu yang asertivitas menurut Sofyan (2009) sebagai berikut: a. Mendorong individu untuk bersikap jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan. Mengajarkan untuk melakukan suatu penolakan dengan tetap memperhatikan dan menghormati hak-hak orang lain.

  c. Mendengarkan pendapat orang lain dan memahami.

  d. Menyatakan pendapat pribadi tanpa mengorbankan perasaan orang lain.

  e. Mencari solusi bersama dan keputusan.

  f. Menghargai diri sendiri dan orang lain, mengatasi konflik.

  g. Menyatakan perasaan pribadi, jujur, tetapi hati-hati.

  h. Mendeskripsikan fakta, bukan menilai serta tidak menggeneralisir. i. Menggunakan permulaan kata “saya” dan bukan “anda”.

  Alberti & Emmons (2002) menyebutkan 11 karakteristik komponen dari perilaku asertif. Karakteristik komponen tersebut adalah:

  a. Kontak mata (eye contact) Saat berbicara individu yang asertif menunjukkan kontak mata dengan menatap langsung dengan lawan bicaranya, sehingga akan membantu dalam mengkomunikasikan ketulusan, menunjukkan perhatian dan penghormatan kepada orang lain serta meningkatkan kelangsungan pesan yang disampaikan.

  b. Sikap tubuh (body posture) Sikap tubuh yang ditunjukkan oleh individu yang asertif adalah sikap tubuh yang aktif dan tegak.Sikap berdiri yang membungkuk dan pasif, menandakan kurangnya keasertifan seseorang.

  Individu yang asertif mempunyai kemampuan dalam menjaga jarak ketika berinteraksi dengan orang lain. Kedekatan di antara orang- orang yang terlibat pembicaraan akan memiliki dampak yang cukup besar dalam komunikasi. Akan tetapi apabila terlalu dekat mungkin dapat menyinggung perasaan orang lain.

  d. Isyarat (gesture) Isyarat yang ditunjukkan oleh individu yang asertif dapat menambah ketegasan, keterbukaan, kehangatan, rasa percaya diri dan spontanitas dalam berkomunikasi dengan orang lain. e. Ekspresi wajah (facial expression) Dalam berbicara dengan orang lain, individu yang asertif mampu mengekspresikan wajah sesuai dengan pesan atau hal apa yang akan disampaikan.

  f. Nada, modulasi, volume suara (voice tone, inflection, volume) Saat mengungkapkan pikiran dan perasaan secara verbal, individu yang asertif menggunakan intonasi suara yang tepat.

  g. Penetapan waktu (timing) Individu yang asertif mampu menyatakan sesuatu kepada orang lain secara tepat sesuai dengan waktu dan tempat.

  h. Mendengarkan (listening) Individu yang asertif mempunyai kemampuan untuk mendengarkan dengan seksama ketika lawan bicaranya sedang berbicara, sehingga i. Pemikiran (thought)

  Ada dua aspek dari pemikiran asertif, dimana merupakan ide bagus jika bersikap asertif dan pemikiran jika berada dalam situasi yang mengundang keasertifan. j. Isi (content)

  Individu yang asertif mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan memilih kalimat yang tepat dalam berkomunikasi dengan orang lain.

4. Komponen perilaku asertif

  Stein dan Howard (2001) mengemukakan tiga komponen dasar perilaku asertif :

  1. Kemampuan mengungkapkan perasaan Seorang remaja yang memiliki perilaku asertif mereka dicerminkan mampu untuk mengungkapkan perasaannya tentang tidak setuju ajakan dari orang lain.

  2. Kemampuan untuk menyatakan keyakinan dan pemikiran secara terbuka.

  Seorang remaja yang memiliki kemampuan untuk menyatakan keyakinan dan pemilkiran secara terbuka akan memberikan pemahaman-pemahaman pada lawan bicaranya terkait dengan pengungkapan pendapat setuju atau tidak setujunya suatu

  3. Kemampuan mempertahankan hak-hak pribadi.

  Seorang dengan perilaku asertif akan memiliki suatu kekuatan terkait dengan mempertahankan hak-hak pribadinya ketika mereka bersosialosasi lingkungan masyarakat.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku asertif

  Fakor yang mempengaruhi tingkat assertif seseorang menurut Gunarsa (2003), yaitu: a. Keluarga Sebagai lingkungan pertama dan utama membentuk perilaku asertif individu. Pada dasarnya keluarga akan mempengaruhi perilaku asertif melalui dua cara yaitu: hasil pembentukan kepribadian individu dan sikap atau perilaku asertif orang tua.

  b. Lingkungan sekolah Hubungan antara murid dengan guru atau antara murid dengan murid, banyak mempengaruhi kepribadian, kepribadian guru dapat menjadi tokoh yang dikagumi, karena timbul hasrat peniruan terhadap guru tersebut. Hubungan murid dengan murid yang baik dapat memperkecil kemungkinan tumbuhnya perbuatan yang jauh dari nilai moral yang tinggi bilamana kelompok itu sendiri sudah mempunyai moral yang baik pula sehingga secara tidak langsung, memperkembangkan nilai-nilai moral.

  c. Lingkungan teman-teman sebaya Makin bertambah umur, anak makin memperoleh kesempatan lebih luas untuk mengadakan hubungan dengan teman bermain sebaya, sekalipun dalam kenyataannya perbedaan umur yang relatif besar tidak menjadi sebab tidak adanya kemungkinan melakukan dalam suasana bermain. d. Segi keagamaan Penghayatan nilai-nilai keagamaan dan perwujudannya dalam tingkah laku dan dalam hubungan dengan anak lain, dalam perkembangannya seorang anak mula-mula merasa taku untuk berbuat sesuatu yang tidak baik, seperti berbohong. Bahwa perbuatan yang tidak baik akan dihukum oleh Penguasa Tertinggi yaitu Tuhan. Ajaran keagamaan dapat berupa petunjuk apa yang boleh dan wajar dilakukan, dapat berupa pengontrol untuk tidak melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Nilai-nilai keagamaan ini, diperoleh anak pada usia yang muda, dapat menetap menjadi pedoman tingkah laku dikemudian kalau pada mulanya kepatuhan didasarkan adanya rasa takut yang diasosiasikan dengan kemungkinan memperoleh hukuman, maka hidupnya.

B. Polas Asuh Orangtua 1. Pengertian

  Pola asuh orang tua menurut Gunarsa (2004) merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

  Pola asuh menurut Wahyuning (2003) adalah seluruh cara perlakuan orang tua yang ditetapkan pada anak, yang merupakan bagian penting dan mendasar menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Pengasuhan anak menunjuk pada pendidikan umum yang ditetapkan pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi orang tua (sebagai pengasuh) dan anak (sebagai yang diasuh) yang mencakup perawatan, mendorong keberhasilan dan melindungi maupun sosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.

  Pola asuh menurut Edwards (2006), merupakan interaksi anak dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma- norma yang ada dalam masyarakat”.

   Jenis-jenis pola asuh

  Jenis-jenis pola asuh orang tua menurut Hurlok (2006) & Gunarsa (2008) yaitu:

  a. Pola asuh Permisif Pola asuh permisif menurut Hurlock (2006) bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh permisif memperlihatkan ciri- ciri sebagai berikut: orang tua cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak tanpa ada batasan dan aturan dari orangtua, tidak adanya hadiah ataupun pujian meski anak berperilaku sosial baik, tidak adanya hukuman meski anak melanggar peraturan.

  Pola asuh permisif menurut Gunarsa (2008) adalah orangtua yang menerapkan pola asuh permisif memberikan kekuasaan penuh pada anak, tanpa dituntut kewajiban dan tanggung jawab, kurang kontrol terhadap perilaku anak dan hanya berperan sebagai pemberi fasilitas, serta kurang berkomunikasi dengan anak. Pola asuh ini, perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah, dan mudah mengalami kesulitan jika harus menghadapi larangan-larangan yang ada di lingkungannya.

  b. Pola asuh Otoriter Pola asuh otoriter menurut Hurlock (2006) bahwa orangtua yang mendidik anak dengan menggunakan pola asuh otoriter memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: orangtua menerapkan peraturan yang ketat, tidak adanya kesempatan untuk mengemukakan pendapat, anak harus mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh orang tua, berorientasi pada hukuman (fisik maupun verbal), dan orang tua jarang memberikan hadiah ataupun pujian.

  Pola asuh otoriter menurut Gunarsa (2008), pola asuh otoriter yaitu pola asuh dimana orangtua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan diancam dan dihukum. Pola asuh otoriter ini dapat menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak, inisiatif dan aktivitasnya menjadi kurang, sehingga anak menjadi tidak percaya diri pada kemampuannya.

  c. Pola asuh Demokratis Pola asuh demokratis menurut Hurlock (2006) bahwa orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan ciri-ciri adanya kesempatan anak untuk berpendapat mengapa anak melanggar peraturan sebelum hukuman dijatuhkan, hukuman diberikan kepada perilaku salah, dan memberi pujian ataupun hadiah kepada perilaku yang benar.

  Pola asuh demokratis menurut Gunarsa (2008) bahwa dalam menanamkan disiplin kepada anak, orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis memperlihatkan dan menghargai kebebasan yang tidak mutlak, dengan bimbingan yang penuh pengertian antara anak dan orangtua, memberi penjelasan secara rasional dan objektif jika keinginan dan pendapat anak tidak sesuai. Pola asuh ini, anak tumbuh rasa tanggung jawab, mampu bertindak sesuai dengan norma yang ada.

d. Faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua

  Faktor- faktor yang mempengaruhi pola asuh menurut Edwards (2006), yaitu: a. Pendidikan orang tua Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.

  Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004).

  b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar, 2000).

C. Mahasiswa 1. Pengertian Mahasiswa

  Mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan organisasi kemahasiswaan (Ganda, 2004). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi (Poerwadarminta, 2005).

  Mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan keerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi. Mahasiswa adalah manusia yang tercipta untuk selalu berpikir yang saling melengkapi (Siswoyo, 2007).

  Mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual, mahasiswa harus mampu untuk berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya (Djojodibroto, 2004).

  Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Individu mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja sudah mulai memilih prinsip moral untuk hidup.

  Individu melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Pada tahap ini, remaja mulai menyadari bahwa keyakinan religius penting bagi mereka. Nilainilai yang dimiliki juga akan menuntun remaja untuk menjalin hubungan sosial dan keputusan untuk menikah atau tidak. Selain itu, individu juga mulai merasa bahwa hidupnya tidak akan dapat secara terus-menerus bergantung pada orang tua sehingga individu mulai memikirkan mengenai pekerjaan atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang dapat dipilih untuk masa depannya (Monks dkk, 2001).

2. Tugas perkembangan pada remaja

  Hurlock (2004), seluruh tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas perkembangan remaja adalah: a.

  Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

  Mencapai peran sosial pria dan wanita.

  c.

  Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

  d.

  Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

  e.

  Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

  f.

  Mempersiapkan karir ekonomi untuk masa yang akan datang g.

  Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

D. Kerangka Teori

  orangtua) b.

  h.

  Memperoleh nilai-nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi.

  Mendorong individu untuk bersikap jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan.

  Keagamaan Perilaku asertif remaja Individu yang memiliki perilaku asertif: a.

  Lingkungan sekolah c. Lingkungan teman sebaya d.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku asertif: a.

  Keluarga (pola asuh

  • Pola asuh permasif
  • Pola asuh demokrasi
  • Pola asuh otoriter

Gambar 2.1 Kerangka Teori

  f.

  Faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua

  Menggunakan permulaan kata “Saya” dan bukan “Anda”. Pola asuh orangtua:

  Mendeskripsikan fakta, bukan menilai serta tidak menggeneralisir. i.

  h.

  Menyatakan perasaan pribadi, jujur, tetapi hati-hati.

  g.

  Menghargai diri sendiri dan orang lain, mengatasi konflik.

  Mencari solusi bersama dan keputusan.

  (2003) dan Kartini (2002)

  e.

  Menyatakan pendapat pribadi tanpa mengorbankan perasaan orang lain.

  d.

  Mendengarkan pendapat orang lain dan memahami.

  Terbuka dan jujur terhadap pendapat diri dan orang lain.

  b.

  • Pendidikan - Lingkungan - Budaya

  

Sumber: Sofyan (2009), Hurlock (2004), Edwards (2006), Gunarsa

  c.

E. Kerangka Konsep

  Pola Asuh Orangtua Perilaku asertif remaja

Gambar 2.2 Kerangka Konsep F. Hipotesis

  Hipotesis dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: “Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku asertif mahasiswa keperawatan S1 Universitas Muhammadiyah Purwokerto angkatan 2014”.