ANALISIS PENGARUH PENERIMAAN BPHTB DAN PBB P2 TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) (Penelitian Pada Badan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sleman) - UMBY repository

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Penerimaan Daerah

  Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. Dalam pelaksanaan desentralisasi, penerimaan daerah terdiri atas pendapatan dan pembiayaan. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan, sedangkan pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan sumber-sumber pendapatan daerah adalah:

  1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang meliputi:

  a. Pajak daerah;

  b. Retribusi daerah;

  c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. Lain-lain PAD yang sah.

2. Dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan

  APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana perimbangan terdiri dari dua jenis, yaitu dana bagi hasil dan dana transfer. Dana bagi hasil terdiri dari bagi hasil penerimaan pajak (tax

  sharing ) dan bagi hasil penerimaan Sumber Daya Alam (SDA).

  Adapun yang termasuk dalam pembagian hasil perpajakan adalah Pajak Penghasilan (PPh) perorangan, PBB P2, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan pembagian hasil penerimaan dari SDA berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. Dana transfer sebagai komponen dana perimbangan lainnya, terdiri dari Dana Alokasi 3.

  Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

  Sedangkan sumber penerimaan daerah yang lainnya, yaitu pembiayaan bersumber dari: a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah;

  b. Penerimaan pinjaman daerah;

  c. Dana cadangan daerah; dan d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

   2.1.2 Pengeluaran Daerah

  Pengeluaran daerah terdiri dari belanja tak langsung, belanja langsung, dan pengeluaran pembiayaan daerah. Belanja tak langsung meliputi bagian belanja yang dianggarkan tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program. Belanja tak langsung terdiri dari : Belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan yang telah ditetapkan undang-undang, Belanja bunga, Belanja hibah, Belanja bantuan sosial, Belanja bagi hasil kepada propinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa, Belanja bantuan keuangan, serta Balanja tak tersangka.

  Sedangkan belanja langsung meliputi belanja yang dianggarkan terkait langsung dengan pelaksanaan program. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah dan telah dianggarkan oleh pemerintah daerah. pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. (Surya : 2014)

  2.1.3 Kemandirian Fiskal

  Kemandirian fiskal adalah independensi pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan anggaran daerah, pungutan dan optimalisasi pungutan sumber-sumber pendapatan daerah dan pengelolaan dana daerah dalam melakukan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah.

  Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah diharapkan memiliki kemandirian yang lebih besar dalam keuangan daerah. Oleh karena itu, peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah (LP) sangat menentukan kemandirian fiskal daerah. Pengukuran kemandirian fiskal daerah yang banyak dilakukan pada saat ini antara lain dengan melihat rasio antara masing-masing komponen pendapatan daerah dengan Total Penerimaan Daerah (TPD). Prinsipnya, semakin besar sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LP), maka semakin besar pula pendapatan daerah tersebut, sehingga akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah Pusat. (Surya : 2014)

2.1.4 Dasar Perpajakan

  Definisi Pajak Dikemukakan oleh Rochmat Soemitro

  Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Sherra : 2008)

  Dikemukakan oleh Mr. Dr. N. J. Fieldman Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. (Sherra : 2008) Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak : a.

  Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), berdasarkan kekuatan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

  b.

  Dalam pembayaran pajak-pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individu oleh pemerintah atau tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu.

  c.

  Penyelenggaraan pemerintah secara umum merupakan kontra prestasi dari Negara.

  d.

  Diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah jika masih surplus digunakan untuk “publik invesment”.

  Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.

  f.

  Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter yaitu mengatur.

2. Fungsi Pajak

  Fungsi pajak menurut Tjahyono (2000:4) adalah sebagai sumber keuangan negara. Fungsi lainnya yaitu : a.

  Sumber Keuangan Negara (Budgetair)

  Pemerintah memungut pajak terutama atau semata-mata untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai pengeluaran- pengeluarannya baik bersifat rutin maupun untuk pembangunan.

  b.

  Fungsi mengatur atau non budgetair (fungsi reguralend) Disamping usaha untuk memasukkan uang sebanyak mungkin untuk kegunaan kas negara, pajak harus dimaksudkan sebagai usaha pemerintah untuk turut campur tangan dalam hal mengatur dan, bilamana perlu, mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor swasta. Pada fungsi mengatur, pemungutan pajak digunakan :

  1) Sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan negara dalam bidang ekonomi dan sosial.

  2) Sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang

2.1.5 Pajak Daerah

  Menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 , Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2.1.6 Dasar Hukum dan Pengertian BPHTB

  Pajak pada dasarnya merupakan suatu kesepakatan antara masyarakat (yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat) dengan pemerintah, yang dituangkan dalam suatu undang-undang. Kesepakatan tersebut dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat sendiri. Hal ini pun terjadi pada pengenaan dan pemungutan BPHTB sebagai salah satu jenis pajak di Indonesia.

  Setelah kurang lebih 12 tahun dipungut sebagai pajak pusat, pemerintah bersama dengan DPR sepakat untuk mengalihkan BPHTB menjadi pajak daerah. Hal ini diwujudkan melalui ketentuan dalam Undang-Undang Nomor

  28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang ditetapkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dimaksudkan dalam rangka yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan (local taxing

  empowerment ), dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

  (Marihot : 2011) Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2009, Bea Perolehan Hak

  Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, sedangkan perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan. Adapun yang dimaksud hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dibidang pertanahan dan bangunan.

  Hak atas Tanah adalah hak atas tanah termasuk pengelolaan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria dan peraturan Perundang undangan yang berlaku. (Erliza : 2014)

  

2.1.7 Jenis Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang Menjadi Objek

Pajak

  Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 85 ayat (2) menentukan 15 jenis perolehan tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek pajak, meliputi :

  Perolehan hak atas tanah dan/bangunan akibat pemindahan hak, karena hal-hal di bawah ini : a.

  Jual beli.

  b.

  Tukar menukar.

  c.

  Hibah.

  d.

  Hibah Wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

  e.

  Waris f.

  Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, yaitu pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.

  g.

  Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.

  h.

  Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemegang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang. i.

  Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut. j.

  Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung. k.

  Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut. l.

  Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama. m.

  Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan/atau bangunan yang telah dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah. Akta yang dibuat dapat berupa akta Hibah.

  2. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan akibat pemberian hak baru, karena hal-hal dibawah ini : a.

  Perolehan hak baru atas tanah dan/atau bangunan sebagai kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada yang berasal dari pelepasan hak.

  b.

  Perolehan hak baru atas tanah dan/atau bangunan di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.1.8 Bukan Objek Pajak BPHTB

  Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh oleh orang atau badan tertentu, sebagaimana di bawah ini :

  1. Perwakilan Diplomatik, Konsulat dengan asas timbal balik.

  2. Negara untuk penyelenggara Pemerintah dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum, misalnya tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, dan jalan umum.

  3. Badan/perwakilan lembaga Internasional yang di tetapkan dengan Peraturan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.

  4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau peraturan hukum lain tanpa perubahan nama.

  5. Orang pribadi atau badan karena wakaf.

  6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

2.1.9 Subjek Pajak dan Wajib Pajak BPHTB

  Subjek pajak Bea Perolahn Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) yaitu: 1.

  Jual beli yaitu pembeli.

  2. Tukar menukar yaitu pihak yang menerima tanah/bangunan yang ditukar.

  3. Hibah yaitu penerima hibah.

  4. Hibah wasiat yaitu penerima hibah wasiat.

  5. Waris yaitu ahli waris (penerima waris).

  6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum yaitu perseroan/badan hukum lain yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan.

  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak yaitu orang atau badan yang ditetapkan sebagai penerima hak atas tanah dan bangunan.

  8. Penunjukan pembeli dalam lelang yaitu orang/badan yang ditetapkan sebagai pemenang lelang.

  9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuasaan hukum tetap yaitu pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dalam bentuk putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

  10. Penggabungan usaha yaitu badan usaha yang menjadi tempat bergabung satu atau lebih badan usaha lain.

  11. Peleburan usaha yaitu badan usaha yang didirikan sebagai hasil peleburan usaha.

  Pemekaran usaha yaitu badan usaha yang baru didirikan sebagai hasil pemekaran usaha.

  13. Hadiah yaitu orang/badan yang memperoleh hadiah.

  14. Perolehan hak baru sebagai kelanjutan dan pelepasan hak yaitu orang/badan yang memperoleh hak atas tanah negara yang berasal dari pelepasan hak.

  15. Perolehan hak baru diluar pelepasan hak yaitu orang/badan yang memperoleh hak atas tanah negara yang tidak dibebani dengan hak apapun.

2.1.10 Hak Atas Tanah yang Perolehan Hak Atasnya Menjadi Objek Pajak 1.

  Hak Milik, yaitu hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

  2. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.

  3. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria (UUPA).

  4. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  5. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS), yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

  6. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian di limpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga, dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

2.1.11 Dasar Pengenaan, NPOPTKP, dan Tarif Pengitungan BPHTB

  1. Dasar Pengenaan Pajak Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP ditentukan sebesar :

  Pada perolehan hak karena jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi.

  b.

  Pada perolehan hak karena tukar menukar, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

  c.

  Pada perolehan hak karena hibah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

  d.

  Pada perolehan hak karena hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

  e.

  Pada perolehan hak karena waris, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. f.

  Pada perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

  g.

  Pada perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

  h.

  Pada perolehan hak karena peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. i.

  Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. j.

  Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. k.

  Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, yang menjadi l.

  Pada perolehan hak karena peleburan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. m.

  Pada perolehan hak karena pemekaran usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. n.

  Pada perolehan hak karena hadiah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. o.

  Pada perolehan hak karena penunjukan pembeli dalam lelang, yang menjadi NPOP adalah harga transakasi yang tercantum dalam risalah lelang.

  2. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) adalah suatu jumlah tertentu Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang tidak dikenakan besarnya NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda), dengan ketentuan: a.

  Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling banyak sebesar Rp.300.000.000,00 dalam hal perolehan karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau sederajat dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami istri.

  b.

  Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 yang sewaktu-

3. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

  Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah Atau Bangunan yang telah ditetapkan paling tinggi yaitu sebesar 5%. Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah Atau Bangunan ditetapkan oleh pemerintah Daerah.

  Cara menghitung BPHTB : BPHTB = Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak x Tarif

  = (NPOP – NPOPTKP) x 5% Contoh perhitungan : Tuan Aman pada tanggal 5 Januari 2017 membeli tanah dan bangunan dengan harga transaksi Rp. 80.000.000,00. Diketahui NPOPTKP yang ditetapkan pada kabupaten dimana objek pajak berada adalah sebesar Rp. 60.000.000,00. Adapun tarif pajak BPHTB yang diberlakukan pada kabupaten tersebut adalah 5%. Berapakan BPHTB yang harus dibayar oleh wajib pajak ? Perhitungan : Nilai Perolehan Objek Pajak Rp.80.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp.60.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp.20.000.000,00 BPHTB yang terutang = Rp.20.000.000,00x 5%

  = Rp.1.000.000,00 Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010, BPHTB ditetapkan sebagai jenis pajak daerah yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak. Hal ini berarti pemungutan BPHTB menganut self asessment system. Self asessment system merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, dan tanggungjawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

2.1.13 Hak – hak Wajib Pajak Pada BPHTB 1. Keberatan a.

  Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas suatu : 1)

  Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 2)

  Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)

  3) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT).

  4) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

5) Lebih Bayar (SKBLB).

  6) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil ( SKBN).

  Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang berlaku.

  b. Dalam mengajukan keberatan Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1)

  Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahas Indonesia dengan disertai alasan - alasan yang jelas.

  2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Nihil oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

  d. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud diatas tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

  e. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penangihan pajak sesuai ketentuan yang f. Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima,harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.

  g. Sebelum Surat Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan bukti tambahan atau penjelasan tertulis.

  h. Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya, atau sebagainya, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. i. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

2. Banding a.

  Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan Kepala Daerah.

  b.

  Permohonan sebagaimana dimaksud diatas diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri, salinan dari surat keputusan tersebut.

  c.

  Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar d.

  Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkan keputusan keberatan atau keputusan Banding.

3. Pengurangan

  Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan karena: a.

  Kondisi tertentu wajib pajak, yang berhubungan dengan objek pajak.

  Contoh : 1)

  Wajib pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah dibidang pertanahan.

  2) Wajib pajak badan yang memperoleh hak baru selain Hak

  Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan wajib pajak dan keterangan dari pejabat pemerintah daerah setempat. 3)

  Wajib pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun langsung dari pengembang dan dibayar secara angsuran. 4)

  Wajib pajak Orang Pribadi menerima Hibah dari Orang Pribadi yang mempunyai hubungan keluarga.

  5) Wajib pajak BUMD baru berdiri dalam jangka waktu paling lama satu tahun yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat sebagai penyertaan modal pemerintah.

  b.

  Kondisi wajib pajak yang hubungannya dengan sebab-sebab tertentu.

  Contoh :

  1) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah meliputi pembelian dari hasil ganti ruginya dibawah Nilai Jual Objek Pajak.

  2) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.

  3) Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional, sehingga Wajib Pajak harus melakukan rekonstrukturalisasi usaha dan atau utang usaha sesuai kebijakan pemerintah.

  4) Wajib pajak yang melakukan penggabungan usaha (merger) atau peleburan usaha (konsolidasi).

  5) Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana c.

  Tanah dan atau bangunan digunakan semata-mata untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan.

2.1.14 Kelebihan Pembayaran BPHTB

  Pada Pasal 165 ayat (8) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ditentukan bahwa tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan kepala daerah.

1. Kelebihan Pembayaran BPHTB terjadi apabila : a.

  BPHTB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang.

  b.

  Dilakukakan pembayaran BPHTB yang tidak seharusnya terutang.

  Wajib pajak dapat mengajukan usul permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak antara lain dalam hal : a.

  BPHTB yang dibayar lebih besar dari pada yang seharusnya terutang.

  b.

  BPHTB dibayarkan oleh wajib pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.

  2. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak permohonan pengembalian kepada bupati/walikota. Untuk memperoleh pengembalian, wajib pajak mengajukan permohonan tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada bupati/walikota melalui kepala SKPD pengelola pajak daerah.

2.1.15 Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2)

  Pengertian PBB P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan terkecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.

  Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang nomor 12 Tahun 1994.

  Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

  Sebagai dasar untuk pengenaan PBB P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak yakni adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP nilai perolehan baru atau NJOP pengganti. Tarif PBB P2 ditetapkan sebagai berikut : 1.

  0,1 % untuk NJOP sampai dengan Rp. 500.000.000,- 2.

  0,125 % untuk NJOP di atas Rp. 500.000.000,- s/d Rp. 1.000.000.000,- 3. 0,160 % untuk NJOP di atas Rp. 1.000.000.000,- s/d Rp.

  2.000.000.000,- 4. 0,220 % untuk NJOP di atas Rp. 2.000.000.000,- s/d Rp.

  5.000.000.000,- 5.

  0,3 % untuk NJOP lebih dari Rp. 5.000.000.000,-

2.1.16 Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB P2

  Objek pajak yang tidak dikenakan PBB P2 adalah objek pajak yang : 1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti rumah sakit umum, hutan wisata milik negara, dan pesantren.

  2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenisnya.

  3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional.

  4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultat berdasarkan asas timbal balik.

  5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

  2.1.17 Subjek PBB P2

  Subjek PBB P2 adalah orang atau badan secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan memperoleh manfaat atas bumi, memiliki, menguasai, memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.

  2.1.18 Dasar Hukum PBB P2 1.

  Undang-undang PBB No.12 tahun 1994, pembaruan Undang-undang PBB No.12 Tahun 1985.

  2. Undang-undang Republik Indonesia No. 28 tahun 2009, Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

  3. Peraturan Menteri Keuangan R.I Nomor: 29/PMK.03/2005 tanggal 23 Mei 2005, Tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran PBB.

  4. Peraturan Menteri Keuangan R.I Nomor: 121/PMK.06/2005 tanggal 5 Desember 2005, Tentang Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga PBB Kepada Wajib Pajak.

  5. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE – 13 /PJ.6/200223 April 2002, Tentang Pengenaan PBB Atas Jalan Tol Tahun 2002.

  6. Surat Edaran No. SE – 41 /PJ.6/2006 tanggal 27 November 2006, Tentang Pengenaan PBB Tahun 2007.

  7. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE – 54 /PJ.6/200401 Desember 2004, 2005.

2.2 Review Penelitian Sebelumnya

  1. Rio Rahmat dan Dian Lestari Siregar (2017), dengan judul Pengaruh BPHTB dan PBB terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Kepulauan Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil pengujian hipotesis menunjukkan BPHTB dan PBB berpengaruh secara stimultan terhadap Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Kepulauan Riau.

  2. Nailatun (2015), dengan judul Pengaruh Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap Pendapatan Daerah Kota Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PBB secara parsial tidak mempunyai pengaruh terhadap Pendapatan Daerah Kota Bekasi, ini dapat dilihat dari uji t yang menunjukkan t hitung 0,915 lebih kecil dari t tabel 2,014 (t hitung < t tabel), dan untuk BPHTB mempunyai pengaruh terhadap Pendapatan Daerah Kota Bekasi, dapat dilihat bahwa t hitung 5,830 lebih besar dari t tabel 2,014 ( t hitung > t tabel), sedangkan untuk PBB dan BPHTB secara simultan mempunyai pengaruh terhadap Pendapatan Daerah Kota Bekasi, karena dari Uji F diperoleh F hitung 18,712 lebih besar dari F tabel 3,204 (F hitung > F tabel).

  3. Zulkifli, dkk (2017), dengan judul Analisis Penerimaan Pajak Bumi dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Gorontalo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penerimaan PBB-P2 di Kota Gorontalo berdasarkan rasio pengumpulan pada tahun 2012 sebesar 69,47%, tahun 2013 sebesar 74,44%, tahun 2014 sebesar 76,50%, tahun 2015 sebesar 81,26% dan pada tahun 2016 rasio penerimaan PBB-P2 adalah sebesar 86,75%. Klasifikasi penerimaan PBB-P2 di Kota Gorontalo berdasarkan analisis rasio proporsi dan rasio pertumbuhan adalah potensial.

  4. Herra Astuti (2015), dengan judul Potensi Pendapatan, Efektifitas, dan

  Tax Effort Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak

  Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Karanganyar Tahun 2010-2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : a.

  Pada tahun 2014 Potensi Penerimaan Pajak PBB naik sebesar 14% dari tahun 2013 yaitu sebesar 64.848.547.214. Sedangkan pada tahun 2013 pajak BPHTB mengalami peningkatan sebesar 34 % dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp.37.526.228.93.

  b.

  Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan selama periode 2010- 2014 realisasi penerimaannya mencapai Rp. 35.400.000.000 dengan rata-rata efektivitas pajak sebesar 133%, dimana efektivitas tergolong sangat efektif. Sedangkan penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan selama periode 2010- dengan rata-rata efektivitas pajak sebesar 193%, dimana efektivitas tergolong sangat efektif. Kesesuaian antara target dengan potensi lebih dari 50 persen.

  c.

  Pada tahun 2013 daya pajak atau kemampuan membayar pajak oleh masyarakat di Kabupaten Karanganyar adalah sebesar 2,271%, mengalami peningkatan sebesar 0,319% pada tahun 2014 menjadi 2,591%. Hal ini menunjukan bahwa, meningkatnya kesadaran atau kemampuan masyarakat dalam membayar pajak.

2.3 Pengembangan Hipotesis 1. Hubungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

  Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, sedangkan perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan. Adapun yang dimaksud hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dibidang pertanahan dan bangunan.

  Adanya pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menuntut dari sektor pajak. Adanya penerimaan Pajak BPHTB ini akan meningkatkan pembangunan dan menunjang percepatan ekonomi, serta mendorong pemerataan pembangunan. (Rio Rahmat Yusran dan Dian Lestari Siregar : 2017)

  Nailatun Najichach (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa BPHTB berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penelitian tersebut telah memberikan bukti bahwa BPHTB mempunyai pengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis yang dapat dibuat yaitu : H

  1 : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPTHB)

  berpengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Sleman.

2. Hubungan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

  Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan terkecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

  Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. (Voni Lestari : 2014) sepenuhnya masuk ke pemerintah Kabupaten/Kota, sehingga mampu meningkatkan jumlah pendapatan daerah. Pada saat PBB P2 dikelola oleh pemerintah pusat, PBB P2 masuk dalam akun dana bagi hasil, setelah dialihkan menjadi pajak daerah, PBB P2 masuk dalam akun Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ketika PBB P2 dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah Kabupaten/Kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%. Setelah pengalihan, semua pendapatan dari sektor PBB P2 masuk ke dalam kas pemerintah daerah sepenuhnya.

  Rio Rahmat Yusran dan Dian Lestari Siregar (2017) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) berpengaruh positif signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penelitian tersebut telah memberikan bukti bahwa Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) mempunyai pengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis yang dapat dibuat yaitu : H

  2 : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) berpengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Sleman.

2.4 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai secara teoritis pertautan antara variabel yang diteliti. Jadi, secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen) dan dapat dilihat pada bagan sebagai berikut : Gambar. 2.1. Kerangka Konseptual Keterangan :

  = Berpengaruh secara parsial = Berpengaruh secara simultan

  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pajak Bumi dan

  Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2)

  Pendapatan Asli Daerah (PAD)

  H

  3 H

  2 H

  1