Penetapan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair [Liquid smoke] dihitung sebagai fenol dengan metode bromatometri - USD Repository
PENETAPAN KADAR SENYAWA FENOLIK TOTAL DALAM ASAP CAIR ( LIQUID SMOKE) DIHITUNG SEBAGAI FENOL DENGAN METODE BROMATOMETRI SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Hartono NIM : 038114054 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007 ii
iii Dipersembahkan kepada : Orang tuaku The Song Khiang dan Tjan Sioe Moei Adikku Lusiani Almamaterku ivKATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penetapan Kadar Senyawa Fenolik Total dalam Asap Cair (Liquid Smoke) Dihitung Sebagai Fenol dengan Metode Bromatometri”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai kesulitan, yang dikarenakan oleh keterbatasan penulis. Namun sebagian besar kesulitan tersebut dapat diatasi berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Dra. M.M. Yetty Tjandrawati, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan, dan diskusi.
3. Dr. Sabikis, Apt. selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan- masukan bagi penulis.
4. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan-masukan bagi penulis.
5. Yunita Linawati, S.Si., Apt., yang selalu memberikan pencerahan, motivasi dan dukungan di saat penulis menghadapi keputusasaan. v
6. Segenap staf pengajar, staf tata usaha, para laboran Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah membantu dan memberikan fasilitas selama penulis menempuh studi.
7. William Salim atas diskusi mekanisme reaksi dan dukungan motivasinya.
8. Winarto, Widyono, dan Lusiani yang selalu mengingatkanku untuk 9. Erika Dwijayanti Buntoro atas semangat, doa, dukungan, dan diskusinya.
10. Teman-teman kelas B angkatan 2003 serta teman-teman Tasura 52 yang selalu bersamaku sejak awal kuliah.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, penulis memohon kritik dan saran yang sifatnya membangun. Penulis memiliki harapan yang sangat besar, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 6 Juni 2007 Penulis vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 6 Juni 2007 Penulis
Hartono vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. iii KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………………... vii DAFTAR ISI ………………………………………………………………… viii DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xi DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xiii
INTISARI ……………………………………………………………………. xiv
ABSTRACT …………………………………………………………………... xv
BAB I PENGANTAR ..……………………………….…………………......1 A. Latar Belakang Masalah…...……………………………………………...
1 B. Perumusan Masalah ………………………………………………………
4 C. Keaslian Penelitian ……………………………………………………….
5 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………..
5
1. Manfaat teoritis ………………………………………………………
5
2. Manfaat praktis ………………………………………………………
5
3. Manfaat metodologis …………………………………………………
5 E. Tujuan Penelitian …………………………………………………………
6 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA …………………..…………………..
7 viii
A. Asap Cair (Liquid Smoke)………………………………………………...
7 B. Fenol..................…………………………………………………………..
10 C. Farmakokinetika Fenol ...............................................................................
13 D. Bahan Tambahan Makanan ........................................................................
14 E. Titrasi Redoks....………………………………………………………….
16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………….…………………...…
20 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………………………………………….
20 B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……………………………
20 C. Bahan Penelitian ………………………………………………………….
21 D. Alat Penelitian ……………………………………………………………
22 E. Jalannya Penelitian …………..…………………………………………...
22 1. Pembuatan Laruta Standar Kalium Bromat .......................…………..
22
2. Pembuatan dan Pembakuan Larutan Standar Natrium Tiosulfat .....…
22 3. Pembuatan Larutan Pereaksi .....................................................……...
23 4. Uji Validasi Metode Penetapan Kadar Senyawa Fenolik Total ...........
23 5. Pengambilan dan Penyiapan Sampel ....................................................
26 6. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Sampel ...............................................
26 7. Penetapan Blanko .................................................................................
26 8. Penetapan Kadar Senyawa Fenolik Total dalam Asap Cair ......……...
27 F. Analisis Data …………………………………………………………….
27 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………….
29 A. Pembuatan dan Standarisasi Larutan Baku ……....………………………
29 ix
B. Uji Validasi Metode dan Percobaan Pendahuluan …..…………………...
32 C. Penetapan Kadar Senyawa Fenolik dalam Sampel .……………………...
36 1. Penyiapan Sampel Asap Cair ...............................................................
36 2. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Sampel ..............................................
37
3. Penetapan Kadar Senyawa Fenolik Total Sampel Dihitung Sebagai D. Hasil Penetapan Kadar Senyawa Fenolik dalam Sampel ......…………….
40 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………...…..
45 A. Kesimpulan ……………………………………………………………….
45 B. Saran ……………………………………………………………………...
45 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
46 LAMPIRAN ………………………………………………………………….
49 BIOGRAFI PENULIS ………………………………………………………..
55 x
DAFTAR TABEL Tabel I. Sifat Fisika Kimia Fenol ……………………………………..
12
43
43
42
42
41
41
35
34
31
19
11
Tabel II. Koefisien Fenol Beberapa Fenol Tersubstitusi dan Senyawa Fenolik yang Memiliki Daya Bakterisid ..................................
Tabel XIV. Hasil analisis Paired Samples T-test untuk asap cair B tanpa penambahan fenol dan penambahan fenol ...............................
Tabel XIII. Hasil analisis Paired Samples T-test untuk asap cair Adengan B dengan penambahan fenol ....................................................
Tabel XII. Hasil analisis Paired Samples T-test untuk asap cair A dengan B tanpa adisi fenol .......................................................
Tabel XI. Kadar Senyawa Fenolik Total dihitung sebagai fenol dalam asap cair B dengan penambahan fenol .....................................
Tabel X. Kadar Senyawa Fenolik Total dihitung sebagai fenol dalam asap cair A dengan penambahan fenol .....................................
Tabel IX. Kadar Senyawa Fenolik Total dihitung sebagai fenol dalam asap cair B tanpa penambahan fenol ........................................
Tabel VI. Data perhitungan recovery dan kesalahan sistematik .............. Tabel VII. Data perhitungan kesalahan acak ............................................. Tabel VIII. Kadar Senyawa Fenolik Total dihitung sebagai fenol dalam asap cair A tanpa penambahan fenol ........................................
2 O 3 .........................................
2 S
Tabel V. Hasil Standarisasi Larutan Na
Tabel III. Syarat Penggunaan Pipet ..........................................................
43 xi
Tabel XV. Hasil analisis Paired Samples T-test untuk asap cair A tanpa penambahan fenol dan penambahan fenol ...............................
Tabel XVI. Data Penimbangan kalium bromat ...........................................
43
49 xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Normalitas Larutan Kalium Bromat 0,1 N ...........Lampiran 2. Standarisasi Larutan Standar Natrium Tiosulfat ....................... Lampiran 3. Perhitungan Recovery dan Kesalahan Sistematik ..................... Lampiran 4. Perhitungan Kesalahan Acak ....................................................
Cair (Liquid Smoke) ..................................................................
48
49
50
52
53 xiii
INTISARI
Salah satu pengawet makanan yang diusulkan sebagai pengganti formalin dan boraks adalah asap cair, yang merupakan hasil pirolisis lignin dan selulosa. Di dalam asap cair diduga ada kandungan senyawa fenolik sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan makanan. Padahal senyawa fenolik sangat toksik, bahkan dapat menimbulkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar senyawa fenolik pada kedua jenis asap cair yang mengalami cara pengolahan yang berbeda. rancangan penelitian acak lengkap pola satu arah. Pada penelitian ini, kadar senyawa fenolik total dalam asap cair ditetapkan dengan metode bromatometri. Data yang diperoleh dianalisis dengan Paired Samples T-test dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar senyawa fenolik dalam asap
b
cair dua kali distilasi disertai penyaringan (1,71 ± 0,04) % / dan asap cair satu
b b
kali destilasi (2,20 ± 0,04) % / b . Dari analisis T-test didapatkan nilai signifikansi 0,00 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar senyawa fenolik total dalam asap cair dua kali distilasi disertai penyaringan dengan asap cair satu kali distilasi. Dalam hal ini, kadar senyawa fenolik total dalam asap cair dua kali distilasi disertai penyaringan lebih sedikit daripada asap cair satu kali distilasi.
Kata kunci : Senyawa Fenolik, Bromatometri, asap cair xiv
ABSTRACT
Liquid smoke is one of preservatives that is claimed to substitute formalin and borax. It is gained throughout the busting of lignin and cellulose in plant. Therefore, it may contains phenol substances. In the other hand, phenol is very toxic as it can causes sudden death on human. This research is aimed to determine the phenol substances level in two different kinds of liquid smoke. experimental design. In this research, phenol substances in liquid smoke is detemined throughout bromatometric method. The data then analyzed with Paired Samples T-test in confidence level 95%.
The result shows that average level of phenol substance in twice distilled
w w
and refined liquid smoke is (1.71 ± 0.04) % / while (2.20 ± 0.04) % / in once
w w
distilled liquid smoke. Based on the Paired T-test result, there is a significant difference of phenolic substances cointained in both liquid smoke. In this case, the level of phenolic substances in twice distilled and refined liquid smoke is smaller than in once distilled liquid smoke.
Keywords : Phenol substances, Bromatometric method, liquid smoke xv
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya bahan makanan memerlukan pengawet untuk mencegah
konsumen. Bahan makanan yang diberi pengawet makanan adalah bahan makanan dalam kemasan yang memiliki kadaluarsa maupun bahan makanan segar.
Bahan pengawet makanan ditambahkan ke dalam makanan untuk mempertahankan kesegaran makanan yang diawetkan. Bahan makanan segar yang banyak diawetkan antara lain adalah daging, sayur-sayuran, ikan, tahu dan mie basah. Pengawet yang sering digunakan untuk mengawetkan bahan makanan segar adalah formalin dan boraks. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM-RI) pada tanggal 9 Januari 2006 melaporkan bahwa 77,78 persen sampel tahu di Jakarta mengandung formalin. Di Yogyakarta, sebanyak 64 persen sampel produk mie basah mengandung formalin. Ini berarti bahwa Yogyakarta merupakan daerah yang cukup rawan dan potensial dari peredaran mie yang mengandung formalin.
Formalin merupakan salah satu dari lima puluh empat bahan berbahaya yang tercantum dalam lampiran 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 472/Men.Kes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya bagi Kesehatan. Formalin adalah larutan 37% gas formaldehida dalam
2 air yang merupakan salah satu dari zat yang dilarang oleh pemerintah untuk B digunakan dalam makanan. Boraks (Na
2 B
4 O 7 .10H
2 O), bentuk garam dari asam borat seharusnya digunakan sebagai antiseptik untuk pemakaian luar badan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/Men.Kes/Per/X/1999, dicantumkan bahwa formalin (formaldehida) dan dalam makanan (Anonim, 1999 b).
Keracunan formalin dapat terjadi akibat dari konsumsi formalin dengan kadar tinggi yang digunakan sebagai pengawet dalam makanan, contohnya mie basah. Jenis makanan ini merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat akan kemungkinan adanya formalin dalam makanan dapat menjadi sebab terjadinya keracunan formalin. Kalau terpapar formaldehida dalam jumlah banyak, misalnya terminum, bisa menyebabkan kematian. Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversi menjadi asam format yang meningkatkan keasaman darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering, hipotermia, juga koma, atau sampai kepada kematian (Anonim, 2006).
Keracunan boraks dapat terjadi jika boraks dengan kadar tinggi masuk ke dalam tubuh. Boraks mempunyai efek merugikan pada testis dan hypotalamic
pituitary . Pada manusia dan hewan percobaan, zat kimia tersebut dapat
mempengaruhi fungsi reproduksi. Boraks mampu menekan produksi hormon testosteron dan sperma. Boraks juga mengganggu mekanisme balik sistem hormon pada daerah hypotalamic pituitary. Ketika diberikan pada binatang yang dalam masa kehamilan, boraks dapat mengakibatkan gangguan perkembangan
3 janin. Selain itu, penelitian pada sejumlah pekerja yang terpapar boraks, menunjukkan bahwa zat kimia tersebut terbukti dapat mengakibatkan eksema dan iritasi pada saluran pernapasan.
Bahan pengawet alternatif yang diduga cukup aman untuk digunakan adalah bahan pengawet makanan alami, misalnya asap cair (liquid smoke). Untuk formalin bisa membuat makanan bertahan sangat lama dengan kondisi terlihat segar serta tidak berpengaruh pada cita rasa, asap cair tetap memiliki rasa dan bau seperti asap walau dari segi kesehatan lebih baik dibandingkan bahan kimia.
Menurut penemu asap cair, Dr. A. H. Bambang Setiaji, M.Sc. dalam Setiaji (2000), pembuatan asap cair (liquid smoke) sangat sederhana. Tempurung kelapa dipanaskan dalam tungku pirolisis berdiameter 1,5 m. Tungku bagian atas ditutup dan diberi pipa saluran untuk mengumpulkan asap ke dalam drum besar yang dilengkapi dengan alat pendingin dan kumparan yang menghasilkan embun. Dari kondensasi tersebut terbentuklah cairan asap cair (liquid smoke). Agar cairan tidak terlalu hitam, perlu didistilasi agar lebih jernih. Asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena kemungkinan mengandung senyawa fenolik dan aldehida yang dapat membunuh bakteri pembusuk.
Asap cair yang dijual di pasaran ada dua macam, yaitu asap cair dengan satu kali distilasi dan asap cair dengan dua kali distilasi disertai penyaringan. Dengan adanya perbedaan jumlah distilasi terhadap asap cair, maka diduga terdapat perbedaan kadar senyawa fenolik total dalam kedua macam asap cair tersebut.
4 Senyawa fenolik termasuk fenol, merupakan substansi yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan tidak termasuk dalam bahan tambahan makanan
(additive) pada Codex Alimentarius, maupun yang dikeluarkan oleh Depkes berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/MenKes/Per/IX/88.
Apalagi, dengan paparan oral fenol sebesar 1 gram pada manusia dapat digunakan sebagai bahan pengawet alternatif.
Metode-metode yang dapat digunakan untuk menetapkan kadar senyawa fenolik adalah bromatometri, Gas Chromatography (Tesatovai dan Pacaikovai, 1983), HPLC (Tesatovai dan Pacaikovai, 1983), dan spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi 4-amino-phenazon (Lacoste, Venable, dan Stone, 1959).
Metode yang digunakan untuk menetapkan kadar senyawa fenolik dalam penelitian ini adalah bromatometri.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut muncul permasalahan sebagai berikut:
a. Apakah ada kandungan senyawa fenolik dalam asap cair?
b. Berapakah kadar senyawa fenolik total di dalam asap cair?
c. Apakah terdapat perbedaan kadar senyawa fenolik total antara dua macam asap cair yang telah mengalami pengolahan yang berbeda?
5
C. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran pustaka yang telah dilakukan, penelitian tentang penetapan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair dengan metode bromatometri belum pernah dilakukan.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi tentang adanya kandungan senyawa fenolik dalam asap cair.
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi tentang besarnya kadar senyawa fenolik total dalam asap cair.
c. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi tentang ada tidaknya perbedaan kadar senyawa fenolik total dalam dua macam asap cair yang berbeda pengolahannya.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan bahwa perbedaan cara pengolahan asap cair akan mengakibatkan perbedaan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair (liquid smoke).
3. Manfaat metodologis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan penetapan kadar senyawa fenolik total dalam pengawet makanan alami lainnya.
6
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk menetapkan kadar senyawa fenolik total di dalam asap cair (liquid
smoke )
2. Untuk membandingkan kadar senyawa fenolik total antara dua macam asap
cair (liquid smoke) yang diolah dengan cara berbeda.BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Asap Cair ( Liquid Smoke) Asap diartikan sebagai suatu suspensi partikel-partikel padat dan cair
larutan dari dispersi asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil pirolisis kayu. Cara yang umum digunakan untuk menghasilkan asap pada pengasapan makanan adalah dengan membakar serbuk gergaji kayu keras dalam suatu tempat yang disebut alat pembangkit asap, kemudian asap tersebut dialirkan ke rumah asap dalam kondisi sirkulasi udara dan temperatur yang terkontrol (Setiaji, 2000).
Asap cair yang diperoleh dari hasil pembakaran batok kelapa berupa cairan berwarna coklat keruh, sehingga asap cair tersebut didistilasi terlebih dahulu untuk mengurangi kandungan benzo[a]pyrene dalam asap cair. Namun, asap cair yang telah didistilasi masih keruh sehingga distilat yang diperoleh kemudian didistilasi kembali kemudian disaring sehingga didapatkan asap cair yang lebih jernih dan berwarna coklat sangat muda (Setiaji, 2000).
Produksi asap cair merupakan hasil pembakaran tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi karena pengaruh panas, polimerisasi, dan kondensasi. Penggunaan berbagai jenis kayu sebagai bahan bakar pengasapan telah banyak dilaporkan. Pembuatan bandeng asap di daerah Sidoarjo, menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan bakar seperti kayu bakau, serbuk
8 gergaji kayu jati, ampas tebu, dan kayu bekas kotak kemasan. Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras akan berbeda komposisinya dengan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu lunak. Pada umumnya kayu keras akan menghasilkan aroma yang lebih unggul, lebih kaya kandungan aromatik dan lebih banyak mengandung senyawa asam dibandingkan kayu lunak (Buell dan Girard,
Asap cair memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolik, dan karbonil. Pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa-senyawa sebagai berikut : asam asetat, asam formiat, maltol, metil siklopentenolon, etil siklopentenolon, dimetilsiklopentenolon, furfural, dan 5-hidroksimetilfurfural (dari hasil pirolisis selulosa), fenol, orto-, meta- dan para-kresol, guaiakol, 4-metilguaiakol, 4- etilguaiakol, 4-propilguaiakol, pirokatekol, trimetilfenol, vanilin, 4-(2-propio)- vanilon, 4-(1-propio)-vanilon, asetovanilon, 2,4,5-trimetilbenzaldehida, 4- hidroksiasetofenon, eugenol, cis- dan trans-isoeugenol, 2,6-dimetoksifenol (Syringol), 4-methylsyringol, 4-ethylsyringol, 4-propylsyringol, 4-acetosyringol, 4-(2-propio)-syringol, 4-(1-propio)-syringol, cis- dan trans-4-(1-propenyl)- syringol, 4-(2-propenyl)-syringol, dan syringaldehyde (dari hasil pirolisis lignin) (Anonim, 2001).
Di Amerika Serikat, pengolah daging menggunakan asap cair yang telah mengalami pengendapan dan penyaringan untuk memisahkan senyawa tar. Pasar internasional untuk produk asap cair ini meliputi Amerika, Eropa, Afrika, Australia, dan Amerika Selatan. Asap cair ini telah diaplikasikan pada
9 pengawetan daging, termasuk daging unggas, kudapan daging, ikan salmon dan kudapan lainnya. Asap cair juga digunakan untuk menambah citarasa pada saus, sup, sayuran dalam kaleng, bumbu, dan rempah-rempah (Setiaji, 2000).
Asap cair sudah umum digunakan untuk menggantikan pengasapan tradisional dan sudah diproduksi secara komersial. Komponen asap terutama asapan, dan berperan dalam pengawetan dengan bertindak sebagai antibakteri dan antioksidan. Asap telah diketahui memiliki sifat antioksidan dan antimikroba disamping sifat-sifat lain misalnya merubah tekstur pada produk olahan (daging, ikan) dan merubah kualitas nutrisi pada produk olahan (Setiaji, 2000).
Aplikasi baru asap cair adalah untuk menambah cita rasa pada makanan rendah lemak. Pada aplikasi tersebut perlu diperhatikan warna produk yang dihasilkan, karena ada beberapa produk yang menghendaki warna coklat, sementara beberapa produk lainnya tidak menghendaki terbentuknya warna coklat. Selain memiliki segi-segi keuntungan, proses pengasapan dapat menyebabkan bahan pangan mengandung benzo[a]piren yang bersifat karsinogen yang tidak dikehendaki, dan telah banyak dilakukan usaha untuk mengeliminasi kandungan senyawa tersebut dalam produk pengasapan (Setiaji, 2000).
Asap cair memiliki banyak manfaat dan telah digunakan pada berbagai industri, antara lain :
1. Industri pangan Asap cair ini mempunyai kegunaan yang sangat besar sebagai pemberi rasa dan aroma yang spesifik juga sebagai pengawet karena sifat antimikroba dan
10 antioksidannya. Dengan tersedianya asap cair maka proses pengasapan tradisional dengan menggunakan asap secara langsung yang mengandung banyak kelemahan seperti pencemaran lingkungan, proses tidak dapat dikendalikan, kualitas yang tidak konsisten serta timbulnya bahaya kebakaran dapat dihindari. Juga digunakan untuk food processing seperti tahu, mie
2. Industri perkebunan Asap cair dapat digunakan sebagai koagulan lateks dengan sifat fungsional asap cair seperti antijamur, antibakteri dan antioksidan tersebut dapat memperbaiki kualitas produk karet yang dihasilkan.
3. Industri kayu Kayu yang diolesi dengan asap cair mempunyai ketahanan terhadap serangan rayap daripada kayu yang tanpa diolesi asap cair (Setiaji, 2000).
B. Fenol
Fenol merupakan senyawa hidrokarbon aromatik monosubstitusi. Fenol murni berupa padatan kristalin yang berwarna putih, bahkan hampir tidak berwarna. Fenol akan terasa manis, berbau seperti bau asam bila terlarut dengan konsentrasi sekitar 40 ppb dalam udara dan 1-8 ppm dalam air. Fenol sangat mudah menguap/volatil, dan sangat larut dalam air. Fenol termasuk dalam senyawa yang mudah terbakar (ATSDR, 1988). Sifat fisika kimia fenol yang lainnya dapat dilihat pada tabel I.
11
Tabel I. Sifat Fisika Kimia Fenol
Sinonim Benzenol, hydroxybenzene, monophenol, oxybenzene, phenyl alcohol, phenyl hydrate, phenyl hydroxide
Nama dagang Carbolic acid, phenic acid, phenic alcohol Titik lebur (°C)
43 Titik didih (°C) 181,8 Tekanan uap (pada 25 °C) 0,3513 Kerapatan 1,0576 Flashpoint 85 °C Kelarutan (g/L pada 25 °C) 87 Log K ow 1,46 Berat molekul 94,12 Rumus empiris C
6 H
6 O
Rumus struktur OH (Lide, 1993)
Fenol secara alami terdapat dalam feses hewan maupun manusia, sebagai hasil penguraian asam amino aromatik dalam sistem metabolisme tubuh manusia.
Semua tumbuhan yang mengandung lignin dan selulosa juga bertindak sebagai sumber alami fenol di alam, sehingga fenol dalam skala besar biasanya didapatkan dengan mengisolasi kandungan fenol dalam batu bara (ATSDR, 1988).
Fenol banyak digunakan sebagai senyawa intermediate dalam sintesis senyawa resin fenolik, yang banyak digunakan dalam pembuatan plywood, senyawa adhesive, konstruksi bangunan, perakitan mobil, dan mesin-mesin industri. Fenol juga digunakan untuk membuat fiber sintetis misalnya nilon dan prekursor resin epoksi misalnya bis-fenol (ATSDR, 1988).
12 Fenol bersifat toksik pada bakteri dan jamur, sehingga banyak digunakan sebagai disinfektan. Karena sifat anastetiknya, fenol pernah digunakan sebagai obat anti-infeksi. Aktivitas bakterisid senyawa fenolik dibandingkan dengan fenol USP, dinyatakan sebagai koefisien fenol, yang menunjukkan perbandingan pengenceran desinfektan terhadap pengenceran fenol yang diperlukan untuk
Tabel II memberikan koefisien fenol beberapa fenol tersubstitusi dan senyawa fenolik yang memiliki daya bakterisid (Auterhoff, 1978).
Tabel II. Koefisien fenol beberapa fenol tersubstitusi dan
senyawa fenolik yang memiliki daya bakterisid.
Senyawa fenolik Koefisien fenol
Fenol 1 m-Kresol 2,5 Timol 30
Xylenol 70 Klor-timol 75
Akan tetapi, sekarang fenol tidak lagi digunakan dalam pengobatan karena paparan akut oleh fenol per inhalasi maupun kontak dermal dapat menyebabkan iritasi kulit, selaput membran, dan luka bakar. Paparan akut per oral sangat beracun, paparan sebanyak satu gram dapat bersifat letal bagi manusia. Dalam jumlah yang lebih rendah dapat menyebabkan kerusakan hepar dan ginjal, kerusakan sistem kardiovaskuler mencakup turunnya heart rate, depresi otot jantung dan penurunan tekanan darah. Paparan kronis fenol dapat menyebabkan nekrosis organ (Anonim, 2006).
13
C.
Farmakokinetika Fenol
Hasil penelitian pada tikus maupun sukarelawan menunjukkan bahwa fenol sangat mudah memapari manusia melalui berbagai jalur absorbsi.
Ditemukannya lebih dari 90% fenol dari dosis yang diberikan pada urin menunjukkan bahwa fenol dapat diabsorbsi sempurna oleh tubuh (Hughes dan dipengaruhi oleh jalur pemaparan fenol. Pemaparan melalui kulit memungkinkan fenol yang terabsorbsi menjadi lebih sedikit dibanding pemaparan jalur per oral dan per inhalasi (Tanaka et al., 1998). Akan tetapi, kecepatan absorbsi fenol melalui pemaparan jalur manapun adalah sama, yang ditunjukkan dengan waktu onset penampakan gejala keracunan fenol adalah 4,5 jam setelah pemaparan (Hotchkiss et al., 1992; Hughes dan Hall, 1995).
Fenol akan segera terdistribusi dengan cepat di dalam tubuh melalui jalur pemaparan manapun. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa organ-organ yang memiliki kemampuan perfusi tinggi, seperti hepar, ginjal, dan paru mengandung fenol dalam kadar yang lebih tinggi dibanding di dalam darah (Hughes dan Hall, 1995).
Di dalam tubuh, fenol akan mengalami biotransformasi umumnya pada fase dua dengan berlangsungnya konjugasi sulfat dan glukuronat. Namun fenol yang tidak terkonjugasi akan menjadi substrat untuk oksidasi enzim sitokrom P450 2E1, menghasilkan senyawa hidrokuinon, bifenol dan katekol (Barron, 2002).
14 Hasil penelitian Capel et al. (1972) dengan memberikan senyawa fenol secara per oral dengan dosis 0,01 mg/kgBB pada tiga orang dewasa sehat, menunjukkan bahwa 85-95% dari dosis fenol yang diberikan akan diekskresikan keluar dari tubuh setelah 24 jam dengan 69-90% dieksresikan sebagai fenil sulfat, 4-23% dieksresikan sebagai fenil glukuronida, sementara sisanya dieksresikan
Namun pada pemberian dengan dosis lebih tinggi, jalur sulfasi dan glukuronidasi menjadi jenuh, sehingga fenol tidak dapat termetabolisme. Hal ini akan mengakibatkan naiknya kadar fenol secara mendadak di dalam darah yang berkorelasi dengan semakin meningkatnya toksisitas akut fenol (Sawahata dan Neal, 1983; Gilmour et al., 1986; Chapman et al., 1994; Kenyon et al., 1998).
Fenol dalam jumlah kecil akan sangat mudah diekskresikan dari tubuh tanpa mengalami akumulasi, dengan jalur utama ekskresi adalah melalui urin, dan sedikit sekali yang dikeluarkan melalui hepar (Ohtsuji dan Ikeda, 1972). Fenol juga memiliki klirens dalam darah yang sangat cepat karena waktu paruh fenol dalam darah diperkirakan hanya 13,86 jam (Bentur et al., 1998).
D. Bahan Tambahan Makanan
1. Pengertian bahan tambahan makanan Bahan tambahan makanan dalam pengertian luas adalah setiap bahan yang ditambahkan pada makanan. Istilah ini menunjukkan bahwa bahan tambahan makanan yang digunakan bertujuan untuk memberikan karakteristik makanan tertentu. Definisi ini termasuk beberapa bahan yang digunakan
15 dalam produksi, pengolahan, pengemasan, pengangkutan, atau penyimpanan makanan (Anonim, 1999 a).
Bahan tambahan makanan dalam pengertian khusus adalah senyawa kimia yang sengaja dimasukkan ke dalam makanan untuk membantu proses pembuatan, bertindak sebagai pengganti atau memperbaiki kualitas makanan menarik (deMan, 1989).
Penggunaan bahan tambahan dalam makanan mempunyai fungsi yang beragam. Bahan tambahan dapat membantu kestabilan pada penyimpanan makanan seperti membuat awet, sehat, dan menarik dari tempat awal produksi sampai tempat pemasaran. Bahan pangan membutuhkan bahan tambahan karena bahan pangan dapat rusak akibat pengaruh faktor lingkungan, misalnya perubahan temperatur, oksidasi, dan pencemaran mikroorganisme (Buckle et al., 1987).
Bahan tambahan mempunyai lima kegunaan, yaitu sebagai bahan yang ditambahkan untuk memelihara konsistensi produk (sebagai emulgator, stabilisator, pengembang, anti kempal), membuat makanan tetap dalam tekstur yang baik, meningkatkan atau menjaga nilai gizi (vitamin dan mineral), mempertahankan makanan tetap sehat (contohnya pengawet dan antioksidan), mengontrol keasaman atau kebasaan (contohnya ragi dan bahan-bahan untuk memodifikasi keasaman atau kebasaan makanan), mempertinggi aroma, dan memperkuat warna yang dikehendaki dengan bumbu-bumbu dan aroma alami (Lu, 1995).
16
2. Bahan pengawet kimia Bahan pengawet menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor : 722/Men.Kes/PER/X/1988 adalah bahan tambahan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Anonim, 1990). sejumlah besar bahan-bahan kimia yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan pangan atau ada di dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan pra-pengolahan atau penyimpanan. Untuk penyesuaian dengan penggunaannya dalam pengolahan secara baik, penggunaan bahan-bahan pengawet ini seharusnya tidak menimbulkan penipuan, menurunkan nilai gizi bahan pangan, dan tidak memungkinkan pertumbuhan organisme-organisme yang menimbulkan keracunan bahan pangan (Buckle et al., 1987).
National Health and Medical Research Council menyebutkan bahwa
bahan-bahan pengawet kimia yang digunakan dalam makanan antara lain: asam benzoat, sulfit, metabisulfit, nisin, asam askorbat dan propionat atau garam-garamnya dan senyawa peroksida (Buckle et al., 1987).
E. Titrasi Redoks
Analisis secara titrimetri berdasarkan reaksi kimia seperti : aA + tT
(1)
→ hasil Dengan keterangan : a molekul analit A bereaksi dengan t molekul pereaksi T.
Pereaksi T disebut titran, biasanya dalam sebuah buret, dalam bentuk larutan
17 dengan konsentrasi yang diketahui. Titran merupakan larutan standar dan konsentrasinya ditetapkan oleh suatu proses standarisasi. Penambahan titran dilakukan hingga sejumlah titran yang secara kimia setara dengan analit yang telah ditambahkan maka dapat dikatakan bahwa titik ekivalen telah tercapai.
Untuk mengetahui apakah penambahan titran sudah harus dihentikan, dapat tanggapan terhadap adanya titran berlebih yang biasanya ditunjukkan dengan perubahan warna (Underwood dan Ray, 1999).
Titik ekivalen tercapai bila grek analit tepat sama banyaknya dengan grek zat standar. Dalam titrimetri, titik ekivalen tersebut ditetapkan dengan memakai suatu indikator, yaitu zat yang akan mengalami perubahan saat titik ekivalen tercapai. Wujud perubahan indikator itu mungkin suatu perubahan warna atau pembentukan suatu presipitan. Pada umumnya perubahan indikator tersebut tidak terjadi tepat pada titik ekivalen tetapi beberapa saat setelah titik ekivalen itu tercapai. Saat suatu indikator mengalami perubahan disebut sebagai titik akhir titrasi. Pemilihan indikator harus setepat-tepatnya agar selisih antara titik ekivalen dan titik akhir titrasi menjadi sekecil-kecilnya sehingga mampu menekan resiko terjadinya kesalahan titrasi (Skoog dan West, 1994).
Titrasi redoks adalah titrasi yang meliputi hampir semua reaksi oksidasi- reduksi. Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia pada saat suatu senyawa mengalami kenaikan bilangan oksidasi sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi. Artinya, proses oksidasi disertai dengan hilangnya elektron, sedangkan reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah
18 senyawa yang mengandung salah satu atom yang mengalami penurunan bilangan oksidasi. Sebaliknya pada reduktor atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi atau reduksi harus selalu berlangsung bersama dan saling mengkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator reduktor mengacu kepada suatu senyawa tidak pada atomnya saja. Jika suatu zat berperan baik sebagai disproporsionasi (Khopkar, 1990).
Berbeda dengan reaksi netralisasi, pada reaksi redoks terjadi transfer elektron dari pasangan reduktor ke pasangan pengoksidasi. Kedua reaksi paro dari suatu reaksi reduksi-oksidasi umumnya ditulis sebagai berikut : red oks + ne (2) Red menunjukkan bentuk tereduksi dan oks menunjukkan bentuk teroksidasi, n adalah jumlah elektron yang ditransfer dan e adalah elektron. Tidak mungkin ada suatu reaksi paro redoks (reduksi-oksidasi), untuk itu diperlukan 2 reaksi paro, satu memberikan elektron dan yang lainnya mempergunakannya. Pada persamaan (2) terlihat bahwa oksidasi adalah proses hilangnya elektron pada suatu senyawa dan reduksi adalah proses suatu senyawa memperoleh elektron (Connors, 1982).
Hal lain yang harus diperhatikan pada analisis secara titrimetri adalah peneraan alat yang akan digunakan. Peneraan atau kalibrasi alat sangat penting untuk mengurangi kesalahan sistematik akibat pemilihan dan penggunaan alat yang digunakan dalam analisis. Pemilihan pipet dan buret dapat dilihat pada tabel
III dan tabel IV.
19
Tabel III. Syarat penggunaan pipet
Volume (ml) 1 2 3 10 25 50 100 Batas kesalahan (ml) 0,006 0,006 0,01 0,02 0,03 0,05 0,08 Batas kesalahan (%) 0,6 0,3 0,2 0,2 0,12 0,1 0,08
Tabel IV. Syarat penggunaan buret
Volume (ml) 10 25 50 Pembagian skala (ml) 0,02 0,1 0,1 Batas kesalahan (ml) 0,02 0,03 0,05
Tabel III dan IV dapat membantu penentuan pilihan terhadap penggunaan alat pipet maupun buret (Anonim, 1995).
F. Hipotesis
Cara pengolahan asap cair yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar senyawa fenolik total.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini tergolong dalam penelitian non-eksperimental analitik menggunakan uji T (Turkey). B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian a. Variabel bebas.
Variabel bebas yaitu variabel yang direncanakan untuk diberi pengaruhnya terhadap variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perlakuan pengolahan untuk mendapatkan asap cair yaitu distilasi dua kali disertai penyaringan dan distilasi satu kali.
b. Variabel tergantung.
Variabel tergantung yaitu titik pusat permasalahan yang merupakan kriteria penelitian ini. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar senyawa fenolik total dalam asap cair.
c. Variabel pengacau terkendali Variabel pengacau terkendali yaitu variabel yang diketahui atau secara teoritis mempuyai pengaruh terhadap variabel tergantung, tetapi dapat dikendalikan. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah :
21 1) Jenis asap cair. Asap cair yang digunakan adalah asap cair yang diambil dari satu toko.
2) Alat yang digunakan yaitu buret dan pipet dikendalikan dengan cara mengukur validitas metode yang digunakan [persen perolehan kembali (recovery), kesalahan sistematik, dan kesalahan acak].
Definisi Operasional
a. Liquid smoke adalah asap yang diperoleh dari hasil pirolisis tempurung kelapa yang kemudian dikondensasi untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan pengawet makanan.
b. Bromatometri adalah titrasi yang melibatkan reaksi reduksi oksidasi tidak langsung antara analit dengan brom bebas yang diperoleh dari reduksi bromat.
c. Pengolahan asap cair yaitu distilasi satu kali dan distilasi dua kali disertai penyaringan.
d. Kadar senyawa fenolik total dihitung sebagai fenol dalam asap cair dalam
b satuan % / b .
C.
Bahan Penelitian
Kalium bromat, natrium tiosulfat pentahidrat, amilum soluble, fenol, dan natrium hidroksida (p.a. E. Merck); Kalium bromida, kalium iodida (Sigma Chem. Co.); Asam klorida pekat (Brataco Chemica); Aquadest (Fakultas Farmasi USD Yogyakarta); Asap cair (liquid smoke) yang didistilasi satu kali (Asap cair A) dan asap cair yang didistilasi dua kali disertai penyaringan (Asap cair B).
22
D.
Alat Penelitian
Alat-alat gelas yang lazim digunakan dalam laboratorium analisis, timbangan analitik dengan sensitivitas 100,0 mg (Shimadzu, type LM20), buret dengan skala terkecil 0,05 ml.
Jalannya Penelitian
1. Pembuatan larutan Kalium bromat 0,1 N
Larutan kalium bromat 0,1 N dibuat dengan melarutkan 0,2784 g kalium bromat P (KBrO
3 ) dalam aquadest hingga 100,0 ml (Anonim, 1995).
2. Pembuatan dan pembakuan larutan standar Natrium tiosulfat 0,1 N Pembuatan.
Lebih kurang 6,5 g natrium tiosulfat pentahidrat P dan 50 mg natrium karbonat P dilarutkan dalam air bebas CO
2 yang sebelumnya telah dididihkan 5 menit dan didinginkan, hingga 250,0 ml (Anonim, 1995).