Hubungan antara body image dengan harga diri yang dimiliki oleh remaja putri SMU Negeri 1 Jatinom Klaten - USD Repository

  

HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE

DENGAN HARGA DIRI YANG DIMILIKI OLEH

REMAJA PUTRI SMU NEGERI 1 JATINOM KLATEN

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Nama : Irene Mahastiwi Hargiani

  NIM : 039114104

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL .......................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................ii HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................iii HALAMAN PERNYATAAN ………….........................................................iv HALAMAN MOTTO ………………………………………………………..v HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………………..vii ABSTRAK ........................................................................................................viii ABSTRACT ......................................................................................................ix KATA PENGANTAR .......................................................................................x DAFTAR ISI ......................................................................................................xiii DAFTAR SKEMA …………………………………………………………….xvi DAFTAR TABEL .............................................................................................xvii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................xviii

  BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah .........................................................................1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................7 C. Tujuan Penelitian ....................................................................................7 D. Manfaat Penelitian ..................................................................................7 a. Manfaat Teoritis ………..............................................................7 b. Manfaat Praktis ………………………………………………… 8 BAB II. LANDASAN TEORI ..........................................................................8 A. Body Image .............................................................................................9 1. Pengertian Body Image ….................................................................9 2. Komponen Body Image ………………………………………….....11 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Body Image ……………………13

  a.

  Pengertiaan Harga Diri ..........................................................15 b. Aspek-aspek Harga Diri ………...……………………....…..18 c. Pembentukan Harga Diri ………...………………………….20 d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Harga Diri ………………...………………………………………..……...21 2. Harga Diri Pada Remaja ………………………………………..24 C. Remaja …………….................................................................................24 1.

  Pengertian Remaja ……….………....................................................24 2. Perkembangan Fisik Masa Remaja ....................................................26 3. Batasan Usia Remaja ………………………………………………..27 D. Hubungan Antara Body Image dan Harga Diri Pada Remaja ….............29 E. Hipotesis ...................................................................................................31

  

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN …………………………….….….32

A. Jenis Penelitian .........................................................................................32 B. Identifikasi Variabel …………………………………………………....32 C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………………………...….…32 1. Body Image ……………….........................................................33 2. Harga Diri …………………………………..……………….....33 D. Subjek Penelitian………………………………………………………..33 E. Metode dan Alat Pengumpulan Data …………………………………...34 1. Metode Pengumpulan Data….......................................................34 2. Instrumen Pengumpulan Data …………………………………..35 a. Skala Body Image ………………...……………...…….……35 b. Skala Harga Diri …………….………………………....……36 3. Validitas ……………………………………………………........38 4. Seleksi Aitem ……………………………………………………39 5. Reliabilitas ………….………………..…………….....….……...40 F. Metode Analisis Data ………………………………………………........40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………....…41

A. Persiapan Penelitian ..................................................................................41

  2. Orientasi Kancah ………...………………………………………42 3.

  Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ...………………………43 B. Pelaksanaan Penelitiaan …………..……………………………….…….48 1.

  Deskripsi Subjek Penelitian …..………...….................................48 2. Cara Pengambilan Sampel ………...……..……………………...49 C. Hasil Penelitiaan …………..……………………………….………...….49 1.

  Hasil Uji Asumsi …..………...…...............................................49 2. Diskripsi Data Penelitian ………...……..……………………….51 3. Uji Hipotesis …………………………………………………….53 D. Pembahasan …………..……………………………….………...……....54

  

BAB V. PENUTUP ……………………….…………………………………….56

A. Kesimpulan ...............................................................................................56 B. Saran ………………………………………………………...…………..56 1. Bagi Remaja Putri …..………...…...............................................56 2. Bagi Penelitian Selanjutnya ………...……..…………………….57 C. Keterbatasan Penelitian ……………………...……………...…………..57

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………......59

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tak jumpa hampir setahun Tini tiba-tiba terkejut melihat

  keponakannya, Alia yang menjadi begitu kurus. Padahal sejak kecil Alia terbilang anak montok bahkan sampai terakhir bertemu, Alia masih subur.

  "Kenapa kamu, kok jadi kurus begitu?" tanya Tini kepada keponakannya yang duduk di kelas III SMP, yang ditanya hanya tersenyum-senyum saja. Dari ibunya, Tini baru paham kenapa tubuh Alia menjadi menyusut. "Dia diet supaya bisa kurus," jelas ibu Alia yang tinggal di lain kota dengan Tini. Tak hanya di Indonesia, dewasa ini remaja putri begitu peduli dengan penampilan fisiknya. Celakanya, banyak di antara remaja perempuan yang merasa punya tubuh jelek. Penelitian di AS seperti ditulis majalah Parents edisi Juni menyebutkan jumlah remaja putri yang merasa seperti itu (berbadan tak bagus) mencapai 80 persen. Mereka begitu terobsesi untuk lebih menguruskan badannya (Kompas, 11 Juni 2000).

  Alia merupakan salah satu contoh remaja yang menginginkan memiliki tubuh yang sempurna. Hal itu dilakukan dengan cara berusaha mengubah bentuk tubuhnya yang montok menjadi ramping dengan melakukan diet ketat. Badan yang ramping merupakan impian bagi semua remaja putri. D’Arcy (dalam Barbara, 2006) mengatakan bahwa remaja biasanya membandingkan aktris yang sering di lihat di TV, film, atau majalah. Lebih lanjut Barbara berpendapat bahwa remaja putri menginginkan tubuh yang langsing, badan yang tinggi, rambut lurus, hidung yang mancung, dan kaki yang jenjang. Budaya populer yang diwakili oleh artis penyanyi, model atau bintang-bintang film atau iklan sudah sedemikian mempengaruhi citra remaja terhadap bentuk tubuh ideal (Kompas, 11 Juni 2000). Pendapat masyarakat terhadap kriteria ideal, seorang wanita yang dikatakan menarik apabila memiliki tubuh yang langsing, pinggang yang kecil, kulit yang putih, rambut yang lurus, bibir yang tipis, kaki yang jenjang dan masih banyak lagi, menyebabkan remaja mau tidak mau melakukan berbagai upaya untuk memenuhi body image yang ada dalam masyarakat.

  Menurut Hurlock (1973), masa remaja adalah masa diantara kanak- kanak dan dewasa, masa itu ditandai oleh perubahan secara fisik yaitu perubahan tinggi badan, perubahan secara biologis, serta perubahan sikap dan minat. Selain itu, banyak remaja yang menghayati perubahan tubuh mereka sebagai sesuatu hal yang ganjil dan asing yang selalu membingungkan mereka.

  Remaja pada umumnya memang memperhatikan pandangan dan penilaian orang lain terhadap keadaan fisiknya. Hamburg (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa remaja memiliki perhatian yang berlebihan terhadap citra tubuh. Remaja khawatir terhadap ketidaksempurnaan tubuh mereka yaitu bentuk badan yang terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu pendek, terlalu tinggi

  (Mappiere, 1982). Para remaja yang menyadari bahwa mereka yang menarik biasanya diperlakukan lebih baik daripada mereka yang kurang menarik.

  Akibatnya jika mereka merasa bahwa dirinya tidak seideal yang diharapkan, selama masa pertumbuhan belum berakhir mereka akan mencari cara untuk memperbaiki penampilannya (Hurlock, 1994).

  Grinder (1978) menambahkan bahwa body image umumnya memiliki arti yang lebih kritis bagi remaja wanita daripada remaja pria, sebab dalam masyarakat wanita mendapat tekanan lebih besar, sehingga wanita lebih cenderung berusaha memanfaatkan penampilan tubuh daripada pria. Selain itu perbedaan cara pandang antara pria dan wanita yang menjadi penyebab mengapa wanita lebih memperhatikan penampilannya. Hurlock (1973) berpendapat bahwa pria cenderung mempunyai opini yang tidak menyenangkan terhadap kemampuannya, sedangkan remaja wanita cenderung bersikap kritis terhadap penampilannya, karena masyarakat memberikan lebih banyak penilaian terhadap penampilan remaja wanita.

  Aznen (dalam Soekarsono, 1996) mengungkapkan bahwa dalam melihat kaum pria, wanita lebih menitik beratkan pada isi atau pribadi, sebab wanita dididik untuk punya perasaan halus dan sensitif, sehingga wanitapun ingin mendapatkan hal yang sama. Sebaliknya pria lebih memperhatikan kulit atau penampilan fisik karena pria dalam masyarakat tradisional selalu dijagokan, pria sudah terbiasa dengan pendapat bahwa wanita dinilai dari kecantikannya.

  Selain itu, sejarah juga menjadi penyebab wanita lebih memperhatikan penampilan daripada pria. Savitri (1997) mengatakan bahwa perhatian kaum wanita terhadap penampilan yang jauh lebih besar dibanding pria disebabkan oleh sejarah yang menggambarkan sejak berabad-abad sebelumnya (zaman Yunani, Romawi dan Mesir Kuno) sosok wanita selalu dilukiskan cantik jelita. Cleopatra, Helen dari Troya, atau Nefertiti dapat menaklukkan laki-laki dan dunia, oleh karena itu berkembanglah mitos bahwa seorang wanita haruslah cantik secara fisik, terutama kalau ingin berhasil dalam hidup. Mitos itulah yang secara dibawah sadar tertanam kuat di kepala wanita dari zaman ke zaman.

  Coopersmith (dalam Setyaningsih, 1992) mengatakan bahwa harga diri merupakan pusat penyesuaian diri yang baik, kebahagiaan personal, dan fungsi afektif, baik pada anak-anak, remaja, maupun pada orang dewasa. Harga diri mengarah pada evaluasi diri yang dibentuk individu, sebagian berasal dari interaksinya dengan lingkungannya, penerimaan dan perlakuan orang lain terhadap mereka, serta penerimaan terhadap diri sendiri. Seorang remaja yang memiliki harga diri tinggi percaya akan kemampuannya untuk mewujudkan cita-cita, percaya pada potensi akademiknya, serta memiliki hubungan baik dengan orang tua dan kelompok bermainnya. Ditambahkan oleh Rahayu (1978) yang mengutip pendapat Adam dan Ford, bahwa apabila seseorang memiliki taraf harga diri yang tinggi, akan dapat menyusun konsep diri yang positif, yang berkaitan dengan kemampuan untuk beraktualisasi diri. yang ragu-ragu dalam berhubungan dengan orang lain, merasa rendah diri, tidak berani tampil dimuka umum, tidak merasa yakin dengan kemampuannya untuk mewujudkan cita-citanya. Dengan demikian kesulitan lebih sering timbul pada individu yang memiliki harga diri rendah.

  Harga diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang cukup penting yaitu penerimaan terhadap fisik sendiri. Apabila seseorang dapat menerima fisiknya dengan baik maka orang yang bersangkutan akan menunjukkan penampilan yang lebih menyenangkan, selanjutnya diharapkan harga dirinya akan meningkat. Hal ini diperkuat oleh penelitian Shrauger dan Terbovic (1976), bahwa orang-orang yang menunjukkan penampilan yang lebih menyenangkan memiliki harga diri yang tinggi. Sebaliknya orang-orang yang menunjukkan penampilan yang kurang menyenangkan memiliki harga diri yang rendah, tidak menyukai dirinya sendiri, menghinakan dirinya dan mengganggap dirinya tidak cakap dalam menghadapi lingkungannya dengan efektif.

  Pada remaja, harga diri sudah mulai timbul dengan kuat. Karena itu kebutuhan harga diri sudah mulai harus dipenuhi. Akibat hilangnya harga diri itu antara lain merasa rendah diri, tidak berani, lekas tersinggung, dan lekas marah (Nusirwan, 1979). Berkaitan dengan perkembangan harga diri remaja, maka remaja juga mengalami perkembangan dalam pembentukan fisik menuju arah yang lebih dewasa. Perkembangan fisik remaja juga dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian remaja. Remaja akan mendapatkan perasaan bahagia bila berhasil dalam menyelesaikan tugas perkembangan yang menyangkut perkembangan fisik, mental, sosial, dan moral (Mappiere, 1982).

  Ketidakpuasan terhadap tubuh menunjukkan body image yang rendah , yang menjadi salah satu penyebab timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya harga diri (Hurlock, 1993). Penelitian Secord dan Jourard (dikutip oleh Robinson dan Shaver, 1973) menunjukkan 43,56 persen dari harga diri wanita ditentukan oleh body image, sedangkan pengaruhnya pada pria lebih rendah yaitu 33,46 persen. Harga diri yang rendah pada seseorang individu dapat menurunkan kemampuan individu tersebut untuk mengembangkan diri dan membina hubungan dengan orang lain (Helmi dan Ramdhani, 1992).

  Body image mempunyai dampak yang menyeluruh pada perasaan kita

  mengenai diri kita. Selain itu ada kaitan langsung antara body image dengan harga diri remaja. Semakin baik perasaan remaja akan apapun yang terjadi pada tubuhnya, semakin tinggi pula rasa harga diri seseorang (Huntington, 2002). Harapan lingkungan, keluarga, dan teman sangat berpengaruh terhadap perasaan remaja akan body image yang mereka miliki, selain itu remaja juga cenderung ingin memperoleh body image berdasarkan harapan orang-orang yang ada disekitarnya, namun remaja yang memiliki pemikiran positif dan optimis terhadap body imagenya, hal itu akan menyebabkan penerimaan diri yang positif terhadap apapun dan bagaimanapun keadaan yang ada pada diri mereka. Sehingga hal itu dapat mempengaruhi meningkatnya harga diri yang ada pada remaja tersebut (Jonathan dalam Barbara,2006).

  Berdasarkan fakta, pendapat para ahli dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, terlihat bahwa dalam masa perkembangannya remaja putri selalu dihadapkan pada permasalahan yang berkaitan dengan body image dan harga diri. Bagaimana hubungan antara body image dengan harga diri yang dimiliki oleh remaja putri di daerah pedesaan akan digambarkan dalam penelitian ini, karena pada masyarakat pedesaan informasi yang berupa media massa dan teknologi yang diperoleh cenderung lebih lama sampai daripada daerah perkotaan.

  B. PERUMUSAN MASALAH

  “Apakah ada hubungan antara body image dengan harga diri yang dimiliki oleh remaja putri di SMU Negeri 1 Jatinom Klaten?”

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan antara

  

body image dengan harga diri yang dimiliki oleh remaja putri di SMU Negeri

1 Jatinom Klaten.

  D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dan memberikan sumbangan dalam bidang psikologi khususnya dalam dimiliki pada masa perkembangan yang dihadapi oleh remaja putri dan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

  Penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan sebagai informasi kepada pembaca tentang hubungan antara body image dan harga diri. Selain itu, sebagai bahan evaluasi dan refleksi bagi remaja tentang pentingnya membangun kesadaran secara positif tentang body imagenya, dengan demikian diharapkan mereka mempunyai harga diri yang tinggi sehingga mereka akan berhasil mengembangkan diri dan lebih percaya diri dalam membina hubungan dengan orang lain.

BAB II LANDASAN TEORI A. CITRA RAGA 1. Pengertian Citra Raga Istilah body image atau citra raga pertama kali diperkenalkan oleh seorang neurolog dan psikiater bernama Paul Schilder pada tahun 1920.

  menurut Schilder (dalam Grogan, 1999) definisi citra raga adalah gambaran mental yang dimiliki setiap individu tentang penampilan tubuhnya yang dibentuk dalam kerangka pikir dan merupakan refleksi atas sikap dan interaksi dengan orang lain. Wolman (1973) juga menyatakan bahwa citra raga adalah gambaran mental tentang raga atau tubuh seseorang yang berasal dari sensasi internal, emosi-emosi, fantasi, perawatan tubuh serta pengalamannya sehubungan dengan obyek-obyek luar maupun orang lain

  Jersild (1979) mengatakan bahwa citra raga digambarkan oleh tingkat kepuasan individu terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan keseluruhan.

  Senada dengan Jersild, Burns (1979) menyatakan bahwa citra raga merupakan estimasi dan evaluasi diri dari bagian-bagian tubuh yang berhubungan dengan norma-norma dan umpan balik dari orang lain. Dari pendapat Jersild dan Burns, Gardner (1996) secara lengkap menyatakan bahwa citra raga adalah konsep pandangan seseorang terhadap bagian-bagian tubuhnya maupun penampilan fisik secara keseluruhan berdasarkan penilaian diri sendiri

  Unger dan Crawford (1992) mengambarkan citra raga sebagai suatu evaluasi dan penilaian diri individu terhadap raganya. Apakah raga dan penampilan fisiknya menyenagkan atau tidak, memuaskan untuk diterima atau tidak. Evaluasi diri sendiri dapat menimbulkan perasaan senang atau tidak senang, puas atau tidak puas terhadap keadaan fisiknya. Tingkat citra raga digambarkan dengan seberapa jauh individu merasa puas terhadap bagian- bagian raganya dan penampilan fisik secara keseluruhan (Jersild dalam Dewi, 1999).

  Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa body

  

image atau citra raga adalah konsep pandangan seseorang terhadap bagian-

  bagian tubuhnya maupun penampilan fisik secara keseluruhan berdasarkan pandangan tentang tubuh, penilaian tentang tubuh serta emosi yang dibentuk oleh tubuh yang memberikan gambaran tentang tingkat kepuasan individu terhadap tubuhnya. Hal tersebut memuat kepuasan terhadap fisik dan penampilan serta kepuasan terhadap kekuatan dan ketahanan fisiknya dan adanya intensitas upaya untuk memperbaiki penampilannya yang sesuai dengan standar fisik ideal yang ada dimasyarakat.

2. Aspek Citra Raga

  Ada beberapa ahli yang mengemukakan komponen citra raga. Jersild (1979); Gardner, (1996) mengatakan citra raga berkaitan dengan dua komponen yaitu: a.

  Komponen persepsi, bagaimana individu menggambarkan kondisi mengestimasi ukuran tubuh seperti tinggi atau pendek, cantik atau jelek, putih atau hitam, kuat atau lemah.

  b.

  Komponen sikap yaitu berhubungan dengan kepuasan atau perasaan individu terhadap tubuhnya. Perasaan ini diwakili dengan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan individu terhadap bagian-bagian tubuh ataupun keseluruhan tubuh (Jersild, 1979 dan Gardner, 1996).

  Dalam menggambarkan kondisi fisiknya, seseorang akan memberikan penilaian terhadap tubuhnya. Oleh karena itu penilaian merupakan aspek yang tepat sebagai wakil dari komponen persepsi, sedangkan komponen sikap mengarah pada perasaan yang diwakilkan dengan tingkat kepuasan maupun ketidakpuasan seseorang terhadap bagian-bagian tubuh maupun keseluruhan tubuh. Komponen sikap mengarah pada sikap yang muncul pada kondisi- kondisi tertentu sehingga muncul harapan-harapan mengenai tubuhnya dan biasanya terjadi tindakan untuk mewujudkan tindakan tersebut (Jersild, 1979; Gardner, 1996). Oleh karena itu aspek afektif dan aspek kognitif mewakili komponen sikap.

  Berdasarkan uraian diatas, Thompson et all (1999) mengemukakan bahwa aspek citra raga meliputi: a.

  Aspek afektif yaitu adanya emosi atau perasaan terhadap tubuhnya contohnya: kesal, kecewa, tidak puas, tidak suka, tertekan dan cemas.

  b.

  Aspek kognitif yaitu ditandai adanya keinginan atau harapan untuk memiliki tubuh dan berpenampilan lebih baik. c.

  Aspek penilaian yaitu bagaimana persepsi seseorang dalam mengestimasi ukuran tubuh individu seperti: “bentuk tubuh saya indah”. Pengukuran terhadap ketiga aspek tersebut akan menghasilkan kepuasan maupun ketidakpuasan seseorang terhadap tubuhnya. Ketidakpuasan akan menunjukkan rendahnya citra raga, sebaliknya kepuasan akan menunjukkan tingginya citra raga seseorang.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Citra Raga a.

  Budaya Budaya mempunyai pengaruh yang besar terhadap terbentuknya citra raga karena dalam perkembangan masyarakat sendiri konsep tersebut menyesuaikan dengan budaya yang digemari masyarakat. Dalam masyarakat barat sendiri, wanita menganggap tubuh yang ideal adalah langsing sehingga memiliki tubuh langsing sering diasosiasikan dengan keberhasilan dan adanya penerimaan sosial, sedangkan kelebihan berat badan sering dianggap pemalas dan tidak adanya kekuatan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1986), berbagai macam penampilan fisik yang dianggap menarik dan tidak menarik banyak ditentukan oleh kebudayaan.

  Selain itu reaksi sosial memberikan kesadaran pada masa dewasa awal mengenai tubuh yang sesuai atau tidak sesuai dengan standar budaya.

  b.

  Media massa Salah satu faktor yang sangat banyak memberikan dampak pada Heinberg, 1996). Kegencaran media massa cetak, radio dan televisi yang menampilkan slogan kecantikan, keberhasilan, kebahagiaan, harga diri semuanya didasari oleh kerampingan tubuh. Media massa juga mengajari cara mencapai standar kerampingan tersebut, terbukti dari banyaknya tayangan iklan obat-obat pelangsing atau pusat-pusat kebugaran tubuh dan artikel-artikel diet. Media massa seperti film memiliki pengaruh yang besar terhadap terbentuknya citra raga. Ada anggapan bahwa tekanan pada wanita untuk mempunyai tubuh dan ukuran yang ideal lebih kuat daripada pria. Silverstain menyatakan bahwa wanita lebih banyak ditampilkan di media massa untuk menjadi patokan tentang ketertarikan fisik yang berkaitan tentang tubuh ramping dan langsing. (Grogan, 1999).

  c.

  Faktor psikologis Pada dasarnya citra raga merupakan bagian dari konsep diri, karena citra raga dipengaruhi oleh pemikiran tentang tubuh ideal dan reaksi dari orang lain terhadap tubuhnya sehingga berpengaruh terhadap konsep diri seseorang (Hardy dan Heyes, 1988). Dapat diartikan pula bahwa bila seseorang dapat menerima dirinya dengan baik maka dia memiliki pandangan positif terhadap dirinya, sedangkan individu yang tidak dapat menerima dirinya dengan baik, maka dia tidak dapat memandang dirinya secara positif. Citra raga merupakan bagian dari konsep diri. Hal itu sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Kihlstrom dan Cantor (dalam Calhoun and Acocella, 1990) bahwa citra raga adalah gambaran mental konsep diri. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hardy dan Heyes (1988) bahwa citra raga merupakan konsep diri yang berkaitan dengan sifat fisik. Hurlock (1993) secara jelas menggambarkan bahwa kegagalan mengalami kepuasan terhadap tubuh, yang berarti memiliki citra raga yang negative menjadi salah satu timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya harga diri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki citra raga yang negative akan menyebabkan konsep diri dan harga diri yang negative pula.

  Hardy (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan citra raga adalah reaksi dari orang lain, peranan seseorang dari identifikasi terhadap orang lain serta perbandingan dengan orang lain.

  Selanjutnya Schonfeld (dalam Blyth, 1985) menyatakan bahwa suatu evaluasi terhadap penampilan fisik dipengaruhi oleh reaksi orang lain terhadapnya, perbandingan perkembangan fisik individu dengan perkembangan fisik orang lain, perbandingan terhadap cultural.

B. HARGA DIRI REMAJA

1. Harga Diri

a. Pengertian Harga Diri

  Harga diri merupakan persepsi yang bersifat khusus bagi penilaian seseorang tentang dirinya (Shrauger, 1976). Sedangkan menurut Branden (1980) bahwa harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian sebagai pada proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, berpengaruh pada nilai-nilai dan tujuan hidupnya. Harga diri memainkan peran yang menentukan dalam tingkah laku individu.

  Branden (2001) menambahkan bahwa harga diri merupakan pengalaman intim yang berada dalam inti kehidupan. Harga diri adalah apa yang dipikirkan dan dirasakan tentang diri kita sendiri, bukanlah apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan oleh orang lain tentang siapa diri kita sebenarnya. Harga diri mempunyai dua komponen yaitu perasaan pribadi dan perasaan nilai pribadi. Sehingga dengan kata lain, harga diri merupakan perpaduan antara kepercayaan diri (self-confidence) dengan penghormatan diri

  

(self respect). Terkait dengan kepercayaan diri, Berne dan Savary (1988)

  mendefinisikan harga diri sebagai penopang rasa percaya diri sehingga seseorang dapat membina hubungan yang sehat dengan orang lain, melihat diri mereka sebagai orang yang berhasil dan memperlakukan orang lain tanpa kekerasan.

  Sedangkan Roosenberg (dalam Burn, 1982) mendefinisikan harga diri sebagai perasaan individu bahwa dirinya berharga, menerima diri apa adanya dengan keyakinan bahwa kita layak, mampu, berguna dalam apapun yang telah, sedang, dan akan terjadi dalam hidup, puas dengan apa yang dimilikinya, serta tidak merasa kecewa atas keterbatasannya, ditambahkan oleh Brecht (2001) mendefinisikan harga diri sebagai kemampuan memfokuskan diri pada apa yang telah dilakukan dan apa yang dapat dilakukan, bukan apa yang belum dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan.

  Coopersmith (1967) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat keyakinan bahwa dirinya sendiri mampu, penting, berhasil dan berharga.

  Dengan kata lain harga diri merupakan suatu penilaian pribadi terhadap perasaan berharga yang diekspresikan di dalam sikap-sikap yang dipegang oleh individu tersebut. Walaupun tampak mengacu pada pengalaman subyektif, harga diri akan muncul dalam perilaku yang dapat diamati.

  Calhoun (1990) berpendapat bahwa harga diri merupakan hasil dari salah satu dimensi dari konsep diri yaitu evaluasi diri, yang dimaksud adalah penilaian terhadap diri sendiri melawan apa yang dirasakan dapat dilakukan dan harus dapat dilakukan. Jadi evaluasi merupakan penilaian terhadap diri yang nyata dan diri yang dicita-citakan. Hasil dari penilaian ini menunjukkan tingkat harga diri seseorang. Seperti juga Calhoun, Hamachek (1987) mendefinisikan harga diri sebagai konstruksi evaluatif atas hal-hal yang dilakukan, atas siapa dirinya, dan apa yang berhasil dicapai berdasarkan pemahaman pribadinya atas kebaikan, keberhargaan, dan atau hal-hal penting yang berhubungan dengan itu.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan aspek kepribadian yaitu hasil penilaian atau hasil evaluasi seseorang tentang dicapainya yang kemudian menjadi penopang kepercayaan diri dan keberhargaan dirinya.

b. Aspek-Aspek Harga Diri

  Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa Coopersmith (1967) membatasi harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh seseorang dan bersifat menetap. Dalam analisisnya tentang harga diri, Coopersmith menjelaskan bahwa aspek-aspek yang ada didalam harga diri dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai dan aspirasi, serta mekanisme pertahanan diri. Berikut ini adalah aspek-aspek harga diri tersebut:

  (1.) Kesuksesan Kesuksesan ini dapat diartikan berbagai macam, namun secara umum kesuksesan teraih melalui tercapainya kepuasan tertentu, mungkin popularitas, atau tercapainya suatu penghargaan (reward). Arti dari sebuah kesuksesan juga dipengaruhi oleh nilai dan aspirasi masyarakat sebagai suatu latar belakang budaya. Empat ukuran kesuksesan yang relative objektif adalah:

  (a.) Kekuasaan Yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan mengontrol dan mempengaruhi diri sendiri dan orang lain.

  Kekuasaan akan tampak apabila orang lain menghargai, mempertimbangkan hak dan pendapat orang tersebut.

  (b.) Rasa Keberartian Rasa keberartian yang ada pada diri sesorang meliputi penerimaan, perhatian, dan afeksi dari orang lain. Hal ini ditandai dengan kehangatan, responsive, dan minat kepada orang lain seperti kepada dirinya sendiri.

  (c.) Pemilikan Moral dan Etik Orang tua sangat diharapkan untuk memberikan bimbingan yang sesuai dengan tradisi setempat dan nilai-nilai keagamaan yang ada kepada anak-anak mereka. Indikator positif yang tampak adalah perilaku yang tidak agresif, tidak mencuri, dan hormat kepada orang tua. (d.) Kompetensi

  Kompetensi digambarkan sebagai kemampuan individu dalam mencapai prestasi. Akan tampak sebagai perilaku spontan pada anak- anak serta kemandirian yang memberikan perasaan berharga terhadap segala sesuatu yang dilakukannya.

  (2.) Nilai dan Aspirasi Yang dimaksud dengan nilai seperti dalam konteks nilai kompetrensi berdasarkan usia atau nilai keberartian yang berdasarkan lingkungan sosial. Sedangkan aspirasi yang dimaksud disini adalah seperti yang dialami pada orang-orang yang lebih sering sukses akan lebih objektif

  (3.) Mekanisme Pertahanan Diri Interpretasi terhadap kenyataan hidup tergantung bagaimana cara individu menangani suatu masalah dan situasi. Lingkungan terkadang menimbulkan kecemasan-kecemasan pada individu namun apabila individu dapat mempertahankan diri dengan baik, maka dia akan merasa cukup berharga bagi dirinya sendiri.

  Selain ketiga hal diatas, Coopersmith menambahkan bahwa harga diri memiliki pengaruh besar terhadap penyesuaian diri yang baik, kebahagiaan personal, dan fungsi efektif baik pada anak-anak juga terhadap orang dewasa. Harga diri menunjukkan pengenalan individu terhadap diri sendiri serta sikap mereka terhadap diri sendiri.

  Seorang anak dengan harga diri yang tinggi percaya akan kemampuannya untuk mencapai cita-cita, percaya pada kompetensi akademiknya, serta memiliki hubungan baik dengan orang tua dan kelompok bermainnya.

c. Pembentukan Harga Diri

  Harga diri seseorang mengalami perkembangan. Menurut Branden (2001) mengembangkan harga diri berarti mengembangkan keyakinan- keyakinan seseorang bahwa individu mampu hidup dan patut untuk bahagia.

  Mengembangkan harga diri berarti memperluas kapasitas untuk mencapai kebahagiaan.

  Namun harga diri tidak ada secara otomatis. Kesadaran dan kualitas pengalaman seseorang berhubungan dengan individu lain (Pudjijogyanti dalam Herkusumaningtyasrini, 2002). Clemes dan Bean (1995) berpendapat bahwa pandangan tentang diri sendiri dan harga diri berkembang secara bertahap sepanjang hidup, diawali dari masa bayi dan berkembang melampaui berbagai tahap yang semakin rumit. Setiap tahap yang semakin rumit. Setiap tahap perkembangan memberinya kesan baru, perasaan, dan pada akhirnya perasaan kompleks tentang diri sendiri. Hasil akhirnya adalah perasaan menyeluruh tentang harga diri atau ketidakmampuan diri.

  Membangun harga diri harus dilakukan pada saat seseorang masih pada masa kanak-kanak karena apa yang tertanam akan terus dibawa sampai seseorang tersebut beranjak dewasa (Hurlock, 1990). Hal ini diperkuat oleh Tjahjono (1998) yang mengatakan bahwa perasaan harga diri yang rendah banyak dilatarbelakangi masalah-masalah yang terjadi pada masa kanak- kanak. Faktor perilaku yang penting adalah bagaimana anak merasakan dirinya sendiri. Perasaan tidak berarti dan kurang penghargaan diri mempengaruhi motif, sikap, dan perilaku anak. Sedangkan Berne dan Savary (1988) mengungkapkan bahwa membangun harga diri merupakan suatu proses yang berjalan lambat. Kesabaran dan ketabahan adalah penting karena sifat tersebut membantu sekali dalam membangun harga diri.

  Pembentukan harga diri dipengaruhi oleh adanya penghargaan, pengertian, penerimaan, dan perlakuan orang lain terhadap dirinya sendiri, juga adanya prestasi yang dicapai, lingkungan sosial dan lingkungan dimana

d. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Harga Diri

  (1.) Faktor Internal atau Psikologis Individu

  Coopersmith (1967) menyatakan beberapa ubahan yang ada pada harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi, dan mekanisme pertahanan diri. Kesuksesan mempunyai arti yang tidak sama pada tiap individu, tetapi tetap memberikan pengaruh pada harga diri. Kesuksesan dapat dipandang sebagai popularitas, hadiah, kepuasan, ataupun yang lain. Nilai yang dimaksud Coopersmith lebih kepada konteks nilai kompetensi berdasarkan lingkungan sosialnya. (2.)

  Lingkungan Keluarga Setiap individu dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sosial.

  Dia dipelihara dan diasuh oleh orang dewasa disekitarnya, biasanya orang tua, dan ini akan menumbuhkan ikatan antara orang tua dan anak (Noesjirwan, 1979). Sikap dan perlakuan orang tua lebih membentuk kepribadian seseorang (Hurlock, 1973) karena dari sikap orang tua inilah anak dapat merasa diterima atau ditolak, merasa berharga atau tidak berharga, dicintai atau tidak dicintai orang tuanya.

  (3.) Lingkungan Sosial

  Perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri tergantung terhadap bagaimana individu membandingkan dirinya dengan orang lain. Harga diri tumbuh secara luas dari persepsinya mengenai bagaimana individu melihat dirinya sendiri dalam relasinya dengan orang lain (Hamachek, 1987). tentang dirinya dan juga berdasarkan penilaian orang lain atas dirinya (Noesjirwan, 1979).

  (4.) Kondisi Fisik

  Wright (dalam Setyaningsih, 1992) mengatakan bahwa orang cacat cenderung menunjukkan penerimaan sosial yang negative akibat kurangnya penghargaan sosial terhadap dirinya. Hal tersebut juga dikuatkan oleh hasil beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa penampilan menarik (physical attractiveness) berkolaborasi positif dengan harga diri seseorang (Adams, Letner dan Karabenick; Simon dan Roosenberg, dalam Sjabadhyni dan Alfarani, 2001) individu yang berpenampilan menarik juga lebih dihargai dan mendapatkan perlakuan istimewa dari lingkungannya (Hatfield dan Sprecher, dalam Sjabadhyni dan Alfarani, 2001).

  (5.) Jenis Kelamin

  Kimmel (1974) menyimpulkan pendapat dan penelitian dari beberapa ahli dan menyatakan bahwa wanita cenderung mempunyai harga diri dan kepercayaan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki- laki. Hal ini didukung oleh Ancok (1989) yang menyatakan bahwa wanita selalu merasa dirinya lebih rendah daripada pria, kurang mampu, harus dilindungi, adalah karena perasaan dari wanita itu sendiri dan bukan dari pendapat orang lain.

  Berdasarkan seluruh penjelasan diatas, dapat diambil suatu kesimpulan perkembangan yang dimulai sejak awal masa kanak-kanak dan berkembang terus sepanjang masa kehidupan. Perkembangan harga diri tersebut dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman sehingga membutuhkan kesabaran dan ketabahan. Mengembangkan harga diri dipengaruhi pula oleh beberapa faktor yang antara lain adalah psikologis individu, lingkungan keluarga dan sosialnya, jenis kelamin, serta kondisi fisik seseorang.

2. Harga Diri Pada Remaja

  Harga diri penting bagi setiap manusia, tetapi pada remaja hal yang khusus ini mencapai kritisnya. Salah satu kebutuhan yang penting dalam perkembangan remaja untuk mencapai kepercayaan dirinya adalah harga diri. Menurut Maslow (1970) kebutuhan harga diri ini sudah mencakup kebutuhan- kebutuhan lain seperti kebutuhan untuk dianggap mampu dan berguna bagi orang lain, kebutuhan untuk dipercaya, kebutuhan untuk berdiri sendiri, kebutuhan untuk bebas, dan kebutuhan untuk berprestasi. Harga diri memegang peranan yang sangat penting dalam tingkah laku remaja dalam usaha memenuhi kebutuhan psikologisnya. Dengan terpenuhinya kebutuhan harga diri akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi, rasa mampu, menjadi orang yang berguna dan penting bagi dunianya. Remaja yang memiliki harga diri tinggi akan terdorong untuk melakukan tingkah laku yang baik. Sebaliknya, apabila kebutuhan harga diri ini tidak terpenuhi akan menghasilkan perasaan rendah diri, lemah, tidak berdaya. Harga diri yang rendah dikarakteristikkan sebagai perasaan ketidaktepatan, bersalah, malu, dan mengalami hambatan sosial sehingga remaja yang memiliki harga diri yang rendah akan terdorong untuk melakukan tingkah laku yang buruk.

C. REMAJA 1. Pengertian Remaja

  Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin yaitu adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1993). Sedangkan istilah yang berbeda digunakan dalam bahasa Inggris yaitu puberty dan dalam bahasa Belanda yaitu puberteit yang keduanya memiliki arti yang sama yaitu “ tumbuh menjadi dewasa”. Di Indonesia sendiri istilah pubertas dan adolesensia dipakai dalam arti yang umum (Gunarsa dan Gunarsa, 1986).

  Lebih jauh lagi, Erikson (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 1986) melihat adolesensia berdasarkan sudut pandang psikologis dan menghubungkan dengan perkembangan psikis yang terjadi pada masa tersebut. Adolensia merupakan masa terbentuknya suatu perasaan baru mengenai identitas.

  Mencakup didalamnya cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain. Secara hakiki individu tetap sama walaupun telah mengalami berbagai macam perubahan.

  Remaja mengalami masa yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Monks (1987) mengatakan bahwa anak remaja tidak mempunyai tempat yang jelas, karena tidak termasuk golongan anak, tetapi juga tidak termasuk golongan orang dewasa dan golongan orang tua. Remaja mengungkapkan bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status orang dewasa, namun dia tidak lagi memiliki status anak-anak. Serupa dengan kedua definisi diatas, Sarwono (1989) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, masa usia belasan tahun, atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya. Menurutnya, remaja adalah generasi yang akan mengisi berbagai posisi di dalam masyarakat di masa yang akan datang serta akan meneruskan kehidupan masyarakat bangsa dan negara di masa depan.

  Berbagai istilah dari berbagai macam bahasa yang berusaha menjelaskan istilah remaja, namun semuanya memiliki satu arti atau pemahaman yang sama yaitu ‘tumbuh menjadi dewasa’. Berdasarkan berbagai pemahaman mengenai remaja tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak kepada masa dewasa. Namun remaja merasa kesulitan terutama dalam penempatan dirinya di lingkungan sosial karena dia tidak lagi dapat dianggap sebagai anak-anak tetapi juga belum dapat diperlakukan sebagai orang dewasa. Pada usia ini remaja berusaha mencari jati dirinya sehingga mereka menjadi sulit diatur dan mudah berubah suasana hatinya.

2. Perkembangan Fisik Masa Remaja

  Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Peralihan tersebut terjadi dalam artian psikologis juga fisik. akan mendahului kematangan seksual (Gunarsa dan Gunarsa, 1986). Dengan demikian perkembangan fisik dan seksual remaja adalah suatu perkembangan yang menyatu karena pemasakan seksualitas genital harus dipandang sebagai bagian dari perkembangan fisik secara keseluruhan. Perkembangan fisik pada remaja akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikososialnya (Monks, 1987). Selain itu Brenen (dalam Setyaningsih, 1992) juga mengatakan bahwa obyek pengamatan atau persepsi seseorang terhadap dirinya adalah melalui faktor fisik.

  Perubahan fisik timbul pada tahun-tahun permulaan masa remaja yang sering disebut sebagai pubertas. Diantara perubahan fisik yang terjadi, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi lebih panjang dan tinggi), mulai berfungsinya reproduksi yang ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki- laki dan tanda-tanda seksual sekunder mulai tumbuh. Perubahan fisik ini terjadi dengan sangat mencolok.

3. Batasan Usia Remaja

  Miller (1983) menyatakan bahwa sangat tepat untuk melihat remaja sesuai dengan batasan usianya. Secara umum dapat dikatakan bahwa masa remaja dimulai dari usia 11 atau 12 tahun dan mengalami pemenuhannya pada usia 19 atau 20 tahun. Untuk menentukan batasan-batasan usia remaja di Indonesia ada beberapa kesulitan yang antara lain disebabkan sulitnya menentukan umur permulaan dewasa atau permulaan masa dewasa. Namun mengambil patokan usia remaja dimulai pada usia 13 tahun - 18 tahun. Masa remaja dimulai ketika seorang individu mencapai kematangan seksual dan berakhir ketika kebebasan yang diperoleh dari orang tua tercapai. Rata-rata usia remaja menurut Hurlock adalah 13 hingga 18 untuk anak perempuan dan 14 hingga 18 tahun untuk anak laki-laki.

  Banyak hal yang mempersulit penentuan batasan usia remaja, namun suatu hal yang paling mudah diamati untuk menetukan batasan ini adalah dengan melihat usia rata-rata remaja mengalami perubahan fisik. Pada usia 11 tahun pada umumnya seorang individu mengalami awal masa remaja yang ditandai dengan perubahan fisik. Usia remaja pertengahan menurut Konopka (dalam Sjabadhyni dan Alfarani, 2001) 15 - 18 tahun. Usia ini dipilih sebagai batasan usia subyek penelitian karena pada usia ini perkembangan seorang remaja mulai mencapai tahap akhir yaitu masa kematangan emosional dan pada masa ini terjadi periode identifikasi yaitu periode seorang individu berusaha untuk mengenali jati dirinya (inilah saya) sehingga seorang individu cenderung memperhatikan dirinya dan harga dirinya.