BAB I PENDAHULUAN - Peran Badan Pertanahan Nasional Prov. Kep Bangka Belitung dalam permasalahan sengketa lahan antara PT TIMAH (Persero) Tbk – PT SAWINDO KENCANA ditinjau dari Unadang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar P
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria. (Soedikno
1 Mertokusumo 1988:12).
Kebutuhan akan tanah dari hari ke hari terus meningkat, searah dengan lajunya pembanguanan di segala bidang yang dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia. Dengan demikian fungsi tanah pun mengalami perkembangan sehingga kebutuhan masyarakat akan tanah juga terus mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang beranekaragam. Dalam berbagai aspek kehidupan manusia pasti membutuhkan tanah. Begitu pentingnya tanah bagi manusia, dapat dilihat dari kenyataan bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari tanah. Berbagai aktifitas manusia selalu berhubungan dengan tanah dan segala aktifitas tersebut selalu dilakukan di atas tanah. Manusia berkembang biak, hidup serta melakukan segala aktifitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia selalu
2 berhubungan dengan tanah.
Tanah dan bangunan merupakan benda-benda vital dalam kehidupan manusia. Tanah dan bangunan merupakan salah satu kebutuhan pokok 1 2 H.M. Arba, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2015, hlm 5 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Hak atas tanah dan peralihannya, Yogyakarta,
(kebutuhan papan) manusia yang sangat berpengaruh. Hak atas tanah dan bangunan mempunyai peranan strategis dalam masyarakat. Semakin maju
societas , maka biasanya makin padat penduduknya. Tidak bisa dimungkiri
lagi, sebagai konsekuensinya akan menambah pentingnya kedudukan hak atas tanah dan bangunan konsekuensinya akan menambah pentingnya kedudukan
3 hak atas tanah dan bangunan.
Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan
4 tanah. .
Karena makin memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sebagai satu akses negatifnya, timbul pula cara-cara melawan hukum yang sifatnya kejahatan dari sebagian masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah dan bangunan ini,
5 sehingga diperlukan aturan hukum sebagai salah satu solusinya.
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak- hak penguasaan atas tanah. Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek privat dan beraspek publik. 3 Aloysius Mudjiyono dan Mahmud Kusuma, Penyidikan Tindak Pidana Kasus Tanah dan Bangunan , Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2014, hlm 1. 4 G. kartasapoetra R.G Kartasapoetra dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah , Jakarta, PT Rineka Cipta, 1985, hlm 1. 5
Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang
6 dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.
Ada penguasaan yuridis, yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik,misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat. Ada penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3)
7 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.
Dalam Pasal 20 dan Pasal 21 PP Nomor 75 Tahun 2001 telah ditentukan luas wilayah kuasa pertambangan yang di berikan kepada pemegang kuasa pertambangan. Untuk mendapat satu kuasa pertambangan 6 Urip Santoso, Hukum agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana , 2009, hlm72. 7 yang luas wilayahnya melebihi 5000 hektar, pemohon kuasa pertambangan harus terlebih dahulu mendapat izin khusus menteri, gubernur,
8 bupati/walikota sesuai kewenangannya.
Hukum agraria lama yang mengatur masalah bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam dalam wilayah negara Indonesia, dan lebih khusus mengatur masalah tanah selama ini adalah hukum tanah barat bagi penduduk yang tunduk kepada hukum Eropa dan hukum Adat bagi kaum putra tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan hak bagi kaum Bumi Putera, untuk itu maka pemerintah Indonesia melakukan kodifikasi unifikasi Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia dengan membentuk UUPA. Hukum agraria ini dibentuk dengan tujuan utama, yaitu:
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum tanah nasional.
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
9 hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Konflik mengandung arti pertentangan dua pihak atau lebih bahkan segolongan besar seperti Negara. Konflik dapat disebabkan pertentangan
8 Salim HS, Hukum pertambangan Indonesia, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada 2005, hlm 85.
9 bermacam kepentingan, kebencian, kecurigaan, rasa minder, dominasi pihak
10 lemah oleh pihak kuat.
Pada garis besarnya ada 2 (dua) macam corak sengketa pertanahan yang terjadi di Indonesia, yakni corak sengketa yang bersifat horizontal dan corak sengketa yang bersifat vertikal. Sengketa horizontal ditunjukan pada sengketa yang terjadi antar warga masyarakat. Sedangkan sengketa vertikal terjadi antara rakyat dengan melawan kekuatan modal dan atau dengan Negara, termasuk dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Munculnya sengketa pertanahan tidak bisa dilepaskan pula dari pentingnya arti penguasaan tanah bagi seseorang atau sekelompok masyarakat, yang dengan sendirinya akan mendorong timbulnya usaha untuk
11 merebut kembali atau mempertahankan hak atas tanahnya.
Kewenangan pemerintah untuk mengatur pemanfaatan tanah berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal tersebut menjadi dasar bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sumber daya alam termasuk di dalamnya air dan beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia maka dikuasai, diatur, dikelola dan didistribusikan oleh negara atau pemerintah 10 Endang Suhendar & Winari, Petani dan konflik agrarian, akatiga, Bandung, 2001, hlm32. 11 Bambang Eko Supriyadi, hukum agrarian kehutanan: aspek hukum pertanahan dalam
dengan segenap lembaga pengelolaannya untuk dipergunakan bagi
12 kemakmuran atau menyejahterakan rakyat Indonesia seluruhnya.
Seseorang dapat dikatakan mempunyai hak atas tanah atau mendapatkan penetapan hak atas tanah maka harus dapat dibuktikan terlebih dahulu adanya dasar penguasaan seseorang dalam menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah, yang tidak ditentang oleh pihak manapun dan dapat diterima menjadi bukti awal untuk pengajuan hak kepemilkananya, setelah ada dasar penguasaan dimaksud maka selanjutnya dapat saja diformalkan hak tersebut dengan penetapan Pemerintah. Namun untuk daerah-daerah yang tidak pernah dilakukan administrasi pertanahan dan juga pada daerah-daerah yang status hukum tanahnya tidak diakui lagi sebagai tanah adat atau dapat dikatakan status tanah di daerah tersebut merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, maka kegiatan administrasi dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan dengan cara penetapan Pemerintah melalui pemberian/ penetapan hak. Sekalipun di daerah tersebut belum bersentuhan dengan kegiatan administrasi pertanahan di masa lalu sehingga tidak ditemukan bukti-bukti hal lama sebagaimana yang ditentukan secara limitatif dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, penguasaan tersebut dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut penguasaan tanah sudah merupakan
12 Angger Sigit Pramukti dan Erdha Widayanto, Awas Jangan Beli Tanah Sengketa,
suatu “hak”. Kata “penguasaan” menunjukan adanya suatu hubungan hukum
13 antara tanah dengan yang mempunyainya.
Kasus tersebut berawal dari PT.Timah (Persero) Tbk yang ingin mengelolah lahan yang berada di desa Pancur, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kep. Bangka Belitung, setelah meninjau lokasi ternyata PT. Sawindo telah menguasai lahan tersebut, menanam kelapa sawit dan membangun kantor serta pabrik di areal / lokasi wilayah KP / IUP yang dimiliki PT. Timah. PT Timah yang sudah terlebih dahulu memiliki Izin Usaha pertambangan yaitu pada tahun 1993, sedangkan Hak Guna Usaha yang dimiliki PT. Sawindo pada Tahun 1997.
Melihat fenomena tersebut seperti yang kita ketahui PT. Timah (Persero) Tbk adalah PT yang sudah lama berdiri dan PT yang besar dengan
IUP yang dimiliki PT Timah (Persero) Tbk pada tahun 1993 sedangkan HGU yang dimiliki PT Sawindo pada tahun 1997, kasus ini dimenangkan oleh PT Sawindo Kencana berdasarkan putusan inkracht Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sungailiat pada hari Rabu, tanggal 19 Juni 2013. jangka waktu paling lama 25 tahun. Jadi total waktu hak guna usaha
14 selama 60 tahun.
Untuk mengetahui bagaimana permasalahan sengketa lahan yang terjadi antara PT TIMAH dan PT SAWINDO di kabupaten Bangka Barat maka ada ketertarikan untuk melakukan penelitian dengan judul Peran
Badan Pertanahan Nasional Prov. Kep Bangka Belitung Dalam 13 Badan Pertanahan Nasional, Hak-hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, (Jakarta, 2002) hlm 18. 14
Permasalahan Sengketa Lahan Antara PT Timah (Persero) Tbk dan PT Sawindo Kencana Ditinjau Dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Studi Kasus Putusan Nomor 48/Pdt. G/ 2012/ PN. Sgt).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam Permasalahan Sengketa Lahan Antara PT. Timah (Persero) Tbk dan PT. Sawindo Kencana? 2. Upaya Badan Pertanahan Nasional Bangka Belitung Dalam Permasalahan
Sengketa Lahan Antara PT. Timah (Persero) Tbk dan PT. Sawindo Kencana? C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun menjadi tujuan dari penelitian ini dari penulis sebagai berikut: Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tumpang tindih lahan antara PT TIMAH dengan PT SAWINDO.
1. Untuk mengetahui peran yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional Prov. Kep Bangka Belitung dalam permasalahan sengketa lahan antara PT. Timah (Persero) Tbk dan PT. Sawindo Kencana
2. Untuk mengetahui upaya BPN Prov. Kep Bangka Belitung dalam permasalahan sengketa lahan PT. Timah (Persero) Tbk dan PT. Sawindo Kencana
Adapun manfaat penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Secara Akademis yaitu untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai derajat S-1 Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung. Hasil penelitian ini diharapkan juga mampu sebagai referensi bagi para pihak yang membutuhkan serta berminat untuk mengembangkannya dalam tahap lebih lanjut; 2. Secara teoritis
Dengan penelitian yang dilakukan ini, diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat berupa sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum perdata khususnya, mengenai perselisihan sengketa antara PT Timah dan PT Sawindo di Bangka Barat.
3. Secara praktis
Dari penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan informasi berupa pengetahuan dan informasi terhadap masyarakat, dan penulis pribadi khususnya mengenai perselisihan sengketa antara PT Timah dan PT Sawindo di Bangka Barat.
D. Landasan Teori
Teori peran atau teori yang disebut dengan rule of theory dalam bahasa Inggris, Bahasa Belanda disebut dengan theorie van de role, sedangkan dalam Bahasa Jerman disebut dengan Theory van der rolle merupakan teori yang menganalisis tentang tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh orang-orang atau lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan formal maupun informal. Ada dua suku kata yang terkandung dalam teori peran, yaitu teori dan peran. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada
15 dua istilah yang muncul yaitu peran dan peranan.
Teori peran ini mengkaji dan menganalisis tentang peran dari institusi- institusi dan masyarakat dalam memecahkan, menyelesaikan dan mengakhiri masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seperti misalnya Badan Pertanahan Nasional yang berperan mempercepat penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan.
Menurut Maria Soemardjono, sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang maksimum luas tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna usaha (HGU). Pada pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria, hanya disebutkan bahwa HGU diberikan atas tanah yang luasnya minimal 5 hektare atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai
16 dengan perkembangan zaman. 15 Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Peian Desertasi dan Tesis Buku Kedua , PT Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2013. Hlm. 141 16 Maria SW Soemardjono, Tanah, dari Rakyat, oleh Rakyat dan untuk Rakyat, Media
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sama sekali tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU, Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari lima tahun, maka yang berwenang memberikan adalah gubernur Selanjutnya, peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional(BPN) No. 3 Tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100 hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN. Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 Tahun 1972, Pasal 4 menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun diberikan oleh gubernur. Sedangkan menurut Peraturan Meneg Agraria No 2 Tahun 1993, Surat Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan oleh
17 Kepala Kantor Pertanahan.
Hak Guna Usaha hapus, karena: 1.
Jangka waktu berakhirnya: 2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
17
3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4. Dicabut untuk kepentingan umum: 5.
Tanahnya diterlantarkan; 6. Tanahnya musnah;
18 7.
Karena ketentuan Pasal 30 ayat (2).Pasal 34 UUPA.
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan usaha pertambangan. Tanah dapat digunakan untuk kegiatan penyelidikan umum, ekplorasi dan eksploitasi, status tanah yang digunakan untuk kegiatan itu dapat berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), maupun Hak-Hak Adat. Apabila tanah itu digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan, pemegang kuasa pertambangan berkewajiban untuk me memberi ganti rugi kepada yang berhak, yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hal itu tidak dapat dipergunakan (Pasal 25 sampai dengan Pasal 27
19 UU No 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan.
Izin usaha pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Terdapat beberapa izin usaha pertambangan jika mengacu pada UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yaitu: 1.
IUP Eksplorasi adalah izin yang diberikan untuk melakukan tahapan 18 kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; 19 Bambang Eko Supriyadi, Opcit, hlm 59.
Salim Hs, Hukum Pertambangan Indonesia, Jakarta, PT Raja Garfindo Persada, 2005,
2. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelakasanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi, meliputi kegiatan kontruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
3. Izin Pertambangan Rakyat adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
4. Izin Usaha Pertambangan Khusus adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus;
5. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus; 6.
IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi
20 produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
Dalam pasal 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah ditentukan secara jelas asas-asas hukum dalam penyelenggaraan pertambangan minyak dan gas bumi, yaitu meliputi: 1.
Asas Ekonomi Kerakyatan Asas ekonomi kerakyatan, yaitu asas dimana di dalam penyelenggaraan pertambangan minyak dan gas bumi harus memberikan peluang yang 20 sama kepada pelaku ekonomi.
Setyo Utomo & Dwi Haryadi, Hukum Pertambangan mineral dan batubara,
2. Asas keterpaduan Asas keterpaduan dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan pertambangan minyak dan gas bumi dilakukan secara terpadu dengan memerhatikan kepentingan nasional, sector dengan memerhatikan kepentingan nasional, sector lain dan masyarakat setempat.
3. Asas keadilan Asas keadilan adalah suatu asas di dalam penyelengaraan pertambangan minyak dan gas bumi, dimana dalam penyelengaraan kegiatan itu harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga Negara sesuai dengan kemampuannya shingga dapat meningkatkan kemampuan seluruh masyarakat. Oleh karena itu, di dalam pemberian izin usaha hilir dan kontrak kerja sama harus dicegah terjadinya praktik monopoli, monopsoni, oligopoly, dan oligopsoni.
4. Asas keseimbangan Asas keseimbangan merupakan asas di dalam penyelengaraan pertambangan minyak dan gas bumi, dimana para pihak mempunyai kedudukan yang setara/sejajar dalam menentukan bentuk dan substansi kontrak kerja sama, baik kontrak bagi hasil pertambangan maupun kontrak-kontrak lainnya.
5. Asas keamanan dan keselamatan Yaitu asas di dalam penyelenggaraan pertambangan minyak dan gas bumi, dimana di dalam penyelenggaraannya mampu memberikan rasa tentram, tidak ada gangguan dan aman bagi para pihak yang mengadakan kontrak kerja sama atau penerima izin usaha hilir.
6. Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum merupakan asas dalam penyelengaraan minyak dan gas bumi, dimana di dalam penyelenggaraan usaha minyak dan gas bumi mampu menjamin kepastian hak-hak dan kewajiban para pihak yang mengadakan kontrak kerja sama atau yang menerima izin usaha
21 hilir.
Timbulnya sengketa hukum adalah bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam antara lain: 1.
Masalah/persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak; atau atas tanah yang belum ada haknya.
2. Bantuan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemeberian dasar pemberian hak (perdata).
3. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar.
21
4. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis
22 (bersifat strategis).
E. Metode Penelitian
Sesuai dengan jenis penelitian yuridis-empiris, maka dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normative terapan dimana dalam menggunakan pendekatan ini peneliti lebih dahulu telah merumuskan masalah dan tujuan penelitian.
Penelitian empiris atas hukum akan menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, berikut perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses-proses perubahan sosial. Teori-teori inilah yang kemudian lebih terkenal dengan “the social theories of law” dan seluruh kajiannnya disistem atisasi kedalam cabang kajian “Hukum dan Masyarakat (law and society). Penelitian- penelitian empirisnya lazim disebut “Socio
Legal Research” yang pada hakikatnya merupakan bagian dari penelitian
23 sosial atau penelitian sosiologis.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini di sesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Namun secara khusus, menurut jenis, sifat dan tujuannnya, penelitian ini adalah 22 penelitian hukum atau dikenal juga dengan penelitian hukum sosiologis.
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung, Penerbit Alumni, 1991, hlm 22 23 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, hlm
Penelitian hukum empiris didasarkan atas data primer yaitu data yang didapat langsung dari lapangan sebagai sumber pertama melalui
24 penelitian.
Cara pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni : a.
Library Research (Penelitian Kepustakaan)
Yaitu penelusuran bahan kepustakaan (Library Research) dari perpustakaan terhadap bahan-bahan yang relevan dengan penulisan skripsi ini yakni, buku-buku yang bersumber dari Hukum Pertambangan, Hukum Agraria, yang di dalamnya juga terdapatpengertian-pengertian dari HGU, IUP dan lain-lain, serta perundang-undangan yang dipakai seperti: UUD 1945, Undang- Undang RI Nomor 5 Tahun 1960Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, Pasal 20 dan Pasal 21 PP Nomor 75 Tahun 2001, Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 1989, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan, Peraturan Presiden RI Nomor 20 Tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
b.
Field Research (penelitian lapangan)
24
Yaitu pengambilan data dari lapangan yang disebut dengan penelitian lapangan (Field Research). Dalam hal ini yang diperlukan adalah tentang dokumentasi yang berkaitan dengan sengketa lahan, lokasi pengambilan data di BPN (Badan Pertanahan Nasional) Bangka Belitung, PT. Timah (Persero) Tbk.
2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder, data sekunder terdiri dari :
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari : UUD 1945,Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1960Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 20 dan Pasal 21 PP Nomor 75 Tahun 2001, Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 1989, UU Nomor 4 Tahun 2009, tentang pertambangan, Peraturan Presiden RI Nomor 20 Tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
a.
Tentang Sengketa Lahan.
b.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, didalam hal ini digunakan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1960, hasil- hasil survey lapangan, hasil-hasil penelitian atau pendapat ahli yang berhubungan dengan sengketa lahan masalah IUP dan HGU yang dimiliki oleh PT. Timah dan PT. Sawindo.
c.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus hukum, dalam jaringan (media internet), dan Wikipedia halaman bebas (internet).
3. Metode Pengumpulan Data Berdasarkan ruang lingkup, tujuan, dan pendekatan dalam penelitian ini maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang di dapat lansung dari informan di lapangan, ini dilakukan dengan teknik wawancara secara langsung dari narasumber, yaitu studi kasus PT Timah (Persero) Tbk dan Badan Pertanahan Nasional Bangka Belitung.
Sedangkan, untuk pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi sumber primer, yaitu UUD 1945, UU RI No 5 tahun 1960. Sumber sekunder yaitu buku-buku literature ilmu hukum serta tulisan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan. Setelah data terkumpul, data kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan, penandaan, penyusunan, dan sistematisasi berdasarkan urutan pokok bahasan dan sub pokok bahasan.
4. Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan cara melakukan pemeriksaan data. Pemeriksaan data (editing) adalah mengoreksi apakah data yang telah terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar dan sudah sesuai/relevan dengan masalah. Setelah dilakukan pemeriksaan maka dilakukanlah rekonstruksi data (reconstruction) yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan dan logis sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan.
Data yang telah diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, yaitu diuraikan secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun dan logis sehingga memudahkan interprstasi data dan pemahaman hasil
25 analisis.