BAB II KAJIAN TEORI A. Persepsi - Bab II Restu Indra Yuwono

BAB II KAJIAN TEORI A. Persepsi Kata „Persepsi‟ sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, untuk

  menanyakan kepada seseorang mengenai apa yang dipikirkan terhadap sesuatu. Chaplin (2011: 358) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indra. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 863) menyebutkan bahwa persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu, proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya. Menurut Sugiarto dan kawan-kawan (2007: 8) persepsi merupakan proses untuk menerjemahkan atau menginterpretasi stimulus yang masuk dalam alat indra.

  Stephen dan Timothy (2009: 175 ) berbendapat bahwa persepsi (perception) adalah proses di mana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Sedangkan menurut Walgito (2010: 99) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses pengindraan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indra atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi.

  Berbeda lagi dengan pendapat Furqanul dan Rakmat (2009: 227) mengungkapkan bahwa persepsi yaitu proses atau hasil mengenali dan memahami peristiwa, objek, dan stimuli yang diterima melalui pancaindra

  8

  (penglihatan, pendengaran, rabaan dan sebagainya). Ada beberapa jenis persepsi, diantaranya adalah (a) persepsi visual: persepsi stimuli dan informasi visual , dan (b) persepsi auditori: persepsi informasi dan stimuli yang diterima melalui pendengaran.

  Berdasarkan beberapa definisi yang telah diungkapkan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi adalah suatu penilaian dari seorang individu terhadap informasi, peristiwa, objek dan lainnya yang diperoleh melalui pancaindera.

B. Pengetahuan

  Seringkali pengetahuan dijadikan sebagai acuan tingkat kecerdasaan sesorang. Furqanul dan Rahmat (2009: 218-219) menyebutkan makna pengetahuan sebagai berikut;

  1. Kemawasan atau keakraban yang diperoleh melalui pengalaman (tentang orang, fakta, atau sesuatu).

  2. Rentang informasi yang dimiliki seseorang.

  3. Pemahaman teoritis atau praktis tentang suatu subjek, bahasa, dan sebagainya.

  4. Segala sesuatu yang diketahui.

  5. Dalam filsafat, keyakinan yang benar dan dibuktikan kebenaranya.

  6. Pemahaman tertentu, lawan dari pendapat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2007: 1121) pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Lain halnya yang diungkapkan oleh Suriasumantri (Indra, 2011: 68) pengetahuan adalah segenap apa yang diketahui manusia tentang suatau objek tertentu termasuk didalamnya ilmu yang akan memperkaya khasanah mentalnya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Menurut Notoatmodjo (Fakhrudin, 2011: 13) Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah proses dari tahu akan sesuatu objek melalui pengindraan dan pengalaman yang dilakukan manusia sebagai upaya memperbanyak wawasan dan kerap kali pengetahuan dihubugkan dengan mata pelajaran.

C. Kompetensi Guru

  Guru adalah orang yang memberikan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang. Guru adalah seorang pendidik, pembimbing, pelatih, dan pengembang kurikulum yang dapat menciptakan kondisi dan suasana kondusif, yaitu suasana belajar menyenangkan, menarik, memberi rasa aman, memberikan ruang pada siswa untuk berpikir aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengekplorasi dan mengelaborasi kemampuannya (Rusman, 2011: 19).

  Menurut Undang-Undang RI No.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

  Seorang guru harus memiliki keahlian dan dituntut untuk dapat melaksanakan peranan-peranannya secara profesional yang dalam tugasnya guru tidak hanya mengajar, melatih tetapi juga mendidik. Tertulis pada Undang-Undang RI.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam Bab IV Bagian Kesatu pasal 8, bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Untuk dapat melaksanakan hal tersebut guru harus mempunyai kompetensi sebagai modal dasar dalam mengemban dan menjalankan tugas dan kewajibannya.

  Menurut Echols dan Shadily (Mustafah, 2011: 27) kompetensi dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Inggris, competence yang berati kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan belajar mandiri dengan memanfaatkan sumber belajar. Sagala (2009: 23) menjelaskan bahwa kompetensi merupakan peleburan dari pengetahuan (daya pikir), sikap (daya kalbu), dan keterampilan (daya fisik) yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan. Dengan kata lain kompetensi adalah perpaduan dari penguasaan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.

  Menurut Rusman (2011: 70) kompetensi merupakan perilaku rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang dipersyaratkan. Kompetensi dapat dipahami sebagai kecakapan atau kemampuan. Dalam Undang-Undang RI No. 14 pasal 1 (10) tentang guru dan dosen (2005: 5) dijelaskan bahwa: “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh seseorang guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.”

  Menurut Suyanto dan Asep Djihad (2012: 47) kompetensi pada dasarnya, merupakan deskripsi tentang apa yang dapat dilakukan seseorang dalam bekerja, serta apa wujud dari pekerjaan tersebut yang dapat terlihat. Sedangkan pengertian kompetensi menurut Sanjaya (2009: 17-18) kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, suatu kompetensi ditunjukan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggung jawabkan (rasional) dalam upaya mencapai tujuan.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalanakan dan melaksanakan sesuatu yang diperoleh dalam pendidikan maupun pelatihan guna mencapai tujuan untuk dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

  Dari pengabungan dua kata yaitu kompetensi dan guru, maka Usman (2010: 14) menjelaskan kompetensi guru (teacher competency) the abality of

a teacher to responsibibly perform has or her duties appropriately .

  Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang harus dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, perilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan dalam proses belajar mengajar (Suyanto dan Asep Djihad, 2012: 48).

  Menurut Kunandar (2009: 55) menjelaskan bahwa kompetensi guru adalah seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudan kinerjanya secara tepat dan efektif. Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban- kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Sagala (2009: 23) menjelaskan kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru untuk dapat melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.

  Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kompetensi guru adalah suatu kecakapan atau kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru untuk melaksanakan tugas profesi keguruannya.

  Mustafah (2011: 30) menjelaskan bahwa dalam perspektif kebijakan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yaitu komptensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Demikian pula dijelaskan dalam Undang-Undang RI No. 14 tahun 2005 dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi guru bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

  1 Kompetensi Pedagogik Kompetensi pedagogik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari empat kompetensi utama yang harus dimiliki seorang guru, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran peserta didik. Selain itu kemampuan pedagogik ditunjukkan dalam membantu, membimbing dan memimpin peserta didik.

  Kompetensi pedagogik dalam Undang-Undang RI No.14 Tahun 2005 yaitu kemampuan seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran peserta didik yang didasarkan pada ilmu mendidik. Kompetensi pedagogik dalam Suyanto dan Asep Djihad (2012: 49) meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki peserta didik.

  Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (Mustafah, 2011) yang dimaksud kompetensi pedagogik meliputi (a) pemahaman wawasan/ landasan pendidikan; (b) pemahaman tentang peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

  2 Kompetensi Kepribadian Sikap dan perilaku guru dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di luar sekolah akan mencerminkan kepribadiannya.

  Usman (Sagala, 2009: 34) menjelaskan kompetensi pribadi yang harus dimiliki guru yaitu (a) kemampuan mengembangkan kepribadian, (b) kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, (c) kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Sagala (2009: 34) mengatakan kompetensi kepribadian terkait dengan penampilan sosok guru sebagai individu yang mempunyai kedisiplinan, berpenampilan baik, tanggung jawab, memiliki komitmen, dan menjadi teladan.

  3 Kompetensi Sosial Seorang guru harus mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama guru, wali murid dan masyarakat.

  Maka untuk itu seorang guru harus memiliki kompetensi sosial. Menurut Sagala (2009: 38) sebagai makhluk sosial guru berperilaku santun, mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif dan menarik mempunyai empati terhadap orang lain. Indikator komptensi sosial (Sagala, 2009: 39) adalah mampu berkomunikasi dan bergaul dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan, orang tua dan wali murid, masyarakat dan lingkungan sekitar, dan mampu mengembangkan jaringan.

  4 Kompetensi Profesional Sebagai seorang profesional guru harus memiliki kompetensi keguruan yang cukup. Kompetensi keguruan itu tampak pada kemampuannya menerapkan sejumlah konsep, asas kerja sebagai guru, mampu mendemostrasikan sejumlah strategi maupun pendekatan pengajaran yang menarik dan interaktif, disiplin, jujur, dan konsisten (Sagala, 2009: 39). Kompetensi profesional menurut Usman (Sagala, 2009: 41) meliputi (1) penguasaan terhadap landasan kependidikan, dalam kompetensi ini termasuk (a) memahami tujuan pendidikan, (b) mengetahui fungsi sekolah di masyarakat, (c) mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan, (2) menguasai bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi pelajaran yang diajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun bahan pengayaan, (3) kemampuan menyusun program pengajaran, mencakup kemampuan menetapkan kompetensi belajar, mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi pembelajaran, dan (4) kemampuan menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran.

  Keempat kompetensi yang telah dijelaskan di atas merupakan landasan dalam mengabdikan profesinya sebagai seorang guru. Profesi guru bukanlah profesi yang mudah, di mana seorang guru harus mempunyai banyak kemampuan. Karena tugas guru bukan sekedar mengajar atau mentransfer ilmu kepada peserta didik. Melainkan guru juga harus memahami karakteristik peserta didik, menjadi tauladan yang baik bagi peserta didik, mampu berkomunikasi dengan baik. Maka dari itu untuk menjalankan profesinya, guru harus memiliki kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.

D. Karakteristik Pembelajaran Di Sekolah Dasar

  Guru sebagai seorang pendidik harus bisa menjadi pembimbing, fasilitator, dan pemberi informasi kepada peserta didik. Fungsi guru yang beragam menjadikan guru sebagai agen pembelajaran. Standar Nasional Pendidikan (SPN) Pasal 28 (Mulyasa, 2007: 53) mengemukankan bahwa yang dimaksud dengan agen pembelajaran (learning agent) adalah peran pendidik antara lain sebagai fasilitataor, motivator, pemacu, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.

  Sebagai guru SD haruslah memahami karakterisrik pembelajaran di SD. Hal ini sangat penting dipahami oleh guru agar dapat menciptakan pembelajaran yang bisa mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik serta dapat menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan keadaan peserta didik. Maka untuk itu terlebih dulu guru mengetahui makna pembelajaran, kebutuhan peserta didik, dan karakteristik peserta didik. Dari sini guru dapat mengetahui karakteristik pembelajaran di SD.

1. Pengertian Pembelajaran

  Usaha atau proses penyamapain ilmu kepada peserta didik yang dilakukan oleh guru baik di dalam kelas maupun di luar kelas sering kita sebut sebagai “pembelajaran”. Lefrancois (Yamin, 2013: 71) berpendapat bahwa pembelajaran (intruction) merupakan persiapan kejadian-kejadian eksternal dalam situasi belajar dalam rangka memudahakan pemelajar belajar, menyimpan (kekuatan mengingat informasi), atau mentransfer pengetahuan dan keterampilan. Menurut Gulo (Sugihartono dan kawan-kawan, 2007: 80) pembelajaran sebagai usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang mengoptimalkan kegiatan belajar.

  Biggs (Sugihartono dan kawan-kawan, 2007: 80-81) membagi konsep pembelajaran dalam 3 pengertian yaitu : a. Pembelajaran dalam Pengertian Kuantitatif

  Secara kuantitatif pembelajaran berarti penularan pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Dalam hal ini guru dituntut untuk menguasai pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat menyampaikannnya kepada peserta didik dengan sebaik- baiknya.

  b. Pembelajaran dalam Pengertian Institusional Secara institusional pembelajaran berarti penataan segala kemampuan mengajar sehingga berjalan efisien. Dalam pengertian ini guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar untuk bermacam-macam peserta didik yang memiliki berbagai perbedaan individual. c. Pembelajaran dalam Pengertian Kualitatif Secara kualitatif pembelajaran berarti upaya guru untuk memudahakan kegiatan belajar peserta didik. Dalam pengertian ini peran guru dalam pembelajaran tidak sekedar menjejalkan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga melibatkan peserta didik dalam aktivitas belajar yang efektif dan efisien. Konsep pembelajaran menurut Corey (Sagala, 2011: 61) adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. UUDS No. 20 Tahun 2003 (Sagala, 2011: 62) menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

  Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh pendidik untuk memberikan ilmu pengetahuan dan membuat peserta didik melaksanakan kegiatan belajar sehingga terjadi proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar yang diharapkan akan menghasilkan hasil yang optimal.

2. Kebutuhan Peserta Didik

  Maslow mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu dapat diklasifikasikan pada lima hierarki kebutuhan yaitu (Mendari, 2010: 85- 86):

  a. Physiological needs (Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis) Perwujudan paling nyata dari kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling dasar, seperti cukup makanan, udara, air untuk bertahan hidup. Kebutuhan ini dipandang sebagai kebutuhan mendasar bukan saja karena setiap orang membutuhkannya terus menerus sejak lahir hingga ajalnya, melainkan karena tanpa pemuasan berbagai kebutuhan tesebut seseorang tidak dapat dikatakan hidup secara normal. Berbagai kebutuhan fisiologis itu bersifat universal dan tidak mengenal batas geografis, asal-usul, tingkat pendidikan, status sosial, pekerjaan, umur, jenis kelamin dan faktor-faktor lainnya yang menunjukkan keberadaan seseorang.

  b. Safety needs (Pemenuhan Kebutuhan Rasa Aman) Kebutuhan keamanan harus dilihat dalam arti luas, tidak hanya dalam arti keamanan fisik tetapi juga keamanan yang bersifat psikologis, seperti perlakuan yang manusiawi dan adil. c. Belongingness and Love needs (Pemenuhan Kebutuhan Kasih Sayang & Penerimaan) Kebutuhan ini terdiri dari kebutuhan akan kasih sayang dan memiliki. Manusia adalah makhluk sosial dan sebagai insan sosial mempunyai berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan pangakuan akan keberadaan seseorang dan penghargaan atas harkat dan martabatnya.

  d. Esteem needs (Pemenuhan Harga Diri) Salah satu ciri manusia adalah mempunyai harga diri, karena itu semua orang memerlukan pengakuan atas keberadaan dan statusnya oleh orang lain. Kebutuhan ini meliputi reputasi, prestise, dan pengakuan dari orang lain, juga kebutuhan untuk kepercayaan dan kekuatan.

  e. Self-Actualization needs (Pemenuhan Aktualisasi Diri) Keinginan untuk pemenuhan diri-untuk menjadi yang terbaik dari yang mampu dilakukan. Dalam diri setiap orang terpendam potensi kemampuan yang belum seluruhnya dikembangkan. Pada umumnya setiap individu ingin agar potensinya itu dikembangkan secara sistematik, sehingga menjadi kemampuan efektif.

3. Karakteristik Peserta Didik Sekolah Dasar

  Menurut Nasution (Djamarah, 2008 : 123) masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung pada usia enam tahun hingga kira-kira sebelas atau dua belas tahun. Dari pendapat tersebut dikatakan bahwa pada usia tersebut merupakan awal dari peserta didik memperoleh pendidikan secara formal, selain itu masa ini dapat dikatakan bahwa usia tersebut merupakan usia matang seorang individu untuk sekolah. Dikatakan matang untuk sekolah, karena anak sudah menginginkan kecakapan-kecakapan baru yang dapat diberikan sekolah.

  Piaget (Desmita, 2009 : 101) menyebutkan teorinya bahwa memasuki usia yaitu 7 tahun sampai 11 tahun anak berada pada tahap perkembangan pra-oprasional kongkrit yang meliputi pembentukan konsep-konsep yang tetap, penalaran mental, penonjolan sikap egoisentris, dan pembentukkan sitem-sistem keyakinan gaib. Sedangkan melebihi masuk usia 11 tahun cara berpikir mulai berubah kearah yang lebih abstrak, konkrit, logis, dan lebih idealistik. Usia tersebut di Indonesia anak dikatakan matang untuk masuk ke pendidikan formal, pada usia tersebut dianggap anak sudah mulai siap dan matang untuk menerima berbagai kecakapan-kecakapan baru sesuai dengan tugas perkembangannya.

  Pada masa kematangan untuk belajar secara relatif lebih mudah dibandingkan pada masa sebelumnya. Pada umumnya di Indonesia anak memasuki masa sekolah dasar pada usia 7 tahun dan selesai pada usia 12 atau 13 tahun. Menurut Djamarah (2008 : 124) pada masa ini peserta didik dapat digolongnkan menjadi dua fase yaitu :

  a. Masa Kelas Rendah Sekolah Dasar

  Masa kelas rendah memiliki karakteristik dan sifat yang khas, masa ini berada di kelas 1 sampai kelas 3. Djamarah (2008: 124) menjelaskan pendapatnya bahwa karakteristik kelas rendah sebagai berikut.

  1) Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani dengan prestasi sekolah.

  2) Adanya sikap yang cenderung untuk mematuhi peraturan permaianan yang tradisional.

  3) Ada kecendrungan memuji sendiri. 4) Suka membandingkan dirinya dengan temannya untuk meremehkan orang lain.

  5) Kalau tidak dapat menyelesaikan soal, soal tersebut dianggap tidak penting.

  6) Pada masa ini peserta didik menghendaki nilai rapor yang baik, tetapi tidak mengingat apakah prestasinya pantas diberi nilai baik.

  b. Masa Kelas Tinggi Sekolah Dasar Masa kelas tinggi yaitu pada kelas 4 sampai dengan kelas 6.

  Pada masa-masa ini memiliki beberapa sifat diantaranya: 1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkrit, hal itu menimbulkan adanya kencenderungan untuk membandingkan pekerjaan- pekerjaan yang praktis.

  2) Amat realistis, ingin tahu, ingin belajar. 3) Mulai nampak adanya minat terhadap mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli ditafsirkan sebagai mulai menonjol faktor-faktor. 4) Sampai pada umur 11 tahun peserta didik membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya.

  5) Pada masa ini peserta didik gemar membentuk kelompok sebaya, untuk bermaian bersama dengan peraturannya sendiri. Berdasarkan karakteristik tersebut, kita dapat mengetahui karakterisitk peserta didik, secara garis besar bahwa karakteristik peserta didik usia sekolah dasar senang bermaian, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, senang melakukan sesuatu secara langsung.

  Dari penjelasan di atas mengenai pembelajaran, kebutuhan peserta didik dan karakteristik peserta didik maka menurut Rofiah (2014: 228- 229) karakteristik pembelajaran di SD adalah sebagai berikut.

  1. Pembelajaran di SD harus dilaksanakan kegiatan yang bermuatan permainan, apalagi untuk peserta didik kelas rendah. Jadi pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan didalamnya, dan hendaknya mengembangkan model pengajaran yang serius tetapi santai. Semisal penyusunan jadwal pelajaran hendaknya diselang-seling antara mata pelajaran serius seperti IPA, Matematika, dengan pelajaran yang mengandung unsur permainan seperti pendidikan Jasmani, atau Seni Budaya dan Keterampilan (SBK).

  2. Pembelajaran di SD harus memungkinkan peserta didik berpindah atau bergerak. Menyuruh peserta didik untuk duduk rapi dalam jangka waktu yang lama dirasakan peserta didik sebagai sebuah siksaan.

  3. Pembelajaran di SD harus membuat peserta didik untuk bekerja atau belajar dalam kelompok. Guru bisa menciptakan pembelajaran yang meminta peserta didik untuk membentuk kelompok kecil dengan anggota 3-4 orang untuk mempelajarai atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.

  4. Pembelajaran di SD hendaknya pembelajaran yang ada memungkinkan peserta didik dapat terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh peserta didik akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa peserta didik langsung ke luar kelas, kemudian menunju langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup.

E. Manajemen Kelas 1. Pengertian Manajemen Kelas

  Manajemen kelas terdiri dari dua kata yaitu manajemen dan kelas, dua kata inilah yang harus dimengerti saat kita akan menjabarkan makna manajemen kelas yang sesungguhnya.

  Berkaitan dengan istilah manajemen banyak para pakar yang berusaha menjelaskannya meskipun penjelasan itu tidak dijumpai penjelasan yang sama. Penjelasan yang sering kita jumpai berbeda-beda, namun maksud dan tujuannya sama. Perbedaan penjelasan yang ada didasarkan dari sudut pandang masing-masing para ahli dalam melihat manajemen itu.

  Menurut Eka Prihatin (Wiyani, 2013: 49) secara etimologi, kata

  manajemen merupakan terjemahan dari management (bahasa Inggris). Kata management tersebut berasal dari kata manage atau magaiare yang berarti

  melatih kuda dalam melangkahkan kakinya. Dalam pengertian manajemen tersebut terkandung dua kegiatan, yaitu kegiatan berpikir (mind) dan kegiatan tingkah laku (action). Management berasal dari kata manus (latin) yang artinya tangan. Management berarti kepemimpinan, keterlaksanaan, penguasa, pengurus (Soedomo Hadi, 2005: 38-39).

  Berbeda dengan pemikiran Eka Prihatin, Rukmana dan Suryana (2006: 27) mengungkapkan bahwa manajemen sebagai suatu kemampuan atau keahlian yang selanjutnya menjadi cikal bakal manajemen sebagai suatu profesi. Manajemen sebagai suatu ilmu menekankan perhatian pada keterampilan dan kemampuan manajerial yang diklasifikasikan menjadi kemampuan atau keterampilan teknikal, manusiawi, dan konseptual.

  Menurut Stoner (Rukmana dan Suryana, 2006: 26) manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Hersey dan Blanchard (Rukmana dan Suryana, 2006: 26) menjelaskan bahwa manajemen merupakan suatu proses bagaimana pencapaian sasaran organisasi melalui kepemimpinan.

  Menurut Swardi (Yamin, 2013: 41-42) kata management dalam bahasa Ingris, selanjutnya dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen memiliki makna yang sama dengan pengelolaan. Berdasarkan deskripsi di atas dapat peneniliti simpulkan bahwa manajemen adalah keahlian yang dimiliki oleh seorang individu guna menjalankan suatu kegiatan secara mandiri ataupun berkelompok dalam usaha mencapai tujuan organisasi secara produktif, efektif dan efisien.

  Istilah kelas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 529-530), kelas diartikan kelompok masyarakat, tingkat, ruang tempat belajar di sekolah. Dalam pandangan lain, kelas menurut Nawawi (Wiyani, 2013: 52) diartikan sebagai suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah sebagai satu kesatuan diorganisasikan menjadi unit kerja yang secara dinamis menyelenggarakan kegiatan-kegiatan belajar-mengajar yang kreatif untuk mencapai tujuan.

  Menurut Suryana (2006: 28) kelas diartikasn secara umum sebagai sekelompok peserta didik yang ada pada waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. Dalam arti sempit kelas adalah suatu ruangan (dibatasi 4 dinding) atau tempat di mana peserta didik belajar. Sedangkan dalam arti luas kelas diartikan sebagai kegiatan pelajaran yang diberikan oleh guru kepada peserta didik dalam suatu ruangan untuk suatu tingkat tertentu pada waktu tertentu (Hadi, 2005: 39).

  Hamalik (Yamin, 2013: 42) menjelaskan bahwa kelas adalah sekelompok orang yang melakukan kegiatan belajar bersama yang mendapat pengajaran dari pembelajar. Berdasarakan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelas adalah sebuah ruangan yang dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar oleh guru dan sekelompok peserta didik pada waktu atau jam yang sudah ditentukan.

  Di samping itu kelas merupakan tempat paling dominan bagi terselenggaranya proses pembelajaran bagi peserta didik. Kedudukan kelas yang demikian penting, mengisyaratkan bahwa agar proses pendidikan dan pembelajaran dapat berlangsung secara efekif dan efisien, maka dari itu dibutuhkan guru yang profesional dalam melakukan pengelolaan kelas melalui pendekatan manajemen kelas.

  Agar kondisi kelas memberikan kontribusi yang positif bagi keefektifan proses pembelajaran, maka guru harus mampu menciptakan kondisi kelas yang dihadapinya dengan sedemikian rupa. Usaha ini akan efektif apabila guru memahami secara benar dan tepat mengenai seluk beluk manajemen kelas.

  Dari penggabungan dua kata tersebut, maka Wiyani (2013: 59) mendefinisikan menejemen kelas yaitu keterampilan guru sebagai seorang

  

leader sekaligus manajer dalam menciptakan iklim kelas yang kondusif untuk

  meraih keberhasilan kegiatan belajar-mengajar. Menurut Hadi (2005: 39) manajemen kelas yaitu kepemimpinan atau ketatalaksanaan guru dalam praktek penyelenggraan kelasnya.

  Menurut Rukmana dan Suryana (2006: 28) manajemen kelas adalah segala usaha yang diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar mengajar yang efektif dan menyenangkan serta dapat memotivasi peserta didik untuk belajar dengan baik sesuai dengan kemampuan.

  Berdasarkan urain di atas maka dapat disimpulkan bahwa manajemen kelas adalah suatu cara, usaha dan pengawasan yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan iklim kelas yang baik agar dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan semua kemampuan yang ada dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.

2. Tujuan Manajemen Kelas

  Tentunya setiap orang ketika melakukan suatu aktivitas memiliki tujuan, demikian juga dengan manajemen kelas, tentu di dalamnya ada tujuan yang hendak dicapai. Manajemen yang efektif mempunyai dua tujuan: membantu peserta didik mengabiskan lebih banyak waktu untuk belajar dan mengurangi waktu aktivitas yang tidak diorientasikan pada tujuan, dan mencegah peserta didik mengalami problem akademik dan emosional (Santrock, 2011: 558).

  Tujuan umum manajemen atau pengelolaan kelas ialah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang baik. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menggunakan alat- alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan peserta didik bekerja dan belajar, serta membantu peserta didik untuk memperoleh hasil yang diharapkan (Usman, 2010: 10).

  Menurut Wiyani (2013: 61) manajemen kelas bertujuan untuk menciptakan suasana kelas yang nyaman sebagai tempat berlangsungnya kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu, kegiatan tersebut akan dapat berjalan dengan efektif dan terarah sehingga tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat tercapai demi terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas.

  Secara khusus menurut Salman Rusydie (Wiyani, 2013: 61-63), menejelaskan tujuan dari manajemen kelas sebagai berikut:

a. Memudahkan kegiatan belajar bagi peserta didik

  Guru dituntut untuk mampu mewujudkan kelas yang ideal bagi kegiatan belajar-mengajar. Kelas sebagai lingkungan belajar harus mampu mendukung peserta didik dalam mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin. Tentunya sangat sulit bagi peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuan potensinya dengan baik jika lingkungan kelas tempat mereka belajar tidaklah mendukung. Peseta didik membutuhkan konsentrasi belajar untuk dapat mencerna, memahami, dan mengerjakan tugas-tugas belajarnnya. Itulah sebabnya pengelolaan kelas dapat memudahkan kegiatan belajar bagi peserta didik.

  b.

  

Mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi terwujudnya

interaksi dalam kegiatan belajar-mengajar

  Dengan manajemen kelas yang baik, berbagai hambatan yang dapat menghalangi terwujudnya interaksi dalam kegiatan belajar-mengajar dapat diatasi dengan mudah. Sebagaimana kita ketahui kegiatan belajar-mengajar tidak selamanya berjalan dengan mulus sesuai dengan yang diharapkan.

c. Mengatur berbagai penggunaan fasilitas belajar

  Pada sebuah kelas yang ideal, di dalamnya harus terdapat sarana atau fasilitas pendukung kegiatan belajar-mengajar. Fasilitas tersebut sangat urgent bagi peserta didik guna mempermudah mereka dalam menguasai suatu materi. Tetapi, adakalanya pengguaan fasilitas yang semrawut dapat menyebabkan suasana kelas menjadi tidak kondusif. Itulah sebabnya manajemen kelas diperlukan untuk mengatur penggunaan fasilitas dengan baik sehingga hal itu dapat mendukung dan memungkinkan peserta didik belajar sesuai dengan fasilitas yang ada.

  d.

  

Membina dan membimbing peserta didik sesuai dengan

berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya serta sifat-sifat

individunya Karakter peserta didik di sebuah kelas sangatlah beragam.

  Keberagaman tersebut tentu dapat menimbulkan berbagai persoalan. Jika guru tidak mampu mengelola dengan baik, pada akhirnya hal itu dapat mengganggu kegiatan belajar-mengajar di kelas. Itulah sebabnya mengapa manajemen kelas dibutuhkan guna membina dan membimbing peserta didik sesuai dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya, serta sifat-sifat individu peserta didik.

  e.

  

Membantu peserta didik belajar dan bekerja sesuai dengan

potensi dan kemampuan yang dimilikinya

  Manajemen kelas pada dasarnya dapat menjadi sebuah fasilitas bagi para peserta didik saat mereka belajar di kelas. Dengan manajemen kelas yang baik, peserta didik dapat belajar sesuai dengan latar belakang potensi dan kemampuan yang dimilikinya.

f. Menciptakan suasana sosial yang baik di dalam kelas

  Dengan terciptanya suasana sosial yang baik di dalam kelas maka kondisi itu dapat memberikan kepuasan, suasana disiplin, perkembangan intelektual, emosional, sikap, serta apresiasi yang positif bagi para peserta didik.

  g.

  

Membantu peserta didik agar dapat belajar dengan tertib

  Suasana kelas yang tertib adalah dambaan setiap guru. Itulah sebabnya di sekolah terdapat tata tertib sekolah dan di kelas juga biasanya terdapat tata tertib kelas. Tak jarang tata tertib tersebut hanya ditempel ditembok kelas laksana hiasan dinding dan masih saja banyak peserta didik yang melanggarnya. Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi jika guru mampu mengelola kelas dengan baik.

  Manajemen kelas ditunjukan untuk membantu para peserta didik belajar dengan tertib sehingga tujuan belajar secara efektif dan efisien di dalam kelas dapat dicapai. Berebeda dengan Salman Rusydie, secara lebih khusus Djamarah

  (Wiyani, 2013: 64-65) mengungkapkan tujuan manajemen kelas sebagai berikut:

a. Untuk peserta didik

  1) Mendorong peserta didik mengembangkan tanggung jawab individu terhadap tingkah lakunya dan kebutuhan untuk mengontrol diri. 2) Membantu peserta didik mengetahui perilaku yang sesuai dengan tata tertib kelas dan memahami jika teguran guru merupakan suatu peringatan dan bukan kemarahan. 3) Membangkitkan rasa tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam tugas dan pada kegiatan yang diadakan.

b. Untuk guru

  1) Mengembangkan pemahaman dalam penyajian pelajaran dengan pembukaan yang lancar dan kecepatan yang tepat.

  2) Menyadari kebutuhan peserta didik dan memiliki kemampuan dalam memberi petunjuk secara jelas kepada peserta didik.

  3) Memelajari bagaimana merespon secara efektif terhadap tingkah laku peserta didik yang mengganggu.

  4) Memiliki strategi remidial yang lebih komprehensif yang dapat digunakan dalam hubungannya dengan masalah perilaku peserta didik yang muncul di dalam kelas.

3. Kegiatan Manajemen Kelas

  Ketika kita berbicara tentang kegiatan manajemen kelas maka pada saat yang bersamaan kita juga sedang berbicara tentang pelaksanaan program pengajaran. Hal itu disebabkan kegiatan manajemen kelas dilakukan untuk mendukung terlaksananya program pengajaran yang berkualitas. Menurut Wiyani (2013: 65-66) setidaknya ada tiga kegiatan inti pada manajemen kelas, sebagai berikut.

a. Menciptakan iklim belajar-mengajar yang tepat

  Dalam kegiatan manajemen kelas diciptakan iklim belajar-mengajar yang tepat. Kegiatan tersebut diarahkan untuk mewujudkan suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan agar dapat memotivasi peserta didik untuk dapat belajar dengan baik sesuai dengan perkembangan dan kemampuannya. Untuk dapat menciptakan iklim belajar yang tepat, seorang guru sebagai manajer kelas harus: 1) Mengkaji konsep dasar manajemen kelas; 2) Mengkaji prinsip-prinsip manajemen kelas; 3) Mengkaji aspek dan fungsi manajemen kelas; 4) Mengkaji komponen dan prinsip manajemen kelas; 5) Mengkaji pendekatan-pendekatan manajemen kelas; 6) Mengkaji faktor-faktor yang memepengaruhi suasana belajar- mengajar; 7) Menciptakan suasana belajar yang baik; 8) Menangani masalah pengajaran di kelas.

b. Mengatur ruang belajar

  Ruang belajar harus didesain sedemikian rupa sehingga tercipta kondisi kelas yang menyenangkan dan dapat memunculkan semangat serta keinginan untuk belajar dengan seperti pengaturan meja, kursi, lemari, gamabar-gambar afirmasi, pajangan hasil karya peserta didik yang berprestasi, berbagai alat peraga, media pembelajaran dan iringan musik yang sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan atau nuansa musik yang dapat membangun gairah belajar peserta didik. Dengan ruang yang baik, para peserta didik dapat, berkomunikasi secara bebas, saling menghormati serta saling mengahargai satu sama lain. Di samping itu, dengan penataan ruang kelas yang tertata dengan baik, guru akan lebih leluasa memberikan perhatian yang maksimal terhadap setiap aktivitas peserta didik.

  Kegiatan belajar-mengajar yang efektif dapat bermula dari iklim kelas yang dapat menciptakan suasana belajar yang menggairahkan.

  Untuk itu, perlu diperhatiakan pengaturan atau penataan ruang kelas dan isinya selama kegiatan belajar-mengajar. Lingkungan kelas perlu diatur atau ditata dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya interaksi yang aktif antara peserta didik dengan guru, dan antar peserta didik. Dalam kegiatan pengaturan ruang belajar, guru melakukan empat hal, antara lain: 1) Merencanakan sarana kelas yang dibutuhkan; 2) Mengkaji berbagai tata ruang kelas; 3) Mengkaji berbagai sarana kelas; 4) Mengatur ruang belajar yang tepat.

c. Mengelola interaksi belajar-mengajar

  Belajar-mengajar merupakan sebuah interaksi yang bernilai normatif. Belajar-mengajar merupakan suatu proses yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan. Tujuan sendiri merupakan pedoman ke arah mana akan dibawa kegiatan belajar-mengajar. Kegiatan belajar- mengajar akan berhasil jika mampu membawa perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-sikap dalam diri peserta didik.

  Dalam interaksi belajar-mengajar, guru dan peserta didik harus aktif. Tidak mungkin terjadi proses interaksi yang edukatif jika hanya satu unsur yang aktif. Aktif dalam arti sikap, mental dan perbuatan. Untuk itu, interaksi belajar-mengajar di kelas perlu dikelola. Setidaknya ada lima kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam mengelola interaksi belajar-mengajar, antara lain: 1) Mengkaji cara-cara mengamati kegiatan belajar-mengajar; 2) Dapat mengamati kegiatan belajar-mengajar; 3) Menguasai berbagai keterampilan dasar mengajar; 4) Mempraktikan berbagai keterampilan dasar mengajar; 5) Mengatur peserta didik dalam kegiatan belajar-mengajar.

  Menurut Rukmana dan Suryana (2006, 33) kegiatan manajemen kelas (pengelolaan kelas) meliputi dua kegiatan yang secara garis besar terdiri dari; a.

   Pengaturan Orang (Peserta Didik)

  Pengaturan orang atau peserta didik adalah bagaimana mengatur dan menempatkan peserta didik dalam kelas sesuai dengan potensi intelektual dan perkembangan emosionalnya. Peserta didik diberikan kesempatan untuk memperoleh posisi dalam belajar yang sesuai dengan minat dan keinginannya.

b. Pengaturan Fasilitas

  Pengaturan fasilitas adalah kegiatan yang harus dilakukan peserta didik, sehingga seluruh peserta didik, dapat terfasilitasi dalam aktivitasnya di dalam kelas. Pengaturan fisik kelas diarahkan untuk meningkatkan efektivitas belajar peserta didik, sehingga peserta didik, merasa senang, nyaman, aman, dan belajar dengan baik.

  Untuk lebih jelasnya, pengaturan peserta didik, dan fasilitas kelas dapat dilihat dalam bagan seperti di bawah ini.

  Kegiatan Pengelolaan Kelas Mengatur Orang (Kondisi Emosional) Mengatur Fasilitas belajar mengajar

  (Kondisi Fisik)

  • Tingkah laku
  • Kedisiplinan - Ventilasi - Minat/perhatian - Pencahayaan - Gairah belajar - Kenyamanan - Dinamika kelompok - Letak d
  • Penempatan siswa

  Bagan 2.1: Kegiatan dalam pengelolaan kelas 4. Pengaturan Ruang Kelas

  Pada umumnya kegiatan belajar-mengajar dilakukan oleh guru dan peserta didik di dalam sebuah ruangan yang disebut kelas. Kelas sebagai salah satu prasarana sekolah memiliki berbagai sarana, seperti meja, kursi, papan tulis, rak buku, papan absensi, penghapus, penggaris, LCD proyektor bagi sebagian sekolah yang sudah menggunakannya, serta sarana lainnya. Sebuah kelas juga memiliki pintu, jendela, lubang ventilasi, dinding kelas, dan sebagainya.

  Semua yang ada di dalam kelas memiliki pengaruh terhadap kondisi kelas juga motivasi belajar peserta didik. Jika kondisi kelas tidak ditata sebagaimana mestinya dapat mengakibatkan buyarnya konsentrasi belajar peserta didik. Sebaliknya, jika kelas dengan berbagai isinya dapat diatur dengan baik oleh guru sebagai manajer kelas, kelas akan menjadi sebuah tempat yang menyenangkan dan nyaman yang akan berpengaruh pula terhadap peningkatan motivasi belajar peserta didik. Seperti yang diungkapkan oleh Patricia Tar (2004: 2) bahwa Arrangement of space

  

including desks, tables, materials available, and what is displayed on the

walls conveys messages about the relationship between teaching and

learning, the image of the child held by the teacher, and the expectations for

behavior and learning within that setting . Penataan tempat, termasuk meja,

  kursi dan materi lain, pajangan di dinding menyampaikan pesan tentang hubungan antara pengajaran dan pembelajaran, gambaran dari peserta didik yang dipantau guru, dan harapan dari tingkah laku dalam pembelajaran di dalam setting (kelas).

  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengaturan kelas yang baik harus dilakukan oleh guru agar kelasnya menjadi kelas yang kondusif untuk belajar. Menurut Carolyn M. Evertson dan Edmud T. Emmer (2011: 4-5) ada empat kunci panduan penataan ruang kelas, yaitu: a. Jadikan wilayah berlalu lintas tinggi bebas dari kemacetan.

  Gangguan dapat terjadi di daerah yang sering dilewati. Daerah ini antara lain area belajar kelompok, bangku peserta didik, meja guru, dan lokasi penyimpanan pensil, rak buku, komputer, dan lokasi lainya. Pisahkan area-area ini sejauh mungkin dan pastikan mudah diakses.

  b. Pastikan bahwa para peserta didik dapat dipantau dengan

  mudah oleh guru. Tugas manajemen yang penting adalah

  memonitor peserta didik secara cermat. Untuk itu, guru harus bisa melihat semua peserta didik. Pastikan ada jarak pandang yang jelas dari meja guru, lokasi instruksional, meja peserta didik, dan semua peserta didik. Jangan samapai ada yang tidak kelihatan.

  c. Jaga material pengajaran yang sering digunakan dan

  perlengkapan para peserta didik mudah diakses. Menjaga

  material untuk mudah diakses tidak hanya mengurangi waktu yang dihabiskan untuk mempersiapkannya dan membersihkannya, itu juga membantu menghindari pelambatan dan penundaan yang menghambat dalam proses belajar-mengajar.

  d. Pastikan bahwa para peserta didik dapat dengan mudah melihat

  persentasi dan tampilan seisi kelas. Ketika merencanakan posisi