BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Qiraat 1. Pengertian Qiraat - File 5 Bab II

BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Qiraat 1. Pengertian Qiraat Secara etimologis lafad qiraat (

  ةءارق) merupakan bentuk masdar

  dari qaraa(

  أرق) yang artinya bacaan. Sedangkan secara terminologis

  terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para

  1 ulama sehubungan dengan pengertian qiraat ini .

  Imam Al-Zarkasyi misalnya, mengemukakan pengertian Ilmu sebagai berikut:

  Qiraat ْنِم اَهِتَيِفْيَك ْوَأ ِفْوُرُحْلا ِةَباَتِك يِف ِرْوُكْذَمْلا ِيْحَوْلا ِظاَفْلَأ ُف َلَِتْخا َيِه ُتاَءاَرِقْلاَو اَمِهِرْيَغَو ٍلْيِقْثَ تَو ٍفْيِفْخَت

  Artinya : “Ilmu Qiraat yaitu perbedaan lafadz-lafadz wahyu (Al-Qur‟an)

  dalam hal penulisan hurufnya maupun cara pengucapan huruf- 2 huruf tersebut, seperti takhfif, tatsqil, dan lain-lain ”.

  Dalam rumusan definisi di atas, al-Zarkasyi berpendapat bahwa Ilmu Qiraat sebagai sistem penulisan huruf dan pengucapan huruf-huruf tersebut, tanpa menyebutkan sumber riwayat Qiraat.

  Imam Ibn al-Jazarî (w. 833 H) memberikan definisi Ilmu Qiraat dalam kitabnya Munjid al-

  Muqri‟in sebagai berikut : ِ ِ ِااَلِل اوًّوُ ْ َم اَهُ ف َلَِتْخاَو ِناَءْرُقْلا ِظاَفْلَ ِب ِ ْ نُّللا ُةَيِفْيَك ِ ِب ُفَرْ ُ ٌ ْ ِ

  Artinya : “Ilmu Qiraat adalah satu cabang ilmu untuk mengetahui cara

  mengucapkan kalimat-kalimat Al- Qur‟an dan perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan tersebut kepada para 3 perawinya.

  ” Sedangkan Muhammad

  „Alî al-Shâbûni mengemukakan definisi Ilmu Qiraat sebagai berikut:

   : ِءاَّرُقْلا ِةَّم ِئَْلْا َنِم ُما َمِْلْا ِ ِب ُبَهْذَ ِنأْرُقْلا َنِم ِ ْ نُّللا ِبِهاَذَم ْنِم ٌبَهْذَم ُتاَءاَرِقْلا ِللها ِلْوُسَر ىَلِا اَهِد ْيِناَسَ ِب ٌة َتِبا َث َيِهَو ِ ْ ِرَكْلا ِنأْرُقْلاِب ِ ْ نُّللا ىِف ُهَرْ يَغ ُفِلا َخُ ا ًبَهْذَم 1 َ َّ َسَو ِ ْيَ َ ُللها ىَّ َ 2 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, hlm. 2582 Badruddin Muh ammad ibn „Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhân fî „Ulûm Al-Qur‟an, jilid I, Dâr al- Fikr, Beirut,1988, hlm. 318. 3 Artinya : “Qiraat ialah suatu mazhab/cara tertentu dalam cara

  pengucapan Al- Qur‟an yang masing-masing imam itu memilih satu cara yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah 4 SAW.

  ” Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, nampak bahwa Qiraat Al-

  Qur‟an berasal dari Nabi Muhammad SAW melalui al-

  simâ‟ dan al-naql. Adapun yang dimaksud

  dengan al-

  simâ‟ adalah bahwa Qiraat Al-Qur‟an itu diperoleh melalui

  cara mendengar langsung dari bacaan Nabi SAW. Sedangkan yang dimaksud dengan al-naql adalah diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa Qiraat Al-

  Qur‟an itu dibacakan di hadapan Nabi SAW, lalu beliau membenarkannya. Definisi di atas juga memberikan tekanan pada empat persoalan pokok. Pertama, Ilmu Qiraat adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks

  Al- Qur‟an dari segi cara pengucapannya. Hal ini berbeda dengan Ilmu

  Tafsir yang menganalisa makna yang ada di balik teks-teks Al- Qur‟an. Ilmu Qiraat sangat mengandalkan oral (lisan) untuk mengucapkan kalimat-kalimat Al-

  Qur‟an dalam semua seginya, seperti pengucapan huruf, baik dari segi makhraj dan sifatnya, hukum-hukum tajwid seperti

  idghâm , iqlâb, ikhfâ‟, izhhâr dan lain sebagainya, sesuai dengan apa yang

  telah diajarkan oleh Nabi kepada para sahabatnya. Hal ini berbeda dengan membaca teks lain selain Al- Qur‟an, seperti membaca teks hadis Nabi yang tidak mengharuskan cara-cara seperti melafalkan Al-

  Qur‟an. Dengan demikian Ilmu Qiraat sangat terkait dengan tathbîq (praktik) membaca. Banyak orang yang mengerti teori Ilmu Qiraat, tapi pada akhirnya dia harus juga pandai mempraktikkan teori tersebut dengan baik dan benar, seperti ucapan Muhammad ibn Muhammad Amin yang berbunyi

   سيل ِ كِّكَفِب ٍئِرْما ٌةَااَ ِر َّ ِا ِ ِكْرَ ت َنْيَ بَو ُ َلْ يَ ب َو

  Artinya:

  “yang menjadi pembeda diantara seseorang dengan orang dengan ilmu Qiraat dengan yang tidak menguasai ilmu qiraat adalah jika dia terus menerus menggerak-gerakkan mulutnya 5 (mempraktikkan bacaan). 4

   Muh 5 ammad „Alî al-Shâbûni, Al-Tibyân fî „Ulûm al-Qur‟ân, t.tp: t.p, 1980, hlm. 219. Ilmu Qiraat sangat terkait dengan

  Kedua, Arabisme” . Hal ini

  tidak bisa disangkal lagi karena Al- Qur‟an diturunkan di Jazirah Arab, kepada Nabi yang berbangsa Arab, dan kaum yang juga berbangsa Arab.

  Bahasa yang digunakan juga berbahasa Arab. Dengan demikian, cara pengucapan kalimat-kalimat Al- Qur‟an juga mengacu kepada cara orang

  Arab melafalkan kalimat-kalimat Arab. Bagi bangsa yang non Arab, pada saat melafalkan Al- Qur‟an harus menyesuaikan diri dengan cara yang digunakan oleh orang Arab yang fasih membaca, lalu dipadukan dengan cara yang diajarkan oleh Nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang

  qari‟/qari‟ah yang mahir adalah mereka yang mampu melafalkan Al-

  Qur‟an secara tepat, seakan-akan dia adalah orang Arab. Tidak kelihatan lagi dialek atau aksen non-Arabnya. Sebaliknya ada dan mungkin banyak orang Arab yang mampu membaca Al-

  Qur‟an dengan aksen mereka tapi bacaannya tidak sesuai dengan bacaan yang diajarkan oleh Rasul kepada para sahabat-sahabatnya lalu terus menerus kepada generasi selanjutnya sehingga akhirnya sampai kepada guru mengajinya.

  Ketiga , Ilmu Qiraat adalah termasuk dalam komponen ilmu

  riwayah yang sudah given (sudah jadi) yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu guru (pakar Ilmu Qiraat) ke guru yang lain secara berkesinambungan dan terus menerus sampai kepada Nabi Muhammad

6 SAW. Hal ini berbeda dengan IlmuTafsir yang tugasnya menganalisa

  teks-teks Al- Qur‟an dari segi maknanya. Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk kepada hadis Nabi, perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas seorang mufassir. Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada kriteria penafsiran Al-

  Qur‟an yang telah disepakati, walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir yang lain, dan walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari Nabi, masih bisa ditolelir dan bisa diterima. Hal ini berbeda dengan Ilmu Qiraat yang sama sekali tidak menerima adanya perbedaan karena berdasarkan

  ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan bisa diterima jika betul-betul berasal

  dari Nabi. Imam al- Syâthibi berkata dalam 6 kitabnya “Hirz al-Amani” :

   ًلَكِّفَكَتُم اَاكِّرلا ِ ْيِف اَم َك َنْوُدَف ُل َخْدَم ِةَءاَرِقْلا ىِف ٍساَيِقِل اَمَو

  Artinya:

  “Tidak ada tempat pijakan/pintu masuk bagi masuknya qiyas/ijtihad dalam ilmu Qiraat. Terimâlah dengan lapang dada 7 apa yang ada pada Qiraat.

  

  Pada sisi lain adanya silsilah sanad dalam Ilmu Qiraat menjamin Al-

  Qur‟an masih tetap dalam orisinilitas dan kemurniannya. Inilah sesungguhnya urgensi mempelajari Ilmu Qiraat.

  Keempat, Ilmu Qiraat sangat terkait dengan rasm mushhaf

  Utsmâni karena setiap bacaan harus selalu mengacu kepada mushhaf Al-

  Qur‟an yang telah mendapatkan persetujuan dan ijma‟ para sahabat Nabi pada masa penulisan mushhaf pada zaman Utsmân bin „Affân atau yang sesuai dengan rasm Utsmâni.

  mushhaf

  Terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai munculnya

  Qiraat , yaitu ada yang mengatakan Qiraat mulai di turunkan di Mekah

  bersamaan dengan turunnya Al- Qur‟an. Ada juga yang mengatakan

  Qiraat mulai di turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana

  sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat dikompromikan. Qiraat memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-

  Qur‟an, akan tetapi ketika di Mekah qiraat belum begitu dibutuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu dialek yaitu Quraisy. Qiraat mulai digunakan setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam

  8 dari berbagai kabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.

  Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi Ilmu Qiraat berarti membahas sejarah perjalanan Ilmu Qiraat. Untuk mengurai persoalan ini ada beberapa pembahasan dalam penelitian ini yaitu :

  1. Qiraat Pada Masa Nabi 2. 7 Qiraat Pada Masa Sahabat dan Tabi‟in

  Abi Qosim Fairah ibn Khalaf Al- Al-Syâthibi, Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni, Dâr al-Kitâb al-Nafîs, Beirut, 1986 , hlm. 55 8

  3. Kodifikasi Ilmu Qiraat Munculnya Komunitas Ahli Qiraat dan 4.

  Terbentuknya Qirâat Sab‟ah dan Penyederhanaan Perawi ImamQirâat

  Sab‟ah

1. Qiraat Pada Masa Nabi

  Bangsa Arab adalah bangsa yang mempunyai kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arabia. Kabilah- kabilah tersebut ada yang bertempat tinggal di perkampungan yaitu di sebelah Timur Jazirah Arabia dan adapula yang bertempat tinggal di perkotaan seperti kawasan sebelah Barat Jazirah Arabia yang meliputi Mekah, Madinah dan sekitarnya. Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa‟d dan lainnya mempunyai tradisi dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.

  Dialek yang dianut suku pedalaman cukup beragam, seperti : Imâlah, atau mengucapkan huruf

  „a menjadi huruf „e‟ seperti sate. Orang dari suku Badui, karena ingin meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf yang dikenal dengan sebutan Idghâm. Imam Ibn Qutaibah al-Dînawari menjelaskan, sebagaimana dinukil oleh Ibn al-Jazarî, tentang beragamnya dialek kabilah-kabilah Arab. Ia menjelaskan bahwa Allah telah memberikan kemudahan bagi Nabi Muhammad dan umatnya yang berasal dari berbagai suku untuk bisa membaca Al-

  Qur‟an dengan bahasa dan dialeknya masing-masing. Suku Hudzail hanya mampu membaca semestinya :

  ) ( (

   ٍيْيِح ىَّتَع

  , orang dari suku Asad mengucapkan : )

  (

  

ٍيْيِح ىَّتَح ْنَلَأ و ُّدَوْسِت و ُنَلْعِت َو َىْوُوَلْعِت

  ,( dengan meng-kasrah-kan awal huruf dari )

  fi‟il mudlâri‟), ْنُ ْيَلِ ْذَ ْعِ

  orang dari suku Tamim akan membaca hamzah dengan nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapkannya dengan nada melemah, satu kabilah mengucapkan lafazh

  ) ( dengan “isymâm” (yaitu

  ءاَوْلا َضْيِغ َو ْنُ َل َلْيِق

  men-dlammah-kan Qaf dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat meng-kasrah-kan keduanya )

  (, mereka juga membaca ( ْ َّدُ

  اٌَُتَعاَضِب dengan meng-isymâm-kan Ro ‟nya yaitu mencampurkan suara kasrah

  9 dengan dlammah.

  Ibn al-Jazarî menambahkan dari apa yang dikatakan Ibn Qutaibah tentang bentuk-bentuk dialek suku-suku Arab: yang berkasrah H

  a‟,

  “Sebagian kabilah membaca lafazh : ) (

   ْنِ ْيِ و ْنِ ْيَلَع

  dengan men-dlammah-kan H

  a‟, suku lain membaca : ( ْوُوُ ٌِْه و ْوُوِ ْيَلَع

  )(sementara lainnya men-sukun-kan Mim), satu kabilah membaca : ْذَق ( ) . . dengan membaca “naql” ( mengalihkan harakat

   َحَلْ َأ ىَلِ اْوَلَخَو َيِحْوُأ ْلُق

  kepada huruf mati sebelumnya, sementara suku lainnya tidak

  hamzah

  membaca demikian). Satu kabilah membaca : ) (

   اَيًُْد و ، ىَسْيِعو ، ىَسْوُه

  dengan Imâlah ( h uruf “a” dibaca “ê”) . Ada yang membaca : ( اًرْيِبَخ )dengan membaca tarqîq (menipiskan) bunyi

  Ro‟nya. Ada juga اًرْيِصَب

  10

  yang membaca : , ُق َ َّطلا dengan menebalkan bunyi lamnya”.

   ُة َ َّصلا

  Selanjutnya Ibn al-Jazarî melanjutkan menukil dari pendapat Ibn Qutaibah yang mengatakan bahwa seandainya setiap kelompok dari mereka (orang Arab) dipaksa untuk menjauhkan diri dari apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka, maka akan terasa berat bagi mereka yang terdiri dari anak-anak, anak muda dan orang tua kecuali setelah melalui perjuangan yang keras. Oleh sebab itu Allah memberikan keringanan bagi mereka untuk membaca Al-

  Qur‟an dengan bahasa (dialek) yang sesuai dengan apa yang mudah bagi mereka, sebagaimana Allah juga

  11 memberikan keringanan dalam pelaksanaan hukum Islam.

  Demikianlah keadaan dialek suku-suku Arab pada saat Al- Qur‟an diturunkan. Bukan itu saja, umat Nabi Muhammad terdiri dari berbagai macam kalangan dan status sosial yang beragam. Ada orang awam yang tidak bisa membaca dan menulis atau yang disebut “ummi”, ada orang tua yang tidak cakap lagi mengucapkan kata-kata dengan tegas dan jelas, ada anak kecil dan lain sebagainya. Sementara Nabi mempunyai beban yang berat untuk mensosialisasikan Al-

  Qur‟an kepada mereka. Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang disamping bertujuan untuk memberikan hidayah atau petunjuk kepada segenap umat manusia, terutama umat Islam, Al-

  Qur‟an juga sebuah kitab bacaan yang perlu dibaca. Nama Al- Qur‟an diartikan sebagai bacaan atau sesuatu yang dibaca. Oleh karena itu 9 pada saat malaikat Jibril memerintahkan kepada Nabi untuk membacakan

  Muhammad ibn Muhammad ibn Yûsuf al-Jazarî, Al-Nasyr fi al- Qira‟at al-„Asyr, juz 1, Beirut,

  Dâr al-Kutub al- 10

„Ilmiyyah, t.th, hlm. 33. Yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Jazarî.

  Al- Qur‟an dengan satu huruf atau satu macam bacaan, Nabi langsung naik banding kepada malaikat Jibril agar keharusan itu diperingan lagi.

  Ternyata Allah melalui malaikat Jibril memberikan keringanan (rukhshah) kepada Nabi sampai tujuh huruf atau macam bacaan. Hadis berikut ini menjelaskan hal tersebut:

   ُنْباَو ،ىَّلَ ثُمْلا ُنْبا ُهاَلَ ثَّدَحَو ح ،َةَبْ ُش ْنَ ،ٌرَدْلُغ اَلَ ثَّدَح ،َةَبْيَش يِبَأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ اَلَ ثَّدَح : ْنَ ، ِ َكَحْلا ِنَ ،ُةَبْ ُش اَلَ ثَّدَح ،ٍرَفْ َ ُنْب ُدَّمَحُم اَلَ ثَّدَح ىَّلَ ثُمْلا ُنْبا َلاَا ،ٍراَّشَب - سو ي للها ى َناَك َّىِبَّللا َّنَأ ٍبْ َك ِنْب كِّىَبُأ ْنَ ىَ ْ يَل يِبَأ ِنْبا ِنَ ،ٍدِهاَجُم - ٍراَفِغ ىِلَب ِةاَاَأ َدْلِ - َلاَا َأَرْقَ ت ْنَأ َكُرُمْ َ َ َّ لا َّنِإ َلاَقَ ف ُمَلََّسلا ِ ْيَ َ ُل ِرْبِ ُهاَتَ َف - « . َلاَقَ ف َ َّ لا ُلَ ْسَأ َكِلَذ ُ يِ ُت َ ىِتَّمُأ َّنِإَو ُ َتَرِفْغَمَو ُ َتاَفاَ ُم ٍفْرَح ىَ َ َن ْرُقْلا َكُتَّمُأ « . » َلاَقَ ف ِنْيَ فْرَح ىَ َ َن ْرُقْلا َكُتَّمُأ َأَرْقَ ت ْنَأ َكُرُمْ َ َ َّ لا َّنِإ َلاَقَ ف َةَيِناَّثلا ُهاَتَأ َّ ُث . » َكِلَذ ُ يِ ُت َ َّ لا َّنِإ َلاَقَ ف َةَثِلاَّثلا ُهَءاَ َّ ُث َ ىِتَّمُأ َّنِإَو ُ َتَرِفْغَمَو ُ َتاَفاَ ُم َ َّ لا ُلَ ْسَأ « . َلاَقَ ف ُ َتَرِفْغَمَو ُ َتاَفاَ ُم َ َّ لا ُلَ ْسَأ ٍفُرْحَأ ِةَثَلََث ىَ َ َن ْرُقْلا َكُتَّمُأ َأَرْقَ ت ْنَأ َكُرُمْ َ . » َن ْرُقْلا َكُتَّمُأ َأَرْقَ ت ْنَأ َكُرُمْ َ َ َّ لا َّنِإ َلاَقَ ف َة َ ِباَّرلا ُهَءاَ َّ ُث َكِلَذ ُ يِ ُت َ ىِتَّمُأ َّنِإَو . ) سم هاور ( اوُباَ َأ ْدَقَ ف ِ ْيَ َ اوُءَرَ ا ٍفْرَح اَمنُّ َ َف ٍفُرْحَأ ِةَ ْ بَس ىَ َ

  Artinya: telah bercerita kepada kami Abu Bakr ibn Abi Syaibah ,telah

  bercerita kepada kami Ghunda r dari Syu‟bah dari Ibn Mutsana dan Ibn Basyâr, Ibn Mutsana berkata: telah bercreita kepada kami Muhammad ibn Ja‟far, bercerita kepada kami Syu‟bah dari al-Hakam, dari Mujâhid dari Ibn Abi Laila dari Ubay ibn Ka‟ab” sesungguhnya Nabi Muhammad berada di genangan air milik Bani Ghifâr. Datanglah malaikat Jibril dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al- Qur‟an dengan satu huruf.” Nabi berkata : “aku meminta ampun dan pertolongan kepadaNya, umatku tidak mampu untuk itu”. Kemudian malaikat Jibril datang kedua kali dan mengatakan bahwa Allah memerintahkan seperti diatas dengan dua huruf. Lalu Nabi menjawab seperti diatas pula, bahwa umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril datang ketiga kali, lalu keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan bahwa Allah memberikan keringanan sampai tujuh huruf. Huruf manapun yang mereka 12 baca, mereka sudah benar

  ”.

  Hadis tersebut sangat masyhûr di kalangan ahli hadis karena diriwayatkan oleh lebih dari 20 sahabat.

  „Abd al-Shabûr Syahin 12 menyebutkan bahwa ada 25 sahabat yang meriwayatkan dengan jumlah sanad yang mencapai 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang mempunyai kualitas dh

  a‟îf” berjumlah 8 sanad, selainnya yang berjumlah 38 sanad

  berkualitas shahîh. Syahin menggolongkan hadis ini ke dalam hadis yang

  13 mutawâtir.

  Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “Sab‟atu Ahruf” sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas. Mereka berbeda pendapat tentang arti huruf, arti bilangan tujuh, apakah berarti bilangan yang pasti atau mempunyai arti banyak. Berikut ini pendapat para ulama tentang makna

  Sab‟atu Ahruf :

  a. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini terbagi lagi menjadi dua bagian: 1) Sebagian ulama mengatakan bahwa ketujuh bahasa itu tersebar di seluruh Al-

  Qur‟an. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abû „Ubaid, Ahmad bin Yahyâ, Tsa‟lab, dan masih banyak yang lainnya. Menurut pendapat ini, Al-

  Qur‟an diturunkan kepada Rasulullah SAW dengan tujuh bahasa kabilah Arab dan ketujuh bahasa inilah yang dianggap sebagai bahasa Arab paling fasih di antara sekian banyak bahasa kabilah Arab lainnya, yaitu bahasa Quraisy, Hudzail, Tamîm, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah dan Yaman.

  Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ketujuh bahasa kabilah yang dimaksud adalah Quraisy, Hudzail, Tamim, Azd, Hawâzin,

  14 Rabî‟ah, dan Sa‟ad ibn Bakr.

  2) Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa perbedaan tujuh bahasa yang terdapat di dalam Al- Qur‟an terkumpul dalam sebuah lafal. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn Jarîr al-Thabari. Al-Thabari menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya mengenai perselisihan yang pernah terjadi antara „Umar ibn al-Khaththâb dengan Hisyâm bin Hakîm tentang qiraat Al-

  Qur‟an. Adapun redaksi hadis tersebut 13 adalah sebagai berikut:

  „Abd al-Shâbur Syahin, Târikh Al-Qur‟an, Kairo,Dar al-Ma‟alim al-Tsaqafiyyah, Dar al- I‟tisham, 1998 M/1418 H, hlm.5 14

   ن ريب لا نب ةور ينربخأ لاا يره لا ن بي ش انربخأ ناميلا وبأ الثدح نب رم ا مس امهنأ يراقلا دب نب نمحرلا دب و ةمرخم نب روسملا ث دح

ةايح يف ناارفلا ةروس أرق ما ح نب يكح نب ماشه ت مس : لوق با خلا

ف ورح ى اهؤرق وه اذإف تءارقل ت متساف س و ي للها ى للها لوسر

   ةلَصلا يف هرواسأ تدكف س و ي للها ى للها لوسر اهيلئرق ل ةريثك

لاا ؟ أرقت كت مس يتلا ةروسلا هذه كأراأ نم ت قف تبب ف س ىتح ترظتناف

للها لوسر نإ للهاوف تبذك ل ت قف س و ي للها ى للها لوسر اهينأراأ

  

ىلإ ب تق ناف كت مس يتلا ةروسلا هذه ينأراأ وهل س و ي للها ى

أرق اذه ت مس ينإ للها لوسر ا ت قف هدواأ س و ي للها ى للها لوسر

ا ( لاقف ناارفلا ةروس يلتأراأ كنإو اهيلئرقت ل فورح ى ناارفلا ةروس

و ي للها ى للها لوسر لاقف ت مس يتلا ةءارقلا اهأرقف . ) اهأراأ ماشه

  

لاقف اهينأراأ يتلا اهتأرقف . ) رم ا أراا ( لاا ث . ) تل نأ اذكه ( س

للها ى للها لوسر لاا ث . ) تل نأ اذكه ( س و ي للها ى للها لوسر

هاور () لم رسيت ام اوؤرااف فرح أ ة بس ى ل نأ ن رقلا نإ ( س و ي

) ىراخبلا

  Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Abû al-Yamân, telah

  mengabarkan kepada kami Syu‟aib, dari al-Zuhrî ia berkata: telah mengabarkan kepada kami „Urwah bin al- Zubair, dari riwayat al-Miswar bin Makhramah dan „Abdurrahmân bin „Abd al-Qâri bahwa keduanya telah mendengar „Umar bin al-Khaththâb berkata: “Aku telah mendengar Hisyâm bin Hakîm bin Hizâm membaca surah al-Furqân ketika Rasulullah SAW. masih hidup. Aku menyimak bacaannya, ternyata banyak sekali bacaan yang berbeda dengan yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. kepadaku. Hampir saja aku memegang kepalanya untuk aku bunuh ketika dia sedang shalat. Namun aku menunggunya sampai salam. Maka aku bertanya kepadanya: „Siapa yang mengajarkan kepadamu surah yang aku dengar tadi?‟ Hisyâm menjawab: „Rasulullah SAW yang mengajarkannya kepadaku.‟ Aku berkata: „Demi Allah, kamu berkata bohong karena sesungguhnya Rasulullah SAW sendiri yang mengajarkan kepadaku surah yang aku dengar darimu tadi.‟ Kemudian aku pergi sambil menggandengnya ke hadapan Rasulullah SAW. Lalu aku berkata:‟ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mendengar lelaki ini membaca surah al-Furqân dengan

  engkau telah mengajarkan surah al-Furqâ n kepadaku.‟ Rasulullah SAW.pun bersabda: „Wahai Hisyâm, bacalah surah itu!‟ maka Hisyâm membaca surah tersebut seperti yang aku dengar tadi. Maka Rasulullah SAW. bersabda: „Demikianlah surah tersebut diturunkan.‟ Kemudian Rasulullah SAW . bersabda: „Bacalah wahai „Umar!‟ Akupun membaca surah itu seperti yang beliau ajarkan kepadaku. Ternyata Rasulullah SAW. bersabda: „Demikianlah surah tersebut diturunkan.‟ Kemudian Rasulullah SAW

  . bersabda: „Sesungguhnya Al-Qur‟an diturunkan dalam tujuh huruf. Maka bacalah yang mudah

  

15

menurut kalian

”.

  Berdasarkan keterangan hadis di atas, al-Thabari berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan

  Sab‟atu Ahruf adalah perbedaan lafal

  yang merujuk pada kesamaan makna, bukan perbedaan makna yang

  16 mengakibatkan perbedaan hukum.

  b. Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud

  Sab‟atu Ahruf

  adalah tujuh bentuk lafal kalimat yang berbeda, namun memiliki makna yang hampir sama. Pendapat ini diungkapkan oleh kebanyakan para ulama fikih dan hadis, seperti Sufyan ibn

  „Uyainah, „„Abdullah

  17

  ibn Wahb, Ibn Pendapat ini didasarkan „Abd al-Barr, dan al-Thahawi. pada beberapa riwayat hadis, di antaranya adalah hadis berikut:

   ُ َّنَأ ٍبْ َك ِنْب يَبُأ ْنَ ٍساَّبَ ِنْبا ْنَ ٍدِهاَجُم ْنَ ٍحْيِجَن يِبَأ ِنْبا ْنَ ءاَاَرَو ىَوَرو : } { اَنوُركِّخَأ اوُلَم َنْ ِذَّ ِل اَنوُ ِهْمَأ اوُلَم َنْ ِذَّ ِل اَنوُرُظْنا اوُلَم َن ِذَّ ِل ُأَرْقَ َناَك اَنوُبُ اْرا اوُلَم َنْ ِذَّ ِل

  Artinya: “Waraqa‟ telah meriwayatkan dari Ibn Abi Najih, dari

  Mujahid, dari Ibn „Abbas, dari Ubai ibn Ka‟b bahwa dia telah membaca ayat lilladzina amanu unzhuruna (dengan beberapa versi bacaan sebagai berikut): lilladzina amanu amhiluna, lilladzina amanu akhkhiruna, lilladzina amanu

  18 urqubuna ”.

  c. Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan),

  wa‟d (ancaman), 15 wa‟id (janji), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal Muhammad Ibn Ismaîl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, jilid IV, Dâr Ibnu Katsîr al-Yamâmah,

Beirut, 1987, Kitâb Fadhâil al-Qu r‟ân, Bâb Man Lam Yara ba‟sa an Yaqûl Sûrah al-Baqarah wa

  Sûrah Kadzâ wa Kadzâ , no. hadis 4754, hlm. 1923 16 H asan Dhiyâ‟ al-Dîn „Atar, Al-Ahruf al-Sab‟ah wa Manzilah al-Qirâ‟ât Minhâ, Dâr al-Basyâ‟ir al-Islâmiyyah, Beirut, 1988, hlm. 173-174 17 18 Ibid. , hlm. 168-169;

  (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih,

  19 dan amtsal.

  d. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan), yaitu: 1) Perbedaan kata benda dalam bentuk mufrad, mudzakkar dan cabang- cabangnya seperti

  jama‟, ta‟nîts, dan tatsniyah. Contoh firman Allah

  SWT (Q.S. al- Mu‟minun: 8), dibaca

   َىوُعاَ ْنِ ِذْ َعَو ْنِ ِتاًَاَهَ ِ ْنُ َي ِ َّلاَو

  dengan bentuk jama dengan " " ‟ dan dibaca pula " "

   ْنِ ِتاًَاَهَ ِ ْنِ ِتًَاَهَ ِ

  bentuk mufrad. Sedangkan rasmnya dalam mushhaf adalah " "

   ْنِ ِتٌََهَ

  yang memungkinkan kedua qiraat itu karena tidak adanya alif yang disukun. Namun kesimpulan akhir kedua macam qiraat itu adalah sama karena bacaan dalam bentuk

  jama‟ diartikan istighrâq

  (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedangkan bacaan dalam bentuk mufrad diartikan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak, yaitu semua jenis amanat yang mengandung

  20 bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.

  2) Perbedaan dari segi

  i‟rab (harakat akhir kata). Misalnya firman

  Allah SWT (Q.S. Yusuf: 31). Jumhur membacanya

  اًرَشَب اَذَه اَه

  dengan nashab karena dan ini adalah berfungsi seperti سيل

  اَه

  bahasa penduduk Hijaz yang dalam bahasa inilah Al- Qur‟an diturunkan. Sedangkan Ibn

  Mas‟ûd membacanya dengan rafa‟ "

   اَه

  sesuai dengan bahasa Bani Tamim karena mereka tidak "

   رٌرَشَب اَ َ 21

  mengfungsikan seperti سيل .

  اَه

  3) Perbedaan dalam tashrîf, seperti firman-Nya:

  اًَِ اَفْسَأ َيْيَب ْذِعاَب اٌََّبَ اوُلاَقَ

  karena menjadi (Q.S. Saba‟: 19) dibaca dengan me-nashab-kan اٌََّبَ

  munâdâ mudhâf dan ْذِعاَب dibaca dengan bentuk fi‟il amr (perintah).

  Lafaz

   اٌُّب dibaca pula dengan rafa‟ sebagai mubtada‟ dan ذَعاب

  dengan membaca fathah huruf

  „ain sebagai fi‟il madhi yang

  kedudukannya menjadi khabar. Juga dibaca

  ذِّعب dengan membaca

  dan men-tasydid-kan huruf

  fathah 19 „ain dan me-rafa‟-kan lafaz اٌُّب . 20 Mannâ Khalîl al-Qaththân, Op. Cit.., hlm 159

  4) Perbedaan dalam (mendahulukan) dan

  

taqdîm

ta‟khîr

  (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf seperti dalam firman-Nya (Q.S. al-

  Ra‟d: 31) dibaca juga س نل أ, maupun yang

   ِ َ ْيَ ْنَلَ َأ

  terjadi pada kata seperti firman-Nya

   َىوُلَتْقُ َو َىوُلُتْقَيَ (Q.S. al-Taubah:

  111) di mana yang pertama dimabni-fâ

  ‟ilkan (aktif) dan yang َىوُلُتْقَيَ

  kedua

   َىوُلَتْقُ َو dimabni-maf‟ulkan (pasif) di samping dibaca pula

  dengan sebaliknya, yang pertama dimabni-

  maf‟ulkan dan yang

  kedua dimabni-fâ ‟ilkan. 5) Perbedaan dalam segi ibd â l (penggantian), seperti firman Allah

  SWT (Q.S. al-Baqarah: 259) yang mana

   اَ ُزِشًٌُْ َفْيَك ِماَظِعْلا ىَلِ ْرُظًْاَو

  lafaz â

   dan mendhammahkan nûn di اَ ُزِشًٌُْ dibaca dengan huruf z

  samping dibaca pula dengan huruf r â

   dan memfathahkan nûn

  ( ( اَ ُرِشًٌَْ .

  6) Perbedaan sebab adanya penambahan dan pengurangan, misalnya firman Allah SWT (Q.S. al-Taubah:

   ُ اَ ًَْ ْ ا اَ َتْ َت ِرْ َت ٍ اٌََّ ْنُ َل َّذَعأَو

  100) dibaca juga , keduanya

   ُ اَ ًَْ ْ ا اَ ِتْ َت ْيِه dengan tambahan ْيِه

  merupakan qiraat mutawâtir. Sedangkan mengenai perbedaan karena adanya pengurangan, misalnya firman Allah SWT.

   َ َخَّتا اوُلاَق اًذَلَو ُالله (Q.S. al-Baqarah: 116) tanpa huruf wawu, sementara jumhur

  ulama membacanya اًذَلَو ُ َّالله َ َخَّتا اوُلاَقَو dengan wawu. 7) Perbedaan lahjah (dialek) seperti pembacaan tafkhîm dan tarqîq,

  fathah dan imâlah, izhhar dan idgham, dan lain-lain. Seperti

  membaca imâlah dan tidak mengimâlahkan dalam firman-Nya

   ْلَ َو

  (Q.S. Thaha: 9) dibaca dengan mengimâlahkan kata

   َااَتَأ ىَسوُه ُث ِذَح

  . Membaca tarqîq r â

   ىتأdan ىَسوُه dalam firman-Nya اًريِصَب اًريِبَخ,

  dan membaca tafkhîm huruf l â m dalam kata ُق َ َّطلا.

  e. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak dapat diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh itu hanya sebagai

  22 simbol kesempurnaan menurut kebiasaan masyarakat Arab.

  f. Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

  23

  tujuh huruf tersebut adalah 22 Qirâat Sab‟ah.

  Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai pengetian

  Sab‟atu Ahruf dalam hadis Muslîm di atas, namun yang jelas makna yang

  tersirat dalam hadis tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.

  Bahwa Allah SWT memperbolehkan kepada umat Nabi Muhammad SAW dalam hal membaca Al-

  Qur‟an dengan berbagai macam bacaan. Bacaan manapun yang mereka pilih adalah benar.

2. Semua bacaan tersebut betul-betul telah diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad.

  3. Tujuan diturunkannya Al-Qur‟an dengan tujuh huruf adalah dalam rangka memberikan keringanan kepada umatnya Nabi Muhammad dalam membaca Al-

  Qur‟an mengingat latar belakang budaya dan

  24 struktur masyarakat yang beragam.

  Setelah Nabi Muhammad diberikan keringanan oleh Allah untuk membaca Al- Qur‟an dengan tujuh huruf, Nabi mengajarkan kepada para sahabat dengan ragam bacaan sehingga pernah terjadi kesalah pahaman diantara mereka dan pernah mereka saling menyalahkan yang lainnya jika terjadi perbedaan bacaan, bahkan diantara mereka ada yang sempat tertegun dan tak mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Al- Qur‟an. Namun Nabi memberikan penjelasan kepada mereka tentang pokok persoalan, sehingga mereka dapat memahaminya. Pengajaran Nabi kepada para sahabatnya dengan beragam bacaan terus berlangsung hingga Nabi meninggal. Para sahabat yang mendapatkan pelajaran Al-

  Qur‟an dari Nabi terus memegang bacaan mereka dan mengajarkan cara pembacaan

  25 tersebut kepada para murid-murid mereka.

2. Qiraat Pada Masa Sah

  

abat dan Tabi’in

  Setelah Nabi Muhammad meninggal, para sahabat Nabi melanjutkan tradisi yang telah dirintis oleh Nabi yaitu mengajarkan Al- Qur‟an kepada para murid-murid mereka. Ada diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekah mengajarkan Al-

  Qur‟an kepada murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay ibn Ka‟ab (w. 30 H), Utsmân 24 bin „Affân (w. 35 H), Zaid bin Tsâbit (w. 45 H), Abû Hurairah (w. 59 H),

  „Abdullâh bin „Ayyâsy (w. 64 H), „Abdullâh bin „Abbâs (w. 68 H), „Abdullâh ibn al-Saib al-Makhzumi (w. 68 H). Namun diantara sahabat Nabi ada yang keluar dari Madinah untuk berjuang bersama yang lain.

  Dengan berkembangnya Islam ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar dan „Umar bin Khaththâb, dibutuhkan tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat.

  Diantara sahabat Nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-

  Qur‟an di negeri lain seperti negeri Irak adalah „„Abdullah ibn Mas‟ûd (w. 32 H) yang diperintahkan oleh sah abat „„Umar bin Khaththâb untuk mengajar Al-

  Qur‟an di Kufah. Di Irak juga ada sahabat „Alî bin Abî Thâlib (w. 40 H), Abû Mûsâ al-

  Asy‟ari (w. 44 H) yang ditempatkan di kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria atau Syam adalah Mu

  ‟âdz ibn Jabal (w. 18 H) yang mengajarkan Al-Qur‟an di Palestina. „Ubadah ibn Shamit al-Anshâri (w. 34 H) mengajarkan Al- Qur‟an di kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda‟ (w. 32 H) mengajarkan di Damaskus. Merekalah yang sangat berperan dalam

  26 penyebaran qiraat di negeri-negeri tersebut diatas.

  Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qiraat oleh para sahabat kepada murid-murid mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan dari Nabi. Dalam beberapa hal bacaan mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam pengajaran “al-Ahruf

  as- Sab‟ah” sebagaimana dijelaskan diatas.

  Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan Tabi‟in yang juga berperan dalam penyebaran Ilmu Qiraat di negeri-negeri tersebut. Hasilnya adalah munculnya generasi baru dalam bidang qiraat yang memunculkan komunitas-komunitas ahli qiraat di pusat-pusat kajian keislaman pada saat itu. dan Kodifikasi Ilmu Qiraat

3. Munculnya Komunitas Ahli Qiraat

  Hasil yang didapatkan dari kegiatan pengajaran Al- Qur‟an dari generasi sah abat dan Tabi‟in adalah munculnya komunitas ahli qiraat pada setiap negeri Islam. Ibn al-Jazarî menyebut komunitas ahli qiraat di negeri-negeri Islam , ada empat pusat kajian qiraat.

  Pertama, Madinah yang merupakan pusat kegiatan orang Islam

  pada masa awal Islam. Ada beberapa nama besar ahli qiraat yang bermukim di Madinah diantaranya Ibn al- Musayyab, „Urwah, Salim,

  „Umar ibn „Abd al-„Aziz, Sulaimân bin Yasar, „Atha‟ bin Yasar, Mu‟âdz bin al-H ârits, „Abdurrahman bin Hurmuz al-A‟raj, Ibnu Syihâb az-Zuhri,

  27 Muslim ibn Jundab, Zaid ibn Aslam.

  Kedua, Mekah yang menjadi tempat lahirnya Islam dan pasangan

  kota Madinah menjadi dua kota utama pusat keislamanan pada jaman Nabi hingga generasi selanjutnya. Sebagai kota lahirnya Islam dan Nabi Muhammad tentunya ada banyak sahabat Nabi yang tinggal disana dan melakukan banyak dakwah Islam. Dalam hal qiraat ada nama-nama yang terkenal dengan kepakarannya di bidang tersebut. Nama-nama itu diantaranya

  „Ubaid ibn „Umair, „Atha‟, Thawus, Mujâhid bin Jabr,

  28 „Ikrimah, Ibnu Abî Mulaikah.

  Ketiga, adalah Kufah, kota ini merupakan kota metropolitan sejak

  jaman pra Islam. Setelah para sahabat Nabi menaklukan kota ini, para sahabat tetap menjadikan kota ini sebagai pusat kegiatan mulai dari pemerintahan hingga kegiatan-kegiatan keislaman. Ahli qiraat juga banyak lahir dari kota ini, diantaranya

  „Alqamah, al-Aswad ibn Yazîd,

  29 Musruq ibn al- Ajda‟, „Abidah, „Amr ibn Syurahbil, dan lain lain.

  Keempat, ada tempat lain dari Irak yang menjadi pusat komunitas

  ahli qiraat yaitu Basrah. Nama-nama terkenal dari kota Basrah yang menjadi ahli qiraat diantaranya Amir ibn Abd al-Qais, Abu al- “Aliyah,

  30 Abu Raja‟, Nasr ibn „Âshim, Yahya ibn Ya‟mur dan lain-lainnya.

  Pada generasi inilah Ilmu Qiraat mengalami perkembangan yang cukup signifikan sehingga para ahli qiraat mampu menyusun karya-karya tulis yang membahas Ilmu Qiraat yang menjadi embrio di bidang yang sama untuk disempurnakan oleh generasi selanjutnya. Fase kodifikasi 27 Ilmu Qiraat berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai 28 Ibid., hlm 12 29 Mannâ Khalîl al-Qaththân, Op. Cit., hlm 163 macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qiraat.

  Sebagian ulama

  muta‟akhirin berpendapat bahwa yang pertama

  kali menuliskan buku tentang Ilmu Qiraat adalah Yahyâ ibn Ya‟mar, ahli

  Qiraat dari Basrah. Kemudian disusul oleh beberapa Imam Qurra ,

  diantaranya yaitu : 1.

  „„Abdullah bin „Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât

  Mashâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al- „Irâq.

  2. Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma‟ânî Al-Qur‟an dan kitab

  Al Qirâ‟ât.

3. Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H) 4.

  Abû „Amr bin al-„Alâ‟ (w. 156 H) 5. Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H) 6. Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H) 7. Hârûn bin Mûsâ al-A‟ûr (w. 170 H) 8. „Abdul Hamîd bin „Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H) 9. „Alî bin Hamzah al-Kisâ‟i (w. 189 H) 10.