Obet Eka Ciptadi BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil dari krida, cipta

  rasa, dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Alam ini di samping memberikan fasilitas yang indah, juga mendatangkan tantangan yang harus diatasi (Simuh, 2013: 1).

  Kemampuan otak manusia untuk membentuk gagasan-gagasan dan konsep- konsep menjadikan mampu membayangkan dirinya sendiri terlepas dari lingkungannya. Hal inilah yang menjadi dasar dari kesadaran akan identitas dan kepribadian dirinya. Akal manusia memiliki kemampuan untuk membayangkan peristiwa-peristiwa yang mungkin menimpa dirinya, baik yang membahagiakan maupun yang dapat membawa kesengsaraan. Sesuatu hal yang paling ditakuti manusia adalah apa yang pasti akan dialaminya, yaitu saat manusia menghadapi maut, yang kemudian merupakan salah satu sebab timbulnya religi (Koentjaraningrat, 1996: 69). Pada pokoknya religi adalah penyerahan diri manusia kepada Tuhan sebagai penyelamat sejati manusia. Dengan kekuatannya sendiri, manusia tidak mampu untuk memperoleh keselamatan dan karena-Nya manusia menyerahkan dirinya ( Driyarkara, 1977: 31)

  Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, dimana pada satu sisi manusia menciptakan budaya sekaligus produk dari budaya tempat dia hidup, hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya. Betapapun awamnya, kehidupan berbudaya merupakan cirri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur jaman. Kebudayaan akan selalu menjadi warisan nenek moyang kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun- temurun. Kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hamper selalu mengalami proses penciptaan kembali. Tradisi merupakan suatu bagian dari kebudayaan, sedangkan kebudayaan sebagai keseluruan dari kelakuan dan hasil kelakuan yang didapatkan dengan cara belajar dan kesemuanya itu tersusun didalam kehidupan masyarakat(Koentjaraningrat,1990:45). Tradisi ini dapat digolongkan dalam bentuk folklor. Menurut Danandjaja folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Menurut John Harold Bruvant berdasarkan tipenya folklor dapat digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu:(1)folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya murni lisan, misalnyaungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat;(2) folklor sebagian lisan, yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat-istiadat, upacara dan pesta rakyat; (3) folklor bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor ini ada yang berbentuk material dan nonmaterial.Folklor yang berbentuk material bisa berupa arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian sertaperhiasan adat,

makanan,alatmusik,dansenjata(Endraswara, 2009 : 29).

  Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, upacara tradisional sebagai wahana budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.Upacara tradisional yang memiliki makna filosofis sampai sekarang masih dipatuhi oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak melaksanakan upacara tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.Dalam sejarah perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada.Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda.Kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam ruang dan waktu.Salah satu budaya yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen. Kebudayaan selalu menyajikan sesuatu yang khas dan unik, karena pada umumnya diartikan sebagai proses atau hasil karya, cipta, rasa, dan karsa manusia dalam menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya(Muhammad Dawami, 2002: 22).

  Upacara tradisional yang dilaksanakan pada umumnya masih mempunyai hubungan dengan kepercayaan akanadanya kekuatan diluar manusia.Adapun yang dimaksud dengan kekuatan di luar manusia yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dapat juga diartikan sebagai kekuatan supranatural seperti roh nenek moyang pendiri desa, dan bisa juga roh leluhur yang dianggap masih memberikan perlindungan padanya dan keturunannya. Mereka percaya bahwa tidak semua usaha manusia dapat berjalan lancar, terkadang menemui tantangan dan hambatan yang sulit dipecahkan. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan akal dan sistem pengetahuan manusia, sehingga masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan mulai dipecahkan secara religi. Ada caraatau mekanisme tertentu dalam tiap masyarakat untuk memaksa tiap warganya mempelajari kebudayaan yang di dalamnya terkandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupanyang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Mematuhi norma serta menjunjung tinggi nilai-nilai itu penting bagi warga masyarakat demi kelestarian hidup masyarakat(Purwadi,2005:1).

  Didesa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap, masih sangat melestarikan tradisi atau adatistiadat leluhur.Di desa Karangbenda ini terdapat beberapa kelompok penganut agama dan kepercayaan yang saling hidup rukun, berdampingan, dan damai.Agama dan kepercayaan yang ada di desa Karangbenda ini adalah Islam, kejawen, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha serta kepercayaan. Pelaksanaan adat istiadat leluhur atau tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal. Bahkan masyarakat desa Karangbenda juga sangat toleransi terhadap masyarakat dari luar baik dari desa lain maupun dari masyarakat kabupaten lain, yang akan melaksanakan ritual di Gunung Selok. Berdasarkan fakta tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengangkat topik penelitian dengan judul Pelaksanaan Adat Istiadat Leluhur atau Tradisi Leluhur

  

Sebagai Wujud Nilai-Nilai Kearifan Lokal di Desa Karangbenda Kecamatan

Adipala Kabupaten Cilacap.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka masalah yang akan diteliti pada skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1.Pelaksanaanadat istiadat leluhur atau tradisi leluhurdi desa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap

  2. Nilai-nilai kearifan lokal di desa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap C.

Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah menguraikan pelaksanaanadat istiadat leluhur atau tradisi leluhur dengan tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaan, di desa KarangbendaKecamatan Adipala Kabupaten Cilacap,mengungkapnilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di desa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap.

D. Manfaat Penelitian

  Menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan tentang adanya pelaksanaan adat istiadat leluhur atau tradisi leluhur di desa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap.Meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan melakukan wawancara dan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan data yang diperlukan.

  Mendapatkan pengetahuan langsung tentang adat istiadat atau tradisi leluhur yang berkembang di desa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap.

  Memberikan wacana yang positif dan lebih memperkenalkan lokasi sehingga masyarakat luar daerah akan tertarik untuk mengunjungi.Dapat memberikan informasi yang benar tentangdesa Karangbenda. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi bagi pegambil kebijakan agar dapat menjadikan kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia sebagai bahan untuk dapat memahami budaya yang mereka miliki.

  Di samping itu, penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah keilmuan yang berkaitan dengan kebudayaan dan pendidikan yang dapat menjadi salah satu upaya untuk melestarikan kebudayaan agar tetap ada di dalam masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, secara berkesinambungan kedua bidang tersebut akan dapat memeliharakehidupan masyarakat. Menambah perbendaharaan bahan referensi tentang budaya lokal.Memberikan kontribusi sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk melakukan suatu kajian ilmiah.

E. Kajian Pustaka dan Penelitian yang Relevan

  1. Kajian Pustaka

  a. Pelaksanaan Pelaksanaan adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci, implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah dianggap siap. Secara sederhana pelaksanaan bisa diartikan penerapan. Majone dan Wildavsky mengemukakan pelaksanaan sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan (Nurdin Usman, 2002 : 70).Pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata pelaksanaan bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa pelaksanaan bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang dilaksanakan untuk melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan dengan dilengkapi segala kebutuhan, alat-alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya mulai danbagaimana carayang harus dilaksanakan, suatu proses rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah program atau kebijaksanaan ditetapkan yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah yang strategis maupun operasional atau kebijaksanaan menjadi kenyataan guna mencapai sasaran dari program yang ditetapkan semula (Abdullah Syukur, 1987 : 40). b. Adat Istiadat Leluhur atau Tradisi Leluhur Adat istiadat merupakan kebiasaan atau kesukaan masyarakat setempat ketika melaksanakan pesta, berkesenian, hiburan, berpakaian, olah raga, dsb. Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi kegenerasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat (Poerwodarminto, 1989 :5-6).Adat istiadat adalah kebiasaan- kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib.Ada pula yang menganggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun.Pada umumnya, adat istiadat merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci atau sakral, dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah turun temurun, sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi rakyat (Djumransjah, 2007 : 29).

  Tradisi berasal dari yaitutraditionyang maksudnyaditeruskanatau

  

kebiasaan , dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah

  dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya yang diteruskan dari generasi ke generasi, baik tertulis maupun lisan karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.Definisi kebiasaan adalah sesuatu yang dilakukan secara periodik. Pada awalnya hal itu tidak pernah dilakukan, tetapi sekarang melakukannya secara periodik. Kriteria yang paling menentukan bagi konsepsi tradisi itu adalah bahwa tradisi diciptakan melalui tindakan dan kelakuan orang-orang melalui pikiran dan imaginasi orang-orang yang diteruskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya (Purwadi, 2007 : 33).

  Dalam pengertian paling sederhana, tradisi diartikan sebagai sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecendrungan untuk berbuat sesuatu mengulang sesuatu menjadi kebiasaan. Secara teoritis, budaya sebagai tradition; seluruh kepercayaan, anggapan, dan tingkah laku melembaga yang diwariskan dan diteruskan dari generasi ke generasi yang memberikan kepada masyarakatnya sistem norma untuk dipergunakan menjawab tantangan pada setiap perkembangan sosial (Koentjaraningrat,1996 : 28). Bersifat dinamis bila tidak dapat menjawab tantangan zaman, akan berubah secara wajar atau lenyap dengan sendirinya. Dalam tradisi atau tindakan orang Jawa selalu berpegang dalam dua hal yaitu kepada pandangan hidupnya atau falsafah hidupnya yang religius dan mistis, pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya. Pandangan hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang secara rohaniah atau mistis dan magis, dengan menghormati arwah nenek moyang atau leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia (Herusatoto, 2008 : 25).

  Tradisi dan tindakan orang Jawa selalu berpegangan pada dua hal yaitu pertama kepada falsafah hidupnya yang religius dan mistis, sedangkan yang kedua pada etika hidup yang menjunjung tinggi moral dan derajat hidup. Pandangan hidup yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah mistis dan magis dengan menghormati nenek moyang leluhur serta kekuatan yang tidak tampak oleh panca indera manusia (Herusatoto, 2008 : 37).

  Ternyata tradisi dan budaya jawa tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan Indonesia, melainkan juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek keagaman. Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya yang sangat variatif dan banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindu dan Budha yang terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.

  Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawa, meskipun terkadang tradisi dan kebudayaan itu bertentangan dengan ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang bertentangan dengan ajaran Islam.

  Masyarakat Jawa yang memegang ajaran Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama Islam.Fenomena ini terus berjalan hingga sekarang. Dalam perkembangannya muncul aliran kejawen dan penganut penghayat kepercayaan.

  Kejawen adalah sebuah kepercayaaan atau barangkali boleh dikatakan agama yang terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Pulau Jawa.Kata kejawen berasal dari bahasa Jawa, yang artinya segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa.Penamaan kejawen bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa.Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia.Kejawen adalah jati diri Jawa, pemakain sumber-sumber ajaran berupa serat wirid merupakan perilaku kejawen yang paling menonjol.Serat wirid menurut ngelmu tuwa adalah suatu yang biasa ditaati oleh masyarakat kejawen.Dalam buku yang berjudul Mistik Kejawen dijelaskan bahwa,dalam kehidupan kejawen akan mengikuti idialisme tertentu (Endraswara, 2006 : 27).

  Masyarakat Jawa yang menganut Islam kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan- pandangan, nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya.Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan. Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain. Mereka sangat menghormati ilmu lain, meskipun berbeda dengan keyakinan yang mereka yakini dan jalankan. Hidup harus dipenuhi dengan sikap toleransi sesama adalah ajaran ilmu orang di Jawa(Endraswara, 2006 : 36).

  Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang-orang Jawa. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannnya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku mirip dengan ibadah. Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep keseimbangan. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan konfusianisme yaitu paham yang berintikan nilai-nilai moral kebaikan kepada penganutnya, namun tidak sama pada ajaran- ajarannya (Suyono, 2007: 37).

  Simbol-simbol laku biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, sesajen, dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak orang dalam hal ini termasuk penghayat kejawen sendiri, yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan perdukunan.Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapatmengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Budha, Islam, maupun Kristen. Oleh karena itu, lahirlah yang namanya Islam kejawen (suyono, 2007 : 40). Kebudayaan spiritiual Jawa yang disebut kejawen ini memiliki ciri-ciri umum. Pertama, orang Jawa percaya bahwa hidup di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa.Mereka bersifat menerima takdir sehingga mereka tahan dalam hal menderita.Kedua, orang Jawa percaya pada kekuatan gaib yang ada pada benda-benda, seperti keris, kereta istana, dan gamelan. Benda-benda tersebut setiap tahun harus dibersihkan pada hari Jum‟at Kliwon bulan Sura dengan upacara siraman.Ketiga, orang Jawa percaya terhadap roh leluhur dan roh halus yang berada di sekitar tempat tinggal mereka.Dalam kepercayaan mereka, roh halus tersebut dapat mendatangkan keselamatan apabila mereka dihormati dengan melakukan selamatan dan sesaji pada waktu-waktu tertentu (Kodiran,1971: 46).

  Sebenarnya agama merupakan perangkat simbol yang bisa membangkitkan perasaan takzim dan khidmat. Praktek ritual dan upacara sebagai manifestasi takzim dan khidmat akan dilakukan oleh komunitas pemeluknya (Giddens, 1989: 452). Ritualisasi dalam agama berangkat dari aturan norma yang jelas dan menjadi pemahaman orang pada umumnya. Namun, ada ritualisasi sebagai bentuk ketakziman kepada makhluk yang supranatural yang hanya bisa dipahami oleh kelompok tertentu. Kelompok-kelompok tertentu yang dimaksudkan adalah kelompok yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, sebagai bangsa yang sangat kaya akan suku, ras, agama, maupun budaya. Sebagai sebuah sistem makna, agama memberi penjelasan dan interpretasi tertentu atas berbagai persoalan, dan menjadikan persoalan lainnya tetap sebagai misteri.Agama memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul alam semesta dan manusia dalam kehidupan, kematian, serta hidup sesudah mati dalam konsep-konsep yang bernuansa kegaiban seperti konsep tentang Tuhan.Keyakinan keagamaan menetapkan tatanan tertib sosial yang memberikan makna bagi dunia dengan referensi pada wilayah transendental. Hal ini berarti penjelasan dan makna yang melekat dalam agama, melampaui keterbatasan pikiran dan logika manusia (Geertz, 1973: 47). Agama juga menetapkan petunjuk-petunjuk moral yang mengontrol, dan membatasi tindak-tanduk para pemeluknya, memberlakukan pelbagai pranata dan norma serta menuntut agar para pemeluknya bertingkah laku menurut pranata dan norma yang telah digariskan (Giddens, 1989: 453).

  Sedangkan kerukunan umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, dalam bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh, yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan ormas keagamaan yang berbadan hukum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.Pemeliharaan kerukunan umat beragama dan penganut kepercayaan,baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pusat merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instansi vertikal, menumbuhkembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.Kerukunan antarumat beragama dapat diwujudkan dengan saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antarumat beragama, tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu, melaksanakan ibadah sesuai agamanya,dan mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan negara (Zakiah, 1995 : 37).Terdapat dua jenis kerukunan antarumat beragama, yaitu kerukunan antarpemeluk agama yang sama, merupakan suatu bentuk kerukunan yang terjalin antarmasyarakat penganut satu agama, seperti kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen. Kerukunan antarpemeluk agama yang sama juga harus dijaga agar tidak terjadi perpecahan, walaupun sebenarnya dalam hal ini sangat minim sekali terjadi konflik. Kerukunan antarumat beragama lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antarmasyarakat yang memeluk agama berbeda-beda.

  Sebagai contoh, kerukunan antara pemeluk Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama.

  Kerukunan antarumat beragama lain ini cukup sulit untuk dijaga. Seringkali terjadi konflik antara pemeluk agama yang berbeda. Hal ini terjadi karena hal-hal sebagai berikut: (1)rendahnya sikaptoleransi, salah satu masalah dalam komunikasi antarumat agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola pertemuan tidak langsung antarumat beragama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan; (2) kepentingan politik, faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mencapai tujuan sebuah kerukunan antarumat beragama, khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antarumat beragama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian hampir memetik buahnya. Namun, tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut mempengaruhi hubungan antarumat beragama dan bahkan memporak-porandakannya ibarat petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan bangunan dialog yang sedang di selesaikan, tanpa politik suatu negara tidak bisa hidup secara tertib, teratur, dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya; (3) sikap fanatisme, di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang, bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu- satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah. Pandangan- pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam, misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Terdapat banyak aliran dan banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada di luar untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang

akan dianugerahi keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan- pandangan setiap sekte dalam agama tersebut, maka timbullah sikap fanatismeyang berlebihan (Ali Masrur, 2004 : 14).

  Sebenarnya kerukunan antarumat beragama dan kepercayaan banyak manfaatnya, antara lain terciptanya suasana yang damai dalam bermasyarakat, toleransi antarumat beragama meningkat, menciptakan rasa aman bagi agama- agama minoritas dalam melaksanakanibadahnya masing-masing, dan meminimalisasi konflik yang terjadi dengan mengatasnamakan agama.

  3. Nilai Nilai artinya sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan

  (Purwadarminta, 1999: 677). Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Pada hakekatnya nilai akan memberikan pengaruh dalam kehidupan sosial manusia sehari-hari. Sumber nilai dalam kehidupan manusia yaitu nilai Illahi (nilai religi) yaitu nilai yang dititahkan Tuhan YME melalui para rasul-Nya yang berbentuk takwa, iman, adil yang diabadikan dalam wahyu Illahi; dan nilai insani yaitu nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia serta hidup berkembang dari peradaban manusia.

  Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Didalam masyarakat yang secara cepat mengalami perubahan, nilai menjadi bahan pertentangan. Oleh sebab itu pilihan nilai mutlak diperlukan,sebab terdapat kelompok-kelompok nilai tertentu seperti agama, moral, danestetika, sementara tidak ada kesepakatan mengenai jumlah tersebut, wataknya, hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya, derajat masing-masing, dan prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam mengadakan pilihan (Sulaeman, 1998:23-28).

  Keputusan untuk memilih nilai-nilai dipengaruhi oleh bermacam-macam nilai tradisional. Nilai-nilai luhur terdiri dari nilai religius atauspiritual dan nilai moral.

  Nilai ini masih dibagimenjadi beberapa bagian,yaitu nilai religius, terdiri dari dua hal yaitu ajaran tentangTuhan,meliputiTuhan sebagaicausa prima (Tuhanmerupakansumber dari segala sesuatu), kekuasaanTuhan,manusia dihadapanTuhan,keberadaan Tuhan, dzat hidup dari Tuhan, sifat-sifat Tuhan;dan ajaran tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan, meliputi menyembah dan mendekatkan diri kepada Tuhan, mengagungkan nama Tuhan dan berbakti kepada Tuhan, menjalankan tataran sembah, sedangkan nilai moral, terdiri dari hubungan manusia dengan diri sendiri, meliputi hokum karma,tujuan hidup, keingin tahuan manusia, sopan santun, hubungan manusia dengan sesama, meliputi memayu

  

hayuning bawana ,prinsiptolong-menolong,keteladanan,berbakti,dan hubungan

manusia dengan melestarikan alam (Putra, 2012:419-427).

  4. Kearifan Lokal Pengertian Kearifan Lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Lokal berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius.Pengertian local genius yang disampaikan Haryati Soebadio bahwa local genius juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang (Ayatrohaedi,1986:40-41).Kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikanpegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (Ridwan, 2008: 63-65).

  Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama.Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka tidak akan mengalami penguatan secara terus- menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan (Ridwan, 2008: 72-74).Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi yangbersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (Ridwan, 2008: 76).Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu yang dikenal dengan budaya lokal dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu pada suatu daerah atau disebut juga dengan masyarakat lokal. Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal. Budaya lokal disebut budaya daerah merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional dan budaya global (Koentjoroningrat, 1996: 12). Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan dan praktek-praktek baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di suatu tempat, yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi (Putra, 2012 : 12).

  Sesuai dengan definisitersebut di atas, dapat dipahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi.

  Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda- legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat (Sarjono, 1999: 45).

  b. Penelitian yang Relevan Dalam konteks penelitian tentang adat istiadat Jawa atau tradisi leluhur merupakan kajian yang sangat menarik, karena berbagai macam aliran yang ada di dalamnya, mulai dari yang terkait dengan budaya sampai pada hal-hal yang mengarah kepada substansi dalam agama. Dalam konteks budaya di Jawa, penelitian Ridwan, dkk (2008) dengan Islam Kejawen ; sistem keyakinan dan ritual anak cucu ki Bonokeling di dalam kelompok Islam Kejawen yang menjadi ciri khas adalah upacara selamatan yang jumlah ragamnya sangat banyak sesuai kebutuhan dan momentum tertentu pada masing-masing bulan dalam Jawa.

Penelitian Agus Sutiyono (2008) dengan judul budaya “macanan” di Adipala

  Cilacap, di mana di daerah tersebut komunitas Islam yang dikenal dengan Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) yang menjadikan hari Kamis Wage (wage nama pasaran di Jawa) dan Jumat Kliwon (kliwon nama pasaran di Jawa) sebagai hari yang sangat istimewa, karena kegiatan ritual mereka terpusat pada hari tersebut. Ritual dimaksud adalah resik kubur (membersihkan makam) dan pengkabulan doa (permohonan doa) sebagai bentuk penghormatanpada leluhur dilakukan pada hari itu.Penelitian Agus Sutiyono (2014) dengan judul kearifan budaya Jawa pada ritual keagamaan Komunitas Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) di desa Adipala dan Daun Lumbung Cilacap, terdapatkeunikan sekelompok orang yang mempunyai keyakinan dalam ajaran Islam dengan kuat dan kokoh mempertahankan budaya yang selama ini menjadi perilakunya sementara masyarakat yang lain memandang apa yang dilakukan dalam budaya kelompok HPK tidak umum di tengah-tengah masyarakat. Namun demikian sampai sekarang eksistensi kelompok ini masih tetap terjaga kelestariannya. Komunitas ini seolah mengajarkan kepada kita akan keteguhan dalam alam demokrasi. Dengan mendalami pola kehidupan mereka dalam lingkungan masyarakat yang berbeda pada posisi minoritas, akan bisa menjadi inspirasi bagi kita bahwa hidup merupakan perjuangan dengan tetap mengedepankan toleransi yang tinggi untuk bisa eksis di tengah masyarakat.

  1. Kerangka Teoritis Dalam penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran dari teori interaksi simbolik, karena di dalamnya memiliki tendensi-tendensi pemikiran yang kuat untuk menganalisis penelitian. Dalam pandangan interaksi simbolik, bahwa proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok, dalam konteks ini, maka makna dikontruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan peranannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial.Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Disamping itujuga, pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini menyarakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan subtansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Dedi Mulyana, 2002 : 68-70).

  Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Di samping itu pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak- pihak yang terlibat dalam interaksi sosial (Berger. 2004 : 14).

  Secara ringkas teori interaksionisme simbolik didasarkan pada premis- premis berikut, pertama individu merespons suatu situasi simbolik, mereka merespon lingkungan termasuk obyek fisik berupa benda dan obyek sosial berupa perilakumanusia berdasarkan media yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka, kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melihat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa, negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu mewarnai segala sesuatu bukan hanya obyek fisik, tindakan atau peristiwa bahkan tanpa kehadiran obyek fisik, tindakan atau peristiwa itu,namun juga gagasan yang abstrak, ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial, perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri (Alex Sobur, 2004 : 199).

  2. Pendekatan Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji mengenai pelaksanaan adat istiadat leluhur atau tradisi leluhur sebagai wujud nilai-nilai kearifan lokal di desa

  Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap, menggunakan pendekatan antropologi dan pendekatan sosiologis.

  Antropolgi merupakan ilmu yang mengkaji manusia dan budayanya.Tujuan antropologi adalah memperoleh pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk, baik di masa lampau maupun sekarang, baik sebagai organisme biologis maupun sebagai makhluk berbudaya. Oleh karena itu, kajiannya meliputi sifat-sifat khas fisik manusia serta sifat-sifat khas budaya yang dimiliki oleh manusia (Koentjaraningrat , 1987 : 1).

  Secara sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecenderungan individu-individu dengan individu lain dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi. Jadi yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis ialah sebuah pendekatan dimana peneliti menggunakan logika-logika dan teori-teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan.Rekonstruksi peristiwa yang menggunakan pendekatan sosiologi didalamnya akan terungkap segi-segi sosial dari peristiwa itu. Hasil konstruksinya dapat kategorikan sebagai sejarah sosial.Sebab, pembahasannya mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan status sosial, dan sebagainya (Hamid dkk, 2011: 95).

  Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologis,karena ilmu sosiologi adalah ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat.Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, peneliti berharap mampu meneliti mengenai pelaksanaan adat istiadat leluhur atau tradisi leluhur serta bentuk nilai-nilai kearifan lokal di desa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap.Kemudian, peneliti menggunakan pendekatan antropologi, karena ilmu antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal pada daerah yang sama. Dengan menggunakan pendekatan antropologi, peneliti berharap mampu meneliti tentang adat istiadat leluhur atau tradisi leluhur di desa Karangbenda, bagaimana pelaksanaan adat istiadat leluhur atau tradisi leluhur di desa Karangbenda, dan nilai-nilai kearifan lokal apa saja di desa Karangbenda tersebut.

  Pada penelitian tentang pelaksanaan adat istiadat leluhur atau tradisi leluhur sebagai wujud nilai-nilai kearifan lokal di desa Karangbenda Kecamatan

  Penelitian Adipala Kabupaten Cilacap, peneliti menggunakan metode historis.

dengan menggunakan metode historis untuk memperkaya pengetahuan peneliti

  tentang bagaimana dan mengapa suatu kejadian masa lalu dapat terjadi serta proses bagaimana masa lalu itu menjadi masa kini, pada akhirnya, diharapkan meningkatnya pemahaman tentang kejadian masa kini serta memperolehnya dasar . yang lebih rasional untuk melakukan pilihan-pilihan di masa kini Secara singkat metode historis digunakan untuk memahami masa lalu, dan mencoba memahami masa kini atas dasar persitiwa atau perkembangan di masa lampauMetode historis adalah proses kerja untuk menuliskan kisah-kisah masa lalu berdasarkan jejak- jejak yang ditinggalkan, dengan langkah sebagai berikut; (1) pengumpulan sumber data//heuristik, (2) kritik sumber/verivikasi, (3) interpretasi, (4) historiografi (Priyadi, 2013:111).

  1. Heuristik (Pengumpulan Sumber) Heuristik merupakan kegiatan atau usaha untuk mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah sebagai bahan yang akan dikaji dalam penelitian, baik itu berupa sumber benda, sumber tulisan, maupun sumber lisan. Sumber sejarah tidak selalu tersedia dengan mudah sehingga untuk memperolehnya harus bekerja keras mencarinya, khususnya artifact, baik pada situs-situs sejarah maupun lembaga museum, atau mencari data sejarah lisan yang menyangkut para pelaku dan penyaksi sejarah.Sejarawan harus mencari sebanyak-banyaknya pelaku sejarah yang terlibat. Pencarian tersebut melibatkan seseorang atau beberapa pelaku yang mengetahui ada pelaku yang lain yang perlu diwawancarai (Priyadi, 2013:112) Dalam kegiatan pengumpulan sumber, peneliti menggunakan teknik interaktif dan non interaktif.Teknik interaktif dilakukan dengan pengamatan/observasi danwawancara, Observasi atau pengamatan langsung dilakukan untuk memperoleh fakta nyata yang berhubungan dengan fokus penelitian, hal-hal yang berkaitan kemudian dilakukan pencatatan. Pengamatan (observasi) merupakan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap suatu gejala yang tampakpadaobjekpenelitian( Prastowo,2011:220).Dalam kegiatan observasi ini peneliti tidak menyatu dengan yang diteliti tetapi hanya sekedar sebagai pengamat.Adapun manfaat dari observasi adalah peneliti akan lebih mampu memahami konteks datadalam keseluruhan situasi sosial, akan diperoleh pengalaman langsung, dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, dan dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan terungkap karena bersifat sensitif (Sugiyono, 2016 : 227).

  Wawancara adalah suatu metode pengumpulan datayang berupa pertemuan dua orang atau lebih secara langsung untuk bertukar informasi dan ide dengan tanya jawab secara lisan sehingga dapat dibangun makna dalam suatutopik tertentu (Prastowo,2011:145).Wawancara dilakukan kepada tokoh pemerintah desa, tetua desa, pemuka agama,tokoh penganut kepercayaan, dan warga masyarakat desa Karangbenda Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap yang telah dipilih sebagai informan yang mengetahui tentang permasalahan penelitian ini,sekaligus merupakan sumber data yang akan diungkapkan. Hal ini berguna untuk menggali dan memperoleh informasi yang lengkap dan lebih objektif sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam kegiatan wawancara ini dikondisikan suatu sikap kekeluargaan sehingga memberi kesempatan bagi peneliti untuk mengetahui segala sesuatu dibalik tingkah seseorang. Selain itu, dalam wawancara tersebut tidak menutup kemungkinan peneliti berusaha mengetahui motif, respon emosional,dan proses-prosessosial yang dapat dilihat pada pengalaman manusia dan keadaan social yang terdapat di sekitarnya. Melalui suasana kekeluargaan, diharapkan dapat mendukung kadar representatifdatayang diperoleh.Olehsebabitu,dalamwawancaratersebutperlu diperhatikan waktu yang tepat.Mungkin pada saat dimintai keterangan, pandanganataupendapatpadasituasiyangsedangbanyakwaktuluang.Selain itu,sebaiknya tidakadacampurtanganpihak ketiga.Dengandemikian,ketika seorang informansedang memberikan keterangan,pendapatataugagasan,akan merasaaman dan tidak terganggu. Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan dalam wawancara ini adalah sebagai berikut menetapkan informan dengan teknik sebagaimana dalam kriteria penentuan informan, mewawancarai informan mulai dari yang deskriptif hingga struktural dan pertanyaan kontras, membuat catatan hasil wawancara etnografi dalam fieldnote, melakukan analisis dan interpretasi

hasil wawancara termasuk analisis domain dan komponen, didukung hasil observasi non partisipan kemudian bahan-bahan ditulis dalam laporan etnografi (Sugiyono, 2016 : 235).