BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis - HUBUNGAN PER IL AKU PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PROGRAM PENGOBATAN SISTEM DOTS DI BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT PURWOKERTO - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis

  1. Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit radang pareknim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosa. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosa (Darmanto, 2014).

  Menurut Sulianti (2004) Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Sebagian besar kuman ini menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

2. Penularan

  Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus Tuberkulosis (Sudoyo et al., 2009).

  Penyakit Tuberkulosis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

  tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien

  tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernafas (Dipiro et al., 2008). Bila batuk, bersin atau bicara saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat. Masa inkubasinya, yaitu selama 3 – 6 bulan. Setiap BTA Positif akan menularkan kepada 10 – 15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular tuberkulosis adalah 17 %.

  Hasil studi lainya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih beresiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah) (Widiyono, 2011).

3. Klasifikasi Tuberkulosis menurut Pedoman Nasional Penganggulangan TB (2014).

  Pasien Tuberkulosis juga diklasifikasikan menurut: Lokasi anatomi dari penyakit, Riwayat pengobatan sebelumnya, Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat dan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik.

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

  Tuberkulosis paru adalah Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru Milier Tuberkulosis dianggap sebagai Tuberkulosis paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis Tuberkulosis dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung Tuberkulosis pada paru, dinyatakan sebagai Tuberkulosis ekstra paru. Pasien yang menderita Tuberkulosis paru dan sekaligus juga menderita Tuberkulosis ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien Tuberkulosis paru.

  Tuberkulosis ekstra paru: Adalah Tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis Tuberkulosis ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis Tuberkulosis ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.

  Pasien Tuberkulosis ekstra paru yang menderita Tuberkulosis pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien Tuberkulosis ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran Tuberkulosis yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

  (1) Pasien baru Tuberkulosis: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan Tuberkulosis sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (dari 28 dosis). (2) Pasien yang pernah diobati Tuberkulosis: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan Tuberkulosis terakhir, yaitu:

  (3) Pasien kambuh: adalah pasien Tuberkulosis yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis Tuberkulosis berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).

  (4) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien Tuberkulosis yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

  (5) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).

  (6) Lain-lain: adalah pasien Tuberkulosis yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

  c. Klasifikasi pasien Tuberkulosis berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu : (1) Tuberkulosis paru BTA positif.

  (a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

  (b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto thorak dada menunjukkan tuberkulosis.

  (c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.

  (d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS yang pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

  (2) Tuberkulosis BTA Negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif. Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi: (a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

  (b) Foto thorak abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. (c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. (d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

4. Tanda dan Gejala Tuberkulosis Paru

  Keluhan yang dirasakan pasien Tuberkulosis paru dapat bermacam- macam atau banyak pasien ditemukan Tuberkulosis paru tanpa keluhan sama sekali. Gejalanya berupa gejala umum dan gejala respiratorik. Gejala umum berupa demam dan malaise. Demam ini mirip dengan demam yang disebabkan influenza namun kadang-kadang dapat mencapai 40-41ºC. Gejala demam ini bersifat hilang timbul. Malaise yang terjadi dalam jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan (Darmanto, 2014).

  Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit Tuberkulosis paru aktif. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit (Darmonto, 2014).

5. Diagnosis Tuberkulosis

  Diagnosis Tuberkulosis paru dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan bakteriologis dan radiografi. Diagnosis pasti Tuberkulosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan kultur bakteri atau biakan sputum, tetapi pemeriksaan tersebut memerlukan fasilitas laboratorium khusus dan ahli (Mitchison, 2005).

  Menurut program penanggulangan Tuberkulosis Nasional (2011) diagnosis Tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopis. Pemeriksaan tiga spesimen sputum sewaktu-pagi- sewaktu (SPS) secara mikroskopis hasilnya identik dengan pemeriksaan sputum secara kultur atau biakan.

  Hasil pemeriksaan dinyatakan BTA positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen sputum yang diperiksa diperoleh hasil positif atau hanya satu spesimen BTA positif dengan hasil foto rontgen sesuai gambaran Tuberkulosis aktif. Jika ketiga spesimen BTA negatif tetapi foto rontgen sesuai gambaran Tuberkulosis maka diagnosis ditegakkan sebagai BTA negatif rontgen positif.

  Ditemukan satu spesimen yang positif dengan gejala yang mendukung maka harus dilakukan pemeriksaan ulang. Jika hasil tetap satu spesimen yang positif atau negatif tetapi gejala mendukung Tuberkulosis maka penderita diberikan antibiotik spektrum luas selama dua minggu, dan jika setelah pengobatan gejala hilang maka penderita bukan Tuberkulosis paru, tetapi jika gejala tidak hilang maka perlu dilakukan kembali pemeriksaan sputum (Depkes, 2010).

  Menurut Alsagaff (2010), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk memberikan diagnosa yang tepat antara lain: a. Anamnesis baik terhadap pasien maupun keluarganya.

  Identifikasi keluhan seperti batuk, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada dan nafas berbunyi yang berlangsung lama.

  b. Pemeriksaan fisik secara langsung.

  Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien dengan penemuan konjungtiva pucat atau kulit yang pucat karena anemia, badan kurus atau berat badan menurun. Kelainan paru pada umumnya terjadi di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pemeriksaan pada perkusi didapatkan suara redup dan auskultasi suara nafas bronchial (Amin dan Bahar, 2009)

c. Pemeriksaan laboratorium

  Bahan pemeriksaan adalah dahak pasien. Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) : (1) Sewaktu / spot (dahak waktu saat kunjungan) (2) Pagi (keesokan harinya) (3) Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

d. Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan : (1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif artinya BTA positif.

  (2) 1 kali positif, 2 kali negatif artinya ulang BTA 3 kali, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif artinya BTA positif.

  (3) Bila 3 kali negatif, artinya BTA negatif.

e. Rontgen dada

  Sesuai dengan gambaran tuberkulosis paru. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru, tetapi bisa juga mengenai lobus bawah (inferior). Awal ditemukan penyakit, lesi merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas tidak tegas. Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Dalam waktu lama, dinding akan menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terdapat fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis (Amin & Bahar, 2009).

6. Tahapan Pengobatan Tuberkulosis

  Menurut Darmanto (2014) pengobatan Tuberkulosis harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud : a. Tahap Awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu/ b. Tahap Lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman presister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

  Tabel 1. Obat Anti Tuberkulosis menurut Kemenkes RI (2011) Tabel 2. Dosis OAT lini pertama pasien dewasa menurut Kemenkes RI (2011)

  Catatan : Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur > 60 tahun atau pasien dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500 mg/ hari.

  Beberapa bukuu rujukan menganjurkan penurunan dosis menjadi 10 mg/kg/BB/hari/

  Tabel 3. OAT yang digunakan pada pasien MDR menurut Kemenkes RI (2011)

7. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya menurut Kemenkes RI (2015).

  a. Kategori-1 : 2(HRZE)/4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: (1) Pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis.

  (2) Pasien Tuberkulosis paru terdiagnosis klinis (3) Tuberkulosis ekstra paru

  Tabel 4. Dosis OAT KDT Kategori 1:2 (2HRZE)/4(HR)3 Tabel 5. Dosis OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

  b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang):

  (1) Pasien kambuh (2) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya (3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

  Tabel 6. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3) Tabel 7. Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Tabel 8. Hasil Pengobatan TB

8. Pencegahan

  Menurut Notoatmodjo (2003) Tuberkulosis paru bisa diobati, asalkan benar – benar mempunyai keinginan dan semangat yang besar untuk sembuh.

  Dorongan dari keluarga dan orang disekitar sangatlah diperlukan. Pemeriksaan yang intensif dan teliti serta disiplin minum obat yang diberikan dokter harus dilakukan penderita agar penyakit yang dideritanya segera sembuh. Pengobatan yang dilakukan bertujuan untuk menyembuhkan, mencegah kematian, dan kekambuhan.

a. Tindakan pencegahan Tuberkulosis paru oleh orang yang belum terinfeksi:

  (1) Berusaha mengurangi kontak dengan penderita Tuberkulosis paru aktif.

  (2) Selalu menjaga standar hidup yang baik, caranya bisa dengan mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi, menjaga lingkungan selalu sehat baik itu di rumah maupun di tempat kerja (kantor), dan menjaga kebugaran tubuh dengan cara menyempatkan dan meluangkan waktu untuk berolah raga.

  (3) Pemberian vaksin BCG, tujuannya untuk mencegah terjadinya kasus infeksi Tuberkulosis yang lebih berat. Vaksin BCG secara rutin diberikan kepada semua balita.

  b. Tindakan pencegahan Tuberkulosis paru oleh penderita agar tidak menular: Bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi penderita Tuberkulosis paru aktif tindakan yang bisa dilakukan adalah menjaga kuman (bakteri) dari diri sendiri, hal ini biasanya membutuhkan waktu lama sampai beberapa minggu untuk masa pengobatan dengan obat Tuberkulosis hingga penyakit Tuberkulosis sudah tidak bersifat menular lagi.

  Menurut Priyoto (2014) adapun cara untuk membantu menjaga pencegahan Tuberkulosis agar infeksi bakteri tidak menular kepada orang

  • – orang disekitar baik itu teman atau keluarga di rumah: (1) Selama beberapa minggu menjalani pengobatan sebaiknya tidak tidur sekamar dengan orang lain meskipun keluarga sendiri sebagai usaha pencegahan Tuberkulosis paru agar tidak menular.

  (2) Selalu menggunakan masker untuk menutup mulut, hal ini merupakan langkah pencegahan Tuberkulosis paru secara efektif dan jangan membuang masker yang sudah tidak dipakai lagi pada tempat yang tepat dan aman dari kemungkinan terjadinya penularan Tuberkulosis paru ke lingkungan sekitar. (3) Jangan meludah di sembarangan tempat. (4) Menghindari udara dingin dan selalu mengusahakan agar pancaran sinar matahari dan udara segardapat masuk secukupnya ke ruangan tempat tidur. Usahakan selalu menjemur kasur, bantal, dan tempat tidur terutama di pagi dan di tempat yang tepat.

  (5) Tidak melakukan kebiasaan sharing penguunaan barang atau alat.

  Semua barang yang digunakan penderita Tuberkulosis paru harus terpisah dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.

  (6) Mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak kadar karbohidrat dan protein tinggi.

B. Perilaku

  1. Pengertian Perilaku Menurut Notoatmodjo (2010), bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respon sehingga teori Skinner ini disebut “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respons).

  2. Bentuk Perilaku Menurut Benyamin Bloom yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010), membedakan adanya tiga ranah perilaku, yaitu kognitif (cognitive), afektif

  (affective), dan psikomotor (psychomotor).

a. Sikap

  Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baik, dan sebagainya).

  Menurut Notoatmodjo (2010) sikap terdiri dari beberapa tingkatan yaitu: (1) Menerima (receiving)

  Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

  (2) Menanggapi (responding)

  Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

  (3) Menghargai (valuing) Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Dalam arti mengajak atau mempengaruhi orang lain merespon. (4) Bertanggung Jawab (responsible)

  Sikap yang paling tinggi tindakannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya.

  Azwar (2013) menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi sikap adalah : (1) Pengalaman pribadi

  Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial.

  Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap, untuk dapat mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. (2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting

  Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita anggap penting, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu.

  (3) Pengaruh kebudayaan

  Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempenyui pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah.

  (4) Media massa Sebagai sarana komunikasi, berbgai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.

  (5) Pengaruh faktor emosional Tidak semua bentuk sikap yang ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang disadari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

  Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).

b. Tindakan

  Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over

  

behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata

  diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor pendukung (support) dari pihak lain (Notoatmodjo, 2003).

  (1) Tingkat Tindakan menurut Notoatmodjo (2010).

  (a) Praktik terpimpin (guided response) Apabila suatu subjek atau sesorang telah melakukan sesuatu tapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. (b) Praktik secara mekanisme (mechanism)

  Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikan sesuatu hal secara otomatis, maka disebut praktik atau tindakan mekanis. (c) Adopsi (adoption) Suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang.

  Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. (d) Persepsi (perception)

  Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. (2) Faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku Menurut Lawrence Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010) bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:

  (a) Faktor – faktor predisposisi (pre disposing factors) adalah faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku sesorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai – nilai, tradisi, dan sebagainya.

  (b) Faktor – faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor – faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. (c) Faktor – faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor – faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

  (3) Klasifikasi Perilaku Kesehatan Notoatmodjo (2003) menyatakan perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :

  (a) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).

  Adalah perilaku atau usaha – usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. (b) Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan

  (health seeking behaviour). Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit.

  (c) Perilaku kesehatan lingkungan Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya.

  (4) Perilaku kesehatan pada penderita Tuberkulosis. Berikut adalah perilaku kesehatan : (a) Diupayakan cahaya matahari sebanyak mungkin masuk ke dalam rumah.

  (b) Membuka jendela setiap hari. (c) Segera membuang tissue yang sudah dipakai kedalam tempat sampah.

  (d) Cuci tangan dengan menggunakan air bersih atau sabun. (e) Menggunakan masker selama berpergian. (f) Penderita tidak meludah di lantai atau disembarang tempat, agar kuman tidak menyebar dan menular ke orang lain.

  (g) Penderita harus menutup mulut dengan sapu tangan, bila batuk atau bersin.

  Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2010).

C. DOTS

  DOTS merupakan pengobatan Tuberkulosis jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Upaya pengendalian Tuberkulosis secara nasional dilakukan dengan menerapkan strategi DOTS mulai tahun 1995, yaitu strategi penatalaksanaan Tuberkulosis yang menekankan pentingnya pengawasan untuk memastikan pasien menyelesaikan pengobatan sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh (Kemenkes RI, 2013). Strategi ini direkomendasikan WHO secara global dalam pengendalian Tuberkulosis karena menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi yaitu mencapai 85% (Kurniawan, 2015).

  Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita Tuberkulosis tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan Tuberkulosis dan dengan demikian menurunkan insidens Tuberkulosis di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan Tuberkulosis.

  Kemenkes RI (2013) menyatakan strategi DOTS dalam angka pada penemuan kasus menunjukan peningkatan yang signifikan yaitu dari 21% pada tahun 2001 menjadi 82,38% pada tahun 2012. Angka keberhasilan juga menunjukan peningkatan yaitu dari 87% pada tahun 2001 menjadi 90,2% pada tahun 2012. Angka penemuan kasus Tuberkulosis dan keberhasilan pengobatan merupakan indikator yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan upaya pendeteksian kasus Tuberkulosis (Kurniawan, 2015). Dengan menggunakan DOTS, maka proses penyembuhan Tuberkulosis paru dapat berlangsung secara cepat. Kategori kesembuhan penyakit Tuberkulosis yaitu suatu kondisi dimana individu telah menunjukan peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu indikator kesembuhan penyakit Tuberkulosis, diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan follow up sebelumnya negatif (Nizar, 2010).

  Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:

  a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.

  b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

  c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

  d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin.

  e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.

D. Kepatuhan Berobat

  Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (Smet, 1994). Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Niven, 2002). Atau juga dapat didefinisikan kepatuhan atau ketaatan terhadap pengobatan medis adalah suatu kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang telah ditentukan (Gabit, 1999). Keberhasilan pengobatan Tuberkulosis paru ditentukan oleh kepatuhan pasien Tuberkulosis dalam meminum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Kemenkes RI, 2013).

  Kepatuhan menyangkut aspek jumlah dan jenis OAT yang diminum, serta keteraturan waktu minum obat (Nainggolan, 2013). Menurut Kemenkes RI (2013) keberhasilan pengobatan ditentukan juga oleh penemuan kasus secara mikroskopis.

  Kendala dalam Tuberkulosis paru adalah motivasi yang kurang dari penderita, putus berobat yang disebabkan karena pengobatan yang memerlukan waktu lama, jumlah dosis sekali minum akan mempengaruhi kepatuhan, keteraturan dan keinginan untuk minum obat sehingga seringkali penderita menghentikan pengobatan sebelum masa pengobatan selesai.

  Kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam manajemen perawatan diri dan kerja sama antara pasien dan petugas kesehatan (Robert, 1999). Kesembuhan penderita Tuberkulosis paru dalam Depkes (2008) dijelaskan bahwa dikatakan sembuh dalam pengobatan Tuberkulosis paru adalah penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap 6-9 bulan dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya negatif.

  Walaupun telah diketahui obat-obat untuk mengatasi Tuberkulosis dan penyakit Tuberkulosis dapat disembuhkan dengan obat-obat Tuberkulosis, penanggulangan dan pemberantasannya sampai saat ini belum memuaskan. Pengobatan yang terputus ataupun tidak sesuai dengan standar DOTS juga dapat berakibat pada munculnya kasus kekebalan multi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang memunculkan jenis kuman Tuberkulosis yang lebih kuat, yang dikenal dengan Multi Drug Resistant (MDR-TB) (Bagiada & Primasari, 2010).

  Berhasil atau tidaknya pengobatan Tuberkulosis tergantung pada pengetahuan pasien ada tidaknya upaya dari diri sendiri atau motivasi dan dukungan untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat. Dampak jika penderita berhenti minum obat adalah munculnya kuman Tuberkulosis yang resisten terhadap obat, jika ini terus terjadi dan kuman tersebut terus menyebar pengendalian obat tuberkulosis akan semakin sulit dilaksanakan dan meningkatnya angka kematian akibat penyakit Tuberkulosis. Tujuan pengobatan pada penderita Tuberkulosis bukanlah sekedar memberikan obat saja, akan tetapi pengawasan serta memberikan pengetahuan tentang penyakit ini (Enjang, 2002).

  Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah faktor komunikasi, pengetahuan, dan fasilitas kesehatan.

1. Faktor komunikasi

  Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawas yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan.

  2. Pengetahuan Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama penting sekali dalam pemberian antibotik. Karena sering sekali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis.

  3. Fasilitas kesehatan Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap pasien. Diharapkan pasien menerima penjelasan dari tenaga kesehatan.

  Karena jangka waktu pengobatan yang ditetapkan lama maka terdapat beberapa kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita berobat teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat secara teratur (defaulting), penderita sama sekali tidak patuh dalam pengobatan yaitu putus berobat (droup out) (Partasasmita, 1996). Oleh karena itu menurut Cramer (1991) kepatuhan penderita dapat dibedakan menjadi:

1. Kepatuhan penuh (Total compliance)

  Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk.

2. Penderita yang sama sekali tidak patuh (non compliance) Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan penderita Tuberkulosis menurut Niven (2002) adalah :

1. Faktor penderita atau individu :

  a. Sikap atau motivasi individu ingin sembuh Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatanya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berhubungan denganperilaku penderita dalam kontrol penyakitnya.

  b. Keyakinan Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinanya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik.

  Kemauan untuk melakukan kontrol penyakitnya dapat dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya.

  c. Dukungan keluarga Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya.

  d. Dukungan sosial Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.

  e. Dukungan petugas kesehatan Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu berapdatasi dengan program pengobatanya.

2. Kultur budaya dan agama

  Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang, karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai atau tidak dengan budaya yang ada dan agama yang dianut.

  3. Pendidikan Semakin tinggi pendidikan maka akan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut.

  4. Pengalaman Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang tinggi maka pengalaman akan luas, sedangkan semakin tua umur seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.

  Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) adalah suatu kuesioner

  untuk mengukur kepatuhan seseorang dalam minum obat, biasanya digunakan pada pasien penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan jangka waktu lama. MMAS merupakan hasil pengembangan dari Modified Morisky Scale (MMS) yang dapat meningkatkan sensitivitas pengukuran kepatuhan penggunaan obat, karena item pertanyaan dan skala nilai lebih spesifik (Purwaningtyastuti dkk, 2011).

E. Kerangka Teori

  

TAHU, MEMAHAMI, APLIKASI,

ANALISIS, SINTESIS, EVALUASI

MEDIA MASA PENGETAHUAN PENIDIDIKAN

  Gambar 2. Kerangka Teori

  

LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA

PERILAKU

Sumber :

  Kerangka Teori Menurut Benyamin Bloom (1908), Budiman (2013), Notoatmodjo (2010), Kemenkes (2011).

  KEPATUHAN

  TINDAKAN

  

1. Baik

  2. Tidak Baik

  a. Kepatuhan Tinggi

  b. Kepatuhan Sedang

  c. Kepatuhan Rendah Kerangka Teori : Studi Yang Diteliti :

KEBERHASILAN PENGOBATAN TB MENERIMA, MENANGGAPI, MENGHARGAI, BERTANGGUNG JAWAB

F. Kerangka Konsep KEPATUHAN BEROBAT PASIEN DALAM MENGIKUTI PROGRAM PENGOBATAN SISTEM DOTS PERILAKU PASIEN PENGALAMAN SIKAP

  • BAIK
  • TIDAK BAIK
  • KEPATUHAN TINGGI
  • KEPATUHAN

  SEDANG

  • KEPATUHAN

KEBERHASILAN PENGOBATAN TB

  Hipotesis adalah suatu perumusan sementara mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu dan juga dapat menuntut / mengarahkan penelitian selanjutnya (Umar, 2005). Dari penelitian ini peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut : H : “Tidak ada hubungan antara perilaku pasien Tuberkulosis paru dengan kepatuhan program pengobatan sistem DOTS di Balai

  Kesehatan Paru Masyarakat Purwokerto” H

  1 : “Ada hubungan antara perilaku pasien Tuberkulosis paru dengan

  kepatuhan program pengobatan sistem DOTS di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Purwokerto”

  Gambar 1. Kerangka Konsep

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PASIEN TB PARU DI RS PARU JEMBER

1 5 76

POLA PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT MAKASSAR PERIODE JANUARI – JUNI 2011 Hendra Herman, Bayu Putra, Citra Dana Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia Email : noncee2307gmail.com ABSTRACT - POLA PENGOBATAN TUBE

0 0 7

TINJAUAN KEPUASAN PELAYANAN PASIEN RAWAT JALAN DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA

0 0 12

EVALUASI PENERAPAN SISTEM KOMPUTERISASI PENDAFTARAN PASIEN DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA

0 0 10

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN PASIEN DAN KETERATURAN PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN STRATEGI DOTS SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 54

HUBUNGAN ANTARA STATUS IMUNISASI BCG DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA ANAL BALITA USIA < 5 TAHUN DI BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BPKM) PURWOKERTO

0 0 7

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IMOGIRI 1 NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PASIEN MINUM OBAT ANTI TUBERK

0 1 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi - PENGARUH PEMBERIAN EDUKASI PENGOBATAN TB PARU TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN DI RUANG KENANGA RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 18

HUBUNGAN PERILAKU PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PROGRAM PENGOBATAN SISTEM DOTS DI BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT PURWOKERTO

0 0 15

1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - HUBUNGAN PER IL AKU PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PROGRAM PENGOBATAN SISTEM DOTS DI BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT PURWOKERTO - repository perpustakaan

0 0 17