BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gagal Ginjal Kronis 1. Definisi Gagal Ginjal Kronis - Rosi Astuti BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gagal Ginjal Kronis 1. Definisi Gagal Ginjal Kronis Gagal ginjal kronik atau (GGK) adalah kondisi saat fungsi ginjal

  mulai menurun secara bertahap. Indonesia Renal Registry mendefinisikan gagal ginjal kronik sebagai kerusakan ginjal, dapat berupa kelainan jaringan, komposisi darah dan urine atau tes pencitraan ginjal, yang dialami lebih dari tiga bulan. ( Indonesia Kidney Care Club, 2017) .

  Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah kerusakan ginjal atau penurunan ginjal kurang dari 60% ginjal normal bersifat progresif dan irreversibel, menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membuang toksin dan produk sisa dari darah serta tidak dapat berfungsi secara maksimal, dimana kerusakan ginjal tersebut ditandai dengan albuminuria (>30 mg albumin urine per gram dari creatin urine), Glomerular Filtration Rate (GFR) <60ml/menit/1,73 m² dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan (KPIG XIV Cikini, 2008; Smeltzer & Bare, 2011).

2. Etiologi

  Menurut Suwitra (2009) Etiologi gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya dan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia sebagai berikut : Glomerulonefritis (46,39 %), Diabetes militus (18,65 %), Obstruksi

  18 dan Infeksi (12,85 %), Hipertensi (8,46 %), Sebab lain (13,65 %). Sebab lain ini di kelompokkan diantaranya: nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.

3. Klasifikasi

  Klasifikasi gagal ginjal kronik didefenisikan berdasarkan derajat penurunan Laju Filtrasi Glomerulusnya (LFG) dimana stadium yang lebih tinggi memiliki nilai LFG yang lebih rendah. Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti pada tabel di bawah ini (KDIGO, 2013). Produksi sel darah merah oleh sumsum tulang menyebabkan produk hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga peningkatan oksigen oleh hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka tubuh akan mengalami keadaan lemas dan tidak bertenaga.

Tabel 2.1 Kategori LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik

  2 LFG (ml/min/1.73 m ) Kategori LFG Batasan

G1 > 90 Normal atau Tinggi

  

G2 60-89 Penurunan ringan

G3a 45-59 Penurunan ringan

sampai sedang

G3b 30-44 Penurunan sedang

sampai berat

G4 15-29 Penurunan berat

  

G5 <15 Gagal ginjal

Sumber : KDIGO, 2013 Keterangan : LFG = Laju Filtrasi Glomerulus

4. Penatalaksanaan

  Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Suwitra, 2009) :

  a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan

  • – fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah menurun sampai 20 30 % dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang. (Nurlasam, 2007).

  b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi kormobid Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien gagal ginjal kronik dimana hal ini untuk mengetahui kondisi kormobid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Kondisi kormobid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

  c. Menghambat perburukan fungsi ginjal Faktor utama terjadinya perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus dan ini dapat dikurangi melalui dua cara yaitu:

  1) Pembatasan asupan protein yang mulai dilakukan pada LFG ≤

  60 % ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.

  2) Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Selain itu sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.

  d. Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler dan komplikasi Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi pengendalian displipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

  e. Terapi Pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal meliputi dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan trasplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan pada saat ini adalah hemodialisis dimana jumlahnya dari tahun ke tahun terus bertambah.

B. HEMODIALISIS 1. Definisi

  Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal selain dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal. Indikasi hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik adalah bila laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menit/1,73 m2 atau memenuhi salah satu dari kriteria berupa keadaan umum buruk dengan gejala klinis uremia yang nyata, kalium serum < 6 mEq/L, ureum darah > 200 mg/dL, pH darah <7,1, anuria berkepanjangan (> 5 hari), dan kelebihan cairan (Raharjo, 2009).

  Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy/ RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan Gagal Ginjal Akut yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan hemodialisis dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: hemodialisis darurat (emergency), hemodialisis persiapan/ (preparative), dan hemodialisis kronik (regular) (Daurgirdas et al., 2007).

Tabel 2.2 Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia

  Th. 2000 Penyebab Insiden

  Glomerulonefritis 46,39% Diabetes Melitus 18, 65% Obstruksi dan infeksi 12, 85% Hipertensi 8,46% Sebab lain 13,65%

  Sumber: Mansjoer, Triyaanti, Savitri, Wardhani & Setyowulan, Kapita Selekta Kedokteran (1999).

  2. Tujuan Tindakan Hemodialisis

  Tindakan hemodialisis bertujuan untuk membersihkan nitrogen sebagai sampah hasil dari metabolisme, untuk membuang kelebihan cairan, mengoreksi elektrolit dan memperbaiki gangguan keseimbangan basa pada penderita CKD (Levy et Al, 2004 dalam Pranoto, 2010). Tujuan utama tindakan hemodialisis adalah mengembalikan keseimbangan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang terganggu akibat dari fungsi ginjal yang rusak (Himmelfarb & Ikizer, 2010).

  3. Indikasi Hemodialisis

  Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi hemodialisis emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Hemodialis segera adalah hemodialisis yang harus segera dilakukan. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007): a. Kegawatan ginjal

  1) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi 2) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)

  3) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam) 4) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya

  Kalium > 6,5 mmol/l ) 5) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l) 6) Uremia ( BUN >150 mg/dL) 7) Ensefalopati uremikum 8) Neuropati atau miopati uremikum 9) Perikarditis uremikum 10) Disnatremia berat (Natrium >160 atau <115 mmol/L) 11) Hipertermia

  b. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bia melewati membran dialis.

  Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika LFG <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai LFG <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007) : 1) LFG <15 ml/menit, tergantung gejala klinis 2) Gejala uremia meliputi; lethargis, anoreksia, nausea, mual dan muntah.

  3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.

  4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan. 5) Komplikasi metabolik yang refrakter.

4. Prinsip Hemodialisis

  Secara sederhana proses dialisis lainnya memompa darah dan dia lihat melalui membran dialyzer. Dialysate adalah larutan air murni yang mengandung klorida, natrium kalium, magnesium, kalsium, dextrose, bikarbonat atau asetat.

  a. Didalam dialyzer darah dan dialysate dipisahkan oleh membran semipermeable. Darah mengandung sisa produk metabolisme berupa ureum, creatin, dan lainnya. Sedangkan dialysate tidak mengandung produk sisa metabolisme. Karena perbedaan konsentrasi ini akan terjadi proses difusi dalam dialyzer.

  b. Proses difusi akan maksimal bila arah aliran darah dan dialisat berlawanan (counter current flow). Kecepatan aliran darah dan dialisat dalam dialiser juga berpengaruh pada peningkatan proses filtrasi.

  c. Proses konveksi dalam dialyzer dapat ditingkatkan dengan meningkatkan tekanan dalam membran dialyzer (trans membrane pressure). Pada proses Hemodialisis konvensional, molekul dengan ukuran kecil tidak semua terlepas dengan proses konveksi saja.

  Tetapi hampir semua molekul dengan ukuran kecil terlepas dalam proses difusi. Sebaliknya molekul dengan ukuran besar (B2- mikroglobulin dan vit B12) dikeluarkan efektif dengan proses konveksi. Hal ini telah menyebabkan peningkatan penggunaan 20 metode UF di Hemodialisis untuk meningkatkan penghapusan molekul MW lebih besar.

5. Proses Hemodialisis

  Ginjal buatan (dialyzer), mempunyai 2 kompartemen, itu kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Kedua kompartemen tersebut, selain dibatasi oleh membran semipermeabel, juga mempunyai perbedaan tekanan yang disebut sebagai transmembran pressure (TMP) (Swartzendruber et al., 2005 dalam Pranoto 2010). Selanjutnya, darah dari dalam tubuh dialirkan ke dalam kompartemen darah, sedangkan cairan pembersih (dialisat), dialirkan ke dalam kompartemen dialisat. Pada proses hemodialisis, terjadi 2 mekanisme difusi dan mekanisme ultrafiltrasi. Mekanisme difusi bertujuan untuk membuang zat-zat terlarut dalam darah (blood purifacation), Sedangkan mekanisme ultrafiltrasi bertujuan untuk mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh (volume control) (Roesli,2006). Kedua mekanisme dapat digabungkan atau dipisah sesuai dengan tujuan awal Hemodialisis nya.

  Mekanisme difusi terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Proses difusi ini akan terus berlangsung hingga konsentrasi pada kedua kompartemen telah sama. Kemudian, untuk menghasilkan mekanisme difusi yang baik, pakaian daerah dan aliran dialisat dibuang saling berlawanan. Kemudian pada mekanisme ultrafiltrasi terjadi pembuangan cairan karena adanya perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik akan mendorong cairan untuk keluar, sementara tekanan onkotik akan menahanya. Bila tekanan diantara kedua kompartemen sudah seimbang maka mekanisme ultrafiltrasi akan berhenti (Suwitra, Rahardjo et al., 2006).

  6. Komplikasi Hemodialisis

  Komplikasi akut hemodialisis adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara dan hipoksemia. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, P., Susalit, E., & Suhardjono, 2006). Wilson, (2006) menyebutkan bahwa komplikasi dialisis adalah hipotensi, sindrom ketidakseimbangan, dialisis dimensi, hepatitis, infeksi, kehilangan darah, gangguan elektrolit asam basa.

  7. Masalah fisik dan psikologis

  Gagal ginjal kronik dapat mengakibatkan masalah fisik dan masalah psikologis. Berikut ini adalah beberapa masalah fisik dan psikologis :

Tabel 2.3 Masalah Fisik dan Psikologis Pada Pasien Hemodialisis

  Masalah fisik Masalah psikologis Demam Frustasi Reaksi anafilaksis Rasa bersalah Tekanan darah rendah Depresi Gangguan Irama jantung Cemas Emboli paru Gangguan gambaran diri Pendarahan usus, otak, mata, perut Ketidakberdayaan

  Takut akan mati Keputusasaan Perubahan peran Sumber: Luckman dalam Maryanti (2005).

8. Dampak hemodialysis

  Setelah dilakukan hemodialisis pasien merasa lelah, sakit kepala, keringat dingin, kram, dan susah BAK. Hal ini terjadi karena tekanan darah menurun dan sel darah merah pecah. Pengaruh lain bersifat kejiwaan di mana pasien menjadi tidak bisa mandiri dan bergantung pada mesin hemodialisis, perawatan keluarga.

  Diperkirakan bahwa dialisis yang dapat menyebabkan sindrom, dimanifestasikan oleh sekelompok gejala dari mual ringan, muntah, sakit kepala, hipertensi, sampai agitasi, kekuatan dan kekacauan mental. Sehingga penurunan Kecepatan aliran darah dan pemberian sedatif dapat mencegah gejala hemodialisis yang lebih berat. Dampak lain dari hemodialisis yaitu terjadinya perdarahan. Perdarahan selama dialisis mungkin karena kondisi matic yang mendasari seperti ulkus atau gastritis, atau mungkin akibat antikoagulasi berlebihan.

  Antikoagulasi yang sering dipakai adalah heparin karena metode pemberian sederhana, meningkatkan masa pembekuan darah dengan cepat dan mudah di monitor. Kondisi psikologis pasien gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan.

  Dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Pasien dan keluarga kehilangan semangat hidup akibat terapi dialisis, pembatasan asupan makanan serta cairan. Waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas sosial menjadi berkurang untuk menjalani terapi dialisis. Hal tersebut dapat menciptakan konflik, frustasi, serta dekorasi dalam keluarga. Bagi pasien dan keluarganya merupakan hal yang sulit mengungkapkan rasa marah serta perasaan negatif, sehingga diperlukan konseling psikoterapi.

  Pasien harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan setiap Perasaan marah, keprihatinan terhadap pembatasan Yang Harus dipatuhi akibat penyakit, masalah keuangan, ketidakpastian pekerjaan, rasa sakit dan gangguan rasa nyaman yang mungkin timbul. Perasaan marah yang diungkapkan akan menghindari pasien dari depresi, rasa putus asa, serta upaya bunuh diri (Luckmann,1997, dikutip Maryanti,2005).

C. Aspek Spiritualitas 1. Konsep Spiritualitas

  a. Definisi Menurut Florance Nightingale, spiritualitas adalah suatu dorongan yang menyediakan energi yang dibutuhkan untuk mempromosikan lingkungan rumah sakit yang sehat dan melayani kebutuhan spiritual sama pentingnya dengan melayani kebutuhan fisik (Delgado, 2005; Kelly, 2004). Spiritualitas merupakan faktor penting yang membantu individu mencapai keseimbangan yang diperlukan untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan, serta beradaptasi dengan penyakit (Potter & Perry, 2010). Istilah “spiritualitas” diturunkan dari kata Latin yaitu “spiritus”, yang berarti

  “meniup” atau “bernafas”. Spiritualitas mengacu pada bagaimana menjadi manusia yang mencari makna melalui hubungan intra-, inter-, dan transpersonal (Reed,1991 dalam Kozier dkk., 2010).

  Spiritualitas mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, dan dimensi horizontal adalah hubungan dengan orang lain, diri sendiri dan lingkungan ( Stoll, 1989 dalam Hamid, 2008).

2. Aspek spiritualitas Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan.

  Dimensi ini termasuk menemukan arti, tujuan, menderita, dan kematian; kebutuhan akan harapan dan keyakinan hidup, dan kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri, dan Tuhan. Ada 5 dasar kebutuhan spiritual manusia yaitu: arti dan tujuan hidup, perasaan misteri, pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan (Hawari, 2002).

  Menurut Burkhardt (dalam Hamid, 2000) spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan b. Menemukan arti dan tujuan hidup

  c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.

3. Dimensi Spiritual

  Dimensi spiritual merupakan suatu penggabungan yang menjadi satu kesatuan antara unsur psikologikal, fisiologikal atau fisik, sosiologikal dan spiritual (Dwidiyanti, 2008). Dimensi spiritual dan religius dalam kehidupan merupakan salah satu pengaruh terpenting dalam kehidupan individu (Wong, 2008).

  Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut (Hawari, 2002).

4. Komponen Spiritual Care

  Menurut Iranmensh et al. (2011) kompenen spiritual adalah sebagai berikut: a. Menemui pasien sebagai seseorang manusia yang memilik arti dan harapan

  Perawatan spiritual adalah memungkinkan untuk menemukan makna dalam perisitiwa baik dan buruk kehidupan. Perawatan spiritual juga sebagai sumber pasien untuk menyadari makna dan harapan serta mengetahui apa yang benar-benar penting untuk pasien. Memberikan harapan kepada pasien adalah salah satu bagian yang paling penting dari perawatan, terutama ketika mereka menghadapi pasien yang sedang sakit parah Iranmanesh et al (2009).

  b. Menemui pasien sebagai seseorang manusia dalam hal hubungan Murata (2003) menegaskan bahwa untuk mengurangi rasa sakit spiritual seseorang, sebagai dalam sebuah hubungan, kita harus memperhatikan orang-orang yang menghubungkan pasien kepada orang lain setelah kematian diantara berbagai orang dan persitiwa yang disebutkan. Perawatan spiritual adalah tentang melakukan, bukan menjadi, dan menyatakan bahwa perawat lebih unggul dari klien, ini melibatkan cara menjadi (daripada melakukan) yang memerlukan hubungan perawat-klien simetris (Taylor dan Mamier, 2005).

  c. Menemui pasien sebagai seorang yang beragama Keagamaan ini dicirikan sebagai formal, terorganisir, dan terkait dengan ritual dan keyakinan. Meskipun banyak orang memilih untuk mengekspresikan spiritualitas mereka melalui praktik keagamaan, beberapa dari mereka menemukan spiritualitas yang harus diwujudkan sebagai harmoni, sukacita, damai sejahtera, kesadaran, cinta, makna, dan menjadi (Chung et al, 2006).

  d. Menemui pasien sebagai manusia dengan otonomi Murata (2003) menjelaskan bahwa jika pasien menyadari adanya bahwa mereka masih memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri disetiap dimensi mengamati, berfikir, berbicara, dan melakukan, yaitu persepsi, pikiran, ekspersi dan kegiatan melalui pembicaraan dengan perawat untuk memulihkan rasa nilai sebagai sebagai seseorang dengan otonomi.

5. Kebutuhan Spiritual

  Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan rnemenuhi kewajiban agamas serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf (Kozier, 2004).

  Menurut Bussing et al (2010) kebutuhan spiritual memiliki 4 dimensi spiritual meliputi kebutuhan religi, kebutuhan mendapatkan kedamaian, eksistensi diri, serta kebutuhan untuk memberi. Setiap orang memiliki kebutuhan ini namun demikian berbeda dalam aspek maupun tingkat kebutuhannya masing-masing, sehingga penting untuk dilakukan kajian terlebih dahulu dalam menentukan kebutuhan spiritual pasien.

  Secara umum seluruh kebutuhan ini dipilih oleh sebagian besar responden, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh kebutuhan ini penting untuk diperhatikan dan diupayakan pemenuhannya. Dilihat dari tingkatan sampai seberapa penting pemenuhan kebutuhan spiritual, kebutuhan religi/keagamaan menjadi kebutuhan yang dibutuhkan dibanding kebutuhan spiritual pada dimensi lainnya, hal ini berdasarkan pada nilai rerata yang diperoleh pada masing-masing dimensi. Seberapa penting tingkatan kebutuhan spiritual pada dimensi lainnya secara berurutan dituliskan sebagai berikut: dimensi kedamaian; dimensi eksistensi diri dan dimensi kebutuhan untuk memberi.

  a. Kebutuhan Religi Dimensi kebutuhan keagamaan/religi menjadi kebutuhan yang paling banyak dibutuhkan serta menjadi kebutuhan spiritual yang dibutuhkan oleh responden dibandingkan dimensi lainnya, hampir seluruh responden membutuhkan kebutuhan spiritualitas ini. Dengan aspek (item) kebutuhan berdoa dengan orang lain serta didoakan oleh orang lain menjadi aspek kebutuhan yang paling banyak dipilih oleh responden.

  b. Kebutuhan Kedamaian Kebutuhan akan kedamaian (inner peace) menurut Chao et al

  (2002) kedamaian diri adalah spiritualitas yang muncul dari rekonsiliasi pada diri sendiri, sebagai hasil dari negosiasi terhadap konflik yang dihadapi. Menurut Chao et al (2002) setiap orang disepanjang hidupnya pasti pernah merasakan inferioritas, tidak percaya diri, egois, malu bahkan benci terhadap diri sendiri, dan kedamaian dapat muncul dari self reconciliation terhadap masalah yang dialami, sehingga mampu memberikan penghargaan yang baik bagi diri sendiri. Dalam penelitian Nuraeni (2012) kedamaian diri dapat muncul sebagai bentuk penerimaan terhadap permasalahan (penyakit) yang dianggap sebagai teguran maupun cobaan, penerimaan ini dapat membawa kedalam kehidupan yang lebih baik.

  Menurut Bussing et al (2010) kebutuhan akan kedamaian antara lain terdiri dari aspek berikut ini : berharap berada ditempat yang tenang dan sunyi, menikmati keindahan alam, menemukan kedamaian dari dalam, berbicara dengan orang lain tentang ketakutan dan kekhawatiran, dan ketaatan. Pemenuhan kebutuhan akan kedamaian ini pada sebagian responden masih belum terpenuhi. Berdasarkan uraian yang sudah disebutkan sebelumnya pemenuhan kebutuhan kedamaian ini dapat dilakukan oleh perawat melalui beberapa hal, yakni : fasilitasi tempat yang tenang dan sunyi, memberikan waktuwaktu tertentu bagi pasien untuk menyendiri serta mendorong penerimaan pasien akan penyakitnya, selain itu perawat juga dapat mendekatkan pasien dengan alam dengan cara menambahkan ornamen alam di ruang rawat dapat melaui suara gemericik air, lukisan tentang alam dan sebagainya.

  c. Kebutuhan Eksistensi Kebutuhan spiritualitas pada dimensi kebutuhan eksistensi diri menjadi kebutuhan spiritual selanjutnya setelah kebutuhan dalam dimensi kedamaian diri. Kebutuhan eksistensi diri menurut Bussing et al (2010) meliputi refleksi kehidupan, berbicara dengan seseorang tentang arti dan makna kehidupan, berbicara dengan seseorang tentang ketakutan, dan kehidupan setelah kematian. Frankl (dalam Guillory et al, 1997) menyatakan bahwa inti dari keberadaan seorang manusia (eksistensi) adalah melalui pencarian makna dan tujuan hidup. Lebih jauh Buchardt dan Nagai-Jacobson mendefinisikan spiritualitas sebagai esensi dari keberadaan manusia, menanamkan kesadaran tentang siapa kita, apa tujuan hidup dan sumber batin seorang manusia. Pemenuhan kebutuhan eksistensi diri dalam penelitian ini masih rendah jika dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan religi dan kebutuhan untuk memberi. Perawat dapat membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan eksistensi diri pasien melalui komunikasi ataupun memfasilitasi dan mendorong pasien dalam hal melakukan interospeksi diri, berbicara tentang makna dan tujuan hidup, makna sakit dan penderitaan serta kehidupan setelah kematian.

  d. Kebutuhan Untuk Memberi Dimensi kebutuhan spiritual yang terakhir adalah kebutuhan untuk memberi. Dibandingkan dimensi kebutuhan spiritual sebelumnya, kebutuhan spiritual ini dirasakan penting namun dalam tingkat yang lebih rendah. Menurut Bussing et al (2010) kebutuhan untuk memberi terdiri dari :secara aktif dan atas kesadaran sendiri menghibur orang lain, untuk berbagi pengalaman kepada orang lain, dan untuk memastikan bahwa hidup ini memiliki nilai dan makna. Hal ini memperkuat penelitian yang dilakukan oleh Walton (2002) bahwa spiritualitas adalah keseimbangan, setelah seseorang mendapatkan bantuan, pertolongan dari orang lain pada saat mengalami krisis, akan timbul keinginan untuk dapat memberi atau berguna bagi orang lain, agar dia mendapatkan keseimbangan. Pendapat ini diperkuat juga oleh Nuraeni (2012) bahwa salah satu makna spiritualitas pada pasien sakit di Indonesia adalah memberi manfaat bagi sesama.

6. Faktor Yang Mempengaruhi Spiritualitas Pasien

  Manurut Hamid, (2008) ada beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang, faktor tersebut adalah: 1) Pertimbangan tahap perkembangan

  a) Bayi dan todler (0-2 tahun) Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman dan dalam hubungan interpersonal,karena sejak awal kehidupan manusia mengenal dunia melalui hubungannya dengan lingkungan, khususnya orang tua. Bayi dan todler belum memiliki rasa salah dan benar serta keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan yang dilakukan serta ikut ke tempat ibadah yang memepengaruhi citra diri mereka.

  b) Prasekolah Usia pra sekolah meniru apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain. Menurut (Kozier, Erb, Blais, dan

  Wilkinson 1995 dalam hamid, 2008) pada usia prasekolah ini metode pendidikan spiritual yang paling efektif adalah memberikan indoktrinasi dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memilih caranya. Agama merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Mereka percaya bahwa Tuhan yang memebuat hujan dan angin, hujan dianggap sebagai air mata Tuhan.

  c) Usia Sekolah Usia sekolah mengharapkan Tuhan menjawab doanya, yang salah akan dihukum dan yang baik akan diberikan hadiah. Pada masa prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka menyadari bahwa doa tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan tanpa mau menerima keyakinan begitu saja.

  Pada usian ini , anak mulia mengambil keputusan akan melepaskan atau meneruskan agama yang dianutnya karena ketergantunganya kepada orangtua.

  d) Usia Remaja Pada masa remaja, mereka membandingkan standar orang tua mereka dengan orang tua lain dan menetapkan standar yang akan di integrasikan dalam perilakunya. Remaja juga membandingkan pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta mencoba untuk menyatukanya. Pada masa ini, remaja yang memepunyai orangtua berbeda agama, akan memutuskan pilihan agama yang akan dianutnya atau tidak memilih satupun dari kedua agama orangtuanaya. e) Usia Dewasa Kelompok usia dewasa muda dihadapkan pada pertanyaan bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak dahulu, lebih dapat diterima pada masa dewasa daripada waktu remaja dan masukan dari orang tua tersebut dipakai untuk mendidik anaknya.

  f) Usia Pertengahan dan Lansia Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunya lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai agama yang diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktifserta menghadapi kematian orang lain( saudara, sahabat ) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan fisiologis agama yang lebih matang sering dapat membantu orangtua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berhaega, seta lebih dapat menerima kematian sebgai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan. 2) Keluarga

  Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritual anak. Oleh karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat dan menjadi tempat pengalaman pertama anak dalam mempersiapkan kehidupan di dunia, pandangan anak diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan keluarga.

  3) Latar belakang, etnik dan budaya Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan social budaya. Umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarganya. 4) Pengalaman hidup sebelumnya

  Pengalaman hidup baik yang positif maupun yang negatif dapat mempengaruhi tingkat spiritual seseorang. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap sebagai ujian kekuatan iman bagi manuisa sehingga kebutuhan spiritual akan meningkat dan memerlukan kedalaman tingkat spiritual sebagai mekanisme koping untuk memenuhinya.

  5) Krisis dan perubahan Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang. Krisi sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian. Bila klien dihadapkan pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang atau berdoa lebih meningkat dibandingkan dengan pasien yang penyakit tidak terminal.

  6) Terpisah dari ikatan spiritual Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali individu terpisah atau kehilngan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan hidup sehari-harinya termasuk kegiatan spiritual dapat mengalami perubahan. Terpisahnya individu dari ikatan spitual beresiko terjadinya perubahan fungsi sosial.

  7) Isu moral terkait dengan terapi Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan unutk menunjukkan kebesarannya walaupun ada yang menolak intervensi pengobatan. Konflik antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh klien dan tenaga kesehatan. 8) Asuhan keperawatan yang kurang sesuai

  Ketika memberikan ashuan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat juga menghindari untuk memberikan asuhan spiritual. Perawat merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual klien bukan menjadi tugasnya, tetapi tanggung jawab pemuka agama.

7. Bentuk kebutuhan spiritual

  Ada beberapa macam tentang kebutuhan spiritual menurut Hamid (2008) dan Azis (2014) yaitu:

  1) Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust) kebutuhan ini secara terus-menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup itu adalah untuk beribadah. 2) Kebutuhan tentang arti dan tujuan hidup adalah agar individu memiliki arti dan tujuan hidupnya. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan menemukan makna hidup dalam membangun hubungan yang selaras dengan tuhanya (vertikal) dan sesama manusia (horizontal) serta alam sekitarnya. 3) Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak melemah. 4) Kebutuhan tentang moralitas dan etika adalah kebutuhan agar individu dapat menjalani kehidupan yang bermoral dan beretika serta bertanggung jawab. 5) Kebutuhan tentang cara untuk menghadapi kematian adalah kebutuhan agar individu mendapatkan pemahaman yang benar tentang kematian serta cara yang tepat untuk menghadapi kematian.

  6) Kebutuhan akan rasa cinta, memiliki, menghormati adalah kebutuhan individu agar merasa diterima oleh orang lain tanpa syarat serta agar individu memberi dan menerima rasa cinta

  7) Kebutuhan tentang rasa syukur, harapan, perdamaian, pikiran positif Adalah kebutuhan agar individu memiliki rasa damai, tenang, pikiran positif dalam menjalani kehidupan. 8) Kebutuhan tentang keagamaan adalah kebutuhan agar individu dapat melakukan doa, ritual keagamaan dan beribadah kepada

  Tuhan. 9) Kebutuhan tentang apresiasi seni dan keindahan adalah kebutuhan agar individu dapat memilki apresiasi tentang seni dan keindahan.

8. Karakteristik kebutuhan spiritual

  1) Pemenuhan kebutuhan vertikal Pemenuhan kebutuhan vertikal merupkan pemenuhan kebutuhan spiritual yang hubungannya dengan Tuhan (Utami &

  Supratman, 2009). Pemenuhan kebutuhan spiritual dilakukan dengan cara berdoa dan melakukan ritual agama. Doa dan ritual agama merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Doa dan ritual agama dapat memberikan ketenangan bagi individu yang menjalankannya. Selain itu, doa dan ritual agama juga dapat membangkitkan harapan dan rasa percaya diri pada setiap individu yang sedang sakit sehingga dapat meningkatkan imunitas atau kekebalan tubuh sehingga mempercepat proses penyembuhan (Rois, 2012).

  2) Pemenuhan kebutuhan horizontal Pemenuhan kebutuhan horizontal ini meliputi hubungannya dengan diri sendiri, orang lain dan dengan lingkungan.

  a) Hubungan dengan diri sendiri Pemenuhan kebutuhan spiritual yang bersumber pada kekuatan diri sendiri untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Kekuatan spiritual yang muncul dapat berupa kepercayaan, harapan dan makna hidup (Utami & Supratman, 2009).

  b) Hubungan dengan orang lain Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, maka dari itu setiap individu harus dapat menjalain hubungan antar individu ataupun kelompok secara harmonis untuk memenuhi kebutuhan spiritualitasnya (Rois, 2012), pemenuhan kebutuhan spiritual dapat dilakukan melalui cinta kasih dan dukungan sosial. Cinta kasih dan dukungan sosial dapat memberikan efek yang positif pada setiap individu karena dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk membantu individu dalam menghadapi penyakitnya (Susanto, 2009).

  c) Hubungan dengan lingkungan Lingkungan atau suasana yang tenang dan nyaman dapat memberikan kedamaian pada setiap individu dalam memenuhi kebutuhan spiritualitasnya. Kedamaian tersebut dapat meningkatkan status kesehatan individu karena sikap carring dan empatinya (Utami & Supratman, 2009 ).

D. Spiritualitas Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis

  Seseorang yang divonis sebagai penderita penyakit kronik merupakan peristiwa traumatis, dimana terbayangkan pasien akan sangat tergantung dengan pelayanan medis. Perawatan yang tersedia untuk penyakit ini hanya menyediakan untuk penggantian parsial dari fungsi ginjal, mengurangi gejala penyakit dan memperbaiki kualitas hidup, tetapi tidak satupun dari terapi PGK bersifat kuratif. Pengobatan yang dijalani pasien PGK mengubah kehidupan rutin mereka, kebiasaan makan, ataupun aspek lain yang menyebabkan perubahan dalam integritas fisik dan emosional mereka. Hal tersebut juga melibatkan perubahan signifikan dalam kehidupan sosial dan keluarga.

  Oleh karena itu, pasien penyakit ginjal kronik harus beradaptasi tidak hanya untuk penyakit dan pengobatannya, tetapi juga untuk kehidupan fisiologis, psikososial, dan spiritual. Dalam konteks ini, banyak pasien meningkatkan iman dan pengetahuan agama sebagai cara untuk mencari dukungan dan bantuan untuk penderitaan atau permasalahan mereka. Hal ini penting bagi para profesional kesehatan untuk memahami makna dari spiritualitas dan agama bagi pasien penyakit ginjal kronik sebagai bagian dari perawatan holistik dalam praktek klinis.

  Dengan demikian, agama merupakan metode koping spiritual yang berfungsi sebagai faktor dukungan yang signifikan dalam mengatasi gagal ginjal dan hemodialisis sehingga pasien dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik, dan secara tidak langsung berdampak terhadap perjalanan penyakit pasien.

  Jason M. Bredle dkk menjelaskan bahwa tingkat spiritualitas pada pasien dengan penyakit kronis berperan dalam pemahaman pasien terhadap manajemen rasa sakit dan gejala. Mereka mengukur tingkat spiritualitas dengan inventori kuesioner Penilaian Fungsional Terapi Penyakit Kronik (The Functional Assessment of Chronic Illness Therapy-Spiritual Well Being Scale/ FACIT-Sp). FACIT Sp merupakan kuesioner dengan 12 item yang telah divalidasi sebagai alat untuk mengukur kesejahteraan spiritual pada pasien dengan penyakit kronis.

E. Kerangka Teori Penelitian

  1. Aspek biologis/fisiologis

  b. Transplantasi ginjal

   Dialisis (Hemodialisis & Peritoneal Dialisis)

  2. Tahap kedua a.

  c. Terapi farmakologis

  b. Menghambat perburukan fungsi ginjal

  a. Penecgahan & pengobatan terhadap kondisi komorbid

  1. Tahap pertama

   Aspek spiritual Tindakan pada pasien GGK:

  3. Aspek sosial 4.

  2. Aspek psikologis

Gambar 2.1 Kerangka Teori

  Sumber : (Perry&Potter,2005); (Taylor, Lilis & Le Mone 1997, Dan Craven& Himle 1996 dalam Hamid 2008); (Suwitra, 2006); (Price & Wilson, 2008);

  

7. Isu moral terkait dengan

terapi

  

6. Terpisah ikatan spiritual

  5. Krisis dan perubhaan

  4. Pengalaman hidup sebelumnya

  3. Latar belakang etnik & budaya

  2. Keluarga

  1. Pertimbangan tahap perkembangan

  Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas:

  

Pasien gagal ginjal kronis

Komponen-komponen yang membentuk kesejahteraan spiritual : 1. Perdamaian 2. Arti hidup 3. Iman/kepercayaan

  (Lemone & Burke, 2008); (KPIG XIV Cikini, 2008)

  8. Asuhan keperawatan yang kurang sesuai Pengkajian keperawatan:

F. Kerangka konsep penelitian

  Gambar . 2.2 . Kerangka Konsep

  Aspek kesejahteraan spiritual pasien

  1. Perdamaian

  2. Arti hidup

  3. Iman/ kepercayaan Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis