BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronis 2.1.1 Definisi - Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronis

  2.1.1 Definisi

  Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang permanen, berupa dialisis atau

  10 transplantasi ginjal.

  11 Definisi penyakit ginjal kronis adalah:

  1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari tiga bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan manifestasi kelainan patologis atau terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan.

  2

  2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m selama tiga bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

  2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

  Penyakit ginjal kronis dapat muncul karena manifestasi penyakit kronis lain, seperti diabetes mellitus atau hipertensi. Diabetes adalah penyebab paling sering terjadinya penyakit ginjal kronis dan insidensinya mencapai 33%. Penyakit vaskular (hipertensi primer) adalah penyebab paling sering kedua gagal ginjal kronis, yang

  10

  menyebabkan 21% kasus penyakit ginjal kronis pada dewasa. Penyakit lain yang

  11,12

  dapat menyebabkan rusaknya ginjal diantaranya:

  1. Penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan scleroderma.

  2. Kelainan bawaan pada ginjal seperti polycystic kidney disease, dimana terdapat kista berukuran besar di dalam ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya.

  3. Glomerulonefritis, yaitu penyakit yang menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada bagian filtrasi ginjal. Glomerulonefritis adalah penyebab penyakit ginjal tersering ketiga terbanyak.

  4. Trauma pada ginjal .

  5. Obstruksi yang disebabkan oleh batu ginjal, tumor, atau pembesaran kelenjar prostat pada laki-laki.

  6. Infeksi saluran kemih yang berulang.

  7. Kelainan pada arteri yang memperdarahi ginjal.

  8. Obat-obatan analgesik dan obat-obatan lainnya seperti obat kanker.

  9. Reflux nephropathy . Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada tabel

  1. Tabel 1. Penyebab gagal ginjal di Indonesia.

  

10

Penyebab Insiden

  Glomerulonefritis 46,39% Diabetes mellitus 18,65% Obstruksi dan infeksi 12,85% Hipertensi 8,46% Sebab lain 13,65%

  Faktor predisposisi penyakit ginjal kronis antara lain:

  11

  1. Faktor kerentanan, yaitu faktor yang menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit ginjal kronis yaitu usia tua dan adanya riwayat keluarga penderita penyakit ginjal kronis.

  2. Faktor inisiasi, yaitu faktor yang langsung menyebabkan kerusakan pada ginjal seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, obstruksi saluran kemih, dan toksisitas obat.

  3. Faktor progresif, yaitu faktor yang dapat memperparah kondisi penyakit ginjal kronis dan mempercepat penurunan fungsi ginjal seperti kadar proteinuria yang tinggi, hipertensi berat, kadar gula darah yang tidak terkontrol pada pasien diabetes, dan merokok.

2.1.3 Klasifikasi

  Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung

  10

  dengan menggunakan rumus Kockfort-Gault sebagai berikut:

2 LFG (ml/mnt/1,73m ) = (140-umur) x Berat Badan

  72 x kreatinin plasma (mg/dl)

  11 Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat penyakit.

  2 Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m )

  1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90 atau meningkat

  2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 89

  3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun 30 – 59 sedang

  4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun 15 – 29 berat

  5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

2.1.4 Manifestasi

  Pasien penyakit ginjal kronis derajat 1 sampai 3 seringnya tidak memiliki keluhan atau asimtomatik. Pada tahap awal penyakit ginjal kronis biasanya terdapat gejala yang tidak spesifik seperti hilangnya nafsu makan, lemah, sakit kepala, rasa gatal pada kulit, kulit kering, mual, serta penurunan berat badan. Pada penyakit ginjal kronis derajat 4 dan 5 mulai tampak manifestasi klinis yang signifikan. Pada penyakit ginjal kronis derajat 5 (gagal ginjal) muncul kumpulan gejala yang disebut sindrom uremia yang disebabkan oleh penumpukan toksin pada tubuh.

  10,11,12

  Sindrom uremia muncul terutama pada pasien yang tidak teratur menjalani terapi hemodialisis seperti:

  13 1.

  Gangguan cairan dan elektrolit

  • Hiponatremia -
  • Hiperfosfatemia 2.
  • Amenorrhea -
  • Hiperurisemia -
  • Sakit kepala
  • Gangguan tidur
  • Lemah, lesu
  • Kejang -
  • Hipertensi -
  • Hipotensi dan aritmia
  • Kalsifikasi vaskular 5.

  Hiperkalemia

  Gangguan endokrin-metabolik

  Infertil dan disfungsi seksual

  Hipertrigliseridemia 3. Manifestasi neuromuskular

  Koma 4. Manifestasi kardiovaskular dan pulmonal

  Perikarditis

  Manifestasi pada kulit

  • Pucat -
  • Hiperpigmentasi -
  • Anoreksia -

  Ekimosis

  Gatal 6. Manifestasi gastrointestinal

  Mual dan muntah

  • Perdarahan gastrointestinal
  • Peritonitis 7.
  • Anemia -
  • Leukopenia -

  Gangguan hemotologi dan imunologi

  Lymphocytopenia

  Trombositopenia, dll

2.1.5 Komplikasi

  Menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) berhubungan erat dengan kejadian komplikasi pada sistem organ tubuh. Semakin menurun LFG maka semakin berat juga komplikasi yang terjadi.

10 Komplikasi yang terjadi pada pasien penyakit ginjal

  kronis antara lain:

  12,14

  1. Anemia Anemia adalah kondisi kekurangan sel darah merah. Anemia dapat ditegakkan dengan pemeriksaan hemoglobin berdasarkan jenis kelamin, yaitu pada laki-laki apabila dibawah 13,5 gr/dL dan pada perempuan apabila dibawah 12 gr/dL. Sebanyak 50% pasien penyakit ginjal kronis mengalami anemia. Anemia dapat terjadi pada setiap tingkat penyakit ginjal kronis dan mempunyai hubungan yang erat dengan keparahan penyakit ginjal tersebut. Anemia dapat terjadi karena kekurangan zat besi,

  folat, dan vitamin B12 tetapi etiologi yang paling berperan adalah karena menurunnya sintesis eritropoietin. Eritropoietin adalah glikoprotein yang disekresikan di ginjal yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel darah merah di sum-sum tulang.

  2. Gangguan pada tulang dan metabolisme mineral Gangguan pada tulang dibagi menjadi dua kategori yaitu turnover tulang yang rendah dan turnover tulang yang tinggi. Pada pasien pre-dialisis, paling banyak mengalami turnover tulang yang tinggi karena peningkatan hormon paratiroid sehingga meningkatkan resorpsi tulang serta meningkatkan kadar kalsium dalam darah. Keadaan ini dapat menyebabkan kalsifikasi vaskular yang merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskular pada pasien penyakit ginjal kronis. Resorpsi tulang yang meningkat dan terus menerus dapat menyebabkan fibrosis dan pembentukan kista pada tulang. Kondisi ini juga dapat menyebabkan gejala seperti nyeri pada tulang bahkan tumor pada kasus yang berat. Hormon paratiroid adalah toksin uremia dan apabila kadarnya meningkat dalam darah dapat menyebabkan kelemahan otot dan fibrosis pada jaringan otot. Sebaliknya, pada pasien dialisis lebih dominan mengalami turnover tulang yang rendah dengan penurunan hormon paratiroid. Hal ini akan menyebabkan akumulasi dari matriks tulang yang tidak termineralisasi, penurunan volume tulang, peningkatan insidensi fraktur dan berhubungan dengan peningkatan vaskular dan kalsifikasi.

  3. Penyakit jantung Penyakit jantung dapat menjadi penyebab sekaligus komplikasi dari penyakit ginjal kronis. Kejadian komplikasi ini sering dikaitkan dengan hiperfosfatemia dan hiperkalsemia yang menyebabkan kalsifikasi vaskular. Komplikasi pada jantung sering kali berkembang menjadi gagal jantung kongestif.

  4. Dislipidemia Dislipidemia merupakan faktor risiko utama morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan komplikasi ini paling sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis. Umumnya, peningkatan hiperlipidemia, hipertrigliseridemia, dan LDL kolestrol sejalan dengan penurunan fungsi ginjal. Hal ini disebabkan oleh penurunan aktivitas lipoprotein lipase dan trigliserida lipase. Beberapa penelitian mendapat bahwa kondisi hiperparatiroid juga dapat meningkatan keparahan dislipidemia.

  5. Gangguan nutrisi Pasien penyakit ginjal kronis memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda dan adanya gangguan metabolisme protein, air, garam, dan potasium. Perubahan ini dapat menyebabkan penghasilan energi yang tidak efektif walaupun dengan asupan protein dan karbohidrat yang cukup.

2.1.6 Perawatan

  Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya seperti pada tabel 3.

  10 Tabel 3. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronis sesuai derajatnya.

2 Derajat LFG (ml/mnt/1,73m ) Rencana tatalaksana

  1 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, ≥ 90 evaluasi pemburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular 2 60 – 89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal

  3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi 4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal 5 < 15 atau dialisis Terapi pengganti ginjal

  Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal dengan tujuan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Hemodialisis terbukti sangat bermanfaat dalam memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup penderita penyakit ginjal kronis derajat 5. Dalam suatu proses hemodialisis, darah penderita dipompa oleh mesin ke dalam kompartemen darah pada dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat sintesis yang berlubang kecil di tengahnya. Darah mengalir ke dalam lubang serat, sedangkan dinding serat bertindak sebagai membran semipermeabel tempat terjadinya proses ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik melintasi membran dialsisis dengan cara menerapkan tekanan negatif ke dalam kompartemen.

15 Indikasi hemodialisis antara lain sebagai berikut:

  16

  1. Asidosis metabolik yang sulit dikoreksi

2 Masalah yang paling sering dialami oleh pasien hemodialisis berkaitan

17 Pada dialisis jangka panjang, deposit protein amiloid dialisis yang

  19

  Xerostomia berasal dari bahasa Yunani, yaitu xeros yang artinya kering, dan stoma yang artinya mulut.

  17

  mengandung mikroglobulin dapat menyebabkan sindrom terowongan karpal dan artropati destruktif dengan lesi tulang kistik. Senyawa pengikat fosfat yang mengandung aluminium dan kontaminasi aluminium dari cairan dialisat dapat menyebabkan toksisitas aluminium dengan demensia, mioklonus, kejang, dan penyakit tulang.

  dengan akses vaskuler seperti trombosis fistula, pembentukan aneurisma, dan infeksi terutama dengan graft sintetik atau akses vena sentral sementara. Infeksi sistemik dapat timbul pada lokasi akses atau didapat dari sirkuit dialisis. Transmisi infeksi yang ditularkan melalui darah seperti virus hepatitis dan HIV merupakan suatu bahaya potensial.

  7. LFG < 15 mL/menit/1,73m

  6. Intoksikasi obat

  5. Encephalopati uremikum

  4. Kelebihan cairan

  3. Hiperkalemia > 7 mEq/L

  2. Uremia > 200mg/dL

2.2 Xerostomia

2.2.1 Definisi

18 Xerostomia merupakan kumpulan keluhan subjektif mulut kering yang disebabkan oleh penurunan produksi saliva.

  20 Gambar 1. Xerostomia

2.2.2 Etiologi

  Xerostomia yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

  1. Efek samping obat Xerostomia dapat disebabkan oleh efek samping dari pengobatan tertentu. Beberapa obat tersebut seperti obat-obatan kardiovaskular, analgesik, psikiatrik, dan endokrinologi. Obat-obatan ini memiliki sifat antikolinergik atau simpatomimetik yang dapat menurunkan laju aliran saliva sehingga dapat meningkatkan kadar asam di

  21 mulut. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya karies.

  2. Radiasi pada daerah leher dan kepala Terapi radiasi pada daerah kepala dan leher untuk perawatan kanker terbukti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat

  18,22

  kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi. Jaringan saliva sangat rentan terhadap radiasi, dan kelenjar parotis yang paling mudah rusak. Dosis radiasi terendah sebesar 20 Gy dapat menyebabkan penghentian permanen laju aliran saliva jika diberikan sebagai dosis tunggal. Pada dosis di atas 52 Gy, disfungsi saliva menjadi parah. Pengobatan karsinoma mulut konvensional melibatkan pemberian dosis 60 Gy sampai 70 Gy dan ini dapat menyebabkan penurunan aliran secara cepat

  22 selama minggu pertama radiasi.

  3. Penyakit kelenjar saliva Terdapat beberapa penyakit lokal tertentu yang dapat mempengaruhi kelenjar saliva dan menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Penyakit tersebut antara lain inflamasi kelenjar saliva akut dan kronik (sialadenitis), tumor ganas maupun jinak,

  18

  sindroma Sjogren, dan penyakit sistemik. Sialadenitis kronis lebih sering mempengaruhi kelenjar submandibula dan parotis. Penyakit ini menyebabkan degenerasi dari sel asini dan penyumbatan duktus. Kista dan tumor kelenjar saliva, baik yang jinak maupun ganas dapat menyebabkan penekanan pada struktur-struktur

  23 duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva.

  Sindroma Sjogren adalah penyakit gangguan autoimun jaringan ikat. Pada dasarnya yang dipengaruhi adalah kelenjar air mata dan kelenjar saliva. Sel-sel asini kelenjar

  18,23

  saliva rusak karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya berkurang. Xerostomia juga dapat terjadi pada gangguan penyakit sistemik seperti demam, diare terlalu lama,

  23 diabetes mellitus, gagal ginjal, dan penyakit sistemik lainnya.

  4. Usia

  24 Xerostomia merupakan masalah umum pada usia lanjut. Keadaan ini

  disebabkan oleh adanya perubahan atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan mengubah komposisinya. Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi proses aging. Terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang, dan akan digantikan oleh jaringan ikat dan lemak. Keadaan ini mengakibatkan

  23

  pengurangan jumlah salliva. Perubahan atropi yang terjadi di kelenjar submandibula sesuai dengan pertambahan usia juga akan menurunkan produksi saliva dan

  18 mengubah komposisinya.

  5. Keadaan fisiologi Pada saat berolahraga, atau berbicara yang lama dapat menyebabkan berkurangnya aliran saliva sehingga mulut terasa kering. Gangguan emosional, seperti stress, putus asa, dan rasa takut dapat merangsang terjadinya pengaruh saraf simpatis dari sistem saraf otonom dan menghalangi sistem saraf parasimpatis sehingga sekresi saliva menjadi menurun dan menyebabkan mulut menjadi kering.

  2 Bernafas melalui mulut juga akan memberikan pengaruh mulut kering.

  2.2.3 Gejala dan Tanda

  Individu yang menderita xerostomia sering mengeluhkan masalah dalam makan, berbicara, menelan, dan pemakaian gigi tiruan. Makanan yang kering biasanya sulit dikunyah dan ditelan. Pasien yang menderita xerostomia dapat mengeluhkan gangguan pengecapan, rasa sakit pada lidah seperti terbakar, dan peningkatan kebutuhan untuk minum air, terutama pada malam hari. Pasien xerostomia yang memakai gigi tiruan mengalami masalah dengan retensi gigi tiruan,

  25 lesi akibat gigi tiruan, dan lidah lengket pada palatum.

  Xerostomia menyebabkan keringnya selaput lendir. Mukosa mulut menjadi kering, mudah mengalami iritasi dan infeksi. Keadaan ini disebabkan oleh karena tidak adanya daya lubrikasi dan proteksi dari saliva. Rasa pengecapan dan proses berbicara juga akan terganggu. Kekeringan pada mulut menyebabkan fungsi pembersih saliva berkurang, sehingga terjadi radang dari selaput lendir yang disertai keluhan mulut seperti terbakar. Selain itu, fungsi bakteri dari saliva pada penderita

  25 xerostomia akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya karies gigi.

  Xerostomia dapat mengakibatkan peningkatan karies dental, eritema mukosa oral, pembengkakan kelenjar parotid, angular chelitis, mukositis, inflamasi atau ulser pada lidah dan mukosa bukal, kandidiasis, sialadenitis, halitosis, ulserasi pada rongga

  25

  mulut. Mukosa pada mulut dan lidah bisa tampak kering dan pecah-pecah. Karies gigi, akumulasi plak, gingivitis, dan periodontitis adalah umum pada pasien dengan hipofungsi kelenjar saliva yang signifikan. Infeksi seperti kandidiasis mulut, pembesaran kelenjar dari sialadenitis umumnya terlihat pada pasien dengan

  20 hipofungsi kelenjar saliva moderat sampai berat.

  2.2.4 Diagnosis dan Pemeriksaan

  Diagnosis dari xerostomia dilakukan berdasarkan anamnesa terarah dan dapat juga dilakukan dengan mengukur laju aliran saliva total yaitu dengan saliva

  

collection . Laju aliran saliva memberi informasi yang penting untuk tindakan diagnostik dan tujuan penelitian tertentu. Fungsi kelenjar saliva dapat dibedakan dengan teknik pengukuran tertentu. Laju aliran saliva dapat dihitung melalui kelenjar saliva mayor, individual, atau melalui campuran cairan dalam rongga mulut yang

  26 disebut saliva murni.

  Metode utama untuk mengukur saliva murni yaitu metode draining, spitting,

  

suction , dan swab. Metode draining bersifat pasif dan membutuhkan pasien untuk

memungkinkan saliva mengalir dari mulut ke dalam tabung dalam suatu masa waktu.

  Metode suction menggunakan sebuah aspirator atau penghisap saliva untuk mengeluarkan saliva dari mulut ke dalam tabung pada periode waktu yang telah ditentukan. Metode swab menggunakan gauze sponge yang diletakkan dalam mulut pasien dalam waktu tertentu. Metode spitting dilakukan dengan membiarkan saliva untuk tergenang di dalam mulut dan meludah ke dalam suatu tabung setiap 60 detik

  26 selama 2-5 menit.

  Untuk mengukur saliva total, maka tidak diperkenankan makan dan minum dalam kurun waktu 90 menit sebelum dilakukan pengukuran laju aliran saliva. Laju aliran saliva yang diukur adalah laju aliran saliva tanpa stimulasi dan terstimulasi. Laju aliran saliva tanpa stimulasi < 0,1 mL/menit dan laju aliran saliva terstimulasi <

  26

  1,0 mL/menit adalah merupakan indikasi xerostomia. Riwayat kesehatan keseluruhan yang mencakup penggunaan obat diikuti dengan pemeriksaan klinis yang diperlukan untuk menetapkan diagnosis. Selanjutnya tes seperti evaluasi serologi, pencitraan kelenjar ludah seperti sialografi, dan scintigraphy, dan evaluasi sialometrik juga dapat diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan untuk menentukan

  25 kondisi sistemik mendasar.

2.3 Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia

  Menurunnya kesehatan gigi dan mulut sering dijumpai pada pasien hemodialisis. Beberapa penelitian menunjukkan pasien dengan konsentrasi ureum yang tinggi di dalam darah memiliki resiko yang lebih besar memiliki lesi di mulut. Menurunnya kesehatan gigi dan mulut ini akan semakin parah pada pasien usia lanjut, penderita penyakit lain sepertti diabetes mellitus, konsumsi obat-obatan, dan penurunan fungsi imun yang mempermudah terjadinya infeksi dan inflamasi di

  27 rongga mulut.

  Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat kondisi oral pada pasien hemodialisis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan banyaknya pasien hemodialisis yang memiliki setidaknya satu atau lebih manifestasi di rongga mulut, seperti perdarahan pada gingiva, mukosa pucat, stomatitis uremia, ekimosis dan petekie,

  8 sakit pada lidah atau mukosa, bau ureum, dan ulser di rongga mulut.

  Xerostomia pada pasien hemodialisis disebabkan oleh:

  1. Batasan asupan cairan Batasan asupan cairan dilakukan untuk menjaga keseimbangan cairan di dalam tubuh pasien hemodialisis. Apabila asupan cairan tidak dibatasi, maka akan mengakibatkan hipertensi, edema paru, dan manifestasi kardiovaskuler. Oleh karena itu, pasien hemodialisis sering merasa haus yang berlebihan dan memiliki keluhan

  9 mulut kering.

  2. Efek uremia Uremia adalah sindrom klinis yang ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis karena adanya retensi urea dan zat-zat sisa metabolisme di dalam darah yang secara normal dapat diekskresikan melalui urin. Hal inilah yang dapat mempengaruhi seluruh organ tubuh sehingga menyebabkan manifestasi penyakit ginjal kronis yang

  28

  khas, dan salah satunya juga dapat mempengaruhi kelenjar saliva. Penelitian yang dilakukan oleh Epstein menemukan bahwa terdapat konsentrasi urea yang tinggi pada

  29

  saliva pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Pada tahun 2002, Kaya melakukan penelitian yang menganalisis fungsi kelenjar saliva pada 23 pasien hemodialisis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan fungsi parenkimatosa dan fungsi ekskretori kelenjar submandibula dan parotid pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Apabila dibandingkan antara kedua kelenjar tersebut, penurunan fungsi kelenjar parotid lebih parah dibandingkan dengan kelenjar submandibula. Hal ini disebabkan karena uremia (zat toksik) dalam darah menyebabkan rusaknya sel-sel kelenjar saliva, terutama sel serous asinar yang paling banyak terdapat pada kelenjar parotid. Hal inilah yang dapat menyebabkan penurunan produksi saliva sehingga muncul keluhan xerostomia pada pasien penyakit

  

28

ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.

  3. Konsumsi obat-obatan Xerostomia pada pasien hemodialisis semakin diperparah apabila pasien

  28

  mengonsumsi obat-obatan, terutama obat anti hipertensi. Hal ini disebabkan karena obat anti hipertensi dapat menyebabkan depresi saraf otonom. Saraf otonom pada kelenjar saliva berfungsi untuk sekresi kelenjar saliva, tetapi karena adanya depresi saraf otonom menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Mekanisme yang lainnya juga dapat terjadi apabila obat tersebut bereaksi secara langsung dalam proses seluler. Obat tersebut dapat langsung memberikan sinyal ke otak untuk menghambat kerja saraf otonom dalam mengatur sekresi saliva sehingga dapat mengakibatkan

  30 penurunan laju aliran saliva.

  4. Usia lanjut Pada pasien usia lanjut akan terjadi penurunan fungsi organ tubuh, termasuk juga kelenjar saliva. Kelenjar saliva pada pasien usia lanjut akan mengalami atropi

  28 sehingga terdapat penurunan laju aliran saliva yang menyebabkan xerostomia.

2.4 Kerangka Teori

  Pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis

  Uremia penurunan fungsi kelenjar saliva

  Batasan asupan cairan Konsumsi obat-obatan

  Usia lanjut atrofi kelenjar saliva

  Xerostomia

2.5 Kerangka Konsep

  Usia pasien Jenis kelamin

  Xerostomia Lama menjalani hemodialisis:

  • Jangka pendek
  • Jangka panjang

Dokumen yang terkait

Kebutuhan Perawatan Periodontal Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Di Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

1 42 67

Hubungan Penyakit Ginjal Kronis dengan Kondisi Higiene Oral pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Stabil di RSUP H.Adam Malik Medan

1 76 115

Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia

6 77 65

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronis - Hubungan Jumlah Trombosit dengan Fungsi Trombosit pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Tahap Akhir Pre-Hemodialisis

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecemasan 2.1.1 Definisi Kecemasan - Pengaruh Progressive Muscle Relaxation terhadap Kecemasan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa

0 0 36

Kebutuhan Perawatan Periodontal Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Di Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

0 3 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Ginjal Kronis - Kebutuhan Perawatan Periodontal Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Di Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 14

Hubungan Penyakit Ginjal Kronis dengan Kondisi Higiene Oral pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Stabil di RSUP H.Adam Malik Medan

0 0 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Penyakit Ginjal Kronis dengan Kondisi Higiene Oral pada Penderita Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Stabil di RSUP H.Adam Malik Medan

0 1 34

Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia

0 0 9