BAB IPENDAHULUAN - PERBEDAAN FAKTOR HOST, AGENT, ENVIRONMENTANTARA PENDERITA TB PARU DENGAN TIDAK MENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS MEUREUBO KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Menurut teori simpul Achmadi, gangguan kesehatan terhadap seseorang atau masyarakat disebabkan oleh adanya agen penyakit yang sampai pada tubuhnya. Agen yang berasal dari sumbernya menyebarkan melalui simpul media seperti udara, air, tanah, makanan dan manusia itu sendiri. setelah agen sampai pada tubuh manusia kemudian berinteraksi dan memberikan dampak sakit mulai dari yang ringan sampai berat. Salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui udara adalah penyakit TB Paru, dengan mekanisme penularan adanya percikan dahak yang dikeluarkan dari penderita TB Paru terhirup atau masuk kedalam saluran pernafasan orang lain (Achmadi, 2005).

  Orang yang sudah terkena kuman TB Paru maka kuman tersebut masuk dalam tubuh akan berkembangbiak, lamanya dari terkumpulnya kuman sampai timbulnya gejala penyakit dapat berbulan-bulan sampai tahunan. Selanjutnya orang yang terkena kuman TB paru secara umum akan mengalami gejala terlebih dahulu yaitu, demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. Penurunan nafsu makan dan berat badan. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).

  Perasaan tidak enak (malaise), lemah (Sudoyo, 2007).

  Program pemerintah yang sudah di lakukan berbagai Pengobatan TB paru adalah melakukan pengobatan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) OAT dan dosis tepat sesuai kategori pengobatan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3) Pengobatan TB paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal ( intensif ) dan lanjutan. Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan efek samping baik yang bersifat ringan maupun yang berat (Depkes RI, 2008).

  Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang paru-paru, secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain. Pengobatan TB membutuhkan waktu panjang (6 – 9 bulan) untuk mencapai penyembuhan dan dengan paduan (kombinasi) beberapa macam obat, sehingga tidak jarang pasien berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai yang berakibat pada kegagalan dalam pengobatan TB. WHO menerapkan strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short course) dalam manajemen penderita TB untuk menjamin pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO). Dengan strategi DOTS angka kesembuhan pasien TB menjadi >85%. Obat yang diberikan juga dalam bentuk kombinasi dosis tetap (fixed dose) karena lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Walaupun demikian angka penderita mangkir untuk meneruskan minum obat tetap cukup tinggi (Depkes RI, 2008).

  Berdasarkan penelitian Syamsuardi di Puskesmas Muaro Paiti (2008), dengan desain case control ditemukan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian TB Paru dimana perempuan berisiko 0,425 kali lebih kecil untuk

  Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk (2006) dengan desain case control ditemukan bahwa seseorang yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki risiko 29,994 kali untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi kamar tidur memenuhi syarat kesehatan demikian juga dengan kelembapan rumah, dimana orang yang tinggal dalam rumah yang lembab berisiko 9,229 kali untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam rumah yang tidak lembab.

  Penderita TB di Indonesia tahun 2012 adalah sebanyak 44.377 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 33.222 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 1.181 jiwa (Kemenkes RI, 2013), sedangkan pada tahun 2013 adalah sebanyak 33.547 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 22.381 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 1.119 jiwa (Kemenkes RI, 2014), selanjutnya pada tahun 2014 adalah sebanyak 33.424 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 11.511 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 1.117 jiwa (Kemenkes RI, 2015).

  Penderita TB di Provinsi Aceh tahun 2012 adalah sebanyak 4.672 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 3.213 jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 182 jiwa (Profil Aceh, 2013). Selanjutnya pada tahun 2013 adalah sebanyak 4.381 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 3.139 jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 150 jiwa (Dinkes Aceh, 2014).

  Jumlah penderita TB di Kabupaten Aceh Barat tahun 2012 adalah sebanyak 113 jiwa, degan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 89 jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 2 jiwa (Profil Aceh, 2013). Selanjutnya pada tahun 2013 adalah sebanyak 67 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 49 jiwa, sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 9 jiwa (Dinkes Aceh, 2014), sedangkan pada tahun 2014 adalah sebanyak 127 jiwa, dengan jumlah penderita yang melakukan pengobatan lengkap adalah sebanyak 76 jiwa. sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 32 jiwa (Profil Aceh Barat, 2015).

  Puskesmas Meureubo merupakan salah satu puskesmas yang berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat yang terletak di desa Meureubo Kecamatan Meureubo, jumlah penderita TB Paru pada tahun 2013 di Puskesmas Meureubo adalah sebanyak 11 jiwa dengan jumlah pengobatan lengkap sebanyak 8 jiwa sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 7 jiwa. Jumlah penderita TB Paru pada tahun 2014 di Puskesmas Meureubo adalah sebanyak 43 jiwa dengan jumlah pengobatan lengkap sebanyak 25 jiwa sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 21 jiwa. Jumlah penderita TB Paru pada tahun 2015 di Puskesmas Meureubo adalah sebanyak 32 jiwa dengan jumlah pengobatan lengkap sebanyak 11 jiwa sedangkan jumlah kesembuhan TB adalah sebanyak 9 jiwa. Penderita TB Paru tahun 2015 terdiri dari 7 perempuan dan 26 laki-laki, dengan jumlah pasien yang melakukan pengobatan lengkap karena beberapa pasien tersebut tidak melakukan pengobatan di puskesmas akan tetapi berobat kampung (Puskesmas Meureubo, 2015).

  Berdasarkan studi pendahuluan wawancara dengan 10 orang pasien TB yang datang berobat ke Puskesmas Meureubo peneliti mengidentifikasi bahwa 3 diantaranya mengalami TB Paru karena keluarga mereka ada yang mengalami TB Paru yaitu orang tua, sehingga mereka juga mengalami TB Paru. Selanjutnya 7 orang lainnya mengalami TB Paru karena kebiasaan merokok, dan 3 orang bekerja sebagai pengumpul sampah dan besi-besi tua sehingga mudah untuk terkena TB Paru.

  Berdasarkan permasalahan diatas mengidikasikan bahwa TB Paru dapat menyerang siapa saja serta dapat di tularkan kepada siapa saja sehingga penulis tertarik untuk mengkaji secara ilmiah “Perbedaan faktor Host, Agent,

  

Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah

Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat”.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin melihat

  bagaimana Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat?”.

1.3 Tujuan Penelitian

  1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana Perbedaan faktor Host, Agent,

  

Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah

Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

  1.3.2 Tujuan Khusus

  a. Mengetahui Perbedaan faktor Host, antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

  b. Mengetahui Perbedaan faktor Agent antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

  c. Mengetahui Perbedaan faktor Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

1.4 Hipotesis Penelitian

  Ha : Ada Perbedaan faktor Host antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

  Ha : Ada Perbedaan faktor Agent antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

  Ha : Ada Perbedaan faktor Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

1.5 Manfaat Penelitian

  1.5.1 Manfaat Praktis

  a. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi mengenai Perbedaan faktor Host,

  Agent, Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru

  di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

  b. Bagi Universitas UTU Fakultas FKM sebagai bahan masukan dan referensi

  tentang Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB

  Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

  1.5.2 Manfaat Teoritis

  1. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dalam melakukan penelitian

  khususnya tentang Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara

  penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat

  2. Bagi Fakultas FKM Universitas Teuku Umar sebagai salah satu bahan

  masukan atau informasi guna menambah bahan perpustakaan yang dapat digunakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

  3. Bagi pihak lain diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi

  

teori dengan praktek yang sesungguhnya di lapangan khususnya tentang TB

  paru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TB

  2.1.1 Pengertian Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

  oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. (Kemenkes RI, 2010).

  Menurut Miller bahwa :”Kuman ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga di kenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Basil–basil tuberkel di dalam jaringan tampak sebagai mikroorganisme berbentuk batang, dengan panjang bervariasi antara 1 – 4 mikron dan diameter 0,3– 0,6 mikron.

  Bentuknya sering agak melengkung dan kelihatan seperti manik –manik atau bersegmen. Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun” (dalam Fatimah, 2008).

  2.1.2 Epidemiologi

  Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara kuman (agent) Mycobacterium tuberculosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup

  Sejak zaman purba, penyakit TB dikenal sebagai penyebab kematian yang menakutkan, sampai pada saat Robert Koch menemukan penyebabnya. Penyakit ini masih termasuk penyakit yang mematikan. Istilah saat itu untuk penyakit yang mematikan adalah Consumption ( Djojodibroto, 2009).

  Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan perkiraan sepertiga populasi terinfeksi dari 2,5 juta orang meninggal setiap tahun.

  Mycobacterium tubercolosis menginfeksi 8,7 juta kasus baru pada tahun 2000 dengan angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per tahun. Infeksi baru dalam jumlah banyak terdapat di Asia Tenggara (3 juta) dan Afrika (2 juta). Sepertiga pasien dengan tubercolosis di Afrika mengalami koinfeksi dengan HIV

  

(Human Imunno Defisiensi Virus) . Pada tahun 2005, WHO (World Health

Organisation) memprediksi bahwa akan terdapat 10.2 juta kasus baru dan Afrika

  akan memiliki lebih banyak kasus daripada daerah lainnya. Di Inggris jumlah kasus meningkat, dengan kasus di London mengalami peningkatan sebesar 40% antara tahun 1999 dan 2000 (Mandal, 2006).

  TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan Indonesia termasuk kedalam kelompok dengan masalah TB terbesar (high burden

  

countries). Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di

  dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011).

2.1.2 Penularan TB Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA positif.

  Penularan terjadi pada waktu penderita TB paru batuk atau bersin, penderita

  

Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar

  selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2010).

  Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif maka penderita tersebut tidak menularkan. Kemungkinan seorang terinfeksi TB paru di tentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

  Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =

ARTI) di Indonesia di anggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 – 2 %.

  Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB. Dimana Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 % berarti setiap tahun diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 penderita TB Paru baru setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif ( Suryo, 2010).

2.1.3 Gejala TB a. Gejala utama: batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih.

  b. Gejala lainnya : 1. batuk bercampur darah 2. sesak napas dan nyeri dada 3. badan lemah

  5. berat badan turun 6. rasa kurang enak badan (lemas) 7. demam meriang berkepanjangan 8. berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan kegiatan.

  (Kementrian Kesehatan RI, 2010)

  2.1.4 Komplikasi

  Komplikasi Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,TB usus. Menurut Kementrian Kesehatan RI, (2010) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut: 1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. 2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru. 4) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.

  6) Insufisiensi Kardio Pulmoner

  2.1.5 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru dan Tipe Penderita

  Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu :

1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

  Berdasarkan buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2011 pembagian klasifikasi penyakit TB Paru adalah : a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena : 1. Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru.

  2. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya selaput otak, selaput jantung, kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

  b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

  1. Tuberkulosis paru BTA positif

  a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu-Pagi- Sewaktu) hasilnya BTA positif.

  b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

  c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

  d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

  2. Tuberkulosis paru BTA negatif

  a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif d) Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan

2. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

  Dalam buku Kementrian Kesehatan RI, 2010 Ada beberapa tipe penderita yaitu:

  a) Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

  b) Kambuh Adalah penderita tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis paru dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

  c) Pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain, kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.

  d) Pengobatan setelah lalai (Default / Drop-out ) Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. umumnya penderita tersebut kembali dengan pemeriksaan dahak BTA positif.

  e) Gagal (1) Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan setelah pengobatan) atau

  (2) Adalah penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.

  f) Lain-lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk pasien dengan kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif selesai pengobatan ulangan.

2.1.6 Kegagalan

  Menurut Halim (1999) Kegagalan (Drop Out) adalah terjadinya kemunduran selama masa penyembuhan (saat penderita masih menerima pengobatan tuberculosis) terutama kemunduran bakteriologik. Dep kes (1993) Drop out adalah penderita yang tidak mengambil obat selama 2 bulan berturuturut atau lebih selama masa pengobatan selesai. Reviono (1999) mengungkapkan bahwa keadaan drop out pada masa pengobatan terjadi pada dua bulan pertama pengobatan sampai pengobatan lanjutan, kejadian berhenti berobat yang terjadi pada fase awal dua bulan pertama pengobatan (Zulkifli, 2010)

  Menurut Haryanto (2002) kegagalan dalam pengobatan (Drop Out) dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan memberikan konstribusi yang besar bagi rendahnya tingkat pemahaman pada penderita mengenai penyakitnya. Kasus kegagalan dalam pengobatan (Drop Out) menjadi salah satu keberhasilan program pemberantasan TB Paru. Penderita yang gagal bisa meninggal dunia namun juga tidak bisa sembuh dan tetap merupakan sumber penularan bagi masyarakat sekitar, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesembuhan penderita TB paru antara lain, umur, sosial ekonomi, keteraturan minum obat dan penyakit kronis yang menyertai pemakaian obat anti tuberkolosis sebelumnya dan adanya resisten efek samping obat yang di minum.

2.1.7 Pengobatan TB Paru

  Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Jenis, sifat dan dosis yang digunakan untuk TB paru sebagaimana tertera dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis, sifat dan dosis OAT

  Dosis (mg/kg) Dosis (mg/kg) 3 x Jenis OAT Sifat

  Harian Seminggu

  5

  10 Isoniasid ( H ) Bakterisid (4-6 ) ( 8-12 )

  10

  10 Rifampicin ( R ) Bakterisid ( 8 -12 ) ( 8- 12 )

  25

  35 Pyrazinamid ( Z ) Bakterisid ( 20-30 ) ( 30-40 )

  • 15

  Steptomycin ( S ) Bakterisid ( 12-18 )

  15

  30 Etambutol ( E ) Bakteriostatik ( 15-20 ) ( 20-35 ) (Depkes, 2008).

  Pengobatan TB paru menurut Depkes RI (2013) dilakukan dengan prinsip- prinsip sebagai berikut : 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai kategori pengobatan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat ( PMO ). 3) Pengobatan TB paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal ( intensif ) dan lanjutan. Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan efek samping baik yang bersifat ringan maupun yang berat. Tabel 2.2 menjelaskan

Tabel 2.2 Efek samping ringan OAT

  Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan Tidak ada nafsu makan Rifampicin Semua OAT diminum malam sebelum tidur Nyeri sendi Pyrazinamid Beri Aspirin Kesemutan s/d rasa

  INH Beri vitamin B6 ( piridoxin ) 100 terbakar di kaki mg per hari Warna kemerahan pada Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi seni ( urine ) penjelasan pada pasien (Depkes, 2008).

Tabel 4.3 Efek samping berat OAT

  Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Ikuti petujuk pelaksanaan kulit dibawah . Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti keseimbangan Etambutol Ikterus tanpa penyebab Hampir semua Hentikan semua OAT sampai lain OAT ikterus menghilang.

  Bingung dan muntah – Hampir semua Hentikan semua OAT, segera muntah (permulaan OAT lakukan tes fungsi hati. ikterus karena obat) Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol Purpura dan rejatan Rifampisin Hentikan Rifampisin (syok ) (Depkes, 2008).

  Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petujuk pelaksanaan dibawah . Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti Etambutol Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OAT Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang. Bingung dan muntah – muntah (permulaan ikterus karena obat) Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati. Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol Purpura dan rejatan (syok ) Rifampisin Hentikan Rifampisin (Depkes, 2008).

  Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit” dilakukan dengan menyingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Sementara dapat diberikan anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal – gatal tersebut pada sebagian pasien akan hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini terjadi maka OAT yang diberikan harus dihentikan, dan ditunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

  Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis (Depkes, 2008).

2.2 Determinan TB Paru

  Determinan TB paru menurut teori Prof. John Gordon dalam Widoyono (2011) menjelaskan bahwa terjadinya suatu penyakit dipengaruhi oleh tiga hal yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment).

2.2.1 Host

  3. Umur TB Paru dapat menyerang semua golongan umur. Beberapa penelitian menunjukkan kecenderungan pada kelompok usia produktif. Hal ini disebabkan karena pada usia produktif mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga kemungkinan untuk terpapar kuman TB Paru lebih besar. Bayi dan anak-anak mempunyai daya tahan tubuh yang lemah sampai berusia 2 tahun, anak dapat terserang meningitis tuberkulosis, namun jika status gizinya baik, penyebarannya dapat dicegah. Sebagian besar basil TB yang masuk ke dalam tubuh anak tidak menimbulkan penyakit tetapi akan tetap tinggal dalam paru sampai anak dewasa. dengan terhirup basil tuberkulosis kemudian berkembang biak dalam paru dan merusaknya, dan yang kedua timbul akibat aktifnya kembali basil tuberkulosis yang dorman dalam tubuh ketika masih anak-anak.

  Menurut Kusharyadi (2012) dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan usia. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut :

  a. Masa muda (18-29 tahun)

  b. Masa Tua (usia ≥ 30 tahun)

  4. Jenis Kelamin Penyakit TB Paru menyerang laki-laki dan perempuan. Menurut data WHO

  (2004), kematian wanita akibat TB di dunia lebih banyak dari pada kematian karena proses kehamilan, persalinan dan nifas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering terserang TB Paru dari pada perempuan. Hal ini disebabkan mobilitas pria yang lebih tinggi dan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga lebih mudah terserang TB Paru.

  5. Pendidikan Pendidikan seorang penderita TB paru berpengaruh terhadap cara bertindak baik tindakan untuk melakukan pencegahan maupun pemilihan alternatif pengobatan. Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilaksanakan Departemen Kesehatan (2004) dengan desain case control, ditemukan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya drop out, pendidikan juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya drop out pada pengobatan TB Paru.

  6. Status Gizi Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, akan memengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap berbagai macam penyakit termasuk TB Paru. Dan faktor ini merupakan salah satu faktor penting penyebaran TB Paru khususnya di negara miskin.

  Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. IMT dipercayai dapat menjadi indikator atau mengambarkan kadar adipositas dalam tubuh seseorang. IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa

  IMT berkorelasi dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn LM et al., 2009). IMT merupakan altenatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta metode skrining kategori berat badan yang mudah dilakukan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut: Menurut rumus metrik:

  BB

  IMT :

2 TB

  Keterangan

  IMT : Indek Masa Tubuh BB : Berat Badan TB : Tinggi Badan (Meter) Batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kategori ambang IMT

  

IMT Kategori

  < 17,0 KEK >17,0-18,5 Kurus

  18,5-25,0 Normal 25,0-27,0 gemuk

  > 27,0 Obesitas

  7. Merokok Merokok sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Di dalam rokok terdapat 45 jenis bahan kimia beracun. Merokok dapat mengiritasi paru-paru yang sakit sehingga mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya. Pada perokok banyak dijumpai gejala berupa batuk kronis, berdahak dan gangguan pernapasan.

  Apabila dilakukan uji fungsi paru-paru maka pada perokok jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang bukan perokok. Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang mempunyai kebiasaan merokok 7,7 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada yang tidak merokok pada penderita TB Paru.

  Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari, terbagi atas 3 kelompok yaitu : i. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok per hari. ii. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang rokok per hari. iii. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20 batang rokok per hari (Bustan, 2000).

2.2.2 Agent

  TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis dan untuk menjadi sakit, dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang mempunyai kemampuan menggandakan terjadinya infeksi, serta virulensi dari bakteri itu sendiri.

  Agent adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak, suasana sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan penyebab utama/esensial dalam terjadinya penyakit ( Soemirat, 2010).

  Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman

Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor

  diantaranya patogenitas, infektifitas dan virulensi. Patogenitas adalah kemampuan suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Patogenitas kuman tuberkulosis paru tergolong pada tingkat yang rendah. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembangbiak di dalamnya. infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi (Roeswendi, 2009).

  Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau bahkan banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Menurut Sudoyo (2007) keluhan yang terbanyak adalah demam, batuk/batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, dan malaise. Berikut penjelasan dari masing-masing keluhan tersebut :

  1. Demam Biasanya subfebril meyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang

  oC

  panas badan dapat mencapai 40-41 . Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.

  2. Batuk/Batuk darah Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

  c. Sesak nafas Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

  d. Nyeri dada Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/ melepaskan napasnya.

2.2.3 Environment

  Lingkungan yang buruk, misalnya pemukiman yang padat dan kumuh, rumah yang lembab dan gelap, kamar tanpa ventilasi serta lingkungan tempat kerja yang buruk dapat mempermudah penularan TB Paru.

  a. Kepadatan Penghuni Rumah, ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru. Hal ini dikarenakan kepadatan rumah yang tinggi akan mengakibatkan kadar CO2 di rumah meningkat. Peningkatan CO2,

  Mycobacterium tuberculosis adalah aerob obligat dan mendapatkan energi dari

  oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Kepadatan penghuni rumah merupakan perbandingan luas lantai dalam rumah dengan jumlah anggota keluarga penghuni rumah tersebut. Kepadatan hunian ruang tidur menurut Permenkes RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 adalah minimal 8 m2 , dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur lima tahun. Suhu kamar yang ideal adalah 20 sampai dengan 25 c b. Kelembaban Rumah, kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara ,selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat merupakanmedia yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri tuberkulosis. Kelembaban ruangan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40- 60%. Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab penyakit.

  c. Ventilasi Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri- bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis.

  d. Pencahayaan Sinar Matahari Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Fungsi sinar matahari didalam rumah sangat baik bagi kesehatan dimana sinar matahri yang masuk kedalam rumah dapat menghilangkan jamur dinding, mengusir nyamuk, membunuh bakteri dn virus yang ada di udara dan sebagai sumber energi.

  e. Lantai rumah Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.

  f. Dinding rumah. Dinding rumah berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya.Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya.Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan.

  Berdasarkan penelitian Syamsuardi di Puskesmas Muaro Paiti (2008) dengan desain case control menemukan bahwa ada pengaruh faktor lingkungan seperti suhu kamar dengan kejadian TB Paru, ada pengaruh pencahayaan kamar pencahayaan dan suhu kamar yang tidak memenuhi syarat kesehatan serta memiliki kebiasaan merokok mempunyai risiko terjadinya TB Paru sebesar 96%.

  Berdasarkan hasil penelitian Ernita Azis, dkk (2008) dalam berita kedokteran masyarakat menemukan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan keadaan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan risiko terkena TB meningkat 1,354 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan keadaan ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan.

2.3 Pencegahan TB Paru

  Program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier, sebagai berikut (Depkes RI, 2008):

2.3.1 Pencegahan Primer

  Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin (BCG) segera setelah bayi lahir. Walaupun BCG telah diberikan pada anak sejak tahun 1920-an, efektivitasnya dalam pencegahan TB masih merupakan kontroversi karena kisaran keberhasilan yang diperoleh begitu lebar (antara 0-80%). Namun ada satu hal yang diterima secara umum, yaitu BCG memberi perlindungan lebih terhadap penyakit tuberkulosis yang parah seperti tuberkulosis milier atau meningitis tuberkulosis. Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan prevalensi tuberkulosis di suatu negara (Depkes RI, 2008)

  Di negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, BCG harus diberikan dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan perlindungan, dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan. Sebagian kecil anak (1- 2%) dapat mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti pembentukan kumpulan nanah (abses) lokal . Selain pemberian imunisasi BCG, pencegahan primer juga dapat didukung dengan konsumsi gizi yang baik (Depkes RI, 2008):

2.2.2 Pencegahan Sekunder

  Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Depkes RI, 2008).

  Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis paru merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam Penanggulangan Tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan (Depkes RI, 2008):

  Diagnosis tuberkulosis paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium (Depkes RI, 2008).

  Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan Laboratorium tuberkulosis paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan manajemen laboratorium tuberkulosis paru adalah untuk meningkatkan penerapan manajemen laboratorium tuberkulosis paru yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis paru meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium tuberkulosis paru, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis paru, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi (Depkes RI, 2008).

2.2.3 Pencegahan Tersier

  Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah, misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil (Depes RI, 2008).

  Pengobatan TB umumnya dilakukan dengan rawat jalan (outpatient basis), namun ada beberapa kondisi yang membutuhkan perawatan di RS. Kondisi- kondisi tersebut seperti: meningitis dan tuberkulosis milier, anak dengan gangguan pernapasan dan tuberkulosis tulang belakang. Setelah pengobatan dimulai, kadang gejala tuberkulosis atau gambaran X-ray dada menjadi lebih parah. Hal ini umumnya terjadi seiring peningkatan kekebalan tubuh karena perbaikan gizi, pengobatan tuberkulosis itu sendiri, atau terapi antiviral pada anak dengan HIV. Efek samping pengobatan TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan pada pasien dewasa. Efek samping yang paling penting diperhatikan adalah keracunan pada hati (hepatotoksisitas) yang dapat disebabkan oleh

  

isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide. Tidak ada anjuran untuk memeriksa

  kadar enzim hati secara rutin karena peningkatan enzim yang ringan. Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi vitamin B6 (pyridoxine) pada kondisi tertentu sehingga suplemen vitamin B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusu ASI, dan remaja yang hamil (WHO, 2006).

  Menurut Maher et al (2008) dalam Oxford Textbook of Public Health disebutkan bahwa konsep pengobatan anti-TB kemoterapi sebagai latar belakang untuk pengembangan dan implementasi dari strategi untuk penanggulangan TB yang dikenal sebagai DOTS (Directly Observed Treatment, Short-Course).

  Penilaian terhadap kemajuan yang telah dilakukan terhadap target internasional berkembang untuk tantangan TBC, termasuk pengembangan Strategi Stop TB dan Global Plan untuk menerapkannya dengan penilaian prospek untuk pengendalian tuberkulosis di masa depan untuk tahun 2015 (tahun target Millenium

  

Development Goals) dan kemudian tahun 2050 (tahun target untuk penghapusan

TB sebagai masalah kesehatan publik secara global).

2.4 Kerangka Teoritis

  Mengacu pada tinjauan pustaka di atas maka kerangka teori ini disimpulkan berdasarkan teori kepatuhan menurut Widoyono (2011)yaitu sebagai berikut:

  Host

  1. Umur

  2. Jenis Kelamin

  3. Pendidikan

  4. Status gizi

5. Merokok

  Agent (Riwayat Penyakit)

  TB Paru

  Envirotmen

  a. Kepadatan Penghunian Rumah

  b. Kelembaban Rumah

  c. Ventilasi Jendela dan Lubang Ventilasi

  d. Pencahayaan Sinar Matahari

  e. Lantai Rumah

  f. Dinding

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

2.4 Kerangka Konsep

  Mengacu pada kerangka teori diatas maka kerangka konsep disimpulkan berdasarkan teori kepatuhan menurut Widoyono (2011) yaitu sebagai berikut

  

Variabel Independen Variabel Dependen

  Host

  1. Umur

  2. Jenis Kelamin

  3. Pendidikan

  4. Status gizi

5. Merokok

  Agent (Riwayat Penyakit) Envirotmen

  1. Kepadatan Penghunian Rumah

  2. Ventilasi Jendela dan Lubang Ventilasi

  3. Pencahayaan Sinar Matahari

  4. Lantai Rumah

  5. Dinding

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

  TB Paru

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

  3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

  Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian survei yang bersifat analitik dengan pendekatan Case Control dalah suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan “retrospective”, (Notoatmodjo, 2012), yang bertujuan untuk mengetahui Perbedaan faktor Host, Agent, Environtment antara penderita TB Paru dan tidak menderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Mereubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

  3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

  Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo

  

Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat pada tanggal, 10 Oktober-27

Oktober 2016.

  3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi