RINGKASAN KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM MERESPON PERUBAHAN IKLIM

  RINGKASAN

KEBIJAKAN PENATAAN

RUANG DAN

LINGKUNGAN HIDUP

DALAM MERESPON PERUBAHAN IKLIM

  May Hendarmini

  April 2013

I. Latar Belakang 1.

  Dalam melaksanakan pembangunan, terdapat 2 (dua) acuan yaitu Rencana Tata Ruang

  Wilayah (RTRW) serta rencana pembangunan, baik jangka panjang (RPJP) maupun jangka menengah (RPJM). Kedua rencana tersebut harus sejalan dan terintegrasi, agar

  dapat dijadikan acuan seluruh sektor dalam melaksanakan pembangunan. Dokumen Rencana Tata Ruang (RTR) memberikan arahan pembangunan yang bersifat spasial dan berimplikasi pada keruangan yang menjadi acuan implementasi dan investasi di daerah, sedangkan RPJP dan RPJM, merupakan arahan konseptual bagi pembangunan secara a- spasial.

  2. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025, selanjutnya disebut RPJP Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025, ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita- cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu pola sikap dan pola tindak.

  3. Berdasarkan RPJPN 2005-2025; sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan, sekaligus, sebagai penopang sistem kehidupan. Deforestasi, pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Disisi lain sumber daya kelautan belum dimanfaatkan secara optimal. Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan bagian penting Misi Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 yaitu terwujudnya “Indonesia yang asri dan lestari”.

  4. Dengan menelaah kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup saat ini, apabila tidak diantisipasi dengan kebijakan dan tindakan yang tepat akan dihadapkan pada tiga ancaman; yaitu krisis pangan, krisis air, dan krisis energi. Ketiga krisis itu menjadi tantangan nasional jangka panjang yang perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, yaitu terancamnya persatuan bangsa, meningkatnya semangat separatisme, dan menurunnya kesehatan masyarakat.

5. Perspektif pembangunan berkelanjutan telah diarusutamakan dalam RPJMN 2010 –

  2014, dengan sasaran: a) pengintegrasian isu pembangunan berkelanjutan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dalam semua sektor dan daerah; b) perbaikan kualitas lingkungan dengan target indikator peningkatan kualitas lingkungan dalam 5 tahun ke depan; dan c) mengembangkan, menyepakati dan menggunakan Indeks Kualitas Lingkungan sebagai salah satu instrumen mengukur keberhasilan pembangunan. Indikator yang digunakan adalah capaian program dan kegiatan yang mendukung upaya kelestarian lingkungan baik air, udara maupun lahan.

  6. RPJMN 2010 – 2014 dijabarkan lebih operasional ke dalam 11 (sebelas) prioritas supaya lebih mudah diukur tingkat keberhasilannya. Pada dasarnya kesebelas Prioritas Nasional di atas merupakan upaya untuk : pertama, Percepatan Pembangunan Infrastruktur Fisik (meliputi Prioritas 5 Ketahanan Pangan, Prioritas 6 Infrastruktur, Prioritas 8 Energi, serta Prioritas 10 Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik); kedua Perbaikan

  Infrastruktur Lunak (Prioritas 1 Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola dan Prioritas 7 Iklim

  Investasi dan Iklim Usaha); ketiga, Penguatan Infrastruktur Sosial (Prioritas 2 Pendidikan, Prioritas 3 Kesehatan, Prioritas 4 Penanggulangan Kemiskinan dan Prioritas 9 Lingkungan

  Hidup dan Pengelolaan Bencana); keempat, Pembangunan Kreativitas (Prioritas 11 Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi).

  7. Fenomena telah terjadinya perubahan iklim berdampak besar bagi negara-negara kepulauan seperti Indonesia, akibat meningkatnya ketinggian air laut dan munculnya cuaca ekstrim. Berdasarkan hasil kajian ilmah dari Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terdapat perkiraan bahwa dalam kurun tidak lebih dari 50 tahun ke depan, bongkahan-bongkahan es yang berada di Kutub Utara akan hilang, sehingga kemungkinan akan terjadi kenaikan suhu antara 1,8 - 4°C dan kenaikan permukaan air laut antara 28 hingga 34 cm, serta terjadinya peningkatan gelombang udara panas dan badai tropis.

  8. UU nomor 17 Tahun 2004 telah mengesahkan Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Manfaat pengesahan Protokol Kyoto adalah mempertegas komitmen Pemerintah terhadap Konvensi Perubahan Iklim berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (common but differentiated

  responsibilities principle). Sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan

  mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas, Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim bagi lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.

  9. Dalam menghadapi perubahan iklim terdapat 2 (dua) kebijakan besar yang dilakukan Pemerintah yaitu mitigasi yang bertujuan mengurangi peningkatan emisi Gas Rumah Kaca dan adaptasi yang bertujuan menyesuaikan kegiatan ekonomi pada sektor-sektor yang dinilai rentan untuk menghadapi dan mengantisipasi dampak perubahan iklim. Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) merupakan pedoman Kementerian/lembaga untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi rencana aksi penurunan emisi GRK dan bagi pemerintah daerah dalam penyusunan RAD-GRK. Kegiatan RAN-GRK meliputi bidang-bidang: a) Pertanian; b) Kehutanan dan lahan gambut; c) Energi dan transportasi; d) Industri; e) Pengelolaan limbah; dan f) Kegiatan pendukung lainnya.

  10. Adaptasi Perubahan Iklim yang diarusutamakan dalam perencanaan pembangunan nasional sedang dipersiapkan untuk RPJMN 2015-2019. Hal-hal yang akan diperhatikan antara lain keterkaitan/sinergitas antara upaya mitigasi dan adaptasi, kemudian perlunya

  integrasi penataan ruang, infrastruktur dan permukiman (perkotaan dan perdesaan) ke

  dalam perencanaan pembangunan nasional, dengan mempertimbangkan keunikan geografi, tipologi iklim serta kawasan-kawasan yang sangat rentan (fragile) dan mudah terkena (vurnerable) dan berisiko tinggi (high risk) seperti pada pulau-pulau kecil dan pesisir.

  11. Berdasarkan hasil konsultasi High-Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda di Bali, 27 Maret 2013; terdapat 4 (empat) isyu yang digaris-bawahi dalam pen yusunan Agenda Global Pembangunan Pasca 2015 yaitu: i) Reshaped and

  revitalized global governance and partnerships; ii) Protection of the global environment; iii) Sustainable Production and Consumption ; iv) Strengthened means of implementation.

  Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tetap menjadi pertimbangan dalam penyusunan Agenda Pembangunan Pasca-2105 dan akan dikaitkan dengan isu pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.

  12. Sekretaris Jenderal PBB telah menunjuk Presiden Republik Indonesia, Perdana Menteri Inggris dan Presiden Republik Liberia Ketua Bersama (Co-Chairs) Panel Tingkat Tinggi Para Tokoh Terkemuka (the High-Level Panel of Eminent Persons) untuk merumuskan Visi dan

  Agenda Pembangunan Pasca Sasaran Pembangunan Milenium Tahun 2015 (Post-2015 Development Agenda). Untuk melaksanakan amanat tersebut, telah diterbitkan Keputusan Presiden nomor 29 tahun 2012 tentang (pembentukan) Komite Nasional Perumusan Visi Dan Agenda Pembangunan Pasca Sasaran Pembangunan Milenium tahun 2015 (Post-2015 Development Agenda).

13. Pada acara Global Consultation on Disaster Risk Reduction di Jakarta pada tanggal 19

  Februari 2013, Presiden RI menyampaikan bahwa Agenda Pembangunan Pasca 2015 pada dasarnya tetap melanjutkan dan mempertajam sasaran MDGs dengan target zero global

  poverty rate pada pertengahan abad 21. Mengingat bahwa bencana alam dan konflik

  sosial dapat menghambat pencapaian pengurangan kemiskinan, maka ketahanan masyarakat dan pengurangan risiko tetap diarusutamakan pada setiap sektor dan bidang pembangunan.

II. Respon terhadap Dampak Perubahan Iklim dalam Kebijakan Penataan Ruang 14.

  Tujuan penataan ruang diharapkan mengarah pada upaya untuk menciptakan penataan ruang yang aman terhadap berbagai jenis risiko perubahan iklim, nyaman sebagai tempat tinggal dengan segala fasilitas pendukungnya, serta berkelanjutan. Dengan demikian diperlukan kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka adaptasi perubahan iklim melalui upaya mengidentifikasi isyu pengembangan wilayah terkait perubahan iklim dalam penataan ruang nasional.

  15. Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Indonesia yang disusun Dewan Nasional Perubahan Iklim, terdapat sejumlah tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim pada sektor pertanian; pesisir, kelautan, perikanan dan pulau pulau kecil; kesehatan; pekerjaan umum termasuk tata ruang. Penataan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Penataan ruang dapat memberikan kontribusi nyata dalam reduksi emisi karbon, di antaranya melalui perlindungan luasan hutan tropis, perwujudan koridor hijau, serta penyediaan ruang terbuka hijau (RTH).

  16. Dampak perubahan iklim terhadap penataan ruang adalah sebagai berikut:

  17. Ruang lingkup pengaturan UU No.27/2007 adalah wilayah pesisir, yang meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU No.26/2007, wilayah pesisir merupakan bagian yang berada di dalam wilayah penataan ruang nasional yang cakupannya meliputi wilayah kedaulatan negara. Dengan demikian ada bagian dari ruang wilayah nasional diatur kedua Undang-undang tersebut, yaitu pada wilayah pesisir.

  18. UU nomor 27/2007 mengamanatkan bahwa perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, terdiri atas: a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ( RSWP-3-K) ; b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) ; c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K) ; dan d) d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP-3-K).

  19. Instrumen penataan ruang memiliki peran strategis dalam rangka menjawab berbagai tantangan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dengan sumber daya yang semakin terbatas. Meskipun demikian, sejumlah tantangan masih dihadapi penataan ruang antara lain: a) jumlah penduduk sebesar 240 juta jiwa dengan sebaran tidak merata serta arus urbanisasi yang tinggi sehingga membebani kota-kota besar; b) kemiskinan di perkotaan dan perdesaan; c) tingginya frekuensi bencana; dan d) krisis energi, pangan dan air dan e) dampak perubahan iklim.

  20. Menurut analisis resiko global oleh Bank Dunia (2009), Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko kematian sekitar 40% populasi akibat kejadian bencana alam. BNPB telah mengidentifikasi 13 (tigabelas) ancaman bencana di Indonesia yaitu: Gempabumi, Tsunami, Banjir, Tanah Longsor, Letusan Gunung Api, Gelombang Ekstrim dan Abrasi, Cuaca Ekstrim, Kekeringan, Kebakaran Hutan dan Lahan, Epidemi dan Wabah Penyakit, Gagal Teknologi dan Konflik Sosial. Jenis bencana alam dan kaitannya dengan perubahan iklim dapat dicermati pada tabel berikut ini:

  Jenis bencana alam Pengaruh perubahan iklim

  Gempabumi Tsunami Tidak Signifikan

  Geo-hazards Letusan gunung api Tanah Longsor

  Hydro- Gelombang ekstrim dan meteorogical abrasi hazards Kekeringan

  Signifikan Cuaca ekstrim Banjir Kebakaran hutan dan lahan 21.

  Ruang lingkup PP nomor 64/2010 tentang Mitigasi Bencana Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-

  Pulau Kecil telah mengatur ruang lingkup sebagai berikut: a) jenis, tingkat risiko, dan

  wilayah bencana; b) kegiatan mitigasi bencana; c) mitigasi bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; d) mitigasi terhadap kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil; e) tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat; f) monitoring dan evaluasi; dan g) pembiayaan.

  22. Penataan Ruang berbasiskan Mitigasi Bencana mutlak diperlukan bagi Indonesia. UU nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana telah mengamanatkan pada pasal 35 ayat (f) bahwa dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana salah satu upaya yang harus dilakukan adalah pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, untuk

  mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.

  23. BNPB telah menyusun Kajian Risiko Bencana yang menghasilkan Dokumen Kajian Risiko dan Peta Risiko Bencana. Dari sisi kepentingan BNPB, kajian risiko diperlukan untuk penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Nasional/Provinsi/Kabupaten), Rencana Aksi Nasional/Daerah Pengurangan Risiko Bencana, Rencana Kontijensi, Rencana Operasi Darurat, Rencana Pemulihan Pasca Bencana dan Rencana Kesiapsiagaan Masyarakat.

  24. Secara umum, praktek mitigasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi struktural yang berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik; dan mitigasi non

  struktural meliputi perencanaan tata ruang dalam kerangka pengurangan risiko yang

  disesuaikan dengan kerentanan dan risiko, upaya kesiapsiagaan dan penegakan peraturan (law enforcement) pembangunan secara konsisten. Kajian risiko dapat menjadi referensi untuk penyusunan Rencana Tata Ruang berbasis mitigasi bencana.

  25. Penataan ruang yang baik berada dalam satu sistem yang menjamin konsistensi antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Penataan ruang yang baik diperlukan bagi: a) arahan lokasi kegiatan, b) batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam, c) efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan.

26. Hirarki rencana tata ruang berdasarkan UU nomor 26/2007 adalah sebagai berikut ini: 27.

  Khususnya tentang Kawasan Strategis Nasional, dalam PP nomor 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) ditetapkan 76 KSN yang memiliki kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi, serta pertahanan dan keamanan.

  28. UU nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang mengatur muatan rencana tata ruang yang terdiri dari rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana struktur ruang meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana.

  Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya. Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Dalam UUPR telah tercantum pengenaan sanksi bagi penyimpangan/pelanggaran pelaksanaan rencana tata ruang.

  29. Kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.

  30. Peranserta masyarakat dalam penataan ruang diatur melalui PP nomor 68/2010 tentang Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang, khususnya pada aspek perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk memberikan informasi yang akurat, melakukan sosialisasi rencana tata ruang, menyediakan ruang aduan dan merespon tanggapan masyarakat terhadap pelaksanaan rencana tata ruang. Dalam konteks pasca bencana, revisi RTR dengan partisipasi masyarakat merupakan kesempatan untuk menata kembali aspek keruangan suatu wilayah.

  31. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) 2008 - 2027 yang ditetapkan melalui PP

  

no. 26/2008 adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara

yang dijadikan acuan untuk perencanaan jangka panjang, dengan jangka waktu 20 tahun.

  Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan pedoman: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; f. penataan ruang kawasan strategis nasional; g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

  32. RTRWN ditinjau kembali setiap lima tahun. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang, RTRWN dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

  33. RTRWN menetapkan 7 RTR Pulau/Kepulauan dan 76 RTR Kawasan Strategis Nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Fungsi Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional adalah sebagai berikut:

  34. Materi muatan teknis rencana tata ruang meliputi: tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang; rencana struktur ruang; rencana pola ruang; penetapan kawasan strategis; arahan pemanfaatan ruang, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang seperti arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif serta arahan sanksi. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 11 /PRT/M/2009 memberikan

  pedoman untuk persetujuan substansi dalam penetapan rancangan peraturan daerah

  tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebelum ditetapkan menjadi peraturan daerah, beserta rencana rincinya serta tata cara evaluasi materi muatan teknis rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci tata ruang provinsi dan kabupaten/kota.

35. Pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang KSN, Provinsi, Kabupaten, Kota dan Rencana

  Detil Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. RDTR dan peraturan zonasi berfungsi sebagai: a. kendali mutu pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota berdasarkan RTRW; b. acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang lebih rinci dari kegiatan pemanfaatan ruang yang diatur dalam RTRW; c. acuan bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang; d. acuan bagi penerbitan izin pemanfaatan ruang; dan e. acuan dalam penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan 36.

  Dalam RDTR Kabupaten/Kota; peta rencana pola ruang (zoning map) digambarkan dengan ketentuan sebagai berikut: a.

  Digambarkan dalam peta dengan skala atau tingkat ketelitian minimal 1:5.000 dan mengikuti ketentuan mengenai sistem informasi geografis b.

  Cakupan rencana pola ruang meliputi ruang darat dan/atau ruang laut dengan batasan 4 (empat) mil laut yang diukur dari garis pantai wilayah kabupaten/kota atau sampai batas negara yang disepakati secara internasional apabila kabupaten/kota terkait berbatasan laut dengan negara lain; c.

  Dapat digambarkan ke dalam beberapa lembar peta yang tersusun secara beraturan mengikuti ketentuan yang berlaku; d.

  Peta rencana pola ruang juga berfungsi sebagai zoning map bagi peraturan zonasi; dan e. Peta rencana pola ruang harus sudah menunjukkan batasan persil untuk wilayah yang sudah terbangun

  37. Peraturan zonasi pada dasarnya mengatur tentang klasifikasi zona, pemanfaatan lahan, dan prosedur pelaksanaan pembangunan. Di beberapa negara lain peraturan zonasi diberlakukan dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain zoning code, land development code, zoning ordinance, zoning resolution, zoning by law, dan sebagainya. Peraturan zonasi perlu disusun sebagai kelengkapan dari RTRW Kabupaten/Kota, terutama apabila RTRW Kabupaten/Kota belum operasional dan sulit dijadikan rujukan perijinan dalam kerangka pengendalian pemanfaatan ruang. Penjabaran RTRW Kabupaten/Kota dalam bentuk peta zonasi dan teks zonasi akan bermanfaat sebagai perangkat pengendalian pemanfaatan ruang yang sudah bersifat operasional. Ketentuan pemanfaatan ruang untuk setiap zona menunjukkan boleh tidaknya sebuah kegiatan dikembangkan dalam sebuah klasifikasi penggunaan lahan.

  38. Berdasarkan UU nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk diantaranya memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dan mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan.

  39. Beberapa permasalahan yang sering timbul di dalam pembangun perumahan dan pemukiman adalah proses penyediaan tanah, pembebasan tanah, perolehan hak atas tanah dan perijinan terkait penggunaan tanah, karena belum semua Kabupaten/Kota memiliki Rencana Tata Ruang yang dapat menjadi pedoman perijinan. Jenis perijinan yang terkait dengan pemanfaatan ruang adalah Ijin Lokasi, Ijin Pemanfaatan Tanah, Ijin

  Perubahan Penggunaan Tanah, Ijin Konsolidasi Tanah, dan Izin Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

  40. Penerbitan izin lokasi, penetapan lokasi, dan izin perubahan penggunaan tanah selanjutnya diatur dalam Peraturan Kepala BPN nomor 2 tahun 2011, yang memberikan Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi, dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah dengan memperhatikan azas keadilan, sesuai dengan arahan peruntukan Rencana Tata Ruang Wilayah serta memenuhi ketentuan peraturan perundangan dan kekhususan karakteristik dan kondisi wilayah masing-masing. Persyaratan permohonan dan jangka waktu penerbitan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.

  41. Berdasarkan UU nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

  Untuk Kepentingan Umum; perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum

  didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Instansi yang bersangkutan. Dokumen perencanaan pengadaan tanah disusun berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kemudian diserahkan kepada pemerintah provinsi. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena keadaan mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit dapat langsung dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.

  42. Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pertanahan sebagaimana dimaksudkan UU nomor 12/2012. Kepala Kantor BPN di Provinsi bertanggung jawab langsung kepada Kepala BPN, dan Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Kepala BPN melalui Kepala Kantor Wilayah BPN.

  43. Pembinaan dan monitoring terhadap pelaksanaan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah diselenggarakan oleh Lembaga Pertanahan sebagaimana telah diatur melalui Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2012. Hasil pembinaan dan monitoring dapat menjadi bahan pertimbangan dalam Pembatalan Izin Lokasi, yang dilaksanakan oleh dilaksanakan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atas usulan Pemerintah Provinsi dengan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional; dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan.

  44. Dalam hal terdapat substansi kehutanan dalam rencana tata ruang daerah, maka Peraturan Menteri Kehutanan nomor Nomor : P. 28/Menhut-II/2009 mengatur tentang tata cara pelaksanaan konsultasi dalam rangka pemberian persetujuan substansi kehutanan atas rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang daerah.

  Gubernur/Bupati/Walikota perlu menyampaikan kepada BKPRN dengan tembusan kepada Menteri Kehutanan yaitu: a) dokumen rencana tata ruang beserta lampirannya, b) peta usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam Rancangan Perda berikut hasil kajian teknis dan rencana pemanfaatannya, c) peta citra satelit liputan 2 (dua) tahun terakhir yang dapat menggambarkan secara jelas kondisi vegetasi dan penutupan lahan atas kawasan hutan yang diusulkan perubahan peruntukan dan fungsinya, d) peta dan dokumen perizinan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan serta perizinan pemanfaatan lahan yang berasal dari kawasan hutan yang telah dilepaskan oleh Menteri Kehutanan.

45. Perubahan fungsi kawasan hutan selanjutnya mengacu pada PP nomor 10 tahun 2010

  Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai hutan

  konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi; berdampak penting dan cakupan yang

  luas serta bernilai strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial atau untuk wilayah provinsi.

  46. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dapat dilakukan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, gubernur atau bupati/walikota, pimpinan badan usaha atau ketua yayasan. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui: a) tukar menukar kawasan hutan; atau b) pelepasan kawasan hutan. Persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan diberikan oleh Menteri Kehutanan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dalam hal rencana kegiatan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, Menteri Kehutanan harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari DPR-RI, sebelum menerbitkan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan.

  47. Pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi tidak dapat diproses pelepasannya pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% kecuali dengan cara tukar menukar kawasan hutan. Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan diberikan Menteri Kehutanan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya persetujuan prinsip oleh Menteri dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.

  48. Perubahan peruntukan kawasan hutan untuk wilayah provinsi dilakukan berdasarkan usulan dari gubernur kepada Menteri Kehutanan, setelah dilakukan integrasi dengan RTRW Provinsi. Apabila usulan perubahan peruntukan kawasan hutan di wilayah provinsi berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan, maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) wajib dilaksanakan. Hasil kajian dan penelitian disampaikan kepada DPR-RI untuk dimintakan persetujuan.

  49. Pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dilaksanakan tanpa melalui penelitian Tim Terpadu karena kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi merupakan kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk kepentingan pembangunan di luar

  kegiatan kehutanan, yang ditetapkan berdasarkan hasil penelitian tim pusat dan daerah

  serta lintas sektoral, pada saat paduserasi kawasan hutan dan rencana tata ruang wilayah provinsi.

  50. Yang dimaksud “pembangunan di luar kegiatan kehutanan”yang bersifat permanen antara lain adalah waduk, bendungan, fasilitas pemakaman, kantor pemerintah, fasilitas pendidikan, fasilitas keselamatan umum, penempatan korban bencana alam, permukiman, bangunan industri, pelabuhan, dan bandar udara.

  51. Penggunaan kawasan hutan kawasan hutan produksi dan/atau kawasan hutan lindung kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan tanpa mengubah

  

fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu

  tertentu serta kelestarian lingkungan diatur melalui PP nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan meliputi kegiatan religi; pertambangan; instalasi pembangkit; transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan; pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah; fasilitas umum; industri terkait kehutanan; pertahanan dan keamanan; prasarana penunjang keselamatan umum; atau penampungan sementara korban bencana alam.

  52. Penggunaan kawasan hutan tanpa merubah fungsi pokoknya dilakukan berdasarkan Izin

  

Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan Menteri Kehutanan untuk jangka waktu

  paling lama 20 (duapuluh) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. Penerima Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan harus melaksanakan kewajiban yang telah diatur dalam PP nomor 24 tahun 2010. Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dilarang memindahtangankan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri dan/atau menjaminkan kawasan hutan yang dipinjam pakai kepada pihak lain. Khususnya untuk kepentingan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara, jalan umum, jalur kereta api umum, cek dam, embung, sabo, dan sarana meteorologi, klimatologi, dan geofisika, serta religi, izin pinjam pakai kawasan hutan berlaku selama digunakan untuk kepentingan dimaksud. Menteri Kehutanan melakukan evaluasi setiap 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu bila diperlukan, apabila penggunaan kawasan hutan tidak sesuai dengan izin pinjam pakai kawasan hutan maka izin tersebut dapat dibatalkan.

  53. Informasi Geospasial (IG) sangat berguna sebagai sistem pendukung pengambilan kebijakan dalam rangka mengoptimalkan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan ketahanan nasional, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam, penyusunan rencana tata ruang, perencanaan lokasi investasi dan bisnis perekonomian, penentuan garis batas wilayah, pertanahan, dan kepariwisataan. IG juga merupakan informasi yang amat diperlukan dalam penanggulangan bencana, pelestarian lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan.

  54. UU nomor 4/2011 tentang Informasi Geospasial menguraikan bahwa secara umum IG terbagi menjadi Informasi Geospasial Dasar (IGD) dan Informasi Geospasial Tematik (IGT).

  IGD mencakup acuan posisi dan peta dasar, adapun IGT mencakup berbagai ragam tema, seperti kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan. Peta dasar yang sangat diperlukan bagi perencanaan terdiri dari Peta Rupabumi yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah darat; Peta Lingkungan Pantai yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah pesisir dan Peta Lingkungan Laut Nasional yang memberikan informasi secara khusus untuk wilayah laut.

  55. Peta Rupabumi Indonesia diselenggarakan pada skala 1:1.000.000, 1:500.000, 1:250.000, 1:100.000, 1:50.000, 1:25.000, 1:10.000, 1:5.000, 1:2.500, dan 1:1.000. Peta Lingkungan Pantai diselenggarakan pada skala 1:250.000, 1:50.000, 1:25.000, dan 1:10.000. Peta Lingkungan Laut Nasional diselenggarakan pada skala 1:500.000, 1:250.000, dan 1:50.000.

  • Kawasan perbatasan negara

  • Wilayah pertahanan
  • Kawasan perkotaan metropolitan Min. 1:50.000
  • KAPET
  • Kawasan ekonomi khusus non
  • Kawasan warisan budaya dan adat tertentu
  • Kawasan teknologi tinggi
  • Kawasan SDA Darat Min 1:50.000
  • Kawasan Hutan Lindung/Taman
  • Kawasan Rawan Bencana 1:25.000 – 1: 50.000
  • Kawasan ekosistem
  • Kawasan kritis lingkungan

  Min 1:50.000 Permen. PU no. 16/PRT/M/2009 RTRW Kota Masa berlaku 20 tahun

  1:250.000 Permen. PU no. 15/PRT/M/2009 RTRW Kabupaten Masa berlaku 20 tahun

  RTRW Provinsi Masa berlaku 20 tahun

  1:500.000 Contoh: Perpres no. 88/2011 tentang RTR Pulau Sulawesi dan Perpres no. 13/2012 tentang RTR Pulau Sumatera

  RTR Pulau/Kepulauan Masa berlaku 20 tahun

  1:25.000 – 1:50.000

  1:50.000 – 1:250.000

  Nasional 1:50.000 – 1: 250.000

  Inti min 1:5.000 Penyangga 1:10.000-1:25.000

  KAPET 1: 10.000 – 1: 25.000

  Inti min 1:5.000 Penyangga 1:10.000-1:25000

  Min. 1: 100.000

  Sesuai UU

  (darat dan laut) 1:10.000 – 1.25.000

  1:1.000.000 PP no. 26/2008 RTR KSN (Masa berlaku 20 tahun) Permen.PU no. 5/PRT/M/2012

  RTRW Nasional Masa berlaku 20 tahun

  Jenis rencana Skala peta rencana Rujukan UU no. 26 tahun 2007

  58. Skala peta yang digunakan untuk perencanaan tata ruang adalah sebagai berikut:

  57. Peta Dasar dengan segala karakteristik ketelitiannya, menjadi dasar bagi pembuatan Peta rencana tata ruang wilayah. Peta rencana tata ruang wilayah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan rencana tata ruang wilayah harus mengandung tingkat ketelitian yang sesuai dengan skala penggambarannya. PP nomor 8/2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang juga mengatur tentang sistem referensi geospasial; skala peta dasar minimal, unit pemetaan yang dapat digunakan dan ketelitian muatan ruang.

  56. Penyelenggaraan IGD dilaksanakan oleh Badan Informasi Geospasial sebagai pengganti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) sesuai dengan amanat UU nomor 4/2011. Khususnya untuk keperluan penanggulangan bencana, setiap individu diwajibkan memberikan IGT yang dimilikinya apabila diminta oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang diberi tugas dalam urusan penanggulangan bencana.

  Min. 1:25.000 Permen. PU no. 17/PRT/M/2009

  Jenis rencana Skala peta rencana Rujukan

  RDTRW dan Peraturan Zonasi Min 1:5.000 Permen.PU no. 20/PRT/M/2011 Masa berlaku 20 tahun

  UU no. 27 tahun 2007

  • RSWP3K Masa berlaku 20 tahun RZWP3K Disamakan dengan Hasil konsultasi dengan Dit. TRP Masa berlaku 20 tahun RTRProvinsi atau

  RTRKab atau RTRKota

  RPWP3K RPJM/D Hasil konsultasi dengan Dit. TRP Masa berlaku 5 tahun RAWP3K RKP/D Hasil konsultasi dengan Dit. TRP Masa berlaku 1-3 tahun III.

  

Respon terhadap Dampak Perubahan Iklim dalam Kebijakan Lingkungan Hidup

59.

  Lingkungan Hidup dan Tata Ruang tidak dapat terpisahkan satu dan lainnya. UU nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya sebagai unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumberdaya buatan.

  60. Sumber daya alam seperti lahan, laut, udara, minyak, hutan dan lain-lain adalah sumber daya yang bersifat esensial. Dari kacamata ekonomi, Indonesia memiliki keragaman potensi sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti logam, minyak bumi, mineral, dan gas; dan sumber daya alam yang dapat diperbaharui melalui proses biologi (ikan, hutan, dan lain-lain) dan non-biologi (air dari mata air, situ, dan lain-lain). sumberdaya lahan, hutan maupun lautnya.

  61. Terdapat sekitar 4 miliar hektar hutan di dunia, yang menutupi hampir 30 persen dari wilayah daratan bumi. Sekitar 56 persen dari hutan itu berlokasi di wilayah tropis dan subtropis. Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia – hanya Brazil dan Kongo yang mempunyai hutan tropis yang lebih besar. Peran hutan menjadi lebih penting dalam dalam strategi penanganan perubahan iklim di Indonesia. Hutan menutupi antara 86 – 93 juta hektar, atau hampir setengah total wilayah darat negara ini. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia telah kehilangan 1.18 juta hektar hutan setiap tahunnya. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan, termasuk lahan gambut, menghasilkan sekitar 60 persen total emisi Indonesia. Struktur emisi seperti ini membuat Indonesia memilih penanganan deforestasi dan degradasi hutan sebagai salah satu cara utama mengurangi emisi dan menghadapi perubahan iklim.

  62. Peraturan Presiden nomor 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas

  Rumah Kaca (RAN-GRK) adalah upaya mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi risiko

  akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan GRK dari berbagai sumber emisi. Pendanaan RAN-GRK untuk kegiatan- kegiatan utama bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, Industri, pengelolaan limbah, dan kegiatan pendukung lainnya dapat bersumber dari APBN, APBD dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan.

  63. Indonesia telah mengembangkan “The Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR 2010 - 2030)” yang menjadi pedoman nassional untuk menetapkan prioritas aksi dan target sektoral untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dalam rangka strategi adaptasi perubahan iklim, pada saat ini telah tersedia Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi yang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Dewan Nasional Perubahan Iklim. Untuk mengharmoniskan strategi, program dan kegiatan konkrit yang dapat diarusutamakan ke dalam rencana pembangunan, maka strategi adaptasi perubahan iklim nasional (Bappenas) dalam kerangka meningkatkan kapasitas difokuskan pada upaya peningkatan kapasitas adaptasi terutama pada sektor kelautan dan perikanan, pertanian, kesehatan, sumberdaya air dan penanggulangan bencana.

  64. Respon operasional terhadap dampak perubahan iklim telah dimulai melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus Bidang Lingkungan Hidup tahun anggaran 2013, yang selanjutnya disebut DAK Bidang LH. Dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ini dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan pemantauan kualitas lingkungan hidup, pengendalian pencemaran lingkungan hidup, perlindungan fungsi lingkungan hidup, dan dalam rangka mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

  65. Pengadaan sarana dan prasarana dalam rangka adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui DAK Bidang LH diantaranya meliputi: a) pembuatan Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati)/Taman Hijau/Hutan Kota; b) penanaman mangrove dan vegetasi pantai; c) pembuatan model pemulihan kerusakan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat; d) pengadaan unit pengolah limbah organik menjadi biogas.

  66. Dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah diamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat Kajian

  Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan

  berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/program. Dalam PP no. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (pasal 25, 27, 33, 35), disebutkan bahwa prosedur penetapan RTRW nasional, propinsi, kabupaten, kota, dilakukan melalui KLHS. Selain itu ada pula peraturan lain terkait pembangunan hutan yang diatur dalam PP, antara lain PP Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, PP Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, dan PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.

  67. Tantangan permasalahan lingkungan yang dihadapi daerah saat ini diantaranya adalah : a.

  Isu pencemaran lingkungan yang terdiri dari 50-70% permasalahan pencemaran akibat kegiatan domestik baik berupa limbah cair maupun limbah padat (persampahan); kemudian pencemaran akibat kegiatan industri. Untuk itu diperlukan kebijakan, pengetahuan dan kepemimpinan yang kuat untuk dapat mendorong sektor melakukan perbaikan lingkungan akibat dari kegiatan tersebut.

  b.

  Meningkatnya permasalahan kerusakan ekosistem baik di danau, sungai, teluk, pesisir dan pantai, sehingga perlu diprioritaskan dan diselesaikan dengan kebijakan dan model yang tepat. Kegiatan utama yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong peran masyarakat untuk memperbaiki kerusakan ekosistem tersebut.

  c.

  Instrumen-instrumen lingkungan yang lebih baru telah dikembangkan perlu intensif dikomunikasikan antara lain adaptasi perubahan iklim, penerapan ijin lingkungan, dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

  68. Urgensi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terkait dengan degradasi lingkungan hidup yang bersifat kausalitas, lintas wilayah dan antar sektor, yang berawal dari proses pengambilan keputusan. KLHS adalah instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang diimplementasikan pada proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan.

  69. KLHS harus mampu mendorong alternatif –alternatif baru pembangunan melalui: a.

  Identifikasi isu-isu utama lingkungan atau pembangunan berkelanjutan yang perlu dipertimbangkan dalam KRP (Kebijakan, Rencana, Program) b.

  Analisis dampak setiap alternatif strategi pembangunan dari KRP, khususnya isu-isu yang relevan dan memberikan masukan untuk optimalisasi dampak positif dan reduksi dampak negatif.

  c.

  Keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholders), baik pemerintah maupun non-pemerintah dalam perumusan alternatif-alternatif pembangunan.

  d.

  Bukan hanya sekedar dokumen atau pemenuhan prosedur/ peraturan 70. UU nomor 26/2007 dan UU nomor 32 tahun 2009 menjadi pertimbangan dalam PP nomor

  32/2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Pengelolaan DAS dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang dan pola pengelolaan sumber daya air yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang dan sumber daya air. DAS yang dipulihkan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. DAS yang dipertahankan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah berfungsi sebagaimana mestinya.

  71. Kebijakan dan strategi Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional (PP nomor 28/2008) juga meliputi sistem jaringan sumberdaya air, termasuk indikasi arahan peraturan zonasi yang harus mempertimbangkan: a) pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; dan b) pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas negara dan lintas provinsi secara selaras dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di negara/provinsi yang berbatasan.

  72. Tantangan-tantangan krusial dalam hal pengelolaan sumber daya air di Indonesia dipicu pertumbuhan penduduk yang tinggi, maraknya alih fungsi lahan, dan perubahan iklim.

  Indonesia diperkirakan memiliki laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,2% per tahun sehingga sehingga pada tahun 2020 terdapat 250 juta penduduk Indonesia, yang memerlukan air bersih, bahan pangan dan tempat tinggal. Saat ini persebaran penduduk tidak merata, 65% penduduk hidup di Pulau Jawa, yang hanya memiliki 4,5 persen dari potensi cadangan air nasional.

  73. Pesatnya pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan bagi permukiman beserta prasarana dan sarana pendukung kehidupan perkotaan. Alih fungsi lahan terutama hutan yang tidak terkendali menurunkan fungsi daerah aliran sungai (DAS) dan daerah tangkapan air secara drastis. Perubahan pola hujan akibat perubahan iklim dan berkurangnya daerah tangkapan air mengakibatkan lebih seringnya terjadi banjir.

IV. Isyu Strategis Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 74.

  Aspek Kebijakan: a.

  Perlunya harmonisasi UU nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) yang mengatur “ruang pesisir” namun tidak mengatur “Ruang Laut Nasional” b.