INDONESIA MEMERLUKAN UU PERJANJIAN INTER
INDONESIA
MEMERLUKAN
UNDANG-UNDANG
PERJANJIAN
INTERNASIONAL
YANG BARU: ANALISIS KRITIS TERHADAP UU NOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
Oleh: Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.
PENDAHULUAN
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
telah 16 tahun menjadi ius constitutum di Indonesia semenjak
diberlakukan pada tahun 2000. Duta Besar Harry Haryono yang
pada
saat
itu
adalah
Direktur
Perjanjian
Internasional
Departemen Luar Negeri melakukan diseminasi rancangan undangundang ini di berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk
mendapatkan masukan-masukan dari para akademisi. Pada saat itu
Indonesia memang belum memiliki undang-undang yang mengatur
tentang perjanjian internasional sehingga dasar hukum dalam
pembuatan perjanjian internasional masih berpedoman pada Surat
Presiden Nomor 2826/HK/1960. UU Nomor 24 Tahun 2000 sebenarnya
diharapkan
pemahaman
dapat
memberikan
Pemerintah
pemahaman
Indonesia
tentang
terhadap
bagaimana
perjanjian
internasional yang telah diratifikasi sehingga dapat menjadi
pedoman
bagi
para
penyusun
rancangan
undang-undang
yang
memiliki dimensi internasional.
Namun sayangnya UU ini tidak mengatur hal-hal yang sangat
substantif
tetapi
mengenai
hanya
perjanjian
mengatur
hal-hal
internasional
yang
di
bersifat
Indonesia
prosedural
sehingga terkesan tumpang tindih dengan substansi yang ada di
dalam
Konvensi
Wina
1969
tentang
Hukum
Perjanjian
Internasional. Penulis mengamati ada beberapa kelemahan dalam
UU ini sehingga Indonesia memerlukan undang-undang perjanjian
baru yang mengatur hal-hal yang mendasar mengenai perjanjian
internasional di Indonesia. Kelemahan utama dari UU ini adalah
dari sisi penggunaan istilah dan kurang memahaminya penyusun
rancangan
undang-undang
mengenai
bagaimana
perjanjian
internasional berintegrasi ke dalam sistem hukum di Indonesia
dan
bagaimana
perjanjian
internasional
dapat
diterapkan
di
pengadilan nasional Indonesia.
Dengan tidak memahami filosofi sistem ketatanegaraan yang
berlaku
di
Indonesia
dalam
pengintegrasian
dan
penerapan
perjanjian internasional maka alur dalam UU Nomor 24 Tahun
2000
menjadi
tidak
konsisten
dan
sangat
prosedural.
Oleh
karena itu, untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam menyusun
rancangan
undang-undang
perjanjian
internasional
baru
perlu
ditelaah mengenai kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 24 Tahun
2000 dan sebagai solusi penulis ingin menunjukkan hal-hal apa
saja yang seharusnya diatur di dalam rancangan undang-undang
perjanjian internasional yang baru.
PEMBAHASAN
Kelemahan Substansial UU Nomor 24 Tahun 2000
Sebagaimana yang tersebut di atas, beberapa istilah dalam
UU
Nomor
beberapa
24
Tahun
kata
yang
2000
telah
menjadi
dikenal
perhatian
luas
dan
khusus
baku
karena
seharusnya
tidak perlu diubah dalam kata bahasa Indonesia karena ternyata
di dalam praktiknya menimbulkan kesalahpahaman.
Sebagai
contoh
adalah
ketika
seorang
penasihat
hukum
dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi untuk Perkara Nomor
33/PUU-IX/2011
menyatakan
bahwa
kewenangan
ratifikasi
perjanjian internasional adalah DPR. Di tingkat internasional,
kewenangan
lembaga
untuk
mengadakan
eksekutif,
internasional.
hubungan
termasuk
Kewenangan
luar
negeri
meratifikasi
legislatif
adalah
ada
pada
perjanjian
memberikan
persetujuan di tingkat nasional atas perjanjian internasional
yang telah diratifikasi oleh lembaga eksekutif.
Sebenarnya pemahaman tersebut di atas tidak sepenuhnya
salah
karena
pengesahan,
UU
Nomor
sedangkan
24
Tahun
pengesahan
2000
di
menggunakan
sini
adalah
istilah
terjemahan
dari kata ‘ratification’ sehingga seakan-akan kewenangan untuk
meratifikasi perjanjian internasional ada pada DPR.
Kelemahan
yang
sangat
signifikan
dalam
UU
ini
adalah
penyusun undang-undang tidak memahami makna yang terkandung
dalam
Pasal
11
persetujuan
seharusnya
UUDNRI
dari
1945
DPR
bahwa
dalam
menjabarkan
apa
Presiden
membuat
harus
filosofi
perjanjian.
yang
mendapat
UU
terkandung
ini
dalam
Pasal 11 ini yang meliputi bagaimana proses persetujuannya,
apa bentuk dari persetujuan DPR dan apa akibat hukum dari
persetujuan tersebut. Sayangnya, Pasal 11 ini tidak dijabarkan
sama sekali dalam UU ini sehingga muncul perkara Nomor 33/PUUIX/2011 tentang UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang UU Pengesahan
Piagam
ASEAN
beranggapan
di
Mahkamah
bahwa
UU
Konstitusi
Nomor
38
Tahun
di
2008
mana
adalah
pemohon
UU
yang
membuat Piagam ASEAN berlaku di Indonesia.
Dalam
keterangan
di
Mahkamah
Konstitusi
penulis
menyatakan bahwa berbeda antara undang-undang pengesahan atau
ratifikasi
dengan
undang-undang
pengesahan
perjanjian
transformasi.
internasional
berkaitan
Undang-undang
erat
dengan
Pasal 11 UUDNRI 1945 di mana Presiden dan DPR adalah sebagai
‘treaty-making
power’,
sedangkan
undang-undang
transformasi
berhubungan dengan Pasal 20 UUDNRI 1945 di mana DPR memiliki
kewenangan eksklutif sebagai ‘legislative power’. Sebenarnya
yang
menjadi
adalah
permasalahan
nomenklatur
yang
utama
dari
berbentuk
permohonan
tersebut
undang-undang
sehingga
pemohon beranggapan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
mengadili sebagaimana yang diatur dalam Pasal...
Jika ditinjau dari pendekatan konseptual, muncul istilah
undang-undang
akan
melakukan
pengesahan
ini
ratifikasi
adalah
proses
perjanjian
ketika
internasional
Presiden
di
mana
Presiden harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari
DPR sebagai cerminan sistem checks and balances. Tampaknya
ketika menentukan nomenklatur apa yang tepat atas produk yang
dikeluarkan
oleh
DPR,
maka
muncullah
bentuk
undang-undang
karena
dalam
selama
ini
bentuk
produk
yang
undang-undang.
diterbitkan
Pengesahan
oleh
itu
DPR
selalu
sendiri
adalah
terjemahan dari kata ‘ratification’. Oleh karena itu, undangundang pengesahan perjanjian internasional sebenarnya adalah
bentuk persetujuan formal dari DPR kepada Presiden yang akan
meratifikasi
perjanjian
internasional.
Menurut
Dr.
Agusman
Damos, undang-undang pengesahan perjanjian internasional ini
adalah legal basis bagi Presiden untuk meratifikasi perjanjian
internasional.
Proses
yang
berjalan
dalam
sistem
ketatanegaraan
di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem checks and balances
yang ada pada sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Dalam
sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, Presiden hanya memiliki
kewenangan
untuk
executive
agreements.
perjanjian
internasional
Presiden
harus
membuat
Jika
mendapat
internasional
agreements.
Ini
Presiden
ingin
executive
persetujuan
dan
merupakan
agar
internasional
Presiden
dan/atau
perjanjian
balances
perjanjian
cerminan
tidak
meratifikasi
agreements
dari
Kongres
dari
dan/atau
Senat
untuk
sistem
sembarangan
maka
untuk
executive
checks
dalam
and
membuat
perjanjian internasional sehingga dapat merugikan kepentingan
nasional
atau
tradisi
hukum
yang
berlaku
dan
telah
lama
berkembang di Amerika Serikat.
Hal yang membedakan dari proses persetujuan dari lembaga
legislatif
kedua
negara
tersebut
adalah
akibat
hukum
dari
persetujuan yang diberikan. Persetujuan yang diberikan Senat
akan
memberikan
pengaruh
di
tingkat
nasional
(baca:
pengadilan) kecuali ditentukan lain, sedangkan di Indonesia
persetujuan
DPR
tidak
memberikan
pengaruh
apapun
bagi
perjanjian internasional di tingkat nasional.
Dalam
putusannya,
Majelis
Hakim
Mahkamah
Konstitusi
sepakat dengan pihak Pemerintah dan menolak seluruh permohonan
dari pemohon karena undang-undang pengesahan bukan obyek untuk
judicial review karena undang-undang pengesahan bukan undang-
undang transformasi yang mengejahwantahkan isi dari perjanjian
internasional.
Penulis
melihat
dipertimbangkan
perjanjian
ada
dalam
yang
beberapa
penyusunan
baru
adalah
catatan
yang
perlu
rancangan
undang-undang
nomenklatur
undang-undang
seharusnya diubah dengan bentuk lain agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman di kemudian hari. Selain itu, penyusun undangundang harus taat asas, khususnya asas lex superior derogate
legi priori, artinya jika Pasal 11 UUDNRI 1945 meminta istilah
persetujuan
maka
di
undang-undang
perjanjian
internasional
yang baru juga mengatur istilah persetujuan ini.
Lebih lanjut, UU Nomor 24 Tahun 2000 juga tidak mengatur
tentang
makna
ratifikasi
dan
akibat
hukum
dari
ratifikasi
perjanjian internasional bagi Indonesia. Dua hal ini sangat
penting
untuk
bagaimana
memberikan
kita
pemahaman
memandang
hukum
kepada
negara
lain
dari
sudut
internasional
pandang Indonesia. Untuk menyusun pasal-pasal yang berkaitan
dengan ratifikasi dan akibat hukumnya maka perlu pemahaman
konsep-konsep hukum untuk mendukung argumentasi kita.
Pendekatan awal dimulai dari Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum
Perjanjian
didefinisikan
perjanjian
Konvensi
sebagai
telah
atas
di
pengikatan
internasional
ini
ratifikasi
Internasional
di
diri
level
secara
perjanjian
mana
suatu
ratifikasi
negara
internasional.
jelas
Sebenarnya
mengidentifikasi
internasional
pada
tidak
bahwa
membuat
perjanjian internasional menjadi bagian dari hukum nasional
karena
tujuan
perjanjian
utama
dari
internasional
ratifikasi
berlaku
adalah
sebagaimana
untuk
diatur
membuat
dalam
Pasal 24 Konvensi Wina 1969.
Selanjutnya, untuk melihat dapat atau tidaknya perjanjian
internasional yang diratifikasi menjadi bagian hukum nasional
suatu negara secara langsung merupakan pertanyaan di tingkat
nasional
yang
harus
dijawab
oleh
tiap-tiap
negara
dengan budaya hukum yang berkembang di negara tersebut.
sesuai
Dalam proses pengintegrasian perjanjian internasional ke
dalam sistem hukum nasional suatu negara, penulis mengamati
dua
sistem
negara,
yang
yaitu
berkembang
sistem
dan
pemisahan
dipraktikkan
kekuasaan
oleh
secara
negara-
murni
dan
sistem checks and balances. Bagi sistem pemisahan kekuasaan
secara murni, ada sebuah batasan yang jelas dan tegas antara
eksekutif dan legislatif di mana eksekutif memiliki kewenangan
di bidang external affairs dan legislatif membidangi internal
affairs.
Dalam
hal
pembuatan
eksekutif
memiliki
perjanjian
internasional,
internasional,
lain,
kewenangan
tanpa
eksekutif
perjanjian
eksklusif
termasuk
keterlibatan
dapat
membuat
internasional
untuk
meratifikasi
legislatif.
dan
membuat
perjanjian
Dengan
meratifikasi
kata
perjanjian
internasional dengan negara lain tetapi eksekutif tidak dapat
memastikan
kapan
diratifikasi
perjanjian
dapat
internasional
diberlakukan
di
tingkat
yang
telah
nasional
karena
memerlukan persetujuan dari legislatif. Praktik ini terjadi di
beberapa
negara
Belanda.
Tujuan
seperti
dari
Australia,
ratifikasi
Kanada,
yang
Perancis
dilakukan
di
dan
negara-
negara tersebut sama dengan yang diatur dalam Konvensi, yaitu
mengikat
negara
perjanjian
di
level
internasional
internasional
berlaku
dan
untuk
universal.
Di
membuat
Australia
perjanjian internasional yang telah diratifikasi tidak menjadi
bagian dari hukum nasional tetapi hanya sebagai sumber hukum
bagi hakim dalam menginterpretasikan hukum nasional sehingga
semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi belum
diakui di tingkat nasional sebelum mendapat persetujuan dari
Parlemen
Federal
internasional
peraturan
harus
Australia.
Selain
ditransformasikan
perundang-undangan
agar
itu,
ke
dapat
perjanjian
dalam
bentuk
diterapkan
di
pengadilan nasional. Demikian pula praktik di Kanada di mana
perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Kanada
belum
dapat
menjadi
bagian
hukum
nasional
Kanada
sebelum
mendapat persetujuan Parlemen Federal dan Parlemen Propinsi
yang terdampak langsung dari tindakan ratifikasi perjanjian
internasional.
internasional
Jika
tidak
Australia
dapat
dan
Kanada
diterapkan
perjanjian
secara
langsung
di
pengadilan tanpa adanya undang-undang, sebaliknya Perancis dan
Belanda
mengijinkan
perjanjian
internasional
yang
telah
diratifikasi untuk diterapkan secara langsung di pengadilan
jika
telah
mendapat
persetujuan
dari
Parlemen
dan
dipublikasikan dalam lembaran negara. Selanjutnya, kewenangan
pengadilan
untuk
menentukan
sifat
perjanjian
internasional
apakah self-executing atau non-self-executing.
Selanjutnya
dalam
sistem
checks
and
balances
hanya
terdapat dua negara yang mengadopsi sistem ini yaitu Amerika
Serikat dan Indonesia. Indonesia tampaknya mengadopsi sistem
ketatanegaraan
sistem
Amerika
Serikat
ketatanegaraannya.
Di
untuk
kedua
dipraktikkan
negara
ini
ke
dalam
kewenangan
eksekutif dibatasi oleh kewenangan legislatif di mana harus
ada
persetujuan
dari
legislatif
sebelum
eksekutif
dapat
meratifikasi perjanjian internasional. Dalam hal ratifikasi,
meskipun menggunakan sistem yang sama tetapi berbeda dalam
hasil
akhirnya.
Ratifikasi
yang
dilakukan
oleh
Presiden
Amerika Serikat memiliki akibat hukum di tingkat internasional
dan di tingkat nasional karena sebelum meratifikasi Presiden
telah mendapat persetujuan dari Senat. Persetujuan dari Senat
ini
merupakan
meratifikasi
perjanjian
digunakan
bentuk
persetujuan
perjanjian
internasional
internasional
di
pengadilan
kepada
yang
telah
nasional
Presiden
dan
untuk
mengijinkan
diratifikasi
Amerika
Serikat,
untuk
kecuali
ditentukan lain. Hal yang berbeda dengan praktik yang terjadi
di
Indonesia
persetujuan
perjanjian
di
dari
mana
DPR
meskipun
dalam
internasional
Presiden
bentuk
tetapi
telah
undang-undang
persetujuan
mendapat
pengesahan
tersebut
tidak
memiliki akibat hukum apapun di tingkat nasional, dengan kata
lain,
sebagai
perjanjian
negara,
internasional
sedangkan
untuk
hanya
mengikat
diterapkannya
Indonesia
perjanjian
internasional di pengadilan nasional memerlukan undang-undang
transformasi.
Sama
halnya
dengan
negara-negara
Australia,
Kanada, Perancis dan Belanda bahwa ratifikasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia hanyalah sebuah pengikatan diri di
tingkat internasional yang bertujuan untuk membuat perjanjian
internasional berlaku universal.
Penarikan
telah
diri
diratifikasi
terhadap
perjanjian
internasional
dan/atau
ditandatangani
dengan
yang
alasan
merugikan kepentingan nasional tidak seharusnya diatur dalam
UU Nomor 24 Tahun 2000 karena hal ini telah ada dalam Konvensi
Wina
1969.
Pemahaman
bahwa
perjanjian
internasional
hanya
mengikat bagi negara-negara dalam kaitannya dengan hubungan
luar negeri sebenarnya tidak terlalu mengganggu karena isu
yang
berkembang
hukum
tetapi
dalam
lebih
penarikan
banyak
isu
diri
bukan
politik.
sepenuhnya
Juga
isu
permasalahan
suksesi negara yang diatur dalam salah satu pasal dari UU ini
sebenarnya tidak perlu ada karena tidak relevan.
Kemudian, beberapa pasal, khususnya Pasal 9, 10, 11 dan
18 dari UU Nomor 24 Tahun 2000 seharusnya dicabut. Untuk Pasal
9 dikarenakan munculnya istilah undang-undang pengesahan dan
keputusan presiden. Jika kita konsekuen dengan sistem checks
and balances, maka keputusan presiden tidak dapat digunakan
sebagai
bentuk
‘checks
and
balances’
karena
kewenangan
tersebut seharusnya ada pada DPR. Jika tidak dicabut maka ini
akan berimbas pada Pasal 18 di mana DPR dapat semena-mena
meminta
kepada
internasional
dibuat
Presiden
karena
dan/atau
untuk
persetujuan
dianggap
mencabut
internasional
merugikan
kepentingan
perjanjian
yang
telah
nasional.
Sebagaimana yang diketahui bahwa Pasal 26 dan 27 Konvensi Wina
1969 melarang tindakan unilateral dengan menggunakan alasan
internal law.
Perlunya Kesepakatan dalam Pemyusunan UU yang Baru
UU Nomor 24 Tahun 2000 adalah produk gagal dalam filosofi
peraturan perundang-undangan karena UU ini gagal untuk menjadi
pedoman hidup dan gagal untuk menjelaskan secara terperinci
mengenai pemahaman Indonesia terhadap perjanjian internasional
yang telah diratifikasi, termasuk alur proses pengintegrasian
perjanjian
sehingga
internasional
substansi
UU
dan
ini
penerapannya
tampak
tidak
di
pengadilan,
fokus
dan
terlalu
prosedural.
Penulis
beranggapan
bahwa
kegagalan
ini
karena
para
penyusun peraturan hukum belum sepakat dalam menentukan apakah
penyusunan tersebut menggunakan pendekatan teori monisme atau
dualisme.
Ketidakpahaman
penyusun
undang-undang
tentang
bagaimana hukum internasional berevolusi dalam sistem hukum di
Indonesia terbukti ketika muncul sebuah produk hukum tentang
hak asasi manusia yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999 di mana Pasal 7
menyatakan
bahwa
menyangkut
nasional
hak
norma-norma
asasi
Indonesia.
manusia
hukum
internasional
merupakan
Pertanyaannya
bagian
kemudian
yang
dari
adalah
hukum
bagaimana
caranya menerapkan pasal-pasal dalam perjanjian internasional
jika secara filosofis perjanjian internasional tidak diakui
sebagai
salah
peraturan
diatur
satu
sumber
perundang-undangan
dalam
Pasal
7
UU
hukum
di
dalam
jenis
Indonesia
Nomor
12
dan
hirarki
sebagaimana
Tahun
2011
yang
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam
UU
Nomor
39
Tahun
1999
ada
sebuah
pemaksaan
kehendak bahwa Indonesia harus menjadi negara monisme sehingga
memunculkan
Pasal
7
yang
secara
substansi
dan
filosofis
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Sebenarnya
untuk
memahami
sebuah
negara
menganut
aliran
monisme atau dualisme adalah mudah, yaitu dengan mencermati
konstitusi
mengatur
negara
dengan
yang
jelas
bersangkutan.
dan
tegas
Jika
negara
hubungan
tersebut
antara
hukum
internasional dan hukum nasional maka dapat disimpulkan negara
tersebut
adalah
monisme,
seperti
Perancis,
Belanda,
Timor
Leste, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia. Jerman adalah negara
monisme untuk hukum kebiasaan internasional sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 25 Grungesetz tetapi menggunakan pendekatan
dualisme
untuk
perjanjian
internasional.
Bagi
negara
yang
tidak mengatur secara tegas dalam konstitusinya maka negara
tersebut adalah dualisme karena keutamaan diberikan pada hukum
nasional, seperti di Malaysia, Australia, Kanada dan Indonesia
sendiri.
Selama 20 tahun belajar hukum internasional di Indonesia,
pemahaman terhadap perjanjian internasional masih belum jelas
secara filosofi dan konsep karena ada banyak pemahaman yang
berbeda-beda
ketika
berbicara
negara
monisme
dan
dualisme.
Bagi teman-teman di Universitas Padjadjaran menganggap bahwa
Indonesia adalah negara monisme, namun di beberapa perguruan
tinggi lain menganggap bahwa Indonesia adalah negara dualisme
dengan
berbagai
macam
alasan
tetapi
sulit
untuk
ditarik
kesimpulan atau benang merahnya.
Lebih lanjut, penyusun undang-undang pada saat itu tidak
paham
secara
filosofi
dan
konsep
mengenai
makna
hukum
internasional bagi negara-negara dan apa makna undang-undang
bagi negara dan masyarakat dalam negara tersebut. Pemahaman
ini
menjadi
sangat
penting
dalam
menyusun
alur
sistem
ketatanegaraan kita ke dalam bahasa hukum. Hukum internasional
dibuat untuk menjembatani hubungan antar negara dengan tujuan
untuk
menghindari
rasa
primordialisme
kenasionalan
karena
adanya tradisi hukum yang berbeda antara satu negara dengan
yang
lain.
Sebaliknya,
undang-undang
dibuat
untuk
mengatur
hubungan negara dengan individu yang berlaku dalam wilayah
teritorial suatu negara. Undang-undang juga merupakan sebuah
penjabaran akan pemahaman suatu negara terhadap makna tertentu
yang diatur dalam sebuah hukum internasional agar negara lain
memahami maksud dan tujuan disusunnya suatu peraturan hukum.
UU
Nomor
24
Tahun
2000
tidak
lagi
mengatur
hal-hal
yang
bersifat
prosedural
belaka
tetapi
benar-benar
hal-hal
yang
lebih substantif, seperti hubungan antara lembaga eksekutif
dan
legislatif
proses
dalam
pembuatan
pengintegrasian
sistem
hukum
perjanjian
perjanjian
nasional,
internasional,
internasional
proses
penerapan
ke
dalam
perjanjian
internasional di pengadilan, makna ratifikasi bagi Indonesia,
arti
undang-undang
internasional.
pengesahan/persetujuan
Selain
itu,
UU
ini
seharusnya
perjanjian
menggunakan
bahasa yang baku, dengan kata lain, tidak perlu diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia karena mengakibatkan salah pengertian,
semisal ratifikasi, reservasi, deklarasi dan lainnya.
Jika para pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan
undang-undang perjanjian internasional yang baru sepakat bahwa
kita
adalah
penyusunan
negara
dualisme
rancangan
maka
undang-undang
ini
alur
berfikir
menjadi
dalam
lebih
mudah
bagi penyusun peraturan hukum di DPR karena konsepnya menjadi
lebih jelas. Dengan konsep dualisme dalam penyusunan setiap
rancangan
mudah
peraturan
menjawab
hukum,
tentang
Pemerintah
status
Indonesia
perjanjian
akan
lebih
internasional
di
Indonesia dan penerapan perjanjian internasional di pengadilan
nasional.
Berbicara status perjanjian internasional di Indonesia,
maka kita akan mulai dengan sebuah pertanyaan bagaimana sistem
hukum
kita
memandang
hukum
internasional,
apakah
sebagai
sumber hukum atau dasar hukum saja. Sebagai sumber hukum maka
hukum internasional bukan merupakan bagian dari hukum nasional
kita tetapi keberadaannya tetap kita akui. Hukum internasional
tidak secara langsung diterapkan oleh hakim tetapi melalui
proses legal interpretation. Namun demikian ada hal yang perlu
diingat adalah kita menggunakan pendekatan hard transformation
dalam
proses
internasional
transformasi
di
Indonesia
sehingga
hanya
berlakunya
dapat
perjanjian
dilakukan
melalui
tindakan legislatif sehingga secara asas hakim tidak boleh
melakukan
penafsiran
atas
perjanjian
internasional
secara
mandiri
dan
langsung
karena
kewenangan
tersebut
dimiliki
sepenuhnya oleh DPR ketika membuat undang-undang transformasi
atas
perjanjian
dengan
proses
internasional
transformasi
yang
di
bersangkutan.
Kanada,
di
Berbeda
mana
Kanada
menggunakan pendekatan soft transformation, artinya berlakunya
perjanjian
internasional
legislatif
dan
dapat
tindakan
dilakukan
yudikatif,
melalui
artinya
tindakan
perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Federal
Kanada tetapi belum disetujui oleh Parlemen Federal Kanada
tetap
dapat
digunakan
oleh
hakim
di
pengadilan
nasional
sebagai bahan hukum untuk menginterpretasikan hukum nasional
yang dianggap tidak sesuai dengan kewajiban internasional yang
harus diemban oleh Pemerintah Kanada, dengan catatan bahwa
jika
isu
hukum
yang
muncul
berkaitan
erat
dengan
hak
dan
kewajiban individu.
Dengan
memahami
status
perjanjian
internasional
yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan seksama
maka
kegalauan
masyarakat
tentang
mengapa
hakim-hakim
Indonesia tidak menerapkan norma-norma hukum internasional di
persidangan
perjanjian
dapat
terjawab
internasional
dengan
bukan
mudah,
bagian
antara
dari
lain:
hukum
(i)
nasional
kita, (ii) keutamaan hukum di Indonesia adalah hukum nasional,
(iii)
hukum
internasional
berada
di
piramida
yang
berbeda
dengan hukum nasional, di mana hukum internasional merupakan
hasil
kesepakatan
sedangkan
hukum
negara-negara
nasional
adalah
di
level
hasil
internasional,
kesepakatan
lembaga
legislatif dan lembaga eksekutif untuk mengatur masyarakat di
level
nasional,
perjanjian
Pemerintah
dan
hakim
internasional
Indonesia
hanya
terikat
yang
oleh
telah
berlaku
bagi
yang
kedua,
diratifikasi
Indonesi
(iv)
oleh
sebagai
negara yang merupakan subyek hukum internasional, dan belum
berlaku di Indonesia (baca: pengadilan) sebelum diterbitkan
undang-undang transformasi atas perjanjian internasional yang
bersangkutan.
KESIMPULAN
Dari analisis di atas maka ada beberapa hal yang dapat
menjadi kesimpulan, antara lain:
1.
UU Nomor 24 Tahun 2000 secara substansi tidak memenuhi
kriteria sebagai sebuah undang-undang karena tidak fokus
dan
terlalu
prosedural
sehingga
terkesan
bahwa
pasal-
pasal yang terdapat dalam UU ini tumpang tindih dengan
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969.
2.
UU
Nomor
24
ketidakjelasan
Tahun
konsep
2000
disusun
berfikir
dalam
berkaitan
kondisi
dengan
faham
yang dianut oleh Indonesia, apakah faham monisme atau
faham dualisme sehingga kerangka dan alur bahasa hukum
dalam UU ini menjadi membingungkan.
3.
UU Nomor 24 Tahun 2000 secara substansi tidak memberikan
pedoman
apapun
Indonesia
mengenai
terhadap
diratifikasi
bagaimana
perjanjian
karena
pemahaman
internasional
kurangnya
pemahaman
bangsa
yang
telah
filosofi
dan
konseptual.
4.
UU Nomor 24 Tahun 2000 harus dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku agar tidak menimbulkan salah pengertian terkait
dengan
istilah
dan
pemahaman
perjanjian
internasional
secara utuh di Indonesia.
5.
Rancangan
mengatur
undang-undang
hal-hal
yang
perjanjian
bersifat
yang
baru
substanstif
harus
tentang
pemahaman kita atas perjanjian internasional yang dimulai
dari hubugan antara eksekutif dengan legislatif, proses
pembuatan
perjanjian
pengesahan/persetujuan,
melakukan
reservasi
transformasi
dan
internasional,
makna
dan
penerapan
undang-undang
ratifikasi,
deklarasi,
perjanjian
kewenangan
undang-undang
internasional
di
pengadilan.
6.
Para
pemangku
undang-undang
bersepakat
kepentingan
perjanjian
terlebih
dalam
penyusunan
internasional
dahulu,
apakah
yang
kita
rancangan
baru
adalah
harus
negara
monisme
atau
dualisme,
dengan
tujuan
untuk
memudahkan
alur berfikir dan menuangkan proses berfikir tersebut ke
dalam bahasa hukum.
SARAN
Beberapa pasal dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tidak layak
untuk
diatur
dalam
rancangan
undang-undang
perjanjian
internasional yang baru sehingga ada baiknya dicabut dan tidak
digunakan lagi.
MEMERLUKAN
UNDANG-UNDANG
PERJANJIAN
INTERNASIONAL
YANG BARU: ANALISIS KRITIS TERHADAP UU NOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
Oleh: Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.
PENDAHULUAN
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
telah 16 tahun menjadi ius constitutum di Indonesia semenjak
diberlakukan pada tahun 2000. Duta Besar Harry Haryono yang
pada
saat
itu
adalah
Direktur
Perjanjian
Internasional
Departemen Luar Negeri melakukan diseminasi rancangan undangundang ini di berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk
mendapatkan masukan-masukan dari para akademisi. Pada saat itu
Indonesia memang belum memiliki undang-undang yang mengatur
tentang perjanjian internasional sehingga dasar hukum dalam
pembuatan perjanjian internasional masih berpedoman pada Surat
Presiden Nomor 2826/HK/1960. UU Nomor 24 Tahun 2000 sebenarnya
diharapkan
pemahaman
dapat
memberikan
Pemerintah
pemahaman
Indonesia
tentang
terhadap
bagaimana
perjanjian
internasional yang telah diratifikasi sehingga dapat menjadi
pedoman
bagi
para
penyusun
rancangan
undang-undang
yang
memiliki dimensi internasional.
Namun sayangnya UU ini tidak mengatur hal-hal yang sangat
substantif
tetapi
mengenai
hanya
perjanjian
mengatur
hal-hal
internasional
yang
di
bersifat
Indonesia
prosedural
sehingga terkesan tumpang tindih dengan substansi yang ada di
dalam
Konvensi
Wina
1969
tentang
Hukum
Perjanjian
Internasional. Penulis mengamati ada beberapa kelemahan dalam
UU ini sehingga Indonesia memerlukan undang-undang perjanjian
baru yang mengatur hal-hal yang mendasar mengenai perjanjian
internasional di Indonesia. Kelemahan utama dari UU ini adalah
dari sisi penggunaan istilah dan kurang memahaminya penyusun
rancangan
undang-undang
mengenai
bagaimana
perjanjian
internasional berintegrasi ke dalam sistem hukum di Indonesia
dan
bagaimana
perjanjian
internasional
dapat
diterapkan
di
pengadilan nasional Indonesia.
Dengan tidak memahami filosofi sistem ketatanegaraan yang
berlaku
di
Indonesia
dalam
pengintegrasian
dan
penerapan
perjanjian internasional maka alur dalam UU Nomor 24 Tahun
2000
menjadi
tidak
konsisten
dan
sangat
prosedural.
Oleh
karena itu, untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam menyusun
rancangan
undang-undang
perjanjian
internasional
baru
perlu
ditelaah mengenai kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 24 Tahun
2000 dan sebagai solusi penulis ingin menunjukkan hal-hal apa
saja yang seharusnya diatur di dalam rancangan undang-undang
perjanjian internasional yang baru.
PEMBAHASAN
Kelemahan Substansial UU Nomor 24 Tahun 2000
Sebagaimana yang tersebut di atas, beberapa istilah dalam
UU
Nomor
beberapa
24
Tahun
kata
yang
2000
telah
menjadi
dikenal
perhatian
luas
dan
khusus
baku
karena
seharusnya
tidak perlu diubah dalam kata bahasa Indonesia karena ternyata
di dalam praktiknya menimbulkan kesalahpahaman.
Sebagai
contoh
adalah
ketika
seorang
penasihat
hukum
dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi untuk Perkara Nomor
33/PUU-IX/2011
menyatakan
bahwa
kewenangan
ratifikasi
perjanjian internasional adalah DPR. Di tingkat internasional,
kewenangan
lembaga
untuk
mengadakan
eksekutif,
internasional.
hubungan
termasuk
Kewenangan
luar
negeri
meratifikasi
legislatif
adalah
ada
pada
perjanjian
memberikan
persetujuan di tingkat nasional atas perjanjian internasional
yang telah diratifikasi oleh lembaga eksekutif.
Sebenarnya pemahaman tersebut di atas tidak sepenuhnya
salah
karena
pengesahan,
UU
Nomor
sedangkan
24
Tahun
pengesahan
2000
di
menggunakan
sini
adalah
istilah
terjemahan
dari kata ‘ratification’ sehingga seakan-akan kewenangan untuk
meratifikasi perjanjian internasional ada pada DPR.
Kelemahan
yang
sangat
signifikan
dalam
UU
ini
adalah
penyusun undang-undang tidak memahami makna yang terkandung
dalam
Pasal
11
persetujuan
seharusnya
UUDNRI
dari
1945
DPR
bahwa
dalam
menjabarkan
apa
Presiden
membuat
harus
filosofi
perjanjian.
yang
mendapat
UU
terkandung
ini
dalam
Pasal 11 ini yang meliputi bagaimana proses persetujuannya,
apa bentuk dari persetujuan DPR dan apa akibat hukum dari
persetujuan tersebut. Sayangnya, Pasal 11 ini tidak dijabarkan
sama sekali dalam UU ini sehingga muncul perkara Nomor 33/PUUIX/2011 tentang UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang UU Pengesahan
Piagam
ASEAN
beranggapan
di
Mahkamah
bahwa
UU
Konstitusi
Nomor
38
Tahun
di
2008
mana
adalah
pemohon
UU
yang
membuat Piagam ASEAN berlaku di Indonesia.
Dalam
keterangan
di
Mahkamah
Konstitusi
penulis
menyatakan bahwa berbeda antara undang-undang pengesahan atau
ratifikasi
dengan
undang-undang
pengesahan
perjanjian
transformasi.
internasional
berkaitan
Undang-undang
erat
dengan
Pasal 11 UUDNRI 1945 di mana Presiden dan DPR adalah sebagai
‘treaty-making
power’,
sedangkan
undang-undang
transformasi
berhubungan dengan Pasal 20 UUDNRI 1945 di mana DPR memiliki
kewenangan eksklutif sebagai ‘legislative power’. Sebenarnya
yang
menjadi
adalah
permasalahan
nomenklatur
yang
utama
dari
berbentuk
permohonan
tersebut
undang-undang
sehingga
pemohon beranggapan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
mengadili sebagaimana yang diatur dalam Pasal...
Jika ditinjau dari pendekatan konseptual, muncul istilah
undang-undang
akan
melakukan
pengesahan
ini
ratifikasi
adalah
proses
perjanjian
ketika
internasional
Presiden
di
mana
Presiden harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari
DPR sebagai cerminan sistem checks and balances. Tampaknya
ketika menentukan nomenklatur apa yang tepat atas produk yang
dikeluarkan
oleh
DPR,
maka
muncullah
bentuk
undang-undang
karena
dalam
selama
ini
bentuk
produk
yang
undang-undang.
diterbitkan
Pengesahan
oleh
itu
DPR
selalu
sendiri
adalah
terjemahan dari kata ‘ratification’. Oleh karena itu, undangundang pengesahan perjanjian internasional sebenarnya adalah
bentuk persetujuan formal dari DPR kepada Presiden yang akan
meratifikasi
perjanjian
internasional.
Menurut
Dr.
Agusman
Damos, undang-undang pengesahan perjanjian internasional ini
adalah legal basis bagi Presiden untuk meratifikasi perjanjian
internasional.
Proses
yang
berjalan
dalam
sistem
ketatanegaraan
di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem checks and balances
yang ada pada sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Dalam
sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, Presiden hanya memiliki
kewenangan
untuk
executive
agreements.
perjanjian
internasional
Presiden
harus
membuat
Jika
mendapat
internasional
agreements.
Ini
Presiden
ingin
executive
persetujuan
dan
merupakan
agar
internasional
Presiden
dan/atau
perjanjian
balances
perjanjian
cerminan
tidak
meratifikasi
agreements
dari
Kongres
dari
dan/atau
Senat
untuk
sistem
sembarangan
maka
untuk
executive
checks
dalam
and
membuat
perjanjian internasional sehingga dapat merugikan kepentingan
nasional
atau
tradisi
hukum
yang
berlaku
dan
telah
lama
berkembang di Amerika Serikat.
Hal yang membedakan dari proses persetujuan dari lembaga
legislatif
kedua
negara
tersebut
adalah
akibat
hukum
dari
persetujuan yang diberikan. Persetujuan yang diberikan Senat
akan
memberikan
pengaruh
di
tingkat
nasional
(baca:
pengadilan) kecuali ditentukan lain, sedangkan di Indonesia
persetujuan
DPR
tidak
memberikan
pengaruh
apapun
bagi
perjanjian internasional di tingkat nasional.
Dalam
putusannya,
Majelis
Hakim
Mahkamah
Konstitusi
sepakat dengan pihak Pemerintah dan menolak seluruh permohonan
dari pemohon karena undang-undang pengesahan bukan obyek untuk
judicial review karena undang-undang pengesahan bukan undang-
undang transformasi yang mengejahwantahkan isi dari perjanjian
internasional.
Penulis
melihat
dipertimbangkan
perjanjian
ada
dalam
yang
beberapa
penyusunan
baru
adalah
catatan
yang
perlu
rancangan
undang-undang
nomenklatur
undang-undang
seharusnya diubah dengan bentuk lain agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman di kemudian hari. Selain itu, penyusun undangundang harus taat asas, khususnya asas lex superior derogate
legi priori, artinya jika Pasal 11 UUDNRI 1945 meminta istilah
persetujuan
maka
di
undang-undang
perjanjian
internasional
yang baru juga mengatur istilah persetujuan ini.
Lebih lanjut, UU Nomor 24 Tahun 2000 juga tidak mengatur
tentang
makna
ratifikasi
dan
akibat
hukum
dari
ratifikasi
perjanjian internasional bagi Indonesia. Dua hal ini sangat
penting
untuk
bagaimana
memberikan
kita
pemahaman
memandang
hukum
kepada
negara
lain
dari
sudut
internasional
pandang Indonesia. Untuk menyusun pasal-pasal yang berkaitan
dengan ratifikasi dan akibat hukumnya maka perlu pemahaman
konsep-konsep hukum untuk mendukung argumentasi kita.
Pendekatan awal dimulai dari Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum
Perjanjian
didefinisikan
perjanjian
Konvensi
sebagai
telah
atas
di
pengikatan
internasional
ini
ratifikasi
Internasional
di
diri
level
secara
perjanjian
mana
suatu
ratifikasi
negara
internasional.
jelas
Sebenarnya
mengidentifikasi
internasional
pada
tidak
bahwa
membuat
perjanjian internasional menjadi bagian dari hukum nasional
karena
tujuan
perjanjian
utama
dari
internasional
ratifikasi
berlaku
adalah
sebagaimana
untuk
diatur
membuat
dalam
Pasal 24 Konvensi Wina 1969.
Selanjutnya, untuk melihat dapat atau tidaknya perjanjian
internasional yang diratifikasi menjadi bagian hukum nasional
suatu negara secara langsung merupakan pertanyaan di tingkat
nasional
yang
harus
dijawab
oleh
tiap-tiap
negara
dengan budaya hukum yang berkembang di negara tersebut.
sesuai
Dalam proses pengintegrasian perjanjian internasional ke
dalam sistem hukum nasional suatu negara, penulis mengamati
dua
sistem
negara,
yang
yaitu
berkembang
sistem
dan
pemisahan
dipraktikkan
kekuasaan
oleh
secara
negara-
murni
dan
sistem checks and balances. Bagi sistem pemisahan kekuasaan
secara murni, ada sebuah batasan yang jelas dan tegas antara
eksekutif dan legislatif di mana eksekutif memiliki kewenangan
di bidang external affairs dan legislatif membidangi internal
affairs.
Dalam
hal
pembuatan
eksekutif
memiliki
perjanjian
internasional,
internasional,
lain,
kewenangan
tanpa
eksekutif
perjanjian
eksklusif
termasuk
keterlibatan
dapat
membuat
internasional
untuk
meratifikasi
legislatif.
dan
membuat
perjanjian
Dengan
meratifikasi
kata
perjanjian
internasional dengan negara lain tetapi eksekutif tidak dapat
memastikan
kapan
diratifikasi
perjanjian
dapat
internasional
diberlakukan
di
tingkat
yang
telah
nasional
karena
memerlukan persetujuan dari legislatif. Praktik ini terjadi di
beberapa
negara
Belanda.
Tujuan
seperti
dari
Australia,
ratifikasi
Kanada,
yang
Perancis
dilakukan
di
dan
negara-
negara tersebut sama dengan yang diatur dalam Konvensi, yaitu
mengikat
negara
perjanjian
di
level
internasional
internasional
berlaku
dan
untuk
universal.
Di
membuat
Australia
perjanjian internasional yang telah diratifikasi tidak menjadi
bagian dari hukum nasional tetapi hanya sebagai sumber hukum
bagi hakim dalam menginterpretasikan hukum nasional sehingga
semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi belum
diakui di tingkat nasional sebelum mendapat persetujuan dari
Parlemen
Federal
internasional
peraturan
harus
Australia.
Selain
ditransformasikan
perundang-undangan
agar
itu,
ke
dapat
perjanjian
dalam
bentuk
diterapkan
di
pengadilan nasional. Demikian pula praktik di Kanada di mana
perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Kanada
belum
dapat
menjadi
bagian
hukum
nasional
Kanada
sebelum
mendapat persetujuan Parlemen Federal dan Parlemen Propinsi
yang terdampak langsung dari tindakan ratifikasi perjanjian
internasional.
internasional
Jika
tidak
Australia
dapat
dan
Kanada
diterapkan
perjanjian
secara
langsung
di
pengadilan tanpa adanya undang-undang, sebaliknya Perancis dan
Belanda
mengijinkan
perjanjian
internasional
yang
telah
diratifikasi untuk diterapkan secara langsung di pengadilan
jika
telah
mendapat
persetujuan
dari
Parlemen
dan
dipublikasikan dalam lembaran negara. Selanjutnya, kewenangan
pengadilan
untuk
menentukan
sifat
perjanjian
internasional
apakah self-executing atau non-self-executing.
Selanjutnya
dalam
sistem
checks
and
balances
hanya
terdapat dua negara yang mengadopsi sistem ini yaitu Amerika
Serikat dan Indonesia. Indonesia tampaknya mengadopsi sistem
ketatanegaraan
sistem
Amerika
Serikat
ketatanegaraannya.
Di
untuk
kedua
dipraktikkan
negara
ini
ke
dalam
kewenangan
eksekutif dibatasi oleh kewenangan legislatif di mana harus
ada
persetujuan
dari
legislatif
sebelum
eksekutif
dapat
meratifikasi perjanjian internasional. Dalam hal ratifikasi,
meskipun menggunakan sistem yang sama tetapi berbeda dalam
hasil
akhirnya.
Ratifikasi
yang
dilakukan
oleh
Presiden
Amerika Serikat memiliki akibat hukum di tingkat internasional
dan di tingkat nasional karena sebelum meratifikasi Presiden
telah mendapat persetujuan dari Senat. Persetujuan dari Senat
ini
merupakan
meratifikasi
perjanjian
digunakan
bentuk
persetujuan
perjanjian
internasional
internasional
di
pengadilan
kepada
yang
telah
nasional
Presiden
dan
untuk
mengijinkan
diratifikasi
Amerika
Serikat,
untuk
kecuali
ditentukan lain. Hal yang berbeda dengan praktik yang terjadi
di
Indonesia
persetujuan
perjanjian
di
dari
mana
DPR
meskipun
dalam
internasional
Presiden
bentuk
tetapi
telah
undang-undang
persetujuan
mendapat
pengesahan
tersebut
tidak
memiliki akibat hukum apapun di tingkat nasional, dengan kata
lain,
sebagai
perjanjian
negara,
internasional
sedangkan
untuk
hanya
mengikat
diterapkannya
Indonesia
perjanjian
internasional di pengadilan nasional memerlukan undang-undang
transformasi.
Sama
halnya
dengan
negara-negara
Australia,
Kanada, Perancis dan Belanda bahwa ratifikasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia hanyalah sebuah pengikatan diri di
tingkat internasional yang bertujuan untuk membuat perjanjian
internasional berlaku universal.
Penarikan
telah
diri
diratifikasi
terhadap
perjanjian
internasional
dan/atau
ditandatangani
dengan
yang
alasan
merugikan kepentingan nasional tidak seharusnya diatur dalam
UU Nomor 24 Tahun 2000 karena hal ini telah ada dalam Konvensi
Wina
1969.
Pemahaman
bahwa
perjanjian
internasional
hanya
mengikat bagi negara-negara dalam kaitannya dengan hubungan
luar negeri sebenarnya tidak terlalu mengganggu karena isu
yang
berkembang
hukum
tetapi
dalam
lebih
penarikan
banyak
isu
diri
bukan
politik.
sepenuhnya
Juga
isu
permasalahan
suksesi negara yang diatur dalam salah satu pasal dari UU ini
sebenarnya tidak perlu ada karena tidak relevan.
Kemudian, beberapa pasal, khususnya Pasal 9, 10, 11 dan
18 dari UU Nomor 24 Tahun 2000 seharusnya dicabut. Untuk Pasal
9 dikarenakan munculnya istilah undang-undang pengesahan dan
keputusan presiden. Jika kita konsekuen dengan sistem checks
and balances, maka keputusan presiden tidak dapat digunakan
sebagai
bentuk
‘checks
and
balances’
karena
kewenangan
tersebut seharusnya ada pada DPR. Jika tidak dicabut maka ini
akan berimbas pada Pasal 18 di mana DPR dapat semena-mena
meminta
kepada
internasional
dibuat
Presiden
karena
dan/atau
untuk
persetujuan
dianggap
mencabut
internasional
merugikan
kepentingan
perjanjian
yang
telah
nasional.
Sebagaimana yang diketahui bahwa Pasal 26 dan 27 Konvensi Wina
1969 melarang tindakan unilateral dengan menggunakan alasan
internal law.
Perlunya Kesepakatan dalam Pemyusunan UU yang Baru
UU Nomor 24 Tahun 2000 adalah produk gagal dalam filosofi
peraturan perundang-undangan karena UU ini gagal untuk menjadi
pedoman hidup dan gagal untuk menjelaskan secara terperinci
mengenai pemahaman Indonesia terhadap perjanjian internasional
yang telah diratifikasi, termasuk alur proses pengintegrasian
perjanjian
sehingga
internasional
substansi
UU
dan
ini
penerapannya
tampak
tidak
di
pengadilan,
fokus
dan
terlalu
prosedural.
Penulis
beranggapan
bahwa
kegagalan
ini
karena
para
penyusun peraturan hukum belum sepakat dalam menentukan apakah
penyusunan tersebut menggunakan pendekatan teori monisme atau
dualisme.
Ketidakpahaman
penyusun
undang-undang
tentang
bagaimana hukum internasional berevolusi dalam sistem hukum di
Indonesia terbukti ketika muncul sebuah produk hukum tentang
hak asasi manusia yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999 di mana Pasal 7
menyatakan
bahwa
menyangkut
nasional
hak
norma-norma
asasi
Indonesia.
manusia
hukum
internasional
merupakan
Pertanyaannya
bagian
kemudian
yang
dari
adalah
hukum
bagaimana
caranya menerapkan pasal-pasal dalam perjanjian internasional
jika secara filosofis perjanjian internasional tidak diakui
sebagai
salah
peraturan
diatur
satu
sumber
perundang-undangan
dalam
Pasal
7
UU
hukum
di
dalam
jenis
Indonesia
Nomor
12
dan
hirarki
sebagaimana
Tahun
2011
yang
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam
UU
Nomor
39
Tahun
1999
ada
sebuah
pemaksaan
kehendak bahwa Indonesia harus menjadi negara monisme sehingga
memunculkan
Pasal
7
yang
secara
substansi
dan
filosofis
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Sebenarnya
untuk
memahami
sebuah
negara
menganut
aliran
monisme atau dualisme adalah mudah, yaitu dengan mencermati
konstitusi
mengatur
negara
dengan
yang
jelas
bersangkutan.
dan
tegas
Jika
negara
hubungan
tersebut
antara
hukum
internasional dan hukum nasional maka dapat disimpulkan negara
tersebut
adalah
monisme,
seperti
Perancis,
Belanda,
Timor
Leste, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia. Jerman adalah negara
monisme untuk hukum kebiasaan internasional sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 25 Grungesetz tetapi menggunakan pendekatan
dualisme
untuk
perjanjian
internasional.
Bagi
negara
yang
tidak mengatur secara tegas dalam konstitusinya maka negara
tersebut adalah dualisme karena keutamaan diberikan pada hukum
nasional, seperti di Malaysia, Australia, Kanada dan Indonesia
sendiri.
Selama 20 tahun belajar hukum internasional di Indonesia,
pemahaman terhadap perjanjian internasional masih belum jelas
secara filosofi dan konsep karena ada banyak pemahaman yang
berbeda-beda
ketika
berbicara
negara
monisme
dan
dualisme.
Bagi teman-teman di Universitas Padjadjaran menganggap bahwa
Indonesia adalah negara monisme, namun di beberapa perguruan
tinggi lain menganggap bahwa Indonesia adalah negara dualisme
dengan
berbagai
macam
alasan
tetapi
sulit
untuk
ditarik
kesimpulan atau benang merahnya.
Lebih lanjut, penyusun undang-undang pada saat itu tidak
paham
secara
filosofi
dan
konsep
mengenai
makna
hukum
internasional bagi negara-negara dan apa makna undang-undang
bagi negara dan masyarakat dalam negara tersebut. Pemahaman
ini
menjadi
sangat
penting
dalam
menyusun
alur
sistem
ketatanegaraan kita ke dalam bahasa hukum. Hukum internasional
dibuat untuk menjembatani hubungan antar negara dengan tujuan
untuk
menghindari
rasa
primordialisme
kenasionalan
karena
adanya tradisi hukum yang berbeda antara satu negara dengan
yang
lain.
Sebaliknya,
undang-undang
dibuat
untuk
mengatur
hubungan negara dengan individu yang berlaku dalam wilayah
teritorial suatu negara. Undang-undang juga merupakan sebuah
penjabaran akan pemahaman suatu negara terhadap makna tertentu
yang diatur dalam sebuah hukum internasional agar negara lain
memahami maksud dan tujuan disusunnya suatu peraturan hukum.
UU
Nomor
24
Tahun
2000
tidak
lagi
mengatur
hal-hal
yang
bersifat
prosedural
belaka
tetapi
benar-benar
hal-hal
yang
lebih substantif, seperti hubungan antara lembaga eksekutif
dan
legislatif
proses
dalam
pembuatan
pengintegrasian
sistem
hukum
perjanjian
perjanjian
nasional,
internasional,
internasional
proses
penerapan
ke
dalam
perjanjian
internasional di pengadilan, makna ratifikasi bagi Indonesia,
arti
undang-undang
internasional.
pengesahan/persetujuan
Selain
itu,
UU
ini
seharusnya
perjanjian
menggunakan
bahasa yang baku, dengan kata lain, tidak perlu diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia karena mengakibatkan salah pengertian,
semisal ratifikasi, reservasi, deklarasi dan lainnya.
Jika para pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan
undang-undang perjanjian internasional yang baru sepakat bahwa
kita
adalah
penyusunan
negara
dualisme
rancangan
maka
undang-undang
ini
alur
berfikir
menjadi
dalam
lebih
mudah
bagi penyusun peraturan hukum di DPR karena konsepnya menjadi
lebih jelas. Dengan konsep dualisme dalam penyusunan setiap
rancangan
mudah
peraturan
menjawab
hukum,
tentang
Pemerintah
status
Indonesia
perjanjian
akan
lebih
internasional
di
Indonesia dan penerapan perjanjian internasional di pengadilan
nasional.
Berbicara status perjanjian internasional di Indonesia,
maka kita akan mulai dengan sebuah pertanyaan bagaimana sistem
hukum
kita
memandang
hukum
internasional,
apakah
sebagai
sumber hukum atau dasar hukum saja. Sebagai sumber hukum maka
hukum internasional bukan merupakan bagian dari hukum nasional
kita tetapi keberadaannya tetap kita akui. Hukum internasional
tidak secara langsung diterapkan oleh hakim tetapi melalui
proses legal interpretation. Namun demikian ada hal yang perlu
diingat adalah kita menggunakan pendekatan hard transformation
dalam
proses
internasional
transformasi
di
Indonesia
sehingga
hanya
berlakunya
dapat
perjanjian
dilakukan
melalui
tindakan legislatif sehingga secara asas hakim tidak boleh
melakukan
penafsiran
atas
perjanjian
internasional
secara
mandiri
dan
langsung
karena
kewenangan
tersebut
dimiliki
sepenuhnya oleh DPR ketika membuat undang-undang transformasi
atas
perjanjian
dengan
proses
internasional
transformasi
yang
di
bersangkutan.
Kanada,
di
Berbeda
mana
Kanada
menggunakan pendekatan soft transformation, artinya berlakunya
perjanjian
internasional
legislatif
dan
dapat
tindakan
dilakukan
yudikatif,
melalui
artinya
tindakan
perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Federal
Kanada tetapi belum disetujui oleh Parlemen Federal Kanada
tetap
dapat
digunakan
oleh
hakim
di
pengadilan
nasional
sebagai bahan hukum untuk menginterpretasikan hukum nasional
yang dianggap tidak sesuai dengan kewajiban internasional yang
harus diemban oleh Pemerintah Kanada, dengan catatan bahwa
jika
isu
hukum
yang
muncul
berkaitan
erat
dengan
hak
dan
kewajiban individu.
Dengan
memahami
status
perjanjian
internasional
yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan seksama
maka
kegalauan
masyarakat
tentang
mengapa
hakim-hakim
Indonesia tidak menerapkan norma-norma hukum internasional di
persidangan
perjanjian
dapat
terjawab
internasional
dengan
bukan
mudah,
bagian
antara
dari
lain:
hukum
(i)
nasional
kita, (ii) keutamaan hukum di Indonesia adalah hukum nasional,
(iii)
hukum
internasional
berada
di
piramida
yang
berbeda
dengan hukum nasional, di mana hukum internasional merupakan
hasil
kesepakatan
sedangkan
hukum
negara-negara
nasional
adalah
di
level
hasil
internasional,
kesepakatan
lembaga
legislatif dan lembaga eksekutif untuk mengatur masyarakat di
level
nasional,
perjanjian
Pemerintah
dan
hakim
internasional
Indonesia
hanya
terikat
yang
oleh
telah
berlaku
bagi
yang
kedua,
diratifikasi
Indonesi
(iv)
oleh
sebagai
negara yang merupakan subyek hukum internasional, dan belum
berlaku di Indonesia (baca: pengadilan) sebelum diterbitkan
undang-undang transformasi atas perjanjian internasional yang
bersangkutan.
KESIMPULAN
Dari analisis di atas maka ada beberapa hal yang dapat
menjadi kesimpulan, antara lain:
1.
UU Nomor 24 Tahun 2000 secara substansi tidak memenuhi
kriteria sebagai sebuah undang-undang karena tidak fokus
dan
terlalu
prosedural
sehingga
terkesan
bahwa
pasal-
pasal yang terdapat dalam UU ini tumpang tindih dengan
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969.
2.
UU
Nomor
24
ketidakjelasan
Tahun
konsep
2000
disusun
berfikir
dalam
berkaitan
kondisi
dengan
faham
yang dianut oleh Indonesia, apakah faham monisme atau
faham dualisme sehingga kerangka dan alur bahasa hukum
dalam UU ini menjadi membingungkan.
3.
UU Nomor 24 Tahun 2000 secara substansi tidak memberikan
pedoman
apapun
Indonesia
mengenai
terhadap
diratifikasi
bagaimana
perjanjian
karena
pemahaman
internasional
kurangnya
pemahaman
bangsa
yang
telah
filosofi
dan
konseptual.
4.
UU Nomor 24 Tahun 2000 harus dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku agar tidak menimbulkan salah pengertian terkait
dengan
istilah
dan
pemahaman
perjanjian
internasional
secara utuh di Indonesia.
5.
Rancangan
mengatur
undang-undang
hal-hal
yang
perjanjian
bersifat
yang
baru
substanstif
harus
tentang
pemahaman kita atas perjanjian internasional yang dimulai
dari hubugan antara eksekutif dengan legislatif, proses
pembuatan
perjanjian
pengesahan/persetujuan,
melakukan
reservasi
transformasi
dan
internasional,
makna
dan
penerapan
undang-undang
ratifikasi,
deklarasi,
perjanjian
kewenangan
undang-undang
internasional
di
pengadilan.
6.
Para
pemangku
undang-undang
bersepakat
kepentingan
perjanjian
terlebih
dalam
penyusunan
internasional
dahulu,
apakah
yang
kita
rancangan
baru
adalah
harus
negara
monisme
atau
dualisme,
dengan
tujuan
untuk
memudahkan
alur berfikir dan menuangkan proses berfikir tersebut ke
dalam bahasa hukum.
SARAN
Beberapa pasal dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tidak layak
untuk
diatur
dalam
rancangan
undang-undang
perjanjian
internasional yang baru sehingga ada baiknya dicabut dan tidak
digunakan lagi.