Tinggalan Budaya Proto Melayu dan Deuter

Makalah pada Seminar Antarabangsa Perantauan Sumatera-Semanjung Malaysia, Sabah dan Sarawak
di Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia, 6—8 Juni 2012.

Tinggalan Budaya Proto-Melayu dan Deutero-Melayu di Indonesia dan Malaysia
dan Dampaknya pada Penguatan Kebudayaan Melayu Kini
R. Cecep Eka Permana
(Universitas Indonesia)
Abstrak
Penghunian manusia di Tanah Melayu Indonesia dan Malaysia, khususnya di Sumatera dan
Semenanjung telah berlangsung sejak ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Panjangnya
penghunian tersebut terbukti dari banyaknya tinggalan budaya yang berasal dari masa ProtoMelayu dan Deutero-Melayu. Masa Proto-Melayu merupakan penghidupan manusia pada zaman
Batu Baru (Neolitik) sekitar 2500 SM, sedangkan masa Deutero-Melayu merupakan
penghidupan manusia pada zaman Logam sekitar 1500 SM. Kedua masa tersebut merupakan
landasan awal yang kuat bagi pertumbuhan dan pengembangan kebudayaan Melayu di kemudian
hari. Hal ini terbukti dari rumpun Melayu kini paling banyak mendiami Sumatera dan
Semenanjung. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kebudayaan Melayu kini terbentuk juga dari
pengaruh kebudayaan India (agama Hindu-Buddha) selama lebih-kurang 10 abad (V—XV M.)
dan Agama Islam pada sama setelah itu.
Tulisan ini akan fokus membicarakan tentang bentuk-bentuk dan sebaran budaya dari masa
Proto-Melayu dan Deutero-Melayu di Sumatera dan Semenanjung. Tulisan akan membahas
bentuk tinggalan budaya berupa alat-alat batu neolitik, dan alat-alat dari logam. Selain itu, juga

akan dibicarakan aktivitas kehidupan dari kedua zaman tersebut khususnya berkenaan dengan
perikehidupan berburu dan bercocok tanam.
Kajian terhadap bentuk-bentuk budaya dan aktivitas kehidupan manusia Malayu pada masa
Proto-Melayu dan Deutero-Melayu di Sumatera dan Semenanjung, akan menjadi bahan
renungan dan diskusi lebih lanjut untuk penguatan kebudayaan Melayu kini.

PEMBUKA: SEKILAS PRASEJARAH

Sebelum membahas tentang kebudayaan Proto-Melayu dan Deutero-Melayu, ijinkan saya dalam
pembentangan makalah ini memulainya dengan situasi masa prasejarah di kawasan Indonesia
dan Malaysia khususnya, dan Asia Tenggara umumnya. Makalah ini akan saya awali dengan
1

pengertian ‘prasejarah’ (‘pra’=sebelum, ‘sejarah’=tulisan, catatan, riwayat) yakni suatu masa
dimana manusia belum mengenal tulisan. Masa ini ada juga yang menyebutnya dengan istilah
‘nirleka’ (‘nir’=tidak ada, ‘leka’=tulisan, catatan). Masa ini secara teoretis berakhir ketika suatu
daerah atau wilayah sudah dikenal atau ditemukan bukti-bukti tulisan. Di Indonesia, misalnya,
bukti awal adanya bukti tulisan (prasasti) yang disebut yupa ditemukan di daerah Kutai
(Kalimantan Timur) dari sekitar abad ke-4 Masehi.


Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja

Mulawarman bertuliskan Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Sekitar satu abad kemudian, di
daerah Jawa Barat ditemukan prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Purnawarman. Prasasti ini
juga bertuliskan Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Dengan ditemukannya beberapa prasasti di
daerah Kalimantan Timur dan Jawa Barat, maka dinyatakan (secara teoretis) bahwa Indonesia
memasuki masa sejarah mulai abad ke-4.

Tapi apakah dengan demikian wilayah lain di

Indonesia juga memasuki masa sejarah? Makalah ini tidak mempermasalahkan pengertian dan
batasan dari masa prasejarah itu, namun akan secara ringkas memberikan gambaran
perikehidupan manusia pada masa prasejarah, terutama di kawasan Indonesia dan Malaysia,
sebelum kira-kira abad ke-4 Masehi.

Jika kita berbicara tentang perikehidupan masa prasejarah di kawasan Indonesia dan Malaysia,
maka tentu kita akan mengacu pada karya besar dari salah satu tokoh penting prasejarawan
kawasan ini, yakni Peter Bellwood.

Karya monumentalnya tentang kawasan ini adalah


Prehistory of the Indo-Malaysia Archipelago terbit pertama kali tahun 1985 oleh Academic Press

(Sydney), dan edisi kedua tahun 1997 oleh University of Hawaii Press. Dalam bahasa Indonesia,
karya Peter Bellwood ini terbit tahun 2000 oleh Gramedia Jakarta berjudul Prasejarah
Kepulauan Indo-Malaysia . Makalah ini banyak mengacu dari karya Peter Bellwood ini,

disamping sumber-sumber acuan lainnya.

Pengkajian masa prasejarah secara garis besar dimulai pada kala geologi yang disebut Plestosen
(sekitar 3.000.000 hingga 10.000 tahun yang lalu). Pada masa ini permukaan bumi berkali-kali
mengalami proses pengesan yang disebut glasiasi. Dalam sejarah bumi, kala Plestosen ini
merupakan bagian masa geologi yang paling muda dan paling singkat, tetapi bagi sejarah umat
manusia merupakan bagian yang paling tua (Soejono dan Leirissa, 2009:4).
2

Khusus untuk prasejarah kawasan Indonesia dan Malaysia, menurut Bellwood (2000) penting
untuk mengkajinya sejak sekitar 120.000 tahun lampau yang merupakan interglasial terakhir.
Pada saat itu keadaan geografi kawasan Indonesia dan Malaysia memperoleh bentuknya seperti
sekarang ini, sedangkan bukti-bukti arkeologis diperoleh dengan baik berasal dari sekitar 40.000

tahun lampau. Pada suatu masa itu kawasan Vietnam, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia
bagian barat (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) merupakan satu daratan yang disebut Daratan
Sunda . Pada masa yang bersamaan kawasan Papua dan Australia juga masih merupakan satu

daratan yang disebut Daratan Sahul. Di antara Daratan Sunda dan Daratan Sahul terdapat
kawasan kepulauan Filipina, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.

Berdasarkan berbagai temuan dan hasil kajian prasejarah, secara umum masa prasejarah tersebut
dibagi menjadi empat periode, yakni zaman paleolitik (batu tua), mesolitik (batu madya), neolitik
(batu muda), dan logam (perunggu/gangsa dan besi). Pembagian periode tersebut pada dasarnya
berdasarkan aspek teknologi peralatan hidup. Prasejarah di Malaysia pada mulanya mengikuti
pembagian periode ini, tetapi berdasarkan kajian oleh Pusat Penyelidikan Arkeologi Malaysia
Universitas Sains Malaysia telah membuktikan Malaysia tidak mengalami zaman Mesolitik.
Sebelumnya zaman Mesolitik Malaysia ditandai alat batu Hoabinh, tetapi ternyata alat batu
tersebut sudah ada di situs Bukit Jawa, Lenggong (Perak) berusia kira-kira 200.000 hingga
300.000 tahun (zaman Paleolitik).

Periode prasejarah di Indonesia oleh R.P. Soejono sejak 1979 dibagi menjadi empat berdasarkan
aspek sosial-ekonomi menjadi (1) masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana,
sejajar dengan zaman paleolitik, (2) masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut,

sejajar dengan zaman mesolitik, (3) bercocok tanam, sejajar dengan zaman neolitik, dan (4)
perundagian atau kepandaian pada teknologi logam, sejajar dengan zaman logam. Periode

terakhir ini oleh Truman Simanjuntak diperkenalkan dengan sebutan paleometalik (logam awal).

Di Indonesia, gambaran lengkap keempat periode tersebut ditemukan pada kawasan Gunung
Sewu (Jawa Timur) yang merupakan pegunungan kapur sepanjang lebih kurang 90 km. Di sini
3

terdapat 135 situs prasejarah yang umumnya berbentuk pemukiman gua. Menurut Simanjuntak
(2007), di Kawasan Gunung Sewu terdapat pertanggalan ( dating) mulai dari yang tertua
diperoleh di situs Baksoka berusia sekitar 180.000 tahun yang lalu, kemudian di situs Gua Terus
berusia antara 180.000 hingga 60.000 tahun, di situs Gua Tabuhan berusia 60.000 hingga 12.000
tahun, di situs Gua Keplek berusia 12.000 hingga 4.000 tahun, di situs Gua Gupuh berusia 4.000
hingga 2.000 tahun, dan yang termuda di situs Klepu berusia 600 tahun.

PENGHUNIAN AWAL MANUSIA

Dalam sejarah prasejarah Indonesia, seperti dilaporkan oleh Teuku Jacob dan G.H. Curtis (1971:
50) jenis-jenis manusia purba sudah muncul pada kala Plestosen Awal sekitar 1,9 juta tahun,

yakni Pithecanthropus modjokertensis dan Meganthropus paleojavanicus. Jenis manusia ini
diperkirakan hidup sejaman dengan Australopithecus (Homo) habilis yang ditemukan pada
lapisan Oldoway Afrika (1,85 juta tahun). Selanjutnya, pada kala Plestosen Tengah (sekitar 1
juta tahun) hidup jenis manusia purba yang lebih maju, yakni Pithecanthropus erectus dan
Pithecanthropus soloensis. Khusus untuk

Pithecanthropus soloensis

sebagian ahli

mengganggap berasal dari 900.000 hingga 300.000 tahun (sejaman dengan Pithecanthropus
lautianensis dan Pithecanthropus pekinensis di Cina), ada pula yang beranggapan termasuk
Homo neandertalensis (sekitar 40.000 tahun).

Sayangnya, bukti-bukti fosil manusia purba dari kala Plestosen Awal dan kala Plestosen Tengah
di Indonesia itu tidak disertai tinggalan budaya seperti halnya di Afrika yang ditemukan bersama
alat-alat batu berbentuk sederhana seperti kapak penetak (chopping-tool) dan alat-alat serpih
(scraper ) sekitar 1,5 juta tahun. Apakah di Tanah Jawa ketika manusia jenis Pithecanthropus itu
hidup memang belum mengenal teknologi membuat alat, atau hanya menggunakan “alat” apa
saja yang ditemukan di sekitarnya untuk keperluan hidupnya? belum diketahui secara pasti.

Ketiadaan atau “kehilangan

bukti” alat-alat batu itu mungkin juga disebabkan akibat dari

bencana gunung api. Hal ini dimungkinkan karena temuan fosil-fosil tersebut berada dalam
endapan-endapan gunung api.
4

Sebelumnya, satu bukti di Asia yang menyatakan bahwa manusia jenis Pithecanthropus sudah
membuat alat berupa kapak perimbas (chopper ) ditemukan di Chou-kou-tien (Cina) dalam
konteks temuan fosil Pithecanthropus pekinensis dari sekitar 900.000 tahun. Tetapi, berdasarkan
hasil penelitian Tim Arkeologi dari Universiti Sains Malaysia, sekarang telah ditemukan kapak
genggam tertua di Asia Tenggara bahkan di dunia di situs Bukit Bunuh di Lembah Lenggong
(Perak,

Malaysia)

yang

diperkirakan


berusia

lebih

dari

1,83

juta

tahun

(ttp://www.faktailmiah.com). Jika hal ini benar, dan apalagi nanti disertai dengan temuan
manusia fosil dari masa sezaman, maka kawasan Semenanjung akan menjadi tempat dan rujukan
penting bagi studi prasejarah dunia.
Jenis manusia purba “termuda” berasal dari kala Plestosen Akhir (sekitar 40.000 tahun) yakni
Homo sapiens dari Wajak atau terkenal dengan nama Homo wajakensis (Manusia Wajak). Fosil

Manusia Wajak termasuk ditemukan relatif lengkap seperti tulang tengkorak, rahang atas dan

bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Dari fosil tersebut disimpulkan bahwa tengkoraknya
besar dengan volume sekitar 1.630 cc, muka datar dan lebar, akar hidung lebar, bagian mulutnya
menonjol sedikit, dahi agak miring, tulang dahi menonjol, langit-langit besar dan dalam, rahang
bawah tergolong masif, dan gigi-gigi besar, serta dari tulang pahanya diperkirakan

tinggi

badannya sekitar 173 cm. Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa Manusia Wajak mempunyai
ciri-ciri Mongoloid dan Australomelanesid. Memang sulit memasukkan fosil manusia ini dalam
rasa manusia sekarang, tetapi bukan mustahil merupakan cikal bakal sub-ras Melayu Indonesia.
Tidak tertutup kemungkinan pula berkembang menjadi ras Australomelanesid (Soejono dan
Leirissa, 2009:90-92). Ciri-ciri umum seperti itu dijumpai pula pada manusia yang hidup antara
40.000 hingga 25.000 tahun lalu di Asia Tenggara lain, seperti Manusia Niah, Manusia Cha,
Manusia Perak (Malaysia), dan Manusia Tabon di Palawan (Filipina) (Bellwood, 2000:121).
Semasa kehidupan Manusia Wajak pada kala Plestosen Akhir ini, bukti-bukti tinggalan budaya
berupa alat-alat batu mulai banyak ditemukan. Karena bukti-bukti tinggalan budaya banyak
ditemukan pada masa ini, maka sejarah prasejarah umumnya dimulai dari kala Plestosen Akhir
atau awal kala Holosen.

5


Memasuki kala Holosen semenjak sekitar 10.000 tahun yang lalu, ras Australomelanesid dan
Mongoloid

mulai berkembang di kawasan Indonesia-Malaysia dan sekitarnya.

Ras

Australomelanesid antara lain memiliki ciri-ciri berbadan tinggi, tengkorak relatif kecil
berbentuk lonjong dengan dahi yang agak miring dan pelipis agak membulat, dan lebar mukanya
sedang. Sementara itu, ras Mongoloid antara lain memiliki ciri-ciri badannya lebih kecil,
tengkorak besar berbentuk bundar dengan dahi lebih membulat dan pelipis tinggi dan persegi,
dan mukanya lebih lebar.

Ras Australomelanesid dan Mongoloid di Indonesia teridentifikasi terutama dari zaman
Paleolitik dan zaman Neolitik (atau sesudahnya). Pada zaman Mesolitik, keberadaan ras tersebut
hanya diketahui dari temuan rangka di situs Cacang (Bali) berupa ras Mongoloid. Ras
Australomelanesid pada masa Paleolitik di Indonesia ditemukan di situs bukit-bukit kerang di
Langsa dan Tamiang (Aceh Timur) dan Sumatera Timur. Di seberangnya, Semenanjung
Malaysia, ras ini juga umumnya ditemukan di situs bukit-bukit kerang sejenis di Gua Kepah,

Paya Keladi, Lahar Tuan Said, Toksoh, Lahar Ikan Mati, dan Pematang Tiga Ringgit. Penduduk
di sisi barat dan timur Selatan Malaka tersebut terutama hidup dari hasil laut (kerang). Hal ini
terbukti di situs temuan rangka ras manusia ini banyak terdapat lapisan kulit kerang, selain sisa
hewan lain seperti ikan dan babi.

Ras Australomelanesid masa paleolitik di Indonesia juga ditemukan di situs pegunungan yang
hidup di gua-gua seperti di Gua Lawa, Gua Prajekan, Gua Tuban, Gua Petpuruh (Jawa Timur),
Lenag (Gua) Cakondo, Leang Uleleba, Leang Balisao (Lamoncong, Sulawesi Selatan), Liang
(Gua) Toge, Liang Momer, Liang Panas (Flores). Di Malaysia, bukti manusia paleolitik
ditemukan di situs Gua Gunung Runtuh, Lembah Lenggong (Perak) terkenal dengan mana
Manusia Perak berusia sekitar 10.000 tahun, serta temuan rangka manusia di situs Gua Teluk
Kelawar, Lembah Lenggong berusia 8.300 tahun. Kehidupan manusia di daerah ini terutama
hidup dari berburu dan meramu. Hal ini diketahui dari banyaknya temuan tulang-tulang hewan
yang diduga sebagai hasil buruan, dan alat-alat batu berupa mata panah dan serpih. Sementara
itu, ras Mongoloid di Indonesia ditemukan di Leang Codong (Soppeng, Sulawesi Selatan),
Gilimanuk (Bali) dan Leang Buidane (Talaud, Sulawesi Utara).
6

Pada zaman Neolitik ras Australomelanesid lebih dominan di Indonesia bagian Barat seperti di
situs Anyer Lor (Banten), Buni (Jawa Barat), Sangiran, Plawangan, Gunung Wingko (Jawa
Tengah), serta Muncar, Pacitan, Jember, Puger (Jawa Timur). Sementara itu, di Indonesia bagian
Tengah dan Timur, seperti temuan rangka manusia di Melolo (Nusa Tenggaran Barat), Ulu
Leang, Bada, Napu, Besoa, Paso, Sangihe (Sulawesi), serta Gua Alo, Liang Bua (Nusa Tenggara
Timur) memperlihatkan percampuran antara ras Mongoloid dan ras Australomelanesid (Soejono
dan Leirissa, 2009:204-205). Percampuran ras Mongoloid dan ras Australomelanesid juga terjadi
di Malaysia seperti yang ditemukan di gua Kepah (Bellwood, 2000: 128).
Keadaan sebaran ras Australomelanesid dan ras Mongoloid kemudian ‘berbalik’ pada zaman
Logam.

Pada zaman ini justru ras Mongolid lebih dominan di Indonesia bagian Barat,

sedangkan di Indonesia bagian Timur lebih dominan ras Australomelanesid (Soejono dan
Leirissa, 2009:290-291). Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, dimana populasi Mongoloid
lebih dominan, meskipun mempunyai banyak warisan genetik Australomelanesid (Bellwood,
2000: 135).

BUDAYA PROTO-MELAYU

Dalam konteks sejarah Melayu, zaman neolitik merupakan masa yang penting bagi pertumbuhan
penduduk di Asia Tenggara umumnya, serta Indonesia dan Malaysia khususnya. Masa ini
dianggap sebagai awal kemunculan penduduk di kawasan Indonesia dan Malaysia yang nantinya
disebut Melayu, sehingga masa ini disebut pula dengan masa Proto-Melayu (masa Melayu awal)
yang diperkirakan pada masa sekitar 2.500 Sebelum Masehi (4.500 tahun yang lalu). Pada masa
ini diperkirakan situasi di sekitar Semenanjung dari di sisi timur (Malaysia) maupun barat
(Sumatera) sudah ramai dengan aktivitas manusia.
Zaman Neolitik ini sering juga dianggap sebagai ‘revolusi zaman prasejarah’, karena pada zaman
ini terjadi perubahan besar dalam perikehidupan manusia dan kebudayaan. Revolusi ini terjadi
7

tidak saja di Indonesia tetapi juga di Malaysia serta berbagai wilayah yang lebih luas lagi. Dari
segi teknologi peralatan hidup, pada masa ini telah menghasilkan alat-alat batu yang sudah
dibentuk rapih dan dihaluskan (upam) seperti beliung persegi dan kapak lonjong. Revolusi alat
lainnya adalah dengan dimulainya pembuatan dan penggunaan alat sehari-hari terbuat dari tanah
liat (gerabah/tembikar ), yang terutama berfungsi untuk menyimpan dan memasak makanan.
Sementara itu, dari segi sosial dan ekonomi, pada masa ini manusia tidak lagi hidup mengembara
di alam lepas atau di gua-gua, tetapi telah mulai hidup menetap di rumah-rumah sederhana
secara berkelompok di ‘perkampungan’. Sebagai konsekuensi dari hidup menatap, maka mata
pencaharian hidup tidak lagi mengandalkan berburu dan meramu, tetapi juga telah melakukan
cocok tanam atau pertanian sederhana. Selain itu, pada masa itu pula mulai berkembang
kepercayaan berupa pemujaan kepada batu besar (megalitik).

Peralatan hidup utama pada masa neolitik atau bercocok tanam ini adalah beliung persegi. Pada
umumnya alat ini berbentuk segi empat dengan penampang lintang berbentuk persegi. Seluruh
bagian permukaannya digosok halus, kecuali bagian pangkalnya sebagai tempat mengikat
tangkai.

Tajamannya dibuat dengan mengasah bagian ujung sehingga membentuk tajaman

(seperti pahat masa kini). Alat ini ditemukan hampir di seluruh kepulauan Indonesia bagian
Barat. Di luar Indonesia alat sejenis ini ditemukan di Malaysia, Thailand, Vietnam, Khmer,
Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Polinesia (Soejono dan Leirissa, 2009:207). Di Malaysia
beliung persegi ini antara lain ditemukan di Jenderam Hilir, gua Cha, dan gua Kechil (Bellwood,
2000: 383-384).

Ada satu variasi beliung persegi yang juga sering dijumpai, yakni disebut belincung (di Malaysia
disebut beliung paruh). Alat ini seperti beliung pada umumnya, tetapi memiliki punggung tinggi
sehingga penampang lintangnya berbentuk segi tiga atau segi lima atau setengah lingkaran. Alat
semacam ini di Indonesia ditemukan luas juga di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali. Di
Malaysia beliung paruh atau belincung ini ditemukan antara lain di Lembah Lenggong (Perak).

Adapun kapak lonjong secara tekno-morfologis diduga lebih tua dibandingkan dengan beliung
persegi. Hasil penelitian T. Harrison di Gua Niah (Serawak) tahun 1957 menunjukkan bahwa
8

kapak lonjong di sini berumur lebih kurang 3.000 tahun. Kapak ini umumnya berbentuk lonjong
dengan pangkal agak runcing (tempat mengikat tangkai) dan melebar pada bagian tajaman yang
diasah pada dua sisinya. Bahan yang umum digunakan adalah batu kali berwarna hitam. Jenis
kapak lonjong ini terbatas hanya ditemukan di Indonesia bagian Timur, seperti Sulawesi,
Sangihe talaud, Flores, Maluku, Leti, Tanimbar, dan Irian/Papua. Kapak sejenis ini masih dapat
dijumpai di Irian/Papua sampai sekarang.

Sementara itu, di luar Indonesia ditemukan di

Myanmar, Cina, Manchuria, Taiwan, Jepang, Filipina, dan India. Di Indonesia bagian Barat
seperti Sumatera dan juga Semenanjung Malaysia, kapak lonjong ini tidak ditemukan. Mungkin
hal ini menunjukkan bahwa sebaran dan migrasi pendukung kebudayaan ini tidak melalui
Semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa dan seterusnya.
Benda-benda dari tanah liat merupakan ‘temuan baru’ sebagai akibat tuntutan perubahan
kehidupan dari berpindah-pindah ke hidup menetap. Benda-benda tersebut diperlukan sebagai
alat untuk menyimpan dan memasak makanan. Benda-benda yang terbuat dari tanah liat
(gerabah/tembikar) dari masa neolitik di Indonesia ditemukan di Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Teknik pembuatan gerabah dari masa ini masih sangat sederhana dengan menggunakan tangan
dan tatap.

Teknologi ini tergolong lebih rendah dibandingkan dengan yang ditemukan di

Daratan Asia Tenggara misalnya Malaysia, Muang Thai, Cina, Taiwan, dan Jepang, yang telah
menggunakan teknik roda pemutar dan tatap yang dibalut tali. Penggunaan roda putar dan tatap
di Indonesia umumnya baru dikenal pada masa logam/perundagian dan terus berlanjut hingga
sekarang. Temuan penting gerabah di Malaysia antara lain berasal dari Bukit Tengkorak.

Peralatan berupa beliung persegi atau kapak lonjong di atas erat kaitannya dengan fungsi
aktivitas cocok tanam. Alat-alat tersebut dipergunakan untuk memotong kayu dan membuat
lubang di tanah. Namun, mengingat bahan dan ukuran alat yang tidak terlalu kuat dan besar,
diperkirakan alat tersebut dapat memotong kayu atau membuat lubang pada permukaan tanah
secara terbatas. Tidak mungkin alat tersebut dipergunakan untuk memotong pohon yang besar
atau membuat lubang atau parit yang lebar. Oleh karena itu, aktivitas bercocok tanam yang
dilakukan pun pasti masih dalam taraf sangat sederhana, seperti domestikasi umbi-umbian,
kacang-kacangan, pisang-pisangan, buah-buahan, dan lain-lain. Aktivitas bercocok tanam juga
9

dikombinasikan dengan aktivitas berburu untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani. Hal ini
terbukti dengan banyaknya temuan berupa alat batu berupa mata panah, serta temuan sisa-sisa
tulang hewan.

Tradisi bercocok tanam sederhana yang dimulai pada zaman Neolitik ini, pada beberapa tempat
di Indonesia dan Malaysia masih dapat dijumpai hingga saat ini. Masyarakat tradisional di
Indonesia yang hingga saat ini menjalankan tradisi bercocok tanam sederhana antara lain suku
Mentawai dan suku Anak Dalam/Kubu (di Sumatera), suku Baduy (di Jawa Barat), suku Dayak
(di Kalimantan), suku Kajang (di Sulawesi), dan berbagai suku di Irian/Papua. Sementara itu,
masyarakat tradisional di Malaysia yang juga masih menjalankan tradisi bercocok tanam
sederhana antara lain suku Semai, suku Semaq Beri, suku Batek, dan suku Temuan.
Tradisi lain yang juga menonjol pada masa ini adalah megalitik (‘ mega ’= besar, ‘lithos ’=batu),
yakni pendirian batu-batu besar berdasarkan kepercayaan adanya hubungan antara yang hidup
dan yang mati. Jasa kerabat yang wafat diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar.
Bangunan itu kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah arwah, dan sekaligus
menjadi lambang dari si mati. Bangunan megalitik itu antara lain berupa menhir (batu tegak),
dolmen (meja batu), punden berundak (bangunan bertingkat-tingkat mirip piramid terpenggal),

dan sarkofagus (peti kubur). Bangunan-bangunan megalitik tersebut tersebar luas di daerah Asia
Tenggara. Di Indonesia hampir semua wilayah terdapat peninggalan megalitik. Peninggalan
megalitik terbesar di Sumatera ditemukan di Dataran Tinggi Pasemah. Bahkan bentuk-bentuk
peninggalan megalitik di sini dikaitkan dengan cerita rakyat setempat tentang Si Pahit Lidah.
Tokoh ini disebut Pahit Lidah karena memiliki kekuatan pada lidahnya yang dapat mengubah
manusia atau hewan menjadi batu karena kutukannya.

.
BUDAYA DEUTERO-MELAYU

Dalam konteks sejarah Melayu, masa Deutero-Melayu merupakan penghidupan manusia pada
zaman Logam sekitar 1500 SM atau 3.500 tahun yang lalu. H.R. van Heekeren (1958) menyebut
10

zaman ini dengan “the Bronze-iron Age”, karena sering ditemukan budaya perunggu dan besi
dalam satu konteks. Zaman logam ini di Malaysia disebut juga zaman gangsa dan besi. Ahli
prasejarah Indonesia, R.P Soejono (dalam Soejono dan Leirissa, 2009:289) menyebut zaman ini
dengan perundagian (‘undagi’ dari bahasa Bali berarti sekelompok atau golongan masyarakat
yang mempunyai kepandaian atau keterampilan jenis usaha seperti pembuatan gerabah,
perhiasan, atau peralatan batu atau besi).

Sesuai dengan namanya, maka penanda zaman ini adalah tinggalan budaya yang terbuat dari
gangsa/perunggu dan besi. Selain itu, tinggalan budaya lain dari zaman ini tetap melanjutkan
tradisi pada zaman neolitik tetapi dengan bentuk dan teknik yang lebih baik. Benda gerabah
pada zaman ini umumnya sudah menggunakan teknik roda putar dan memiliki bentuk dan hiasan
atau ukiran yang beraneka ragam. Demikian pula dengan benda atau bangunan megalitik pada
zaman ini telah berkembang dengan bentuk dan ukiran yang bervariasi.

Khusus budaya logam di Asia Tenggara diduga mulai dikenal kira-kira 3.000--2.000 sebelum
Masehi atau sekitar 5.000—4.000 tahun yang lalu berdasarkan temuan di Dong Son (Vietnam),
berupa nekara (kettle drum), bejana (metal drum), ujung tombak, kapak, dan perhiasan gelang.
Selain itu, alat-alat logam tersebut juga ditemukan di Non Nok Tha (Thailand) berumur 5.000
tahun, di Malaysia berumur sekitar 4.000 tahun, di Filipina berumur 2.400 tahun, dan di
Indonesia berumur sekitar 2.000 tahun.

Nekara merupakan benda budaya logam yang sangat khas dari zaman ini. Nekara yang terkenal
dari Indonesia ditemukan di Selayar, Sangeang, dan Pejeng.

Nekara di Sangeang disebut

makalamau, di Pejeng disebut Bulan (Sasih), di Maluku disebut tifa guntur , sedangkan di

Malaysia disebut gendang Dong Son,di Vietnam disebut dong-co atau trong, di Laos disebut
kammu, dan di Thailand disebut mahoratuk. Bentuk yang kecil dari nekara terdapat di Maluku

disebut moko, sedang di Flores disebut wulu. Secara umum nekara tersebut penting terutama
dalam kehidupan masyarakat bercocok tanam yang berfungsi sebagai genderang atau tetabuhan
untuk memanggil hujan. Hal ini juga dibuktikan dengan umumnya nekara terdapat hiasan katak
atau kodok yang dikaitkan dengan mitos hewan pemanggil hujan.
11

Budaya yang juga berkembang pesat pada zaman ini adalah tradisi penguburan. Penguburan
yang dilakukan ada yang bersifat primer (langsung dikubur setelah meninggal) dan ada juga
yang sekunder (tidak langsung dikubur tetapi dibiarkan terlebih dahulu hingga tersisa tulangbelulang kemudian baru dikuburkan). Baik penguburan primer maupun sekunder dilakukan
menggunakan wadah/tempat kubur dari batu atau tanah liat, atau tanpa menggunakan wadah
(langsung dikubur dalam tanah). Pada zaman ini kuburan seseorang banyakpula terdapat bekal
kubur (funeral gift) berupa benda logam, gerabah, perhiasan, dan lain-lain. Tradisi seperti ini
banyak ditemukan dan tersebar luas di Asia Tenggara, terutama di Vietnam, Filipina, Malaysia,
dan Indonesia.

Dengan ditemukannya peralatan dari bahan logam, maka aktivitas cocok tanam dan berburu
semakin baik. Alat-alat dari logam dapat membuka lahan bercocok tanam dengan lebih cepat
dan luas, bahkan dapat membuat pertanian sederhana berbasis pengairan seperti sawah. Dengan
menggunakan alat-alat terbuat dari logam, aktivitas perburuan dapat dilakukan dengan lebih
efisien, sehingga dapat memperoleh hewan yang lebih besar dan kuat. Selain itu, alat-alat dari
logam tersebut juga dapat membantu aktivitas kehidupan manusia lain dengan lebih mudah dan
cepat baik untuk membuat rumah, alat keperluan sehari-hari, alat transportasi, maupun peralatan
dan bangunan pemujaan.

PENUTUP: SIKAP KEBUDAYAAN MELAYU KINI

Sebelum bagian penutup kini, telah diberikan gambaran mengenai situasi zaman prasejarah di
kawasan Indonesia dan Malaysia khususnya, dan Asia Tenggara umumnya. Gambaran situasi
prasejarah itu lebih khusus lagi dari zaman Neolitik dan zaman Logam.

Zaman Neolitik

ditengarai sebagai kemunculan budaya Proto-Melayu, sedangkan zaman Logam sebagai masa
kehidupan Deutero-Melayu. Gambaran prasejarah pada umumnya, serta zaman Neolitik dan
Logam khususnya tersebut bukan dimaksudkan untuk kajian ilmiah dan akademis prasejarah,
tetapi sebagai dasar kajian untuk menunjukkan keberadaan suku dan kebudayaan Melayu yang
12

sudah lama sekali. Gambaran dasar kehidupan suku dan kebudayaan Melayu prasejarah itu juga
diharapkan dapat menjadi bahan renungan dan diskusi.

Jika laporan Teuku Jacob dan G.H. Curtis (1971) dapat diterima bahwa jenis manusia purba
Pithecanthropus modjokertensis dan Meganthropus paleojavanicus sudah muncul pada kala

Plestosen Awal sekitar 1,9 juta tahun yang lalu, maka penghunian manusia di Nusantara sudah
sangat lama. Apalagi jika ditemukan bukti Manusia Perak dari situs Bukit Bunuh di Lembah
Lenggong sebagai pembuat dan pengguna kapak genggam juga berasal dari sekitar 1,83 juta
tahun, serta juga dapat diterima pendapat bahwa jenis manusia purba Pithecanthropus erectus
dan Pithecanthropus soloensis berasal dari

900.000 hingga 300.000 tahun, maka dapat

dibayangkan bahwa dalam periode selama sekitar 2 juta tahun lalu itu sudah tiada putus
penghunian manusia di kawasan Melayu Jadul (Jaman Dulu). Hal ini berarti bahwa penghunian
manusia di kawasan kita itu tidak kalah dengan kawasan Afrika dengan jenis manusia
Australopithecus-nya. Pada masa setelah itu pun, kawasan kita tidak kalah pula dengan kawasan

Cina dengan Pithecanthropus lautianensis dan Pithecanthropus pekinensis-nya.

Bahkan

kawasan Melayu Jadul kita tetap ramai dengan ditemukannya bukti manusia purba “termuda”
dari jenis Homo sapiens. Di wilayah Indonesia ada Manusia Wajak, di wilayah Malaysia ada
Manusia Perak dan Manusia Niah, dan di wilayah Filipina ada Manusia Tabon.
Para “nenek moyang” tersebut baik langsung maupun tidak langsung merupakan cikal bakal
manusia di kawasan Melayu Jadul kita. Mereka yang kemungkinan ‘melahirkan’ induk-induk ras
awal Melayu seperti Australomelanesid dan Mongoloid. Mereka kemudian saling melakukan
“silaturrahmi” dari barat ke timur dan dari timur ke barat, serta dari utara ke selatan dan dari
selatan ke utara. Hal ini terbukti dari keberadaan dan ciri-ciri fisik mereka yang hampir
ditemukan di berbagai tempat di kawasan Melayu Jadul kita. Kehadiran mereka yang tersebar
di berbagai tempat itu juga menghasilkan karya budaya yang relatif sama di berbagai tempat.
Berbagai kesamaan dan keragaman itu terjadi karena tidak dapat disangkal lagi bahwa mereka
adalah “bersaudara”. Karya budaya yang mereka hasilkan mungkin tidak perlu kita menganggap
berasal dari “wisatawan” atau “imigran” dari daerah atau kawasan lain di luar kawasan Melayu
Jadul kita. Pernyataan ini juga sesuai dengan pendapat Bulbeck (1982) bahwa tidak ada bukti13

bukti evolusi dalam populasi Asia Tenggara masa kini yang menunjukkan dahulu pernah terjadi
migrasi Mongoloid dari utara. Para “nenek moyang” Melayu Jadul kita itu memiliki kemampuan
dan kepandaian lokal (local genius) untuk dapat menghasilkan dan mengembangkan sendiri
karya budaya mereka sesuai dengan keadaan dan karakter masing-masing tempat.

Munculnya istilah Proto-Melayu dan Deutero-Melayu sejatinya memperkuat bahwa jauh dan
sangat jauh sebelum Orang Melayu mendefinisikan dirinya pada abad ke-20 lalu, sesungguhnya
sudah ada Orang Melayu di kawasan kita ini. Mereka telah memiliki kehidupan dengan tingkat
peradaban yang tinggi sehingga dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai
peradaban lain. Hanya, mereka semua hidup pada zaman prasejarah, ketika belum dikenalnya
tulisan, sehingga tidak ada catatan atau kisah tentang diri mereka. Kita kini hanya mengetahui
keberadaan dan peradaban mereka berdasarkan tinggalan budayanya.

Menurut saya, alangkah ruginya jika kita hanya mendefinisikan kebudayaan Melayu hanya
menariknya dari pengaruh Islam.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa

sesungguhnya perabadan Melayu itu sudah berurat-berakar kuat sejak jauh sebelum Islam atau
sebelum pengaruh Hindu-Buddha (India). Memang tidak dipungkiri bahwa selama masa HinduBuddha dan Islam sangat banyak pengaruhnya dalam hampir semua sendi kehidupan. Namun
demikian, jika kita menariknya jauh ke belakang sejarah itu, maka akan terbayang dan
terbentang betapa besar dan luasnya kebudayaan Melayu itu, dan sejatinya dapat merajut dan
memperkuat ketahanan budaya Melayu kini yang cenderung terkotak-kotak atau tercabik-cabik
dan tidak bersatu. Seandainya kita dapat melepaskan batas-batas religiositas (agama Hindu,
Budda, Islam, Kristen, dan juga kepercayaan tradisional), serta melepaskan pula batas-batas
administratif seperti desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, negara bagian, dan bahkan negara
sekalipun, maka kita akan mendapatkan Melayu yang besar, kuat, dan jaya!

14

Daftar Acuan

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: Gramedia.
Bulbeck, D. 1982. “A re-evaluation of possible evolutionary processes in Southeast Asia since
the late Pleistocene”. BIPPA 3: hlm 1-21.
Heekeren, H.R. van. (1958). “The Bronze-Iron Age of Indonesia”. Verhandelingen KITLV, XXI.
‘s-Gravenhage.
Hoop, A.N.J. Th. A Th. Van der. 1932. Megalithic Remains in South Sumatra . Zutphen.
Jacob, T. And Curtis, G.H. (1971). “preliminary Potassium-Argon dating of early man in Java”,
Contribution of the University of California Archaeological Research Facilities, 12, hlm.
50.
Soejono, R.P. dan Leirissa, R.Z.sebagai editor umum (2009). Sejarah Nasional Indonesia Jilid I
(Zaman Prasejarah di Indonesia) . Editor Umum: Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto. Edisi Pemutakhiran cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Simanjuntak, Harry Truman. (2007). Prasejarah Kawasan Gunung Sewu. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
http://www.faktailmiah.com/2011/04/13/bukit-bunuh-dan-lembah-bujang-asal-usul-malayu.html
(diakses tanggal 28 April 2012).

15