BAB I kritik sastra jurnal.doc

1

TELAAH ARTIKEL KRITIK SASTRA di JURNAL
“AKTUALISASI DIRI PEREMPUAN-PEREMPUAN ODHA
PADA CERPEN AKU KARTINI BERNYAWA SEMBILAN”

DISUSUN OLEH:
NUR HASANAH BR SINULINGGA

143306010059

FITRI ANDAYANI PURBA

143306010074

HELVISA ROHANA TONDANG

1433060100

ELI ROSA BR TARIGAN


1433060100

DOSEN PENGAMPU:
ANISA,S.Pd.,M.Pd.

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
MEDAN
2017

2

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami serahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan banyak nikhmat kepada kami sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat waktu. Terima kasih kepada ibu dosen yang telah memberikan
tugas ini kepada kami untuk menambah wawasan kami di bidang kritik sastra.
Judul makalah ini adalah Telaah Artikel Kritik Sastra pada Jurnal Aktualisasi
Diri Perempuan-Perempuan Odha pada Cerpen Aku Kartini Bernyawa

Sembilan.
Apabila terdapat kesalahan ejaan maupun pembahasan pada makalah ini
kami mohon maaf. Kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk memperbaiki
makalah kami kedepannya.
Medan, 16 Januari 2017
Hormat kami,

Kelompok Tiga

3

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hasil Kritik Sastra pada Jurnal................................................................... 4

1. Pendahuluan .......................................................................................... 4
2. Latar Belakang Penulisan Cerita .......................................................... 6
3. Penerbitan ............................................................................................. 7
4. Makna dan Pengaruh Cerita ................................................................. 8
4.1 Makna Cerita .................................................................................. 8
4.2 Pengaruh Cerita .............................................................................. 16
5. Simpulan ............................................................................................... 18
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan .................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA

4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti
”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang
berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan” (Baribin,
1993).


Pradotokusumo (2005) menguraikan bahwa kritik sastra dapat

diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang
melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai
karya seni. Sementara

Abrams dalam Pengkajian sastra (2005)

mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan
dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
Perkataan kritik dalam artinya yang tajam adalah penghakiman, dan dalam
pengertian ini biasanya memberi corak pemakaian kita akan istilah itu,
meskipun bila kata itu dipergunakan dalam pengertian yang paling luas.
Karena itu kritikus sastra pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang
memiliki suatu kepandaian khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu
karya seni sastra. Pekerjaan penulis tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan
dan cacat-cacatnya dan menyatakan pendapatnya tentang hal itu (Pradopo,
1997).
Pengertian kritik sastra sebagaimana di atas tidaklah mutlak

ketetapannya, karena sampai saat ini, belum ada kesepakatan secara universal
tentang pengertian sastra. Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan
kegiatan atau perbuatan mencari serta menentukan nilai hakiki karya sastra
lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan kritikus dalam
bentuk tertulis. Atau kritik sastra adalah ilmu sastra untuk menghakimi karya
sastra dengan memberi penilaian, dan memutuskan apakah karya tersebut
bermutu atau tidak bermutu yang sedang dikritik.

Kritik

sastra yang

sesungguhnya bukan hanya menilai saja, melainkan masih ada aktivitas
kritikus yakni menganalisis karya tersebut. Sebagaimana yang diungkapkann
oleh Abrams (1981) bahwa kritik sastra adalah studi yang berhubungan
dengan pendefinisian, penggolongan/pengkelasan, penguraian atau analisis,

5

dan penilaian atau evaluasi. Analisis merupakan hal yang sangat penting

dalam kritik sastra. Sebagaimana Jassin dalam

Pengkajian Sastra

menjelaskan bahwa kritik sastra ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan
dengan memberi alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.
Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang
ditunjukkan pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa
setiap karya sastra adalah hasil karya yang diciptakan pengarang, maka kritik
sastra mencakup masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Namun,
sasaran utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna
bagi kritikus tersebut, bukan pada pengarangnya. Seorang kritikus sastra
mengungkapkan pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang
lain, mencoba menemukan pengalaman estetis persepsi tentang realitas yang
hendak disampaikan oleh pengarang. Pengamatannya terhadap cara
penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.
Jurnal merupakan suatu kutipan dari laporan di dalam jurnal terdapat
point-point penting dari laporan tersebut. Terdapat berbagai jurnal ilmiah
yang mencakup semua bidang ilmu, juga ilmu sosial dan humaniora.
Penerbitan dalam bentuk artikel ilmiah biasanya lebih penting untuk bidang

ilmu pengetahuan alam maupun kedokteran dibandingkan dengan bidang
akademik lain.
Artikel kritik sastra di jurnal ilmiah sudah banyak sekali di Indonesia.
Semakin berkembangnya zamna dan teknologi, semakin memudahkan untuk
mendapatkan dan menyebarluaskan informasi salah satunya adalah karya
sastra. Tetapi teknologi tidak selamnaya berdampak positive, karena
informasi yang diberikan terkadang belum tentu adalah informasi yang benar.
Maka dari itu adanya kritik sastra di jurnal ilmiah untuk menguji dan
mengetahui kebenaran dari jurnal ilmiah tersebut pada satranya. Selain itu
adanya krtitik sastra di jurnal ilmiah juga penting untuk mengetahui seberapa
baiknya hasil tulisan yang sudah dibuat.

6

1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana kritik sastra pada jurnal Aktualisasi Diri PerempuanPerempuan Odha pada Cerpen Aku Kartini Bernyawa Sembilan?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui kritik sastra pada jurnal Aktualisasi Diri PerempuanPerempuan Odha pada Cerpen Aku Kartini Bernyawa Sembilan

7


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hasil Kritik Satra Pada Jurnal Aktualisasi Diri Perempuan- Perempuan
Odha pada Cerpen Aku Kartini Bernyawa Sembilan
1. Pendahuluan
Karya sastra merupakan hasil dari proses kreatif sang pengarang.
Pengarang dengan sadar mencipta suatu kegiatan yang menjadi bagian hidupnya
meskipun masyarakat tidak merasa memilikinya. Pengarang tidak memedulikan
apakah nantinya masyarakat merasa memiliki hasil karyanya atau tidak. Sastra
sebagai buku, tidak sekadar sebagai gagasan atau pandangan kita mengenai
bagaimana dan seperti apa sastra itu seharusnya. Escarpit (2005) berkata, “…
memandang pengarang semata-mata sebagai pembuat kata-kata, tidak memiliki
makna sastra. Ia hanya memiliki makna itu, yakni didefinisikan sebagai pengarang
setelah seorang pengamat yang ada di pihak publik mampu melihatnya seperti itu.
Seseorang menjadi pengarang hanya dalam hubungan dengan seseorang atau
menurut pandangan seseorang lain…”. Pandangan Escarpit tersebut menyiratkan
adanya sederet kegiatan dan lembaga yang berada antara benak orang yang
menulis dan pikiran orang yang membaca tulisannya. Demikian pula dengan
terciptanya buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan yang tidak terbit secara tiba-tiba

begitu saja, tanpa perjuangan dan tanpa tujuan. Perwakilan UNAIDS (Badan PBB
untuk Program Penanggulangan AIDS) di Indonesia, Krittayawan Tina Boonto,
mengatakan bahwa buku tersebut merupakan bagian dari kampanye untuk
perempuan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Acquired

Immuno

Deficiency

Syndrome

(AIDS)

adalah

sindrom

menurunnya kekebalan tubuh akibat terinfeksi virus Human Immuno Deficiency
Virus (HIV). Di Indonesia ratusan ribu orang kini hidup dengan HIV dan lebih

dari setengahnya ialah perempuan. Perempuan penderita HIV/AIDS umumnya
mengalami tekanan yang jauh lebih berat jika dibandingkan dengan penderita

8

laki-laki. Mereka sering dianggap sebagai “perempuan nakal” yang menjadi
“penyebar virus”. Padahal, data statistik menunjukkan bahwa sebagian besar
perempuan tertular HIV/AIDS akibat hubungan intim dengan suaminya yang
sudah lebih dulu mengidap HIV. Meskipun demikian, sebagian besar dari mereka
tidak meninggalkan

suaminya. Mereka menganggap kenyataan

tersebut

merupakan takdir dari Tuhan yang harus mereka terima. Namun, tidak sedikit dari
mereka yang tidak dapat bertahan hidup lebih lama karena selain tidak adanya
biaya untuk berobat juga karena tidak siap menerima stigma masyarakat. HIV
secara perlahan memang akan membunuh badan, tetapi stigma dan penghakiman
masyarakat akan membunuh jiwa jauh sebelum badan menyerah pada masanya.

Memasuki era milenium ketiga ini karya sastra yang dihasilkan para
perempuan penulis menyerbu kehidupan sastra Indonesia. Masing-masing dengan
dunianya. Ada yang cerdas, radikal, bebas, bahkan lebih gila daripada lelaki. Ada
juga yang gaul, melankolis, puitis, komunikatif, dan santun, tetapi sesungguhnya
memberontak. Akan tetapi, belum banyak kisah penderita HIV yang dituangkan
dalam karya sastra, khususnya cerpen ataupun novel. Hal tersebut dikarenakan
selama ini AIDS dianggap sebuah aib yang harus ditutupi dan dijauhi. Perlakuan
bagi penderita HIV/AIDS di berbagai rumah sakit pun terkadang masih
memprihatinkan. Kenyataan tersebut membuat mental penderita HIV/AIDS
makin tertekan. Namun, beberapa tahun yang lalu telah terbit sebuah buku yang
ditulis oleh perempuan-perempuan penderita HIV/AIDS. Buku tersebut berjudul
Aku Kartini Bernyawa Sembilan. Kehadiran buku tersebut tentu saja sangat berarti
bagi penderita HIV/AIDS dan bagi kita semua. Buku tersebut dapat dijadikan
sebagai terobosan untuk menuangkan kreatifitas. Selain itu, buku tersebut juga
dapat dijadikan sebagai sarana untuk berbagi pengalaman sekaligus menjadi terapi
batin bagi para ODHA. Setidaknya apa yang dirasakan oleh ODHA dapat kita
rasakan sehingga dapat menyebarkan kesadaran bahwa HIV/ AIDS adalah isu
dunia yang sangat serius untuk ditangani.
Tulisan berikut bukan hanya sekadar untuk mengingatkan bukunya tetapi
mencoba untuk memahami siapa para penulisnya, latar belakang mereka menulis

9

cerita dan mengapa kumpulan cerita ini diterbitkan. Selain itu, tulisan ini mencoba
menjelaskan makna dan pengaruhnya secara pribadi dalam hidup pembacanya.
2. Latar Belakang Penulisan Cerita
Aku Kartini Bernyawa Sembilan merupakan judul buku yang berisi
kumpulan cerpen karya perempuan-perempuan ODHA yang lolos seleksi dari
seluruh tulisan yang ditulis oleh ODHA di Indonesia. Buku tersebut terbentuk dari
hasil pelatihan menulis kreatif yang dimentori oleh enam perempuan penulis
terkenal, yaitu Cok Sawitri, Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, Nukila Amal, Ayu
Utami, dan Dewi Lestari di berbagai kota, seperti Batam, Manado, Jayapura,
Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar. Banyak sekali pelatihan menulis kreatif,
tetapi yang berkaitan dengan HIV/AIDS dianggap sebagai suatu pencapaian
keberhasilan kegiatan apabila hasil karyanya tertulis dan “bermuatan”. Dengan
demikian, publik mengetahui karya tersebut dibuat oleh ODHA yang ditempatkan
sebagai sang kreator yang sekaligus sebagai penyandang stigma. Selain itu,
dengan karya tersebut diharapkan dapat mencairkan stigma masyarakat mengenai
penyandang HIV/AIDS.
Pelatihan menulis kreatif tersebut dijadikan sebagai solusi bagi para
ODHA untuk mengaktualisasikan diri. Selain itu, kegiatan tersebut mendorong
mereka dalam proses kreatif yang wajar untuk menguatkan identitas kultural
sehingga tidak terjebak ke arah proses yang menghasilkan karya slogan semata.
Proses kreatif yang ditawarkan ialah proses yang menempatkan individu sebagai
seseorang yang normal dan wajar dalam proses ekspresinya. Persoalannya ialah
apakah karya-karya tersebut akan membantu aktualisasi diri mereka untuk
melawan stigma? Semua itu hanya penulis dalam buku tersebut yang mengetahui.
Harapan terakhir, minimal karya-karya mereka bermanfaat bagi kita dan bagi
generasi mendatang.

10

3. Penerbitan
Ide pembuatan buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan terlontar dalam
pertemuan penulis yang diadakan Ubud Writers & Readers Festival di Bali.
Setelah menulis proposal lanjutan, akhirnya diperoleh juga sponsor yang berkenan
membantu untuk melanjutkan ide tersebut yang dimulai tahun 2006. Selain itu,
keenam perempuan penulis (Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Ayu Utami, Cok
Sawitri, Nukila Amal dan Oka Rusmini) juga menyatakan bersedia membantu dan
menerima animo untuk berpartisipasi dari puluhan perempuan yang hidup dengan
HIV dari berbagai pelosok di Indonesia. Akhirnya, terpilih 35 perempuan yang
karya tulisnya akan disempurnakan kembali melalui pelatihan bersama enam
penulis tersebut. Nukila Amal menjalankan workshop menulis di Menado, Ayu
Utami di Batam, Djenar Maesa Ayu di Jogya (yang kemudian diganti di Jakarta
karena terjadi gempa di Jogya), Dewi Lestari di Bandung, Cok Sawitri di Papua,
dan Oka Rusmini di Bali. Mereka menjalankan enam pelatihan simultan dalam
waktu enam bulan di tahun 2006. Mereka bekerja keras untuk dapat menolong
teman-teman perempuan peserta pelatihan untuk mencurahkan cerita mereka
dalam bentuk tulisan yang tidak saja membawa makna pribadi, tetapi juga
merupakan hasil karya kreatif yang layak diterbitkan.
Buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan berhasil diterbitkan setelah melalui
perjalanan yang panjang dan melelahkan bagi orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Hal tersebut disebabkan adanya kendala dalam penerbitannya. Kendala
pertama, Elis dan Meirinda (anggota tim UNAIDS), yang menangani masalah
penerbitan jatuh sakit. Elis sakit tipus karena kelelahan dan kondisi kesehatan
Meirinda juga memburuk sehingga tidak dapat bekerja selama tiga bulan. Hal
tersebut menyebabkan buku yang seharusnya di luncurkan akhir tahun 2005
menjadi terlambar dan terbit pada tahun berikutnya. Kendala kedua ialah dalam
prosesnya, keduanya harus “bertengkar” dengan banyak orang mengenai konsep
dan tujuan pembuatan buku tersebut. Keduanya juga terjebak dalam persoalan
administrasi yang berbelit-belit dan berkepanjangan. Selain harus mendampingi
peserta pelatihan di enam kota, keduanya juga harus berjuang mengais-ngais

11

tambahan sponsor serta bernegosiasi dengan banyak penerbit, selain Gramedia,
untuk mencari opsi lain. Kendala yang paling besar ialah faktor ketidakbiasaan
peserta pelatihan dalam membuat karya. Meskipun banyak kendala, semua proses
tersebut berhasil dilewati karena besarnya semangat, kesabaran, dan perjuangan
dari para peserta dan penyelenggara. Akhirnya, mereka dapat menarik napas lega
karena sebelas karya dari delapan perempuan ODHA dinyatakan layak terbit oleh
PT Gramedia Pustaka Utama dan diluncurkan di Jakarta. Berita tersebut mereka
terima tepat pada saat mereka mengakhiri masa kontrak di kantor yang lama dan
pindah ke kantor yang baru. Namun sayangnya, ketika belum sempat melihat
bukunya diterbitkan, salah seorang dari penulis berpulang. Menurut Humas
Gramedia, buku tersebut dicetak sebanyak 3000 eksemplar dan sudah dapat
gabung di toko buku Gramedia di seluruh Indonesia. Buku tersebut diluncurkan di
Jakarta pada hari Rabu, tanggal 29 Agustus 2006. Para penulis mengharapkan
pihak UNAIDS meneruskan program pelatihan tersebut agar para penderita
HIV/AIDS yang lain dapat menulis buku untuk edisi yang akan datang.
4. Makna dan Pengaruh Cerita
4.1 Makna Cerita
Buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan memuat sebelas cerpen pilihan,
yakni cerpen “Mandul” karya Siti Rokhimiatun, “Karamnya Kapal Miosnan”
karya Theresia Rao, “Seorang Ahli Membuat Perahu” karya Lenny, “Aku Kartini
Bernyawa Sembilan” karya Rezerdia Adriana Kartini, “Kandas” karya Kartini,
“Tujuh” karya Joan, “Istri” karya Luh Putu Ikha Widari, Abel Tak Pernah Tahu
karya Tary, dan Sari menulis tiga cerpen dengan judul “Perempuanku, Jangan
Biarkan Aku Menangis”, dan “Tulisan Hati”. Buku tersebut juga dilengkapi
dengan tujuh artikel karya tujuh perempuan penulis terkenal, yaitu Dewi Lestari
menulis artikel “Mengenang Sendok dan Sedotan”, Ayu Utami menulis “Seabad
Lagi…”, Jenar Maesa Ayu menulis “Terapi yang Membebaskan”, Cok Sawitri
menulis “Biarkan Mereka Menulis Apa Saja”, Oka Rusmini menulis “Untuk

12

Kemanusiaan Itu Sendiri”, Nukila Amal menulis “Lima Hari Bersama Lima
Dunia”, dan Meirinda menulis “Kisah Saya, Mereka, dan Mereka”.
Cerita yang ada dalam buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan sarat dengan
makna dan sebagian besar berisi curahan isi hati para penulisnya, seperti yang
terlihat dalam cerpen yang berjudul “Mandul”. Cerpen tersebut menceritakan
kebesaran hati seorang perempuan yang tertular HIV dari suaminya yang pecandu
heroin dengan jarum suntik. Perempuan tersebut bernama Ayu. Ayu merupakan
perempuan yang tegar dan kuat. Ia rela mengubur keinginannya untuk memiliki
keturunan dari rahimnya. Ia rela membiarkan orang lain menganggapnya mandul
daripada harus menularkan virus HIV ke dalam darah anak kandungnya. Sebuah
kisah yang memperlihatkan makna sebuah kebesaran hati, kepasrahan jiwa, dan
kesetiaan pada pasangan. Berikut merupakan kutipan yang menunjukkan
pernyataan tersebut.
Jika orang-orang itu tahu. Ia sebenarnya takut janinnya tertular virus HIV.
Ia tidak mandul. Tapi ia tidak berani hamil. Lebih baik baginya dicap mandul,
daripada menularkan virus HIV ke dalam darah anak kandungnya. Ia tidak
menyesal dengan semua yang telah terjadi. Bagi Ayu, semua yang terjadi dalam
hidup adalah misteri Ilahi. Manusia tak dapat menebak apa yang akan terjadi,
apalagi memaksa segala sesuatu harus terjadi seperti yang diharapkan. Begitu juga
dengan Ayu. Ia tidak dapat menolak apa yang Tuhan sudah berikan. Ia sadar
bahwa ia tidak bisa membuat manusia kecil karena anak adalah titipan. Ia tidak
dapat memaksa Tuhan menaruh janin dalam rahimnya, karena sebenarnya, ia tidak
menginginkannya. (Siti Rokhimiatun, 2007: 6)
Makna ketulusan cinta, kebesaran hati, kepasrahan jiwa, dan kesetiaan
pada pasangan juga dapat kita temukan dalam cerpen “Aku Kartini Bernyawa
Sembilan” karya Rezerdia Adriana Kartini, perempuan yang lahir di Jakarta pada
tanggal 21 April 1980. Kisah yang dituangkan dalam cerpen tersebut merupakan
pengalaman pribadi penulisnya. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan pernyataan
Rezerdia dalam ANTARA News, Jakarta. Pada kesempatan tersebut dia berkata,

13

“Aku mengetahui bahwa aku positif HIV pada bulan Januari 2006. Aku tidak
menangis dan juga tidak tertawa dengan kenyataan ini. Buat apa menangis,
kenyataannya aku telah terlahir sebagai “orang baru””. Dari pernyataan tersebut
sangat terbaca bahwa Rezerdia Adriana Kartini merupakan penderita HIV/AIDS
yang tegar. Ia merupakan perempuan yang sangat tegar karena menyadari bahwa
AIDS bukanlah satu-satunya ujian yang berat dalam hidupnya. Perempuan yang
sebelumnya bernama Raden Ajeng Kartini tersebut pernah terancam mati
sebanyak sembilan kali. Ia pernah terancam mati karena jatuh dari lantai tiga,
ditabrak motor, dan jatuh dari bus. Selain itu, ia pernah hampir mati karena
berbagai penyakit, seperti demam tinggi, demam berdarah, herpes, dan mengidap
HIV/AIDS. Ia tertular HIV dari suaminya, seorang pengguna narkoba dengan
jarum suntik (injecting drugs user). Meskipun demikian, ia tidak pernah
membenci suaminya. Ia ikhlas menerima semua cobaan dari Tuhan. Ujian terberat
yang dirasakannya ialah ketika akhirnya suaminya meninggal pada tanggal 28
November 2006. Sebelum dan sesudah

suaminya meninggal, Rezerdia

merupakan perempuan yang aktif berorganisasi. Ia pernah bekerja sebagai
koordinator KDS Permata (Kelompok Dukungan Sebaya Perempuan Tegar). KDS
Permata merupakan satu-satunya badan yang dijadikan tempat berkumpulnya
perempuan HIV/AIDS yang ada di Medan. Kisah hidup tersebut dituangkan
Rezerdia dalam cerpen yang berjudul “Aku Kartini Bernyawa Sembilan”.
Pendampingku berusaha menenangkan aku dengan caranya. Tetapi aku
malah bingung, kenapa malah mereka yang kaget dan bersedih. Untuk
menenangkan mereka aku berkata, “ini bukan yang pertama kali aku diuji dalam
kematian”. Mereka bingung kenapa aku tidak menangis di pundak mereka. Untuk
apa menangis, kita lihat saja nanti. Dengan status positifku, aku semakin
terinformasi untuk melakukan yang lebih berarti dalam hidup tiap hari… tiap
hari… tiap hari… Aku belajar untuk menghargai hidupku, anugerah yang
diberikan tiap hari, aku bisa merasakan cinta lebih lagi … lebih lagi. (R.A.
Kartini, 2007: 37)

14

Kisah berbeda ditulis oleh Kartini dalam cerpen yang berjudul “Kandas”.
Hanya satu fakta yang membuat cerpen tersebut berbeda dengan kedua cerpen
sebelumnya, yaitu Kartini terinfeksi HIV karena pecandu narkoba dan pemakai
jarum suntik. Bahkan, ia dan suaminya pernah menjadi bandar narkoba. Semua
itu bermula dari minimnya pengetahuan tentang HIV dan penularannya. Ketika
dinyatakan mengidap HIV, ia hanya bisa pasrah, tetapi tidak putus asa. Ia masih
memiliki semangat hidup yang tinggi demi anak dan orang yang dicintainya.
Bahkan, ia masih berkeinginan untuk membina hubungan dengan lelaki lagi. Ada
satu makna positif yang patut kita ambil dari kisah hidup Kartini yaitu kebesaran
hati dan prinsip hidupnya. Ia merasa HIV mampu mengubah hidupnya menjadi
lebih baik. Ia juga berprinsip untuk tidak menularkan penyakitnya pada orang
lain.
Kartini, perempuan yang dilahirkan di Kabupaten Banyuwangi ini
menuangkan pengalaman pribadinya dalam cerpen yang berjudul “Kandas”. Ia
menulis semua kisah hidupnya mulai dari lahir, besar, sekolah, menikah,
mempunyai anak, cerai, pecandu narkoba, masuk bui, melakukan poliandri,
mengidap penyakit TBC, dan mengidap HIV. Meskipun HIV belum ada obatnya,
ia tetap memiliki semangat hidup untuk anak dan orang-orang yang dicintainya.
Oleh karena itu, ia selalu rutin mengikuti pertemuan di berbagai yayasan dan rutin
menjalani terapi ARV (obat yang mampu membunuh virus HIV) untuk seumur
hidup. Ia menceritakan kisah tersebut dengan bahasa yang lugas dan jujur, tanpa
ada yang ditutup-tutupi. Kejujuran tersebut menyebabkan pembaca merasa
terhanyut dan terbawa dalam kisahnya. Berikut merupakan kutipan yang
menunjukkan kebesaran hati Kartini dalam cerpen “Kandas”.
Aku merasa HIV yang mampu mengubah hidupku jadi lebih baik,
setidaknya aku aku tidak jadi pengecut. Karena aku punya prinsip untuk tidak
menularkannya pada orang lain. Sampai saat ini aku selalu rutin mengikuti
pertemuan di berbagai yayasan antara lain BALI PLUS dan YAKEBA. Dan aku
salah satu anggota Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dari “TUNJUNG

15

PUTIH”. Mungkin dari sini aku bisa tunjukkan kepada masyarakat, bahwa
“HIV/AIDS” bukan stempel mati. (R.A. Kartini, 2007 :52-53)
Joan sangat gigih mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya
untuk berbagi dan bersuara supaya orang-orang yang akan ditinggalkannya
memiliki kenangan indah bersama dirinya. Tulisannya yang berjudul “Tujuh”
merupakan puncak dari perseteruan yang selama dua tahun menahan perih karena
terinfeksi HIV. Joan merasa telah siap berkisah. Dia siap menuliskan kisah
hidupnya dalam lembaran cerita yang berjudul “Tujuh”. Hal tersebut
dilakukannya untuk menyingkirkan rasa sedih dalam hatinya. Hanya kekuatan
cinta yang mampu menegakkan kerapuhan hati Joan dalam menghadapi ganasnya
HIV. Dari kisah yang ada dalam cerpen “Tujuh”, kita dapat mengambil makna
kekuatan cinta senjati. Dengan kekuatan cinta, hati Joan yang dulu rapuh menjadi
tegar kembali dalam menghadapi kenyataan pahit yang harus dideritanya seumur
hidup.
Kuingat saat kau memandangku sebelah mata. Aku ingin kau mengalihkan
pandanganmu dariku. Aku sempat malu menatap dunia. Apakah karena tiga atau
empat huruf ini, mudah menghapus ingatanmu tentangku? Aku berani
menghakimimu dan tuhan-tuhanmu. (Joan, 2007: 56-57)
Hingga saatnya nanti. Bila mata ini tak lagi terbuka. Bila mulut ini tak lagi
menganga. Hanya tinggal senyum di bibir kelu. Mataku pun akhirnya kan dapat
terpejam. Seribu terima kasih akan terlayangkan. Indahnya persahabatan dengan
sebaya-sebayaku. Sabar dan penuh cintanya kekasihku. Dorongan dan doa
sederhana keluarga. Lucunya si kecilku dan semua yang telah mau mengerti,
memberi semangat, mencintai dan mengucap syukur atas diriku. Takkan habis
kata untuk semua ini. (Joan, 2007: 59)
Stigma masyarakat bagi penderita AIDS tidak dapat dihindari. Hal itu
sangat wajar karena pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS masih sangat
minim. Selain itu, faktor belum diketemukannya obat anti retroviral yang lebih

16

ramah pada pasien akan lebih menistakan para penderita. Semakin banyaklah
masyarakat yang berangggapan bahwa AIDS merupakan penyakit yang
mematikan dan harus dihindari bagaimanapun caranya. Bahkan, perlakuan
terhadap penderita AIDS di beberapa rumah sakit pun masih sangat
memprihatinkan. AIDS secara perlahan memang akan membunuh badan, tetapi
stigma dan penghakiman masyarakat akan membunuh jiwa jauh sebelum badan
menyerah pada masanya. Demikian juga dengan keadaan yang dialami oleh suami
Putu, sebutan untuk Luh Putu Ikha Widari. Suami Putu menerima perlakuan yang
tidak adil ketika meninggal dunia akibat AIDS.
Pertanyaaku terjawab. Malam harinya, seorang kepala kampung di mana
suamiku dimakamkan meminta kuburan suamiku diangkat kembali dan dikremasi.
Dengan satu syarat, asap dari api yang membakar tubuh suamiku harus ditutup.
Alasannya, agar virus yang ada dalam tubuh suamiku tidak menular kemanamana. (Luh Putu Ikha Widari, 2007:66)
Berbagai ujian menghampiri hidup Putu. Ibu Putu mengalami vertigo
setelah melahirkan adiknya yang terakhir. Selain itu, Putu juga harus berbesar hati
menerima kenyataan bahwa dirinya juga terinveksi HIV dari suaminya. Semua
ujian tersebut dapat ia jalani dengan optimis dan pikiran yang positif. Ia banyak
belajar dari orang-orang kurang beruntung yang ada di sekitarnya. Ia banyak
belajar juga dari teman-temannya yang sama-sama berjuang melawan ganasnya
virus AIDS. Di saat terpuruk pun, ia masih memanjatkan rasa syukur karena
anaknya terbebas dari virus yang membunuh suami dan menggerogoti tubuhnya.
Hal itu pulalah yang membuatnya bangkit untuk terus bersemangat menjalani
hidup.
Melihat ibu, membuatku selalu berkaca pada hidupku yang tidak beres.
Suami mati kena HIV. aku pun sekarang menjelma seorang perempuan positif
HIV. aku banyak belajar dari teman-teman sebayaku. Teman-teman yang berjuang
sama untuk melawan ganasnya virus HIV yang menyerang sel darah putih kami.
(Luh Putu Ikha Widari, 2007: 81)

17

Pendosa, pelacur, dan pemakai narkoba merupakan umpatan yang sering
dituduhkan kepada perempuan penderita HIV. Kebanyakan dari penderita hanya
bisa diam menerima umpatan tersebut sambil berusaha tegar untuk meneruskan
hidup demi anak, demi pasangan, dan demi keluarga. Tidak banyak masyarakat
yang tahu dan peduli bahwa kebanyakan dari perempuan-perempuan ODHA
merupakan ibu rumah tangga yang baik dan setia. Tanpa disadari, mereka
terinfeksi dari pasangan mereka yang terlebih dahulu terinfeksi HIV. Hal tersebut
sesuai pengalaman yang dialami oleh Tary yang dituangkan dalam cerpennya
yang berjudul “Abel Tidak Pernah Tahu”. Melalui tokoh Abel, Tary menceritakan
suka duka kehidupannya setelah terinfeksi HIV. Ia terinfeksi HIV dari suaminya.
Meskipun demikian, ia tidak ingin membenci suaminya. Ia merupakan salah satu
perempuan ODHA yang sangat bijak. Ia memberanikan diri untuk menjadi
fasilitator di berbagai seminar yang memberikan ulasan tentang HIV. Ia berani
bersuara demi perempuan-perempuan yang akan menyandang status janda, demi
para ibu yang tidak ingin kehilangan anak-anaknya, dan demi perempuanperempuan di dunia ini.
Abel tersenyum karena ada juga orang yang tertarik soal penutup
kepalanya. Dengan nada seperti mengadu ia berkata lirih, “Bu, sehelai kain
kerudung di atas kepala saya ini bukan saya pakai karena saya kena HIV. Jilbab
ini saya pakai sejak SMP. Jadi Ibu bisa lihat, bahwa kerudung ini pun tidak
melindungi saya dari virus itu. Virus itu bisa menyerang siapa pun, mengincar
siapa pun, di mana pun, kapan pun, termasuk saya.” (Tary, 2007:89)
Sari menulis tiga cerpen yang berjudul “Perempuanku”, “Jangan Biarkan
Aku Menangis”, dan “Tulisan Hati”. Dalam cerpen tersebut Sari menceritakan
tokoh Lara sebagai sosok yang sangat dikagumi dan dicintainya. Sari kagum
dengan keberanian Lara menuangkan gagasan-gagasannya dalam memerangi
peredaran pasar gelap narkoba dan upayanya merevisi UU narkotika/psikotropika
yang sudah tidak relevan dan hanya menguntungkan oknum-oknum tertentu.
Selain itu, Lara juga dianggap sebagai sosok yang mampu memberi semangat
karena selalu menghadirkan keceriaan dalam hidup Sari. Kekaguman tersebut

18

tertuang dalam cerpen yang berjudul “Perempuanku”. Berikut merupakan kutipan
yang menunjukkan pernyataan tersebut.
Lara adalah keceriaan. Suaranya membuatku jatuh cinta padanya karena
aku manusia yang amat membutuhkan keceriaan, atau tepatnya aku haus akan itu.
Di tengah-tengah hidupku yang sarat keseriusan dan kerisauan, dia telah
menghadirkan berjuta-juta tawa padaku. (Sari, 2007:99)
Tuhan, hanya kamu yang bisa kuajak bicara jujur. Aku tidak pernah
menyalahkanMu atau kehidupan, aku hanya mempertanyakan mengapa luka ini
datang pada saat hidupku tidak lagi untuk diriku sendiri? Apa yang akan aku
pertanggungjawabkan pada mereka yang mengasihiku ketika aku harus pergi?
(Sari, 2007:105)
Cerpen ketiga Sari yaitu cerpen yang berjudul “Tulisan Hati”. Sari
menceritakan tokoh “Aku” dengan begitu indah. Dalam cerpen tersebut “Aku”
ialah ayunan besi yang menjadi saksi penyesalan perempuan yang telah
melibatkan kekasihnya mengenal dunia gelap narkoba. Penyesalan itu bertambah
ketika mengetahui dirinya terinfeksi HIV. Dengan kenyataan tersebut ia tidak
dapat mewujudkan impiannya bersama kekasihnya. Ia tidak sanggup melihat
kekasihnya menderita karena dirinya. Cerita tersebut berlatar di kota Bandung
pada tanggal 10 Mei 2006. Berikut merupakan kutipan yang menunjukkan
pernyataan tersebut.
Aku menyesali ketika aku merusak hidupku dengan racun dunia yang
kutusukkan dalam aliran darahku, hanya untuk menciptakan khayalan semu yang
dengan bangganya kusebut sebagai jalan pencarian jati diri. Aku menyesal katika
kutahu pencarian jati diriku mempertemukan aku dengan virus ini. Dan aku lebih
menyesal lagi ketika aku harus melibatkanmu di dalamnya. (Sari, 2007:111)
Sebagian besar tema yang diangkat dalam buku Aku Kartini Bernyawa
Sembilan mengenai HIV/AIDS. Dari sebelas cerpen yang ada hanya dua cerpen
yang mengambil tema di luar tema tersebut. Kedua cerpen tersebut yaitu

19

“Karamnya Kapal Miosnam” karya Theresia Rao dan “Seorang Ahli Membuat
Perahu” karya Lenny. Theresia Rao menceritakan tenggelamnya kapal Miosnam
yang terjadi di Irian Jaya pada tahun 1982. Meskipun tidak membahas masalah
HIV/AIDS, isi cerpen tersebut sangat bermanfaat. Hal tersebut disebabkan isi
ceritanya menunjukkan tradisi yang menyertai kehidupan masyarakat Papua
sehingga dapat dijadikan sebagai “jendela” atau “kunci” untuk memahami
mengapa HIV/AIDS mudah menyebar di Papua.
4.2 Pengaruh Cerita
Perempuan-perempuan ODHA penulis dalam kumpulan cerpen Aku
Kartini Bernyawa Sembilan memilih untuk berbagi perasaan melalui tulisannya.
Langkah tersebut sekaligus menjadi cara untuk menyebarkan kesadaran bahwa
HIV/AIDS merupakan isu dunia yang sangat serius untuk ditangani. Banyak
sudah yang dilakukan Pemerintah untuk mengadakan penyuluhan-penyuluhan
kepada masyarakat dalam rangka menunjukkan betapa bahayanya HIV/AIDS,
tetapi sepertinya langkah tersebut kurang mengena dan menyentuh masyarakat.
Mungkin dengan membaca buku tersebut pembaca akan lebih menyadari bahaya
HIV/AIDS karena karya tersebut langsung ditulis sendiri oleh orang yang
terinfeksi HIV.
Kisah ODHA di buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan terkadang ibarat
melodrama. Apakah kita percaya ada laki-laki yang mau menerima perempuan
apa adanya, perempuan yang mengidap HIV? Atau adakah orang yang sudi
berbagi sedotan dan sendok dengan para ODHA? Pertanyaan-pertanyaan
semacam itu selama ini dianggap sebuah pertanyaan yang ‘bodoh’ karena
jawabannya pastilah sebagian besar tidak ada yang mau. Akan tetapi, hal itu
berbeda dengan kenyataan yang ada dalam buku tersebut. Pada kenyataannya
banyak orang yang menjauh, semua teman menolak berbagi makanan dan
minuman, bahkan enggan sekadar bersalaman, sedangkan Dewi Lestari malah
mau berbagi sedotan dan sendok dengan para ODHA. Hal-hal sepele semacam
itulah yang justru membuat ODHA terkesan karena orang tua mereka pun belum

20

tentu mau melakukan itu. Dewi merasa senang karena perbuatan kecilnya telah
menjadikan ODHA merasa dihargai, sebagai teman, dan telah dibangkitkan rasa
percaya diri mereka. Orang sering berpikir ingin melakukan hal-hal yang besar
untuk orang lain supaya tampak “megah” dan selalu diingat. Padahal, perbuatan
dan perhatian kecil pun sudah membuat para ODHA terkesan dan bahagia. Oleh
sebab itu, dibutuhkan pengetahuan yang cukup soal virus HIV/AIDS. Hal itu
diharapkan agar kita tidak terpengaruh dengan stigma yang terlanjur menyebar di
masyarakat. Selain itu, kita belajar melihat kenyataan dengan jujur dan apa adanya
sehingga pikiran untuk menghakimi mereka makin jauh dari dalam diri kita.
Pada umumnya orang beranggapan bahwa pengidap HIV merupakan
manusia yang hanya menunggu hari kematiannya saja. Anggapan tersebut tidak
sepenuhnya benar. Masih banyak ODHA yang dapat bertahan hidup dan
beraktivitas sebagaimana layaknya orang sehat lainnya. Wajah ceria dan kondisi
fisik yang tampak sehat terlihat pada Luh Putu Ikha Widari. “Coba lihat saya,
tidak berbeda dengan orang lain. Saya tetap cantik, sehat, tidak sakit-sakitan
seperti yang digambarkan di media massa selama ini,” kata Putu pada acara
peluncuran buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan.
Banyak stigma sosial yang dibebankan kepada ODHA, tetapi mereka tidak
tampak terdeteksi seperti orang yang sakit. Dalam keseharian mereka ceria,
bahkan makannya pun banyak. Hal itu menunjukkan bahwa virus HIV itu hanya
menyerang ketika daya tahan tubuh ODHA menurun.
Selain menambah pengetahuan kita mengenai AIDS, kisah-kisah yang ada
dalam buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan juga sangat bermanfaat bagi kita.
Karya-karya mereka sungguh bermanfaat karena dari kisah-kisah mereka kita
dapat mengetahui tradisi-tradisi yang menyertai kehidupan keseharian masyarakat
Jawa, Bali, Papua, dan yang lainnya. Karya mereka juga dapat dijadikan sebagai
‘kunci’ ataupun ‘jendela’ untuk memahami mengapa HIV/AIDS sangat mudah
menyebar ke seluruh pelosok negeri ini. Selain itu, kisah-kisah tersebut juga dapat
menjadi kisi-kisi untuk menganalisis dan memahami gaya hidup masyarakat

21

Indonesia sehingga dapat diketahui bagaimana cara menolong mereka yang
terkena dampak stigma HIV/AIDS.
Manfaat yang lain, ketika karya-karya itu ditulis tidak dengan bahasa
slogan, yaitu dengan proses kreatif yang bebas, akan banyak pihak yang merasa
terwakili, terkenang, dan teridentifikasi. Ketika mengetahui bahwa para penulis
tersebut merupakan ODHA, pembaca akan memosisikan para penulis tersebut
sebagai penulis kreatif, tidak tengah dalam proses berjarak pengalaman dan rasa
akibat HIV/AIDS yang hanya dapat dimengerti oleh yang terjangkit saja.
Bukan suatu hal yang mustahil juga apabila nantinya kisah ODHA tersebut
akan menjadi catatan kecil dari sebuah zaman. Zaman yang sangat primitif karena
masih menganggap AIDS sebagai hukuman dari Tuhan dan ada sekelompok orang
yang berjuang untuk hidup dengan virus itu. Sekelompok orang tersebut berjuang
untuk menyuarakan bahwa AIDS bukanlah kutukan. Apabila nantinya obat AIDS
ditemukan dan penyakit ini tidak dianggap nista, seperti kusta, penyakit yang di
masa lalu menjadi alasan untuk membuang para penderitanya dari masyarakat.
Kini keadaan itu nyaris tidak terlihat lagi. Kita hanya dapat membayangkan saat
kita di perpustakaan dan membaca buku ini dan pasti kita akan berkata bahwa
dunia ini pernah begitu primitif.
5. Simpulan
Buku Aku Kartini Bernyawa Sembilan sangat berarti bagi penderita
HIV/AIDS dan bagi kita semua. Selain dapat dijadikan sebagai terobosan untuk
menuangkan kreativitas, buku tersebut juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk
berbagi pengalaman sekaligus menjadi terapi batin bagi para ODHA. Apa yang
dirasakan oleh ODHA dapat kita rasakan sehingga kita dapat menyebarkan
kesadaran bahwa HIV/AIDS merupakan isu dunia yang sangat serius untuk
ditangani. Buku tersebut terdiri atas sebelas cerpen dari sembilan perempuan
ODHA penulis yang diseleksi dari seluruh provinsi di Indonesia. Enam sastrawan
perempuan (Djenar, Dee, Ayu Utami, Cok Sawitri, Nukila Amal, dan Oka

22

Rusmini) bekerja sama dengan UNAIDS, kemudian mementori ODHA yang
terseleksi tersebut untuk belajar menulis. Buku kumpulan cerpen tersebut
merupakan hasil pelatihan itu. Dari kisah-kisah mereka, kita dapat mengetahui
bagaimana melihat dunia dari perspektif mereka, juga bermanfaat dalam
memberikan makna lebih pada kehidupan dan menjadikan setiap detik kehadiran
di dunia berguna, untuk apa pun dan untuk siapa pun juga.
Buku ini akan menambah masukan yang menarik untuk dunia pembaca.
Kita tidak hanya menemukan sekumpulan kisah yang menarik, tetapi sebuah
kejujuran dan ketulusan dari ODHA. Sebuah kejujuran bahwa mereka butuh
untuk didengar, butuh tempat berbagi, dan butuh dihargai. Sebuah kisah bahwa
perempuan-perempuan ODHA ingin bersuara dan berjuang hidup sebagaimana
orang lain hidup dengan penyakit lain, seperti kanker, hepatitis, dan diabetes.
Mereka juga harus berjuang hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih
berjiwa patriakis yang penuh dengan penghakiman moral. Jika mengingat semua
cerita mereka, sepertinya begitu banyak “pekerjaan rumah” yang harus dilakukan
untuk terus memberdayakan perempuan supaya tidak berada dalam posisi tawarmenawar yang lemah dalam masyarakat kita yang sangat yang patriakis.

23

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti
”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti
”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan” (Baribin, 1993).
Jurnal merupakan suatu kutipan dari laporan di dalam jurnal terdapat point-point penting
dari laporan tersebut. Terdapat berbagai jurnal ilmiah yang mencakup semua bidang ilmu,
juga ilmu sosial dan humaniora. Penerbitan dalam bentuk artikel ilmiah biasanya lebih
penting untuk bidang ilmu pengetahuan alam maupun kedokteran dibandingkan dengan
bidang akademik lain.
Artikel kritik sastra di jurnal ilmiah sudah banyak sekali di Indonesia. Semakin
berkembangnya zamna dan teknologi, semakin memudahkan untuk mendapatkan dan
mnyebarluaskan informasi salah satunya adalah karya sastra. Tetapi teknologi tidak
selamnaya berdampak positive, karena informasi ynag diberikan terkadang belum tentu
adalah informasi yang benar. Maka dari itu adanya kritik sastra di jurnal ilmiah untuk
menguji dan mngetahui kebenaran dari jurnal ilmiah tersebut pada satranya. Selain itu
adanya krtitik sastra di jurnal ilmiah juga penting untuk mengetahui seberapa baiknya
hasil tlisan yang sudah dibuat.

24

DAFTAR PUSTAKA
Munawarah,Layla.15Nov2015.AktualisasiDiriPerempuanPerempuanOdhaPadaKa
rtiniBernyawaSembilan.https://metasastra.wordpress.com/2009/11/15/aktu
alisasi-diri-perempuan-perempuan-odha-orang-dengan-hivaids-dalamkumpulan-cerpen-aku-kartini-bernyawa-sembilan/.14Januari2016.
Aida,Siti.14Oktober2014.KajianSastra.http://kajiansastra.blogspot.co.id/2014/10/
-kritik-sastra.html.14januari2016.
Hakim.1Januari2017.JurnalIlmiah.https://aminawm.wordpress.com/
ilmiah/.14Januari2016

-jurnal-