sejarah dan sekelumit permasalahan dalam

MAKALAH
“ SEJARAH DAN SEKELUMIT PERMASALAHAN DALAM
PELAKSANAAN LANDREFORM”

Disusun Oleh :
Andi Mattalatta
B111 15 308
AGRARIA C

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pasca kemerdekaa, pemerintah bersama jajarannya kala itu di sibukkan
dengan berbagai permasalahan baru mulai dari system pemerintahan,
ekonomi dan hukum. Permasalahan humum saat itu adalah sistem hukum
yang digunakan Karena Indonesia masih tergolong baru maka untuk
sementara system hokum yang dipergunakan adalah sitem hokum penjajah
yankni sistem hukum belanda dengan istilah yang biasa kita dengar adalah

“burgelerk wethbook”. Sistem hukum itulah yang kemudian diberlakukan
termasuk perihal dalam tanah, “burgerleck wethbook” pada kenyataan
memang telah mengakomodir berbagai perturan tentang tanah akan tetatpi
pada tataran implemetatif dari pertauran tersebut tidaklah sesuai dengan
nilai-nilai atau keadaan yang terdapat pada rakyat Indonesia tidaklah sesuai
dengan

“burgerleck

wethbook”

sehingga

pemerintah

dengan

segera

mengadakan peraturan tentang tanah dengan berlandaskan pada asas-asas

yang sesuai dengan tatarankehidupan rakyat Indonesia. Tertanggal 24
September 1960, pemerintah resmi memberlakukan perturan baru tentang
tanah yakni Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, lebih lanjut akan disingkat UUPA.
Berdasarkan UUPA maka dapat ditarik pengertian umum bahwa
Indonesia adalah negara agraris, sehingga mengerucutkannya dalam satu
hal bahwa tanah merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat
agraris. Kata agraria itu sendiri berdasarkan Black Law Dictionary” adalah
serangkaian peraturan peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan
pemilikannya. Dalam UUPA tidaka hanya mengatur tentang tanah akan tetapi
juga mengatur tentang air, kekayaan alam, dan luar angkasa akan tetatapi
dalam peruntukannya UUPA lebih identik dengan peratura tentang tanah,

meskipun demikian anehnya UUPA tidaklah menjelaskan secara eksplisit
tentang tanah melainkan hanya menjelaskan secara tersirat dalam pasal 4
UUPA, Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah. UUPA diharapkan mempu mewadai bebagai perturan,
permasalahan dan keinginan yang ada dalam masyarakat berkaitan dengan

hal tersebut untuk menciptakan pengelolaan tanah yang optimal sehingga
dibuatlah anak dari UUPA yang selanjutnya disebut “landreform” .
Landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu “land” dan “reform”. Land
artinya tanah, sedang reform artinya perombakan atau perubahan untuk
membangun atau membentuk atau menata kembali struktur pertanian baru.
Sedangkan landreform dalam arti sempit adalah penataan ulang struktur
penguasaan dan pemilikan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep
reform agraria (agraria reform). Semenjak era reformasi, telah terjadi
perkembangan yang menggembirakan, dimana telah cukup banyak pihak
yang membicarakan dan peduli dengan permasalahan ini, meskipun masih
terbatas pada tingkat wacana. Namun demikian, sampai sekarang belum
berhasil disepakati bagaimana landreform dan agraria reform(pembaruan
agraria) tersebut sebaiknya untuk kondisi di Indonesia. Namun dalam proses
perjalanan hidup masyrakat indonesia berbagai permasalahan landreform
terjadi tapi sayangnya landreform bak pajangangan diruang tamu yang hanya
menjadi sekedar penghias yang tak berguna sama sekali mau itu dijabut atau
dibuang tidak ada pengaruhnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan landreform ?
2. Bagaimana sejarah landreform ?

3. Apa dasar hukum landreform?
4. Apa saja bentk pelaksanaan yang terdapat dalam landreform ?
1.2 Tujuan
1.Mengetahui pengerian dari Landreform.

2. Mengetahui sejarah lanreform.
3.Mengetahui dasar hukum Landreform.
4.Mengetahui bentuk pelaksanaan yang terdapat dalam Landreform.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Landreform
Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris, yaitu “land”
dan “reform”. Land artinya tanah, sedangkan Reform artinya perubahan
dasar atau perombakan atau penataan kembali struktur tanah pertanian.
Jadi, landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan
pembangunan struktur pertanian baru1
Land reform bukanlah pertama kali ada diindonesia, sehingga
berbagai pengertian dari landreform yang dikemukakan oleh ahli-ahli dari
negara lain tak lazim utnuk dijumapi namun tidak menutup kemungkina untuk

orang Indonesia mendefinisikan sendiri apa itu landreform. Dibawah ini kan di
ulas berbagai pengertian landreform oleh ahli :
1. Boedi Harsono mengatakan landreform meliputi perombakan
mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan hubungan
hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah 2
2. Menurut Jacoby landreform merupakan sebuah upaya penataan atau
perombakan
Landreform

penguasaan
bukan

hanya

tanah

yang

perkara


adil

retribusi

dan

menyeluruh.

pembagian

tanah

melainkan juga menyangkut perobakan total tatanan sosial ekonomi
politik yang lebih luas.3
3. Lipton mendefinisikan Landreform diartikan sebagai “Pengambil alihan
tanah secara paksa,yang biasnya dilakukan oleh negara,dari pemilikpemilik tanah yang luas dengan ganti rugi sebagian. dodengan tanah
dapat tersebar lebih merata daripada sebelum penganbi lalihan”.

1 Dr. H.M. Arba, S.H., M.hum., Hukum Agraria Indonesia ( Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2016),
hlm, 172.

2 Ibid, 172
3 Pingky Chrysantini, Berawal dari Tanah Melihat Kedalam Aksi Pendudukan Tanah
( Bandung : Yayasan AKATIGA, 2007 ), hlm, 7

4. Gunawan Wiradi yang menyatakan bahwa” Landreform mengacu
kepada

penataan

kembali

susunan

penguasaan

tanah

demi

kepentingan petani kecil”.

5. Arie Sukanti Hutagalung menyatakan bahwa Lndreform adalah suatu
perubahan

yang

tenure,penguasaan

disengaja
hak-hak

dalam
atas

suatu

tanah

dan

sistem


Land

lain-lain

yang

berhubungan dengan tanah.
6. A.P. Parlindungan berpendapat bahwa Landreform diindonesia bukan
sekedar membagi-bagikan, ataupun bersifat politis,akan tetapi adalah
sesuatu usaha reformasi hubungan antara manusia dengan tanah
yang lebih manusiawi.4
Landreform di Indonesi dibagi menjadi dalam arti luas dan sempit, meliputi:
1. Landreform dalam arti luas, yang dikenal dengan istilah agraria reform
meliputi lima program, terdiri dari;
a. Perombakan hukum agraria
b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi konsesi kolonial atas tanah
c. Mengakhiri pengisapan foedal
d. Perubahan pemilik dan penguasaan tanah serta hubungan hukum
yang berkaitan dengan pppenguasaan tanah , dan

e. Perencanaan persediaan peruntukan dan penggunaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
2. Landreform dalam arti sempit, menyangkut perombakan mengenai
pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yang

bersangkutan

dengan

penguasahaan

tanah

selanjutnya

ketentuan ini akan digunakan dalam cara yang lebih terbatas
mengarah pada program pemerintah menuju pemerataan kembali
pemilikan tanah.5
4 Suryanto, “Makalah Lanreform”, diakses dari http://menulismakalah.blogspot.co.id/2015/06/cara-menulis-footnote-catatan-kaki-yang.html, pada tanggal

13 November 2016 pukul 22.48
5 Dr. H.M. Arba, S.H., M.hum., Hukum Agraria Indonesia ( Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2016),
hlm, 173.

2.2 Sejarah Landreform
Landreform di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di
masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan
diterbitkannya undang-undang agraria (Seisachtheia).Undang-undang ini
diterbitkan untuk membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi
penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah
digadaikan pada orang kaya) dari kondisi pemerasan oleh pemegang
gadai.Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus melalui program redistribusi
disertai fasilitas kredit.
Pada belahan dunia lain, di Roma pada jaman Romawi Kuno, telah
dimulai Landreform dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk
mencegah pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil
diterbitkan pada 134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan
redistribusi tanah milik umum. Sementara di Inggris, Landreform dikenal
sebagai enclosure movement, yaitu pengaplingan tanah pertanian dan
padangpengembalaan yang tadinya disewakan untuk umum menjadi tanah
individu.
Gerakan Landreform berskala besar pertama kali berlangsung pada
saat Revolusi Perancis (1789) dengan menghancurkan sistem penguasaan
tanah feodal.Tanah dibagikan kepada petani.Tujuan utamanya adalah (i)
membebaskan petani dari perbudakan; (ii) melembagakan usaha tani
keluarga yang kecil sebagai satuan pertanian yang ideal.Gerakan ini
berpengaruh luas ke seluruh Eropa.Terbukti pada tahun 1870 John Stuart Mill
membentuk Land Tenure Reform Association yang mendorong pembentukan
sistem penyakapan (tenancy). Bulgaria relatif lebih maju, pada tahun 1880
telah melakukan Landreform yang utuh, mencakup kegiatanpenunjang
seperti koperasi kredit, tabungan, dan pembinaan usaha tani.
Gelombang Landreform juga menjangkau Rusia pada saat kaum
komunis merebut kekuasaan di Rusia tahun 1917, yang dikenal dengan
Stolypin Reformsdalam bentuk (i) hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; (ii)

penyakapan atau tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya) dilarang; (iii)
penguasaan tanah absentee dilarang; (iv) hak garap dan luas hak garapan
ditentukan

atas

kriteria

luas

tanah

yang

benar-benar

digarap;

(v)

menggunakan buruh upahan dilarang.
Tidak terbendung kemudian Landreform menjangkau Cina melalui 3
(tiga) program besar pada tahun 1920-1930.Salah satu programnya adalah
menata kembali struktur penguasaan tanah.Program ini mengalami stagnasi
ketika dijajah oleh Jepang (1935-1945), namun dilanjutkan kembali setelah
era penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya pada tahun 1959-1961.
Tanah milik tuan tanah dibagikan kepada petani penggarap secara kolektip
yang

dalam

perkembangannya

menjadi

milik

Negara

tetapi

petani

mempunyai akses sepenuhnya memanfaatkan tanah tersebut (BPN, 2007).
Pelaksanaan landreform di Cina tidak hanya mematahkan dominasi tuan
tanah tetapi juga meningkatkan konsumsi petani dan meningkatkan tabungan
perdesaan.
Reforma agraria terus bergulir, kemudian paska perang dunia II
reforma agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan
pada era 1950-1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan
masing-masing negara memiliki cirinya masing-masing.
Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria
adalah Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan
dibagikan kepada penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada
saat reformasi Meiji dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan
Amerika (BPN, 2007). Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah
Venezuela. Ditandai dengan diterbitkannya undang-undang reforma agrarian
pada tahun 1960-an. Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika
presiden Hugo Chavez terpilih, program ini memperoleh kesuksesan. Ini
terlaksana karena presiden Chavez memasukkan reforma agraria ke dalam
konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga prinsip kedaulatan pangan, dan
mengutamakan penggunaan tanah dari pemilikan tanah (BPN, 2007).

Negara Asia lain yang dipandang cukup berhasil adalah Thailand,
yang didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar
dialami oleh Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur
pekerjaan dari pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai
landasan pembangunannya (BPN, 2007). Namun demikian, tidak semua
negara berhasil melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe,
dikarenakan menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma
agraria.
Puncak dari gerakan reforma agraria pada bulan Juli 1979 ketika
dilaksanakan

konperensi

dunia

mengenai

Reforma

Agraria

dan

Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural
Development) yang diselenggarakan oleh FAO (Food and Agriculture
Organization) PBB di Roma. Konperensi ini menjadi tonggak penting karena
berhasil menelurkan deklarasi prinsip dan program kegiatan (the Peasants’
charter/Piagam
merupakan

Petani)

masalah

yang

mengakui

dunia,serta

kemiskinan

reforma

agraria

dan

dan

kelaparan

pembangunan

perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang yaitu (i) tingkat desa
mengikutsertakan lembaga perdesaan, (ii) di tingkat nasional, reorientasi
kebijakan

pembangunan;

(iii)

di

tingkat

internasional,

mendorong

terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.
A. Sejarah Lanreform di Indonesia
Pengaturan pertanahan di Indonesia sudah dimulai dengan terbentuknya
panitia Agraria Yogyakarta melalui Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun
1948 yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Panitia ini mengusulkan
tentang asas yang akan merupakan dasar hukum agraria, diantaranya adalah
(i) pengakuan adanya hak ulayat, (ii) pembatasan minimum (dua hektar) dan
maksimum (10 hektar) tanah pertanian per keluarga, dan (iii) perlunya
pendaftaran

tanah.

Selanjutnya

terbentuk

Panitia

Agraria

Jakarta

menggantikan Panitia Yogyakarta melalui Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1951 dengan Ketua Sarimin Reksodihardjo (kemudian digantikan oleh

Singgih Praptodihardjo) yang menghasilkan keputusan penting yang relatif
senada diantaranya adalah (i) batas minimum pemilikan tanah pertanian (2
hektar) per keluarga; (ii) mengadakan ketentuan maksimum pemilikan tanah,
hak usaha, hak sewa dan hak pakai; (iii) pengaturan hak ulayat dengan
undang-undang.
Berikutnya dikenal pula Panitia Soewahjo yang ditetapkan melalui
Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 yang diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo. Panitia ini berhasil menyusun naskah rancangan UUPA pada
tanggal 1 Januari 1957, diantaranya yang terpenting adalah (i) asas domein
diganti dengan hak kekuasaan Negara; (ii) diakuinya hak ulayat; (iii) dualisme
hukum agraria dihapuskan; (iv) penetapan batas masimum dan minimum
luas tanah yang boleh dimiliki; (v) tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan
sendiri; (vi) diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan
tanah.
Naskah

rancangan

Panitia

Soewahjo

kemudian

disempurnakan

kemudian diberi nama Rancangan Soenarjo mengikuti nama Menteri Agraria
pada saat itu dan diajukan ke DPR pada tahun 1958. Namun kemudian
dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali
UUD 1945, sementara Rancangan Soenarjo berdasarkan UUDS 1950,
kemudian disusun kembali naskah undang-undang tersebut. Rancangan
yang baru tersebut dinamai Rancangan Sadjarwo mengikuti nama Menteri
Agraria pada saat itu, yang kemudian diajukan kembali ke DPRGR. Naskah
ini yang akhirnya disetujui menjadi UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September
1960
(Harsono, 1999 dan Hakim, tanpa tahun)
2.3 Dasar Hukum Landreform
Landasan utama reforma agraria (landreform) tercantum dalam UUD
1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”. Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya
pengaturan pertanahan, termasuk landreform, di Indonesia telah dimulai
sejak proklamasi kemerdekaan. Hal ini kemudian ditindaklanjuti melalui UU
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu (i) tidak
memberlakukan lagi hukum agraria kolonial, (ii) membangun hukum agraria
nasional. UUPA juga merupakan undang-undang yang memberlakukan
reforma agraria yang ditandai adanya Panca Program Reforma Agraria
Indonesia, khususnya program ketiga yaitu perombakan pemilikan dan
penguasaan atas tanah serta hubungan hukum yang ber-hubungan dengan
penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan
keadilan, yang dikenal sebagai landreform (Hakim, tanpa tahun)
Keterkaitan UUPA dengan landreform tergambarkan jelas pada
muatannya, mulai dari Menimbang hingga Penjelasan UUPA, pasal 1 sampai
pasal 19 maupun ketentuan Konversi (Parlindungan, 1987). Secara umum,
materi UUPA yang sangat erat terkait landreform adalah pasal 7 yang
membatasi pemilikan dan penguasaan tanah, pasal 10 yang mengatur tanah
pertanian wajib dikerjakan sendiri secara aktif, dan pasal 17 menetapkan
batas maksimum luas pemilikan tanah.
Sebagai tindak lanjut dari pasal 7 dan 17 UUPA tentang pembatasan
penguasaan dan pemilikan tanah serta batas maksimum-minimum pemilikan
tanah, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian yang dikenal sebagai UU Landreform. UU
ini mengatur 3 (tiga) masalah pokok yaitu (i) penetapan luas maksimum
penguasaan tanah, (ii) gadai tanah;(iii) luas minimum tanah pertanian.
Selanjutnya dikenali adanya UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. UU ini merupakan
peraturan pelaksana dari UUPA khususnya Pasal 18 yang menyatakan,
bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,

dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur
dengan undang-undang. UU No. 20 Tahun 1961 ini memberi kewenangan
kepada Presiden untuk mencabut hak atas tanah dengan memberikan ganti
kerugian.
Sementara pemberian ganti rugi pada bekas pemilik tanah ditetapkan
melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 yang diubah
dengan PP Nomor 41 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
dan Pemberian Ganti Kerugian. PP ini diantaranya mengatur obyek dan
subyek landreform termasuk lembaga pendukung landreform. Hal ini
membuktikan bahwa landreform di Indonesia pada dasarnya tidak sekedar
redistribusi tanah tetapi juga mengatur tindak lanjut pembagian tanah
tersebut, sehingga tujuannya tidak sekedar pemerataan tetapi juga
peningkatan kesejahteraan petani (Sumaya, 2009).
Selain itu, yang mungkin kurang dikenal sebagai regulasi yang terkait
landreform adalah UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
(UUPBH), yang melindungi golongan ekonomi lemah (petani penggarap) dari
praktek bagi hasil yang merugikan. Terkait pendaftaran tanah, yang
merupakan alat mengendalikan luas kepemilikan dan penguasaan tanah,
diterbitkan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diubah dengan PP Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Upaya pelaksanaan landreform juga didukung oleh beberapa regulasi
seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang
Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan
Tanah Obyek Landreform secara Swadaya, Instruksi Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1995 tentang Inventarisasi atas Tanah
Terlantar, Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absente Baru, serta
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 1997
tentang Penertiban Tanah Obyek Redistribusi Landreform.

Kemudian memasuki era reformasi pada tahun 1998, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR)
Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi
Ekonomi. Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan
pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara
adil dengan menghilangkan 8 segala bentuk pemusatan penguasaan dan
pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil,
menengah, koperasi dan masyarakat luas (Shohibuddin, 2009). Tidak banyak
yang menyadari bahwa TAP MPR ini yang mengawali komitmen kita
menjalankan reforma agraria, yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim
Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam
rangka Pelaksanaan Landreform.
Pada tahun 2001, MPR kembali menelurkan TAP MPR Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam, yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria
di Indonesia. TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan, yang secara jelas mencantumkan langkah-langkah
percepatan reforma agraria berupa penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan
regulasi lainnya, serta pembangunan sistem informasi dan manajemen
pertanahan.
Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara
tegas sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah
satu fungsi Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari
21 fungsi yang diemban BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya
adalah reformasi agraria. Selain itu, BPN bertanggungjawab langsung
kepada Presiden. Dengan demikian, Perpres ini merupakan upaya
memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma agraria. Untuk

lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi kemudian
diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi penetapan
tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan haknya. Terlepas dari peraturan perundang-undangan dan
regulasi yang ada, pada dasarnya sejak awal MPR telah menunjukkan
keinginan yang teguh untuk mendorong agar pemerintah melaksanakan
program landreform. Terbukti dari pencantuman frasa “penataan kembali
penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah sehingga benarbenar sesuai
dengan asas adil dan merata”,termasuk menjadikan program transmigrasi
sebagai bagian dari upaya landreform,pada setiap Garis Besar Haluan
Negara (GBHN)6. Bahkan dalam GBHN 1988 secara khusus terdapat frasa
“perlu dicegah pemilikan tanah perseorangan secara berlebihan, serta
pembagian tanah menjadi sangat kecil sehingga tidak menjadi sumber
kehidupan yang layak” (Hendrawan, 2003)
2.4 Pelaksanaan Landreform Di Inonesia
Landreform di Indonesia pernah diim-plementasikan dalam kurun
waktu 1961 sam-pai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk, 1995).
Landasan hukum pelaksanaan land-reform di Indonesia adalah UUPA No. 5
tahun 1960, yaitu pasal 7 dan 17 untuk sumber pe-ngaturan pembatasan luas
tanah maksimum, pasal 10 tentang larangan tanah absentee, dan pasal 53
yang mengatur hak-hak semen-tara atas tanah pertanian. Produk hukum
yang secara lebih tajam lagi dalam konteks ini adalah UU Nomor 56 tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, serta PP No 224/ 1961 dan
PP No 41/1964 tentang Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.

6 Secara rinci dapat dilihat pada GBHN 1978 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1978), GBHN 1983
(TAP MPR RI NO. II/MPR/1983), GBHN 1988 (TAP MPR RI No. II/MPR/1988), GBHN 1988
(TAP MPR RI No. II/MPR/1993), GBHN 1998 (TAP MPR RI No. II/MPR/1998) dan GBHN
1999 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1999).

Saat program landreform tersebut di-luncurkan, kondisi politik di
Indonesia sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai
panglima”, dimana tiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik.
Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikan landreform sebagai
alat yang ampuh untuk memikat simpatisan. Landreform diklaim sebagai alat
perjuangan partai mereka, dengan menjanjikan tanah sebagai faktor penarik
untuk perekrutan anggota. Pola ini memang kemudian menjadikan PKI cepat
disenangi oleh masyarakat luas terutama di Jawa yang petaninya sudah
merasakan keku-rangan tanah garapan. Namun bagi petani bertanah luas,
landreform merupakan anca-man bagi mereka, baik secara politik maupun
ekonomi, yaitu kekhawatiran terhadap akan menurunnya luas penguasaan
tanah mereka yang akhirnya berimplikasi kepada penurunan pendapatan
keluarga dan kesejahteraan.
Program landreform hanya berjalan intensif dari tahun 1961 sampai
tahun 1965. Namun demikian, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa pada
masa berikutnya meng-klaim bahwa landrefrom tetap dilaksanakan meskipun
secara terbatas. Dalam makalah Posterman (2002) diuraikan, bahwa dari
tahun 1960 sampai 2000 secara akumulatif tercatat telah berhasil dilakukan
distribusi lahan dalam konteks landreform seluas 850.128 ha. Jumlah rumah
tangga tani yang menerima adalah 1.292.851 keluarga, dengan rata-rata
keluarga menerima 0,66 ha.
Data ini sedikit berbeda dengan yang dikeluarkan oleh BPN (Kepala
BPN, 2001), dimana dari total obyek tanah landreform 1.601.957 ha, pada
kurun waktu 1961-2001 telah diredistribusikan tanah seluas 837.082 ha
(52%) kepada 1.921.762 petani penerima. Selain itu, untuk tanah absentee
dan tanah kelebihan maksimum telah dilakukan ganti rugi oleh pemerintah
seluas 134.558 ha kepada 3.385 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti rugi
lebih dari Rp. 88 trilyun. Khusus selama era pemerintahan Orde Baru, untuk
menghindari kerawanan so-sial politik yang besar, maka landreform diimplementasikan dengan bentuk yang sangat berbeda. Peningkatan akses

petani kepada tanah dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan
sebaran penduduk dengan luas tanah, dengan cara memindahkan penduduk ke daerah-daerah yang tanahnya luas melalui transmigrasi. Program ini
kemudian dibarengi dengan program pengembangan PIR (Perkebunan Inti
Rakyat). Luas tanah yang diberikan kepada transmigran dan petani plasma
mengikuti ketentuan batas minimum penguasaan yaitu 2 ha lahan garapan
per keluarga.
Peluang Pelaksanaan Landreform
Pembaruan agraria secara umum mensyaratkan dua hal pokok, dalam
posisi ibarat dua sisi mata uang, yaitu komitmen politik pemerintah yang kuat
di satu sisi, dan tersedianya modal sosial (social capital) misalnya
berkembangnya civil society yang memadai. Dapat dikatakan, keduanya saat
ini masih dalam kondisi tidak siap. Hambatan lain datang dari intervensi yang
tak terbantahkan dari ideologi kapitalisme, khususnya melalui instrumen
pasar global, yang telah menembus seluruh aspek kehidupan, termasuk
dalam hal sistem agraria suatu negara. Jika selama ini pemerintah yang
menjadi penguasa terhadap petani dengan menggunakan tanah sebagai alat
politiknya, terutama dalam era “Tanam Paksa”, maka di era pasar bebas
ketika komo-ditas ditentukan oleh kehendak pasar, maka pasarlah yang
menjadi penguasa. Dengan kata lain, sistem agraria yang akan berjalan di
suatu negara, baik penguasaan, pemilikan, dan penggunaan; akan lebih
ditentukan oleh pasar dengan ideologinya sendiri misalnya dengan
penerapan prinsip-prinsip efisiensi dan keuntungan.
Secara

umum

ada

empat

faktor

pen-ting

sebagai

prasyarat

pelaksanaan land-reform, yaitu: (1) elit politik yang sadar dan mendukung, (2)
organisasi petani dan masya-rakat yang kuat, (3) ketersediaan data yang
lengkap dan akurat, serta (4) ketersediaan anggaran yang memadai. Untuk
Indonesia, dapat dikatakan keempat faktor tersebut saat ini sedang dalam

kondisi lemah. Narasi secara ringkas tentang kondisi keempat aspek tersebut
diuraikan berikut ini.
Lemahnya Keinginan Elite Politik dan Kapasitas Pemerintah Lokal
Kunci pokok pelaksanaan landreform ada pada politisi, karena
permasalahan land-reform ada dalam aspek politik. Hal ini dinyata-kan oleh
Walinsky (1997; dalam Abdurrahman, 2004), yaitu: “ The key to who makes
agrarian reform, and to what determines whether an attempted reform will be
successful is political. Technical expertise in prepering and administering the
necessary legislation in indispensible but experts do not make reform.
Politician and only politicians, make good or poor reform or do not make them
at all”. Di pundak para politikuslah masalah besar land-reform terletak. Hanya
mereka yang mampu melakukannya, atau sebaliknya pada mereka jugalah
yang memastikan apakah landreform
dapat dilaksanakan atau tidak sama sekali. Kunci pelaksanaan landreform
bukanlah pada perencana, pakar, ataupun undang-undang, meskipun dalam
tataran wacana semua pihak boleh dan memang sebaiknya ikut terlibat.
Kesadaran dan kemauan pihak politisi dapat ditelusuri dari produk
kebijakan yang mereka hasilkan. Dengan didasari Keppres No 131 tahun
1961 yang kemudian disempurna-kan dengan Keppres no 263 tahun 1964,
dibentuk Panitia Landreform di Indonesia mulai dari tingkat provinsi,
kabupaten, sampai de-ngan kecamatan dan desa. Hal ini menanda-kan
bahwa pemerintah menaruh perhatian yang tinggi, meskipun masih terkesan
sentra-listik.
Namun kemudian keluar Keppres No 55 tahun 1980 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Landreform, dimana Panitia
Landrfeorm tersebut dibubarkan dan dialihkan wewenangnya kepada jajaran
birokrasi Departemen Dalam Negeri, mulai dari menteri sampai dengan
camat dan kepala desa. Semakin jelas dari kebijakan ini, bahwa landreform
dianggap sebagai bagian pekerja-an rutin belaka oleh pemrintah, namun

akses masyarakat dan swasta untuk terlibat kurang jelas posisi dan
perannya.
Dapat

dikatakan,

kebijakan

landreform

di

masa

Orde

Baru

mengambang dan kabur. Sikap ini dapat dimaknai sebagai sebuah sikap
untuk mengambil keuntungan secara politis dalam perebutan penguasaan
lahan ketika berhadapan dengan petani dan masyarakat.
Dalam konteks otonomi daerah, di mana pemerintahan daerah
semakin diper-kuat, namun aspek landreform secara umum masih menjadi
kewenangan dari pusat. Lebih ironisnya, pemerintah lokal yang lebih
berpihak kepada investor swasta, cenderung menjadi makelar untuk
penyediaan tanah bagi mereka. Kebijakan landreform jelas bukan merupakan
ide yang menguntungkan untuk meraih inves-tor, retribusi, dan pendapatan
daerah.
Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, telah diberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proporsional. Kewenangan daerah Kabupaten/
Kota, meliputi:
(1) Pemberian izin lokasi, pengaturan perse-diaan dan peruntukan tanah;
(2) Penyelesaian masalah sengketa tanah garapan di atas tanah negara;
(3) Penguasaan pendudukan tanah tanpa ijin dari pihak yang berwenang
oleh pihak yang tidak berhak/kuasanya;
(4) Penyelesaian ganti rugi dan santunan dalam pengadaan tanah;
(5) Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat;
(6) Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
(7) Penyelesaian dan pemanfaatan sementa-ra tanah kosong;
(8) Pengaturan tanah reklamasi dan tanah timbul;
(9) Rekomendasi obyek, subyek, redistribusi tanah obyek landreform;
(10) Penetapan penyelenggaraan bagi hasil (tanah pertanian); dan

(11) Penetapan harga dasar tanah; dan pene-tapan kawasan siap
bangun.
Dalam PP no 25 tahun 2000, disebut-kan bahwa kewenangan
penetapan persyarat-an landreform berada pada pemerintah pusat bersamasama dengan antara lain: penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah,
pene-tapan standar administrasi pertanahan, dan penetapan pedoman biaya
pelayanan perta-naham. Namun dalam Keppres Nomor 34 tahun 2003,
pemerintah daerah Kabupaten/ Kota berwenang dalam menetapkan subyek
dan obyek redistribusi tanah, serta ganti keru-gian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee. Menurut penilaian Hutagalung (2004),
kewenangan pemerintah daerah relatif kecil dalam pelaksanaan landreform.
Terlihat bahwa, sudah cukup banyak bentuk kewenangan yang
diberikan kepada pemerintah daerah agar lebih leluasa dalam mengelola
daerahnya. Meskipun demikian, dalam wawancara dengan berbagai pihak
(dalam penelitian ”Studi Peluang dan Prospek Reforma Agraria di Sektor
Pertanian” yang penulis ikuti tahun anggaran 2004), ditemukan kesan yang
cenderung kurang peduli kepada kebijakan landreform. Mereka cenderung
ber-lindung di balik sikap bahwa landreform adalah suatu yang sulit dan
membutuhkan biaya yang besar, karena itu biarlah menjadi prioritas yang
kesekian.
Dalam studi terhadap berbagai doku-men pembangunan yang
dikeluarkan berbagai instansi, hukum dan peraturan tentang agraria,
terutama Tap MPR No. IX tahun 2001, belum menjadi produk hukum yang
dipedomani. Be-lum ditemukan adanya kebijakan pemerintah yang secara
langsung berupaya untuk mem-perbaiki sistem agraria secara komprehensif.
Satu peristiwa penting yang patut di-catat pada kurun waktu tahun
2004 ini adalah dirintisnya pembentukan komisi khusus guna menangani
konflik agraria oleh Komnas HAM dengan nama Komnas untuk Penyelesaian
Konflik Agraria (KNuPKA), termasuk nanti di dalamnya peradilan khusus
(land claim court). Pembentukan lembaga ini bertolak dari kenya-taan

besarnya permasalahan konflik agraria di Indonesia, dimana sepanjang tahun
1999 saja Komnas HAM telah menerima pengaduan 520 kasus, dan ini
merupakan nomor tiga terba-nyak dibandingkan bidang lain (KPA, 2004).
Keberadaan Komnas HAM terbatas karena meskipun dapat menerima
permasalahan berkenaan dengan kekerasan, penyiksaan, dan diskriminasi,
namun tidak menyinggung tentang sengketa tanahnya. Hal ini merupakan
indikasi semakin baiknya kesadaran dan duku-ngan dari golongan elit dalam
memperjuang-kan permasalahan reforma agraria secara luas. Namun
demikian, melihat lambatnya perkembangan yang terjadi, maka aroma
pesimisme dari dukungan elit politik sangat terasa.

BAB III
KESIMPULAN
Dari

paparan

di

atas,

kondisi

yang

dihadapi

untuk

mengimplementasikan program landreform di Indonesia sangat berat, dalam
kondisi ekonomi dan politik yang belum mapan, setelah beberapa tahun
dilanda krisis multidimensi. Beratnya permasalahan yang ditanggung bahkan
sudah terasa semenjak dalam tataran wacana, yang masih merupakan
langkah awal ke tahap perencanaan. Namun demikian, beberapa tahun
trakhir ini, khusus-nya semenjak kejatuhan pemerintahan Orde Baru, telah
nampak kegairahan yang besar pada sebagian pihak dalam membicarakan
tentang reforma agraria dan landrefrom secara terbuka.

Memasuki abad ke 21 ini, dukungan internasional dan lembagalembaga donor dapat dikatakan negatif terhadap ide reforma agraria.
Ditambah dengan kondisi politik dan keuangan dalam negeri yang masih
sulit, maka wajar kalau kalangan elite politik menjadi tidak berani dalam
memperjuangkan kebijakan ini. Peluang landreform semakin kecil jika diingat,
bahwa sesungguhnya belum tumbuh kesadaran yang kuat pada golongan
elit, bahkan masyarakat, bahwa segala permasa-lahan pembangunan
pertanian dan pedesaan yang kita hadapi sekarang ini dapat diselesai-kan
secara mendasar, yaitu melalui perbaikan struktur penguasaan dan pemilikan
tanah pertanian (=landreform).
Meskipun demikian, salah satu pe-luang yang lebih realistis adalah
melaksana-kan program landreform secara terbatas, yaitu untuk wilayahwilayah yang tekanan penduduk dan konflik pertanahannya masih ringan,
terutama di luar Jawa. Ide ini dapat menjadi satu point yang menarik, karena
dengan segala permasalahan yang dihadapi ini, berpikir untuk melakukan
reforma agraria secara serentak dan menyeluruh dapat dikata-kan hampir
mustahil. Landreform terbatas di sebagian wilayah banyak diterapkan
negara-negara lain, misalnya di India dan Jepang.

Agar diperoleh hasil yang optimal, maka program landreform harus
dilaksanakan dengan kesiapan unsur-unsur pembaruan agraria yang lain.
Redistribusi lahan di satu wilayah hanya akan meningkatkan kesejah-teraan,
jika disiapkan unsur-unsur lain seperti infrastruktur, bentuk-bentuk usaha
yang akan dikembangkan oleh masyarakat, dukungan permodalan untuk
usahatani, serta teknologi dan pasar. Pelaksanaan landreform yang terlepas
dari konteks pembaruan agraria hanya akan menghasilkan anarkhi, konflik,
penelantaran tanah dan maraknya jual beli lahan yang bisa saja akan
memperparah ketimpangan. Karena itu, jika satu wilayah akan menjalankan

landreform maka seluruh pihak harus mendukung dan siap dengan kebijakan
dan peranannya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. H.M. Arba, S.H., M.hum., Hukum Agraria Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta,
2016
Pingky Chrysantini, Berawal dari Tanah Melihat Kedalam Aksi Pendudukan Tanah,
Yayasan AKATIGA, Bandung, 2007.

Harsono, Boedi. 2002. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional
dalam Hubungan-nya dengan Tap MPR RI Nomor IX Tahun 2001, Makalah
pada Seminar Nasional Pertanahan 2002 “Pembaruan Agraria”. STPN
Yogyakarta, Tanggal 16 Juli 2002.
Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I, Penerbit
Djambatan, Edisi Revisi 2003.