PERBANKAN INDONESIA DIMASA KRISIS (1)

PERBANKAN INDONESIA DIMASA KRISIS
Indonesia mulai mengalami krisis moneter sejak Agustus 1997. Pada
saat awal terjadinya krisis, dimulai dengan dampak dari proses penularan,
dimana rupiah tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan
dengan apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia. Tetapi kemudian
dengan langkah kebijakan yang dilakukan yaitu pelebaran rentang kurs
intervensi, mengubah sistem nilai tukar dari mengambang terkendali
(managed floating) menjadi pengambangbebasan rupiah (free floating),
intervensi BI dan pengetatan likuiditas, terjadi proses menjalar dari proses
penularan tersebut, sehingga gejolak kurs rupiah menjalar menjadi
masalah tertekannya perbankan.Ketidakpercayaan terhadap rupiah
menjalar
menjadi
ketidakpercayaan
terhadap
perbankan
yang
menimbulkan krisis perbankan. Krisis tersebut membawa kepanikan
kepada para nasabah bank karena mahalnya kredit bank, sehingga sektor
keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan
produksi, perdagangan, investasi maupun konsumsi).Selanjutnya,

perkembangan krisis keuangan ini menjalar menjadi krisis sosial dimana
perusahaan yang tidak memperolah pinjaman bank mulai melakukan PHK
terhadap karyawannya.Berbagai barang impor harganya melonjak tinggi,
banyak pabrik ditutup karena mahalnya bahan baku impor serta tingginya
tingkat inflasi, banyak karyawan di-PHK, bertambahnya angka kemiskinan
dan lain-lain. Dunia perbankan tidak luput dari pengaruh krisis moneter.
Perbankan yang berkembang dengan baik tiba-tiba mengalami kejatuhan.
Hal itu disebabkan banyaknya bank yang memberi kredit pada proyekproyek atau sektor-sektor yang berisiko tinggi, rendahnya tingkat
manajemen bank, serta terlalu longgarnya pemberian kredit kepada
nasabah yang ditandai dengan adanya penyelewengan atas batas
pemberian kredit.
Jatuhnya perbankan, membuat pemerintah harus melikuidasi
(membubarkan) banyak bank. Tanggal 17 November 1997, 16 bank
swasta dilikuidasi, dan dilanjutkan dengan 50 bank pada likuidasi kedua.
Likuidasi dilakukan dengan tujuan menyehatkan dan merampingkan dunia
perbankan. Akan tetapi, ternyata likuidasi 66 bank tersebut berdampak
buruk, masyarakat berlomba-lomba mengambil simpanannya dari bankbank yang dikabarkan akan dilikuidasi. Maka, terjadilah rush (pengambilan
terusmenerus) oleh masyarakat seperti yang terjadi pada Bank Danamon
dan BCA sehingga pada akhirnya bank-bank tersebut diambil alih oleh
pemerintah.Untuk

menyehatkan perbankan nasional, pemerintah
melakukan berbagai kebijakan, di antaranya adalah:
a. Melakukan Program Penjaminan Penuh
Untuk
memulihkan
kepercayaan
masyarakat
terhadap
bank,
pemerintah menjamin penuh semua dana masyarakat yang ada di

semua bank umum yang berbadan hukum Indonesia, baik yang
berbentuk bank pemerintah, bank swasta atau bank campuran. Dengan
penjaminan ini, jika suatu saat bank mengalami masalah maka
pemerintah wajib menjamin keamanan dana masyarakat.
b. Melakukan Program Rekapitalisasi Perbankan
Dengan program ini, diharapkan bank-bank dapat memenuhi ketentuan
permodalan minimum.
c. Melakukan Pembentukan BPPN
Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 27/1998, tugas BPPN adalah:

1)Melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah
kepada bank umum.
2)Melakukan pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan termasuk
restrukturisas bank yang oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak sehat.
3)Melakukan tindakan hukum lain yang diperlukan dalam rangka
penyehatan bank yang tidak sehat. Dalam menjalankan tugasnya,
BPPN dipimpin seorang ketua yang diangkat dan diberhentikan oleh
presiden.
A. STRUKTUR PERBANKAN INDONESIA
http://faustafika.blogspot.co.id/2013/02/struktur-perbankan-indonesia.html
Berdasarkan undang-undang, struktur perbankan di Indonesia,
terdiri atas bank umum dan BPR. Perbedaan utama bank umum dan BPR
adalah dalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidak dapat menciptakan
uang giral, dan memiliki jangkauan dan kegiatan operasional yang
terbatas. Selanjutnya, dalam kegiatan usahanya dianut dual bank system,
yaitu bank umum dapat melaksanakan kegiatan usaha bank konvensional
dan atau berdasarkan prinsip syariah. Sementara prinsip kegiatan BPR
dibatasi pada hanya dapat melakukan kegiatan usaha bank konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah


Rekapitulasi Institusi Perbankan di Indonesia Oktober 2011

Struktur Perbankan Indonesia sesuai Visi Arsitektur Perbankan Indonesia
(API) :
1. Bank Internasional
yaitu bank yang mempunyai total aset Rp. 1.000 Triliun
dengan modal > Rp. 50
Triliun dan diproyeksikan 10 – 15 tahun dengan jumlah 2 – 3 bank
2. Bank Nasional
yaitu bank yang mempunyai total aset Rp 200 Triliun dengan modal antar
a Rp 10 – 50 Triliun
dan diproyeksikan 10 – 15 tahun dengan jumlah 3 – 5 bank
3. Bank Fokus
yaitu bank yang mempunyai modal Rp. 100 Milyar s.d. Rp. 10
Triliun dan
diproyeksikan 10 – 15 tahun dengan jumlah 30 – 50 bank dengan fokus :
‐ Daerah

‐ Korporasi
‐ Ritel

‐ Lainnya
4. Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Dengan Kegiatan Usaha Terbatas
yaitu bank dengan modal s.d 100 Miliar

http://ekonomisku.blogspot.co.id/2015/05/keadaan-perbankan-ketika-krisismoneter.html
http://www.academia.edu/7450031/Krisis_Perbankan_Solusi_dan_Pencegahan

D. Faktor Penyebab Terjadinya Krisis Perbankan 1997/1998
Setelah
berpuluh-puluh
tahun
terbuai
oleh
pertumbuhan
perekonomian yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia
mengalami kontraksi begitu hebat. Krisis yang sudah berjalan enam bulan
selama tahun 1997, berkembang semakin buruk dalam tempo cepat.
Faktor yang memperparah kondisi perbankan di Indonesia adalah:
1. Menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat,
2. Ketidakpastian suksesi kepemimpinan,

3. Sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan,
4. Besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo,
5. Situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan.
Faktor penyebab krisis tidak hanya datang dari dalam negeri karena
bisa juga terjadi karena ekses dari krisis dinegara lain.
a. Penyebab dari krisis di Indonesia bukanlah karena fundamental
ekonomi Indonesia yang selama ini lemah tetapi terutama karena
utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar.
Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkansektor
luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami
overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya.
b. Adanya hutang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
juga dapat menyebabkan krisis dimasa yang akan datang, dimana nilai tukar
rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa
untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya,
ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang
swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai
jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang

resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit

berkurang.
c. P e r d a g a n g a n
bebas
yang
saat
ini
berlangsung
di
Indonesia
dapat
menjadi
sa lah sat u faktor penyebab krisis.
d. Liberalisasi pada sektor finansial pun dapat menjadi faktor krisis,
ketika modal dapat masuk ( inflows ) dan keluar (outflows) tanpa
hambatan.Modal akan mengalir pada pasar yang paling
menguntungkan, hal ini akan menimbulkan keburukan apabila
kondisi pasar tidak sempurna, lemahnya supervisi, tata kelola dan
kordinasi.
Terjadinya krisis keuangan memberikan banyak dampak yang harus
diterima oleh Indonesia, baik pada bursa saham, pasar modal, pasar uang

dan sistem perbankan, diantaranya:
1. Daya beli yang merosost tajam, baik karena penurunan pendapatan
secara nominal, maupun akibat melonjaknya harga pangan dan
barang barang kebutuhan pokok lain, konsumen dan berbagai
sektor dalam perekonomian juga dipaksa mengurangi konsumsi;
2. Masyarakat pun mulai merasakan memburuknya kualitas kehidupan
mereka, seperti akses kepemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan
dan hancurnya infrastruktur dasar;
3. Banyaknya pengangguran karena sektor industri tidak lagi berjalan
seperti biasa yang disebabkan oleh adanya penurunan produksi;
4. Penurunan indeks di lantai bursa karena sentuhan negatif dari bursa
global yang mengakibatkan para investor mengalami kerugian;
5. Nilai tukar rupah terhadap dollar AS yang semakin menurun karena
banyak para eksportir yang membutuhkan uang dollar untuk
bertransaksi dengan pihak asing;
6. Sektor riil domestik dan internasional terhubung secara langsung
melalui aktivitas ekspor dan impor karena sebagian permintaan
ekspor komoditas Indonesia akan berkurang;
7. Di pasar keuangan domestik hanya berdampak berupa pelepasan
surat berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing.

Melihat begitu banyaknya dampak krisis, maka tentu harus
diimbangi dengan kiat-kiat yang baik guna menanggulangi
keseluruhan hal tersebut.

B. Kondisi Perbankan sebelum dan pada Awal Krisis
Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kegiatan perbankan secara umum masih
berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat
sementara ekspansi kredit tetap kuat, terutama ke sektor properti. Ekspansi berlebihan juga
telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing, khususnya pada bank swasta

nasional, meningkat tajam sebagaimana tercermin dari memburuknya posisi devisa netto dan
makin besarnya rekening administratif dalam valuta asing perbankan selama tiga tahun
terakhir. Di sisi lain, kredit tidak lancar pada beberapa bank nasional cenderung meningkat
dan efisiensi usaha memburuk.
Kerentanan tersebut tidak lepas dari berbagai kelemahan fundamental industri perbankan
yang sudah terakumulasi sejak beberapa tahun sebelumnya. Terdapat lima faktor yang
menyebabkan kondisi mikro perbankan menjadi rentan terhadap gejolak ekonomi pada masa
itu, yaitu:
1. Relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan kualitas
aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank. Situasi ini diperburuk pula oleh

lemahnya pengawasan dan sistem informasi internal didalam memantau, mendeteksi, dan
menyelesaikan kredit bermasalah serta posisi risiko yang berlebihan. Besarnya pemberian
kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu atau
kelompok usaha yang terkait dengan bank, telah mendorong tingginya risiko kemacetan
kredit yang dihadapi bank.
2. Adanya jaminan terselubung dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk
mencegah kegagalan sistematik dalam industri perbankan sehingga risiko yang dihadapi
perbankan sebagai akibat dari kesulian likuiditas secara praktis tergeser kepada bank sentral.
3. Kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah mengakibatkan
kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi keuangan suatu bank, juga
telah melemahkan upaya untuk melakukan kontrol sosial dan menciptakan disiplin pasar.
Hal-hal tersebut berakibat ikut mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
4. Sistem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya dapat
mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan. Hal ini telah
mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan
operasional mereka. Meskipun ketentuan kehati-hatian perbankan di Indonesia telah
mengikuti standar dari Bank for International Settlements (BIS), lemahnya penegakan hukum
dan kurangnya independensi bank sentral menyebabkan langkah-langkah koreksi tidak dapat
dilakukan secara efektif.
Awal kesulitan mulai terjadi ketika nilai tukar rupiah mulai melemah sejak Juli 1997,

perbankan nasional mulai terkena imbasnya. Melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan
kewajiban bank dalam mata uang rupiah untuk memenuhi kewajiban yang terdenomasi valuta
asing naik secara tajam. Akibatnya bank-bank sulit untuk memenuhi penarikan dana oleh
para kreditur.
Melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu awal gelombang kesulitan likuiditas pada
perbankan. Krisis perbankan tahun 1997-1998 dapat dibagi menjadi tiga tahap, Tahap
pertama yaitu tahap awal kebijakan mengatasi kesulitan likuiditas perbankan dimulai sejak
krisis berlangsung, yaitu pada saat kepercayaan terhadap perbankan semakin merosot. Tahap
selanjutnya adalah tahap meredakan krisis dan terakhir adalah tahap restrukturisasi
perbankan, yaitu pemulihan kembali perbankan.
C. Kebijakan Awal Mengatasi Kesulitan Likuiditas Perbankan
Menghadapi kesulitan perbankan tersebut diatas, Bank Indonesia membawa masalah ini ke
dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, Pengawasan Pembangunan dan
Produksi Distribusi pada 3 September 1997. Pada sidang kabinet tersebut, Presiden
memutuskan antara lain agar Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia mengambil

langkah-langkah sebagai berikut:
· Agar diupayakan penggabungan atau akuisisi terhadap bank-bank yang secara nyata tidak
sehat oleh bank yang sehat.
· Jika upaya ini tidak berhasil, bank-bank tersebut supaya dilikuidasi sesuai peraturan
perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin penabung, terutama
pemilik simpanan kecil.
Sebagai langkah awal penyehatan perbankan yang dirumuskan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dengan dukungan IMF disepakati bahwa tindakan melikuidasi bank yang tidak
solvent merupakan sesuatu yang perlu dilakukan dalam rangka restrukturisasi perbankan.
Dalam Rapat Direksi Bank Indonesia, dikemukakan bahwa pihak Bank Indonesia
menyampaikan tujuh bank swasta nasional yang layak dicabut izin usaha mereka. Namun
IMF tidak puas dengan tujuh bank, karena menurut mereka market menghendaki lebih dari
tujuh bank. Setelah melalui serangkaian kajian disepakati 16 bank yang dilikuidasi, antara
lain :
1. Bank Harapan Sentosa
2. Sejahtera Bank Umum
3. Bank Pacific
4. South East Asian Bank
5. Bank Pinaesaan
6. Bank Anrico
7. Bank Umum Majapahit Jaya
8. Bank Industri
9. Bank Jakarta
10. Bank Astria Raya
11. Bank Guna Internasional
12. Bank Dwipa Semesta
13. Bank Kosagraha Semesta
14. Bank Citrahasta Danamanunggal
15. Bank Andromeda
16. Bank Mataram Dhanaarta
Penutupan 16 bank yang tidak solvent merupakan bagian dari restrukturisasi sektor keuangan,
bahkan sebenarnya tindakan ini merupakan syarat awal dari pinjaman IMF. Pencabutan izin
usaha terhadap 16 bank yang semula dimaksudkan untuk penyehatan perbankan guna
mengembalikan kepercayaan masyarakat justru memberikan hasil yang sangat jauh dari
perhitungan. Masyarakat yang mengetahui bahwa jumlah simpanan yang dibayarkan pada 16
bank yang dilikuidasi hanya sebesar Rp 20 juta sedangkan sisa simpanan diatas Rp 20 juta
melakukan penarikan dana tunai secara besar-besaran dan pemindahan dana dari bank-bank
yang dianggap lemah ke bank-bank yang dinilai kuat. Akibatnya, bank-bank yang dianggap
kuat juga ikut terkena dampak krisis kepercayaan tersebut.
D. Kebijakan Lanjutan Meredakan Krisis Perbankan
Kebijakan lanjutan ini dimulai dengan pelaksanaan kebijakan unutk meredam krisis
perbankan dengan program restrukturisasi perbankan sebagai bagian dari restrukturisasi
sektor keuangan. Rumusan tersebut berupa :
1. Program jaminan oleh pemerintah yang diyakini sebagai cara terbaik untuk memperbaiki
kondisi perbankan sambil memulihkan kembali kepercayaan masyarakat. Pemerintah
memperkenalkan program ini sebagai program penjaminan pemerintah atas kewajiban bank

umum terhadap para deposan dan kreditur.
2. Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Keberadaan lembaga ini pada awalnya terfokus pada identifikasi upaya-upaya untuk
merehabilitasi bank-bank bermasalah yang diserahkan Bank Indonesia, karena telah
menikmati bantuan likuiditas sebesar 200% dan atau memiliki CAR kurang dari 5%. Dengan
dukungan BPPN ini, Bank Indonesia diharapkan mampu lebih efektif dalam melakukan
pengawasan terhadap bank-bank lainnya.
E. Restrukturisasi Perbankan
Dengan meredanya kesulitan likuiditas perbankan dan berkurangnya gelombang penarikan
dana, Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian menyiapkan program restrukturisasi
perbankan. Program ini bertujuan unutk mengatasi dampak krisis dan menghindari terjadinya
krisis serupa di masa datang. Restrukturisasi perbankan dikelompokkan melalui empat aspek,
yaitu :
1. Rekapitalisasi Perbankan.
Rekapitalisasi bank-bank merupakan langkah strategis untuk memperbaiki permodalan bank.
Rekapitalisasi ini terdiri dari:
· Rekapitalisasi bank-bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan mencapai rasio
kecukupan modal minimum sebesar 8% pada tahun 2001.
· Pembersihan bank-bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi persyaratan
sebagai pemilik dan pengurus bank (tidak fit and proper)
· Penutupan bagi bank-bank yang diperkirakan tidak mampu bertahan.
· Penyelesaian aset-aset bank yang ditutup.
· Penyelesaian kredit macet perbankan, dengan mengalihkan ke Asset Management Unit dan
menghapusbukukan dari bank-bank yang direkapitalisasi.
2. Restukturisasi Kredit.
Aspek ini sangat menentukan keberhasilan program restrukturisasi perbankan dan program
penyehatan perekonomian secara keseluruhan. Restrukturisasi kredit yang dilakukan ini
melengkapi restrukturisasi kredit dan aset perbankan lainnya yang dilakukan oleh BPPN dan
diharapkan dapat memperbaiki pembukuan bank, serta menggairahkan para debiturnya untuk
kembali berproduksi (yang berarti menggerakkan sektor riil).
3. Langkah-langkah lainnya.
Selanjutnya ditempuh langkah pengembangan infrastruktur perbankan untuk meningkatkan
daya tahan bank menghadapi berbagi gejolak. Salah satunya dengan pendirian Lembaga
Penjamin Simpanan dan Pengambangan Bank Syariah. Selain itu, dilakukan fungsi
pengawasan bank dengan mengutamakan penegakan aturan dan meningkatkan frekuensi
pemeriksaan bank yang difokuskan pada risiko yang dihadapi oleh setiap bank.
4. Tingkat kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan.
Seperti diketahui sebelumnya, sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia, landasan hukum bagi Bank Indonesia sebagai bank sentral adalah
Undang-undang no.13 tahun 1968 tentang Bank Sentral. Dalam Undang-undang yang lama
ditetapkan bahwa dalam menjalankan tugasnya Bank Indonesia mengacu pada kebijakan
yang dilakukan oleh Dewan Moneter. Hal ini mencerminkan kekurangtegasan dalam
pembagian tugas dan tanggung jawab antara bank Indonesia dengan pemerintah, serta
mencerminkan pula keterbatasan wewenang Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan
moneter dan perbankan. Terbatasnya kewenangan tersebut berakibat kurang efektifnya
langkah-langkah yang ditempuh oleh Bank Indonesia dalam mengatasi krisis moneter yang
terjadi. Atas dasar pengalaman tersebut, lahirlah UU no. 23 tahun 1999 yang mengandung
dua aspek:

· Kebebasan/independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tanpa boleh
dicampurtangani oleh pemerintah atau pihak-pihak lainnya. independensi ini merupakan
upaya agar Bank Indonesia tetap fokus kepada upaya menjaga kestabilan nilai rupiah dalam
kondisi politik yang dapat berubah.
· Tujuan Bank Indonesia yang lebih terfokus, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.
Secara bersama-sama kedua aspek tersebut bagi Bank Indonesia akan merupakan tanggung
jawab profesionalisme agar kestabilan nilai rupiah dapat dipelihara secara terus menerus dan
dilain pihak dapat memberikan harapan yang lebih baik bagi semua pihak, termasuk dunia
usaha, bahwa kepastian iklim usaha di masa mendatang dapat lebih terjamin dengan stabilnya
nilai rupiah.
http://ipoel-freenews.blogspot.co.id/2009/04/krisis-perbankan-tahun-1997199.html

http://ock-t.blogspot.co.id/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html
http://www.bi.go.id/id/perbankan/ikhtisar/lembaga/Contents/Default.aspx

REFORMASI PEREKONOMIAN INDONESIA
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional.
Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan
budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan. Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai
segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktorfaktor
yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah
satu indikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh
ditawar- tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya
gerakan reformasi tersebut.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian
kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan
makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan
politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang
memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.
A. Krisis finansial Asia
Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga
mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum
mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi
0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia
mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997.
Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak
dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah
besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah
menghancurkan keuangan nasional.
Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas

ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun
1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini
menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan
mulai melanda masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan
IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh pemerintah belum
terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir
kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari
masalah utang luar negeri.
Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab
munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan
utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan
Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak
swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin
menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di
anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan
Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi
riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat
pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh
menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum
bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah
pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang
berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang
dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai
dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde
Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni
di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini
terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini
menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat.
Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakartasentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun
peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya
kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman,
walaupun yang memberitakan itu pers daerah.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
1)
Hutang luar negeri
Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinyakrisis ekonomi. Meskipun, hutang
itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapisangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya
untuk mengatasi krisis ekonomi.
2)
Industrialisasi
pemerintah Orde Baru ingin menjadikan negara RI sebagai negaraindustri. Keinginan itu
tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia.Masyarakat Indonesia merupakan
sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata).
3)
Pemerintahan Sentralistik

pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnyasehingga semua kebijakan ditentukan dari
Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan pemerintah daerah
hanya sebagaikepanjangan tangan pemerintah pusat
B. Kebijaksanaan Pemerintah Mengatasi Krisis
Krisis ekonomi dengan berbagai dampak negatif sebagaimana telah diuraikan di atas, secara
serius telah diupayakan untuk diatasi dengan melaksanakan kebijaksanaan ekonomi baik
yang bersifat makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut
memiliki dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak negatif dari krisis tersebut
terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan kedua, pemulihan
pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi. Kedua tugas tersebut sangat penting
antara lain karena:
1.
Meluasnya pengangguran akibat krisis yang terjadi di satu pihak dapat memicu
timbulnya kerusuhan sosial, sementara di lain pihak apabila berlangsung lama dapat
menurunkan daya saing angkatan kerja, karena mereka tidak mampu lagi menguasai
perkembangan ketrampilan baru yang sangat diperlukan.
2.
Kapasitas produksi baik pada industri pengolahan maupun sarana dan prasarana
pengangkutan, komunikasi, serta energi yang menganggur tanpa pemeliharaan yang baik
akan menjadi rusak.
3.
Meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang lainnya secara
berlanjut, pada gilirannya akan menambah jumlah penduduk miskin karena daya beli mereka
akan terus merosot.
4.
Kemunduran dalam pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan terutama bagi
putraputri penduduk berpendapatan rendah, akan mengganggu upaya pemberdayaan
kelompok penduduk tersebut di masa datang.
1. Kebijaksanaan Ekonomi Makro
Kebijaksanaan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya menekan
laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing adalah melalui
kebijaksanaan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan membatasi deficit
anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri.
Kebijaksanaan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksudkan
untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dengan
menahan naiknya permintaan aggregat, juga untuk mendorong masyarakat meningkatkan
tabungan di sektor perbankan.
Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat
menjadi salah satu faktor terpenting yang akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi
atau bersifat kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang
tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada
tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi.
2. Kebijaksanaan Ekonomi Mikro
Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah, ditujukan, antara lain:
a.
untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk
berpendapatan rendah dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi program
penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan
pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta penanganan pengangguran dalam
upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah;
b.
sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan

lembaga perbankan;
c.
merestrukturisasi hutang luar negeri;
d.
mereformasi struktural di sektor riil; dan
e.
mendorong ekspor.
a)
Jaring Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini berbagai langkah telah dilakukan untuk menambah alokasi anggaran rutin
(khususnya untuk subsidi bahan bakar minyak, listrik dan berbagai jenis makanan kebutuhan
pokok), mempertajam prioritas alokasi dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan.
Hal ini dilakukan melalui peninjauan kembali terhadap program dan kegiatan proyek
pembangunan, antara lain, dengan:
1.
menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak;
2.
melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan
dan kesehatan;
3.
memperluas penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan
pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan
pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan dan irigasi, yang dapat memperlancar
kegiatan ekonomi; dan
4.
memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus
meningkatkan partisipasi peranan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.
Sebagai akibat dari peninjauan kembali seluruh program dan kegiatan proyek pembangunan,
total anggaran dalam revisi APBN untuk sektor pertanian, pengairan, perdagangan dan
pengembangan usaha, pembangunan daerah, pendidikan, kesehatan, perumahan dan
permukiman, dalam tahun anggaran 1998/99 tidak hanya mengalami peningkatan yang cukup
besar dibandingkan dengan APBN sebelum revisi, tapi secara riil juga lebih besar dari
realisasi anggaran pembangunan tahun 1997/98, sedangkan alokasi anggaran pembangunan
untuk sektor lainnya secara riil mengalami penurunan.
Implikasi dari pelaksanaan program jaring pengaman sosial yang disertai langkah
penyesuaian untuk mempertajam prioritas alokasi dan peningkatan efisiensi anggaran
pembangunan, pemerintah tidak dapat menghindari terjadinya defisit yang sangat besar,
lebih kurang 8,5 persen terhadap PDB, dalam revisi APBN 1998/99. Hal ini disebabkan oleh
karena penerimaan dalam negeri dalam kondisi kontraksi PDB serta menurunnya harga migas
di pasar internasional sangat sulit untuk dapat ditingkatkan, walaupun sudah termasuk adanya
divestasi dalam BUMN.
Pemerintah sangat menyadari bahwa defisit APBN sebesar 8,5 persen terhadap PDB tidak
sustainable, itulah sebabnya akan diupayakan untuk menurunkannya minimal menjadi
setengahnya pada tahun 1999/2000 dan mengembalikan anggaran menjadi berimbang dalam
jangka waktu 3 tahun. Sehubungan dengan ini akan terus dikaji langkah-langkah untuk
menetapkan pemberian subsidi yang lebih tepat dan pelaksanaan program lain dalam
kerangka jaring pengaman sosial. Pemantauan dan evaluasi program penciptaan lapangan
kerja serta program di bidang pendidikan dan kesehatan akan terus disempurnakan agar dapat
dipastikan bahwa yang memperoleh manfaat terutama adalah penduduk miskin.
Di samping itu peningkatan kinerja penerimaan negara dan manajemen pengeluaran Negara
akan merupakan unsur terpenting dalam upaya menekan defisit anggaran. Dalam kaitannya
dengan upaya memperkuat manajemen pengeluaran, akan disusun kerangka prioritas dalam
pengeluaran negara yang lebih jelas, persiapan penyusunan anggaran yang lebih efisien,
kontrol manajemen kas, serta penyusunan laporan yang komprehensif, akurat dan tepat
waktu.
Penerimaan negara dari perpajakan diupayakan untuk ditingkatkan dengan menghilangkan
berbagai bentuk pengecualian terhadap pengenaan pajak pertambahan nilai; meningkatkan

nilai jual objek pajak atas PBB (pajak bumi dan bangunan) sektor perkebunan dan kehutanan
serta meningkatkan pendapatan pajak bukan migas melalui peningkatan cakupan audit
tahunan, penyempurnaan program audit PPN dan peningkatan penerimaan tunggakan pajak.
Sementara itu upaya meningkatkan penerimaan bukan pajak mencakup pengumpulan dana
oleh pemerintah di luar anggaran serta meningkatkan kinerja BUMN dengan privatisasi dan
peningkatan dalam manajemennya.
b) Penyehatan Sistem Perbankan
Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan memulihkan kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan nasional, langkah-langkah mendasar dari kebijakan penyehatan dan
restrukturisasi perbankan pada dasarnya terdiri dari dua kebijakan pokok, yaitu:
1.
Kebijakan untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat guna mendukung
pemulihan dan kebangkitan perekonomian nasional melalui:
a.
program peningkatan permodalan bank,
b.
penyempurnaan peraturan perundang-undangan, antara lain, mencakup:
1. perizinan bank yang semula merupakan wewenang Departemen Kuangan dialihkan
kepada Bank Indonesia.
2. investor asing diberikan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemegang saham
bank.
3. rahasia bank yang semula mencakup sisi aktiva dan pasiva diubah menjadi hanya
mencakup nasabah penyimpan dan simpanannya.
c.
penyempurnaan dan penegakkan ketentuan kehati-hatian, antara lain:
i.
Bank-bank diwajibkan untuk menyediakan modal minimum (Capital Adequacy
Ratio) sebesar 4% pada akhir tahun 1998, 8% pada akhir tahun 1999, dan 10% pada akhir
tahun 2000, sebagaimana telah diumumkan pemerintah pada bulan Juni 1998.
ii.
Melakukan tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pemilik dan pengurus bank
yang terbukti telah melanggar ketentuan yang berlaku.
2.
Kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan perbankan yang telah terjadi dengan
mempercepat pelaksanaan penyehatan perbankan. Langkah-langkah yang telah dan akan
ditempuh dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi, membangun kembali sistem
perbankan yang sehat, dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, antara
lain, meliputi:
a.
Pemberian jaminan pembayaran kepada deposan dan kreditur;
b.
pembentukan Badan Penyehatan. Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas untuk
melakukan restrukturisasi bank-bank yang kurang atau tidak sehat;
c.
melakukan due diligence terhadap bank-bank yang diambil alih pengelolaannya dan
terhadap bank-bank lainnya; dan
d.
menyusun RUU perbankan yang akan mengatur kembali ketentuan mengenai
kerahasian bank, pengawasan, pemilikan investor asing, dan kedudukan BPPN serta bank
sentral.
Dengan kebijaksanaan tersebut di atas diharapkan kinerja perbankan nasional menjadi
lebih sehat dan efisien sehingga terpercaya serta mampu menjadi bank yang dikelola
secara profesional terutama dalam menghadapi era globalisasi yang menuntut daya
saing tinggi.
c) Restrukturisasi Hutang Luar Negeri
Hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank-bank yang besar telah menjadi penyebab
terpenting terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Hutang-hutang tersebut dalam tahun

1998/1999 akan jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Padahal melemahnya nilai tukar
rupiah yang terus berlanjut akan semakin memperburuk kondisi perekonomian nasional. Oleh
karena itu untuk mengurangi permintaan terhadap mata uang asing dan sekaligus memberi
kesempatan kepada para debitur untuk menyelesaikan hutang-hutangnya, dalam kesepakatan
Frankfrut tanggal 4 Juni 1998, telah disusun kerangka restrukturisasi hutang dunia usaha,
skema penyelesaian hutang antar bank dan pengaturan tentang fasilitas pembiayaan
perdagangan.
Dalam kesepakatan tersebut para kreditur dan debitur secara sukarela dapat menyepakati
jumlah hutang dan perubahan pinjaman menjadi equity, dan ada persyaratan minimal masa
pengembalian 8 tahun termasuk masa tenggang 3 tahun, maka dilihat dari upaya penguatan
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, berarti restrukturisasi hutang swasta dan perbankan
tersebut minimal dapat mengurangi permintaan valuta asing selama 3 tahun. Untuk
mendorong penyelesaian hutang swasta telah diluncurkan Prakarsa Jakarta yang
memungkinkan para kreditur dan debitur menyelesaikan hutang piutang di luar pengadilan
niaga, yaitu melalui restrukturisasi modal perusahaan.
Restrukturisasi hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank di Indonesia serta
penambahan dana luar negeri baik yang berasal dari CGI maupun tambahan dana dari IMF
telah dapat meningkatkan sisi penyediaan valuta asing. Sebagai konsekuensi interaksi antara
naiknya persediaan dengan turunnya permintaan valuta asing tersebut diharapkan dapat
menguatkan nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya juga akan menurunkan laju inflasi.
Untuk kepentingan itulah dan untuk menarik modal asing masuk ke Indonesia maka
pemerintah hingga saat ini masih mempertahankan kebijaksanaan lalulintas devisa dengan
sistem devisa bebas.
Sementara itu untuk mengurangi tekanan terhadap keuangan negara dan
neraca pembayaran luar negeri, melalui Paris Club, Indonesia telah melakukan penjadwalan
kembali hutang pemerintah untuk tahun 1998/1999 – 1999/2000. Dalam rangka itu
pemerintah telah berhasil menunda pembayaran cicilan pokok sebesar US dollar 4,2 miliar.
d) Reformasi Struktural di Sektor Riil
Agar perekonomian, terutama sektor riil dapat berkembang lebih efisien, pemerintah
melancarkan berbagai program reformasi struktural. Reformasi struktural di sektor riil
mencakup:
a.
penghapusan berbagai praktek monopoli,
b.
deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan dalam
dan luar negeri dan bidang investasi, dan
c.
privatisasi BUMN.
Meskipun perekonomian nasional sebelum krisis ekonomi mengalami pertumbuhan yang
cukup tinggi, tetapi ternyata terdapat kelemahan-kelemahan, antara lain, adanya praktek
praktek monopoli di berbagai bidang usaha. Dengan praktek-praktek monopoli telah terjadi
konsentrasi kekuatan pasar hanya pada satu atau beberapa pelaku usaha, sehingga kegiatan
produksi, distribusi menjadi tidak efisien dan secara lebih luas daya saing perekonomian
nasional menjadi lemah.
Kebijaksanaan penghapusan monopoli yang telah dan akan dilakukan, antara lain adalah:
penghapusan monopoli yang dilakukan oleh Bulog dalam mengimpor dan penyaluran barangbarang kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, gula pasir, terigu, dan jagung,
sehingga Bulog hanya akan menyalurkan beras; penghapusan BPPC; penghapusan kegiatan
usaha yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal, monopoli produksi minyak pelumas
oleh Pertamina dan lain-lain. Dalam upaya menghapus monopoli tersebut pemerintah telah

mengajukan ke DPR RUU tentang persaingan yang sehat. Dengan adanya penghapusan
monopoli diharapkan ekonomi biaya tinggi bisa dihindarkan sehingga bisa meningkatkan
daya saing perekonomian nasional.
Dengan hapusnya monopoli, masyarakat juga diuntungkan sebab akan memperoleh
barang dengan kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah. Dalam kaitannya
dengan deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, antara lain, mencakup:
a.
mencabut peraturan yang membatasi kepemilikan investor asing sampai 49 persen dari
perusahaan-perusahaan yang telah terdaftar pada pasar modal;
b.
merevisi daftar negatif investasi dengan pengurangan jumlah bidang usaha yang
tertutup bagi investor asing;
c.
mencabut pembatasan investasi asing dalam perkebunan kelapa sawit, dalam
perdagangan eceran dan dalam perdagangan besar;
d.
mencabut ketentuan tataniaga yang bersifat restriktif untuk pemasaran semen, kertas
dan kayu lapis;
e.
menghapus harga patokan semen (HPS); dan
f.
menerapkan perdagangan bebas lintas batas Dati I dan Dati II untuk semua komoditas
termasuk cengkeh, kacang mete dan vanili dan mencabut kuota yang membatasi penjualan
ternak.
g.
e) Promosi Ekspor
Dalam situasi permintaan dalam negeri yang menurun, maka wahana untuk memulihkan
kembali perekonomian Indonesia adalah melalui promosi ekspor. Tambahan pula dengan nilai
tukar rupiah yang terdepresiasi tinggi dewasa ini, Indonesia makin memiliki daya saing
dalam barang ekspor yang padat karya dan padat kekayaan alam. Namun peningkatan ekspor
dewasa ini dihadapkan kepada beberapa kendala, yakni keengganan pihak luar negeri
membeli barang Indonesia, ketiadaan bahan baku, serta hal-hal yang berhubungan dengan
pelaksanaan ekspor, seperti misalnya operasi pelabuhan, kecepatan kerja, bea dan cukai, dan
administrasi perpajakan.
Keengganan pembeli luar negeri untuk merencanakan pembelian terhadap produk industry
manufaktur Indonesia, antara lain, disebabkan oleh kekhawatiran mereka atas
ketidakmampuan para pengusaha Indonesia untuk dapat memenuhi pesanan tersebut tepat
waktu. Hal ini erat kaitannya dengan permasalahan sosial politik yang terjadi di Indonesia
dewasa ini. Dengan demikian dalam upaya untuk mendorong ekspor, upaya terwujudnya
stabilitas sosial politik sangatlah penting.
Kesepakatan Frankfurt akan berdampak positif bagi penyediaan bahan baku impor yang
dibutuhkan untuk memperlancar kegiatan produksi yang berorientasi ekspor. Selain itu mulai
bulan Juli 1998 Bank Indonesia mengadakan program jaminan pre-shipment kepada eksportir
yang sudah memperoleh L/C dari luar negeri untuk memperlancar impor bahan baku yang
diperlukan dan untuk pembiayaan ekspor pre-shipment. Sementara itu untuk memperoleh
modal kerja kebijaksanaan yang ditetapkan ada kaitannya dengan restrukturisasi dunia
perbankan, dunia usaha, dan restrukturisasi pinjaman dunia usaha terhadap perbankan dalam
negeri.
https://andinurhasanah.wordpress.com/2012/12/31/reformasi-ekonomi-diindonesia/
https://fitrishaadr.wordpress.com/2014/10/06/pengaruh-politik-terhadapperekonomian-indonesia/

A. PENGARUH POLITIK TERHADAP PEREKONOMIAN

Politik adalah kegiatan dalam suatu sistem pembangunan negara melalui pembagianpembagian kekuasan atau pendapatan untuk mencapai tujuan yang telah di sepakati dan
melaksanakan tujuan tersebut. Kancah dunia politik di Indonesia sangat berpengaruh besar
terhadap kemajuan ekonomi bangsa ini. Seperti kita ketahui dengan adanya campur tangan
antara dunia politik di pemerintahan akan menghasilkan suatu perjanjian atau kerjasama
dengan Dunia Internasional.
Dalam berbisnis sangatlah penting mempertimbangkan risiko politik dan pengaruhnya
terhadap organisasi. Hal ini patut dipertimbangkan karena perubahan dalam suatu tindakan
maupun kebijakan politik di suatu negara dapat menimbulkan dampak besar pada sektor
keuangan dan perekonomian negara tersebut. Risiko politik umumnya berkaitan erat dengan
pemerintahan serta situasi politik dan keamanan di suatu negara.
Setiap tindakan dalam organisasi bisnis adalah politik, kecuali organisasi charity atau sosial.
Faktor-faktor tersebut menentukan kelancaran berlangsungnya suatu bisnis. Oleh karena itu,
jika situasi politik mendukung, maka bisnis secara umum akan berjalan dengan lancar. Dari
segi pasar saham, situasi politik yang kondusif akan membuat harga saham naik. Sebaliknya,
jika situasi politik tidak menentu, maka akan menimbulkan unsur ketidakpastian dalam
bisnis.
Dalam konteks ini, kinerja sistem ekonomi-politik sudah berinteraksi satu sama lain, yang
menyebabkan setiap peristiwa ekonomi-politik tidak lagi dibatasi oleh batas-batas tertentu
Sebagai contoh, IMF, atau Bank Dunia, atau bahkan para investor asing mempertimbangkan
peristiwa politik nasional dan lebih merefleksikan kompromi-kompromi antara kekuatan
politik nasional dan kekuatan-kekuatan internasional.
Tiap pembentukan pola bisnis juga senantiasa berkait erat dengan politik. Budaya politik
merupakan serangkaian keyakinan atau sikap yang memberikan pengaruh terhadap kebijakan
dan administrasi publik di suatu negara, termasuk di dalamnya pola yang berkaitan dengan
kebijakan ekonomi atau perilaku bisnis.
Terdapat politik yang dirancang untuk menjauhkan campur tangan pemerintah dalam bidang
perekonomian/bisnis. Sistemnya disebut sistem liberal dan politiknya demokratis. Ada politik
yang bersifat intervensionis secara penuh dengan dukungan pemerintahan yang bersih. Ada
pula politik yang cenderung mengarahkan agar pemerintah terlibat atau ikut campur tangan
dalam bidang ekonomi bisnis.
B. PENGARUH POLITIK TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Sejak proklamasi Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif. Bebas artinya Indonesia
tidak memihak kepada salah satu blok dan menempuh cara sendiri dalam menangani
masalah-masalah internasional. Sedangkan aktif artinya Indonesia berusaha sekuat tenaga
untuk ikut memelihara perdamaian dunia dan berpartisipasi meredakan ketegangan
internasional.
Politik ini dipilih dalam rangka menjamin kerjasama dan hubungan baik dengan bangsa lain
di dunia. Politik yang dicetuskan Mohammad Hatta ini dijalankan dari awal terbentuknya
Indonesia hingga saat ini meskipun dalam pelaksanaannya tidak sesuai karena adanya
pengaruh dengan perubahan politik di dunia.
Penyimpangan terhadap politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dianggap mulai
muncul ketika Indonesia pada masa Kabinet Sukiman (1951) dengan mengadakan pertukaran
surat antara Menteri Luar Negeri Ahmad Subarjo dan Duta Besar Amerika Serikat Merle
Cochran dalam rangka mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan
protes sebab dianggap telah meninggalkan politik bebas aktif dan memasukkan Indonesia ke
dalam sistem pertahanan Blok Barat.
Sementara itu pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I menitik beratkan pada kerjasama antara

negara-negara Asia-Afrika dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika. Kenyataan
tersebut bukan berarti Indonesia akan membentuk blok ketiga. Tujuan dibentuk organisasi ini
adalah sebagai landasan dalam rangka memupuk solidaritas Asia-Afrika dan menyusun
kekuatanagar mendapatkan posisi yang menguntungkan bagi bangsa Asia-Afrika di tengah
percaturan politik internasional.
Pada masa Burhanuddin Harahap (1955) politik luar negeri Indonesia lebih dekat dengan
Blok Barat, baik dengan Amerika, Australia, Inggris, Singapura dan Malaysia. Indonesia
mendapatkan bantuan makanan dari Amerika (US$ 96.700.000).
Tahun 1956 untuk menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menganut politik bebas aktif
maka presiden Soekarno mengunjungi Uni Soviet. Dan ditandatangani perjanjian kerja sama
pemberian bantuan ekonomi dengan tidak mengikat dari Uni Soviet(US$ 100.000.000).
Indonesia juga mengunjungi Cekoslowakia, Yugoslavia, dan Cina. Indonesia juga
mengirimkan pasukan perdamaian di bawah PBB yang dikenal dengan Pasukan Garuda.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia turut mempelopori berdirinya Gerakan Non Blok
(1961) sejak saat itu Manifesto Politik (Manipol) menjadi dasar pengambilan kebijakan luar
negeri Indonesia sehingga dunia terbagi menjadi NEFO (negara-negara komunis) dan
OLDEFO (negara-negara kolonialis dan imperialis). Indonesia termasuk dalam kelompok
NEFO sehingga menjalin hubungan erat dengan negara bok timur dan menjaga jarak dengan
negara blok barat. Politik tersebut selanjutnya berkembang semakin radikal menjadi politik
mercusuar dan politik poros. Politik Indonesia yang agresif selama masa Demokrasi
Terpimpin memboroskan devisa, inflasi menjadi tidak terkontrol terlebih dengan adanya
pemberontakan PKI 1965.
C. PENGARUH POLITIK TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA PADA MASA
ORDE BARU
Pada awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah mencanangkan pembangunan ekonomi dan
industri. Pada waktu itu posisi pengusaha dalam negeri masih dalam keadaan yang tidak kuat
untuk berdiri sendiri.. Akibatnya, pemerintah (negara) menjadi dominan dalam
perekonomian. Pengusaha menggantungkan diri kepada pemerintah. Hal ini menimbulakan
konsekuensi yaitu pemerintah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi atau dengan kata lain
pemerintah menjadi sumber penggerak investasi dan pengalokasian kekayaan nasional.
Dalam hal ini pemerintah tidak hanya menyediakan proyek, kontrak, konsesi pengeboran
minyak dan eksploitasi hutan, serta lisensi agen tunggal, melainkan juga kredit besar dan
subsidi. Pemerintah juga menunjang dengan kebijakan proteksi serta pemberian hak
monopoli impor dan pasar.
Pada masa tersebut, pemerintah cenderung menghasilkan dua lapisan ekonomi-politik utama,
yaitu birokrat-politik yang melibatkan lingkup keluarganya dalam bisnis, serta pengusaha
yang dapat berkembang berkat dukungan khusus dari pemerintah (mulai berkembangnya
KKN). Kedua lapisan ini mendominasi perekonomian dan politik.
Dalam perkembangan sistem ekonomi tersebut, pemerintah sebagai sumber penggerak
investasi dan pengalokasian kekayaan nasional hanyalah bersifat jangka pendek. Kemampuan
pemerintah menyediakan segalanya dibatasi oleh gerak sistem ekonomi. Indonesia menjadi
rawan akan krisis. Pola bisnis tersebut memerlukan sebuah rezim politik yang mampu
mengendalikan reaksi kaum buruh dan gerakan demokratisasi. Untuk keperluan ini rakyat
berhasil dijauhkan dari partisipasi politik. Pembangunan ekonomi dijaga dengan kekuatan
militer yang kuat sehingga terlihat stabil. Pertumbuhan partai politik dan pengekpresian
politik dilarang dalam upaya menciptakan kestabilan untuk pertumbuhan ekonomi. Rakyat
seakan dibungkam untuk menuntut hak-haknya atas nama pembangunan ekonomi.
Pada masa Orde baru, bentuk partisipasi rakyat diatur agar hanya terlibat pada pemilihan

umum anggota DPR dan DPRD. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya kaitan politik dan
birokratik dalam pola bisnis. Pemerintah sudah sejak awal jadi mesin pertumbuhan ekonomi,
yang menyebabkan para birokrat-politik terlibat bisnis yang bersifat jangka pendek. Pola ini
tidak mendorong tumbuhnya kepercayaan dunia usaha untuk jangka panjang.
Sistem politik Indonesia pada masa itu mempunyai kelemahan, salah satu diantaranya adalah
sedikitnya sumber-sumber yang dapat menjadi