SEQUENTIALLY PLANNED INTEGRATIVE COUNSELING FOR CHILDREN (SPICC) UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU
PLANNED INTEGRATIVE COUNSELING FOR CHILDREN (SPICC)
UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF KORBAN BULLYING (Stusi Eksperimen Kuasi Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh
Lampung Utara Tahun Pelajaran 2012/2013)
Risna Rogamelia
STKIP PGRI Bandar Lampung
ABSTRACT
Assertive behavior is shown by having self-esteem and self-respect,
recognizing strengths and limitations, assessing thinking and feeling and
expressing it clearly, directly and precisely. Children who are lack of the
assertive behavior is likely to have the risk of becoming a victim of bullying
and potentially experience a variety of psychological and emotional problems
that will hamper its development. The purpose of this research is to improve
assertive behavior of fourth grade of Elementary School students who are
victims of bullying by using counseling SPICC models. The method used in
this study is an experimental research using a quasi-experimental design.
Data collection technique used is assertive behavior questionnaire. Samples
are taken from the fourth grade students of SD Negeri 1 Kelapa Tujuh
obtained by using purposive sampling technique. Data are analyzed using t-
test to compare the average gain score of assertive behavior of the fourth
grade students who are being bullied in SDN 1 Kelapa Tujuh before (pretest)
and after receiving treatment (posttest). The result is that the assertive
behavior level of students is in middle category and shows an average
difference of 0.35 points between pretest and posttest. It means that SPICC
counseling models is effective to improve assertive behavior at the fourth
grade students who are being bullied in SDN 1 Kelapa Tujuh in the academic
year of 2012/2013.
Keywords: SPICC counseling models, Elementary School Assertive
BehaviourBULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia ) PENDAHULUAN
Bullying menjadi fenomena yang terus menjadi perhatian di dunia,
semakin besar jumlah kasus yang melibatkan siswa sebagai pelaku dan korban menjadi perhatian utamanya. Terdapat lebih dari 2.000 penelitian yang dipublikasikan tentang bullying dan mengangkat masalah korban dari seluruh dunia (Chen dan Schwartz, 2012:1). 30-40% siswa SD, SMP, dan SMA siswa di Amerika Serikat mengalami bullying di sekolah setiap hari atau mingguan (Sawyer & O'Brennan; Nishina, et al, dalam Moon, et al, 2012: 1).
Kecenderungan yang terjadi yaitu anak-anak yang "berbeda" (status sosial ekonomi rendah, memakai kacamata, kelebihan berat badan, memakai dan Asiado, dalam McEachern, et al: 2005), Beane (2008: 74) menambahkan bahwa anak-anak yang kurang dapat menunjukkan perilaku asertif juga memiliki resiko menjadi korban bullying, hal tersebut dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Novalia & Dayakisni, Tri (2013) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi perilaku asertif siswa maka semakin rendah kecenderungan menjadi korban bullying, demikian juga sebaliknya, semakin rendah perilaku asertif maka semakin tinggi kecenderungan menjadi korban bullying.
Anak yang menjadi korban bullying tersebut berpotensi memiliki berbagai masalah psikologis dan emosional seperti depresi, kecemasan, bunuh diri, putus sekolah, penarikan diri, dan kesulitan belajar (Greenbaum & Stephens; Olweus; Rigby & Slee; Salmon, et al, dalam Moon, et al, 2012: 828). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian (Dini: 2012) yang menyimpulkan bahwa korban bullying dapat mengalami perasaan rendah diri, dan dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan korban akan mengalami post-traumatic disorder (PTSD) yang ditandai dengan adanya kecemasan yang berlebihan pada individu dalam menghadapi suatu kejadian yang berkaitan dengan pengalaman traumatisnya.
Masalah-masalah yang mungkin akan dialami pada anak korban
bullying itu dapat menghambat anak dalam mencapai tugas perkembangan
dan kompetensi dirinya, yang kemudian akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam mencapai tugas-tugas berikutnya, (Nurihsan & Agustin, 2011: 18). Berdasarkan hal itu, layanan bimbingan dan konseling diperlukan untuk memfasilitasi siswa agar dapat mencegah dan menanggulangi masalah-masalah tersebut dan membantu siswa untuk
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
mencapai perkembangan dirinya dengan optimal, sesuai dengan fungsi bimbingan dan konseling di sekolah yang bertujuan untuk memandirikan peserta didik agar peserta didik dapat mencapai perkembangan optimalnya (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 24-25).
Bimbingan konseling memiliki beberapa bidang layanan, yaitu bidang layanan akademik, bidang layanan karir dan bidang layanan bimbingan pribadi sosial. Bidang layanan bimbingan konseling pribadi-sosial merupakan bagian dari bidang layanan bimbingan dan konseling yang difokuskan terhadap proses bantuan terhadap permasalahan pribadi-sosial individu, agar individu dapat mencapai keberhasilan dalam perkembangan pribadi- sosialnya. Menurut Syaodih (2007:74), individu yang berhasil adalah ancaman, juga mampu mengatasi hal-hal baru.
Syaodih (2007:72), mengemukakan beberapa alasan mengapa pemberian layanan bimbingan dan konseling dapat mengoptimalkan perkembangan anak-anak dan remaja, yaitu: 1) pemberian bantuan dalam bimbingan dan konseling didahului oleh upaya-upaya pemahaman kemampuan, karakteristik dan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh perserta didik; 2) pemberian layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan secara individual, kelompok, klasikal dan massal; 3) layanan bimbingan dan konseling diberikan secara profesional oleh orang-orang yang memiliki profesi di bidang bimbingan dan konseling.
Salah satu jenis layanan dalam bidang layanan bimbingan dan konseling pribadi sosial adalah konseling dengan bidang layanan pribadi- sosial. Tujuan utama konseling pada anak adalah membantu anak untuk kembali atau mendapatkan fungsi adaptif yang sehat dan relevan dengan tahap perkembangannya (Vernberg dalam Widijanto, 2012: 78). Geldard dan Geldard dalam Widijanto (2010: 3) mengungkapkan bahwa konseling pada anak tidak dapat disamakan dengan konseling pada remaja ataupun orang dewasa, konseling pada anak memerlukan keterampilan konseling dengan menggunakan media dan cara yang berbeda. Proses konseling anak menggunakan beberapa konsep pokok pendekatan konseling, sehingga akhirnya Geldard dan Geldard mengembangkan suatu model konseling pada anak yang menggabungkan berbagai pendekatan konseling, dan kemudian dinamakan sebagai Model SPICC (Sequentially Planned Integrative
Counseling for Children ).
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 28 Mei 2013 di SD Negeri 1 Kelapa Tujuh mendapatkan hasil dari 60 siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh, terdapat 42 siswa yang memiliki perilaku asertif dalam kategori sedang dan 18 siswa yang memiliki perilaku asertif dalam kategori tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan, rata-rata siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh memiliki perilaku asertif dalam kategori sedang. Secara lebih lanjut, pencapaian skor pada setiap aspek perilaku asertif siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh sesuai dengan kategori dan frekuensi jumlah siswa digambarkan dalam tabel 1.1 sebagai berikut :
Profil Aspek Perilaku Asertif Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh Berdasarkan Kategori dan Frekuensi Jumlah Siswa
Aspek Frekuensi Kategori 1. Memiliki harga diri dan menghormati diri
36 Sedang sendiri Sedang 2. Mengenali kekuatan dan keterbatasan diri 33 3.
Tinggi Menilai apa yang dipikirkan dan dirasakan 38 4.
Mengekspresikan secara jelas, langsung
41 Sedang dan tepat pikiran juga perasaan Berdasarkan hasil dari observasi yang dilakukan pada studi pendahuluan, masih ditemukan siswa yang sering kali menjadi target ejekan, keisengan, bahkan terdapat siswa yang sering menjadi “pelaku” bullying terhadap teman yang lain dibawah ancaman pelaku sebenarnya. Sehingga bantuan kepada siswa yang memiliki perilaku asertif yang kurang dibandingkan dengan temannya yang lain masih dianggap perlu untuk dilakukan.
Perilaku Asertif
Perilaku asertif adalah kemampuan untuk dapat mengekspresikan diri dengan jelas, langsung dan tepat; menilai apa yang dipikirkan dan rasakan;
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
memiliki harga diri dan menghormati diri sendiri; serta mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sendiri (Rees & Graham, 2006: 1).
Secara konseptual, Townend (2007: 12) mengungkapkan kunci dari perilaku asertif adalah tentang menghargai diri dan orang lain; pengakuan positif; emosi, pikiran dan membayangkan hal positif; hubungan otentik; arti dan tujuan; mendengarkan kata hati; koneksi antara pikiran, tubuh, dan otak; merasa aman; kesadaran fisik, intelektual, emosional dan spiritual; serta penerimaan dan kesadaran.
Perilaku asertif merupakan perilaku yang terbentuk akibat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami oleh individu sepanjang hidupnya, bukan merupakan faktor bawaan (hereditas) (Rathus, 1988). Rathus dalam mempengaruhi perkembangan asertif, yaitu : a) Jenis kelamin; b) Kepribadian; c) Intelegensi; d) Kebudayaan.
Hal tersebut sejalan dengan Lioyd (1991) yang juga mengatakan bahwa perilaku asertif dipengaruhi oleh jenis kelamin, karena semenjak kanak-kanak peran dan pendidikan laki-laki dan perempuan telah dibedakan oleh masyarakat, sejak kecil telah dibiasakan bahwa anak laki-laki harus tegas dan kompetitif dan anak perempuan harus pasif menerima perintah dan sensitif. Hal ini berakibat laki-laki akan berperilaku lebih asertif dibandingkan anak perempuan.
Kepribadian dapat mempengaruhi perkembangan perilaku asertif karena interaksi akan lebih efektif jika seseorang mau terlibat dan berperan aktif. Sementara orang yang berperan aktif dalam proses komunikasi adalah seseorang yang secara spontan mengutamakan buah pikirannya dan menanggapi pendapat pihak lainnya. Sifat spontan ini dapat dijumpai pada orang yang berkepribadian ekstrovert.
Sofwat (2012: 5-6) mendeskripsikan ciri-ciri orang yang berkepribadian ekstrovert dan introvert sebagai berikut : orang yang berkepribadian ekstrovert memiliki ciri-ciri mudah mengungkapkan keadaan emosinya, membutuhkan hubungan antar pribadi, bertindak baru kemudian berpikir, dan membutuhkan keluasan dalam hidup. Sementara kebalikan dari orang berkepribadian ekstovert yaitu orang yang berkepribadian introvert memiliki ciri-ciri cenderung menyimpan keadaan emosinya, membutuhkan kesendirian, berpikir kemudian baru bertindak, menyendiri, diam dan sulit akrab, membuhkan kedalaman dalam hidup dan bagi orang introvert terkesan menarik diri bagi orang berkepribadian ekstrovert.
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
Hal tersebut sesuai dengan penggolongan tipe kepribadian yang diungkapkan oleh Jung (Nurihsan & Yusuf, 2011: 77) bahwa orang yang
ekstrovert terutama dipengaruhi oleh dunia objektif, yaitu dunia diluar
dirinya dan orientasi utamanya ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun non-sosial. Sementara orang yang introvert terutama dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia didalam dirinya sendiri dan orientasi utamanya tertuju pada dirinya sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang dengan kepribadian introvert cenderung berpotensi memiliki perilaku asertif yang rendah.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi perilaku asertif yaitu faktor intelegensi, hal ini dapat berpengaruh karena intelegensi dapat mempengaruhi secara jelas dan dapat dipahami oleh pihak lain sehingga proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Sehingga seseorang yang memiliki intelegensi yang tinggi cenderung lebih mampu mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan tepat dibandingkan dengan seseorang yang memiliki intelegensi lebih rendah.
Selanjutnya faktor kebudayaan dianggap dapat mempengaruhi perkembangan perilaku asertif, karena secara tidak langsung manusia berperilaku didasari dengan sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat (Sarwono & Mienarno, 2012: 154).
Bullying
Kata bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari. (Wiyani, 2012 : 11). Secara etimologi, istilah bullying menggambarkan berbagai perilaku intimidasi yang dapat berdampak pada properti seseorang, tubuh, perasaan, hubungan, reputasi, dan status sosial. Bullying adalah bentuk perilaku terbuka dan agresif yang disengaja, menyakitkan, dan berulang (Beane, 2008: 2). Bullying melibatkan keinginan untuk menyakiti, tindakan menyakitkan, ketidakseimbangan kekuatan, penggunaan kekuasaan yang tidak adil, biasanya berulang, serta terdapat kenikmatan pada pelaku dan rasa tertindas pada korban (Rigby, 2003: 6).
Sementara itu, Olweus dalam Cowie & Jennifer (2008: 2) mendefinisikan bullying sebagai bagian dari perilaku agresif dengan karakteristik khusus tertentu yang merupakan tindakan negatif oleh dari satu
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
atau siswa lain yang secara berulang-ulang dari waktu ke waktu sehingga seseorang terintimidasi atau menjadi korban ketika dia mengalaminya.
Konseling Model SPICC
Model SPICC bersumber dari konsep teoritis dan strategi praktis yang berasal dari berbagai pendekatan konseling yang telah mapan. Konseling Model SPICC adalah model terpadu yang menggunakan sejumlah pendekatan yang diatur secara berurutan. Pendekatan yang dimaksud adalah konseling berpusat pada klien (client centered), konseling gestalt, konseling naratif, konseling kogitif perilaku (cognitive behavior), dan konseling perilaku (behavior) (Geldard & Geldard dalam Widijanto, 2012: 79). yang unik dan khusus, konseling model SPICC yang memadukan pendekatan tersebut satu persatu dalam urutan tertentu bertujuan untuk dapat mencapai keefektifan tujuan tiap sesi konseling dengan menggunakan masing-masing pendekatan yang sesuai. Seperti yang telah digambarkan sebelumnya mengenai proses konseling pada anak, berikut ini adalah siklus perubahan yang terjadi pada anak selama proses konseling berlangsung yang kemudian mendasari Geldard & Geldard untuk mengembangkan model SPICC (Widijanto, 2012: 70).
Gambar 1. Spiral Perubahan pada Konseling Anak
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia ) METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen. Metode penelitian eksperimen kuantitatif bermaksud meneliti ide (suatu praktek atau prosedur) untuk melihat apakah memiliki pengaruh terhadap hasil atau variabel dependen (Cresweel, 2008: 299). Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen kuasi. Desain ini menggunakan subyek yang tidak dipilih secara random (nonrandom assigment). Subyek dibagi menjadi kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, kelompok eksperimen ialah kelompok yang mendapatkan perlakuan intervensi konseling model SPICC (Sequentially Planned Integrative Counseling for yang tidak mendapat perlakuan intervensi konseling model SPICC.
Subyek penelitian dipilih sebanyak 16 orang anak yang memiliki skor terendah dalam kategori sedang hasil dari instrumen perilaku asertif, 8 orang pada kelompok eksperimen dan 8 orang pada kelompok kontrol. Jumlah subyek ditetapkan sebanyak 8 orang pada masing-masing kelompok, berdasarkan asumsi bahwa dalam konseling kelompok biasanya terdiri dari 4- 8 anak, karena jumlah yang lebih besar membuat masing-masing anggota kelompok sulit untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dalam sesi kelompok (Rose dan Edleson dalam Geldard & Geldard, 2012: 122).
HASIL PENELITIAN
Studi pendahuluan dilakukan pada siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh pada 28 Mei 2013 dengan memberikan angket perilaku asertif. Hasil yang diperoleh berdasarkan hasil angket tersebut memberikan gambaran perilaku asertif dua kelompok subyek penelitian, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, masing-masing kelompok beranggotakan delapan orang siswa yang memiliki tingkat perilaku asertif dalam kategori sedang. Gambaran kondisi awal perilaku asertif kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada Grafik.1 sebagai berikut:
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
10
5 Memiliki harga diri dan Mengenali kekuatan dan Menilai apa yang Mengekspresikan secara
menghormati diri sendiri keterbatasan diri dipikirkan dan dirasakan jelas, langsung dan tepat pikiran juga perasaan Eksperimen Kontrol Grafik. 1.
Gambaran Kondisi Awal Perilaku Asertif Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh
Profil Perilaku Asertif Berdasarkan Pencapaian Setiap Aspek,
Kondisi Awal Perilaku Siswa dan Penilaian Kebutuhan
Kondisi Awal Penilaian NO Aspek Kategori Perilaku Siswa Kebutuhan
1. Memiliki Sedang a.
a. Siswa belum Membantu siswa harga diri mampu berperilaku belajar berperilaku dan sesuai dengan sesuai dengan menghormat keinginan sendiri keinginan sendiri i diri sendiri a.
b. Siswa kurang Membantu siswa memiliki rasa memiliki rasa percaya diri percaya diri
2. Mengenali Sedang Siswa belum Membantu siswa kekuatan mampu meminta belajar meminta dan pertolongan pada pertolongan teman
keterbatasan saat merasa tidak atau guru
diri mampu3. Menilai apa Sedang Siswa kurang Membantu siswa yang mampu belajar memberikan dipikirkan memberikan pandangan secara dan pandangan secara terbuka terhadap hal- dirasakan terbuka terhadap hal yang tidak hal-hal yang tidak sepaham sepaham.
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia ) 4. Mengekspre Sedang a.
a. Siswa tidak mampu Membantu
- sikan secara menolak ajakan dan siswa belajar jelas, perintah teman yang menolak ajakan langsung merugikan dirinya dan perintah dan tepat
teman yang pikiran juga merugikan perasaan dirinya b.
b. Siswa kurang Membantu siswa mampu belajar mengutarakan apa mengutarakan yang dipikirkaan apa yang dan dirasakan dipikirkan dan dirasakan
Konseling model SPICC dilakukan dengan 5 sesi pertemuan, sesi pertama dilaksanakan dengan tema “Aku dan Teman-Teman di Sekolah” menggunakan teknik konseling berpusat pada klien dengan setting kelompok dan dilakukan melalui aktivitas menggambar, tujuan dari kegiatan pada sesi pertama ini adalah agar anak dapat masuk ke dalam hubungan konseling dengan konselor juga dengan anggota kelompok yang lain. Sesi pertama ini dapat dikatakan berhasil jika anak mau membuka diri menceritakan tentang dirinya dan agar anak mau berinteraksi bersama dengan konselor dan anggota kelompok yang lain.
Sesi kedua, dilaksanakan dengan tema “Bagaimana diriku?” menggunakan teknik konseling gestalt dengan setting kelompok dan dilakukan melalui aktivitas menulis dan bercerita, tujuan dari kegiatan pada sesi kedua ini adalah agar anak dapat mengungkapkan emosi dan menginternalisasi permasalahannya. Sesi kedua ini dapat dikatakan berhasil jika anak mau menceritakan tentang dirinya dan anak dapat menyebutkan permasalahan yang dialami dirinya.
Sesi ketiga, dilaksanakan dengan tema “Jika aku menjadi” menggunakan teknik konseling naratif dengan setting kelompok, tujuan dari kegiatan pada sesi ketiga ini adalah agar anak dapat mengembangkan cerita sesuai dengan harapannya. Sesi ketiga ini dapat dikatakan berhasil jika anak berani bercerita dan mengemukakan pendapat.
Sesi keempat, dilaksanakan dengan tema “Mengapa dan Bagaimana” menggunakan teknik konseling kognitif perilaku dengan setting kelompok, tujuan dari kegiatan pada sesi keempat ini adalah agar anak dapat
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
mengembangkan pikiran rasional yang dapat membantu anak mengembangkan diri dan menghadapi masalahnya. Sesi keempat ini dapat dikatakan berhasil jika anak dapat mengembangkan pikiran rasional.
Sesi kelima, dilaksanakan dengan tema “Belajar bersama teman”, tujuan dari kegiatan pada sesi kelima ini adalah anak dapat Agar anak dapat mengembangkan kemampuan berperilaku asertif, sesi kelima ini dapat dikatakan berhasil jika mengekspresikan secara jelas, langsung dan tepat pikiran juga perasaannya dengan tepat dan jelas.
Program konseling model SPICC yang dilakukan untuk membantu siswa meningkatkan perilaku asertif adalah konseling dalam setting kelompok, konseling dengan setting kelompok memberikan suasana sosial (Geldard dan Geldard, 2008: 116-117).
Kompetensi konselor pada konseling anak pada umumnya sama seperti pada konseling pada remaja dan dewasa, namun pada konseling anak Geldard & Geldard (2012: 22) menambahkan beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh konselor anak, yaitu : konselor harus kongruen, menyelami jiwa kanak-kanaknya sendiri, menerima dan tidak melibatkan emosi sendiri.
Konselor harus kongruen artinya antara konselor dan konseli berada pada hubungan yang bisa dipercaya dan lingkungan yang aman. Agar hal tersebut terjadi konselor secara pribadi harus terbuka, tulus, konsisten dan stabil sehingga rasa percaya bisa dikembangkan dan dipertahankan.
Konselor diharapkan mampu menyelami jiwa kanak-kanaknya, namun mengakses jiwa kanak-kanak bukan berarti menjadi kekanakan, namun berarti menggali bagian dari diri konselor yang tepat dengan dunia anak. Dengan menyelami dunia kanak-kanak pada diri sendiri, konselor akan lebih dapat menjalin hubungan yang sukses dengan anak, memahami perasaan dan pandangan anak, serta memberi kesempatan bagi anak untuk mengalami sepenuhnya.
Konselor harus mampu menerima konseli apa adanya, hal tersebut sama halnya dengan konseling pada remaja maupun dewasa. Jika kita ingin mengeksplorasi konseli secara lebih pribadi lagi, konselor perlu menunjukkan perilaku penerimaan sehingga konseli dapat merasa menjadi diri sendiri tanpa pengekangan.
Kompetensi yang terakhir yaitu konselor tidak melibatkan emosinya sendiri dalam konseling pada anak, karena jika anak merasa atau melihat
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
konselornya “tertekan” oleh apa yang diungkapkan, maka anak cerderung menarik diri dan tidak lagi membicarakan masalah yang menyakitkan.
Program konseling SPICC juga menggunakan berbagai media dalam pelaskanaan sesi konselingnya, pemilihan media dilakukan berdasarkan beberapa faktor yaitu kesesuaian dengan tingkat usia perkembangan anak, kesesuaian dengan jenis konseling apakah individu atau kelompok dan berdasarkan tujuan konseling anak (Geldard & Geldard, 2012: 214). Menurut Geldard & Geldard (2012: 215) untuk anak usia sekolah dasar yaitu usia 6-10 tahun, media dan aktivitas yang paling cocok untuk digunakan pada konseling ialah buku/cerita, lempung, konstruksi, menggambar, melukis dengan jari, permainan, permainan pura-pura imajinatif, hewan miniatur,
Hasil uji Efektivitas Penggunaan Konseling Model SPICC Terhadap Aspek Perilaku Asertif Pada Siswa Kelas IV Korban Bullying Di SD Negeri
1 Kelapa Tujuh diperoleh hasil seperti yang tersaji pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3.
Hasil Uji t Independen Data Normalized Gain Aspek Perilaku Asertif
Siswa Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Rata- Perbedaan Statistik
Aspek Kelompok Rata Sd Nilai p Keterangan
Rerata Uji t Gain0,34 0,19 Eksperimen 00 567
Aspek 0,36 0,4550 3,136 - 0,00 Signifikan
1 Kontrol 0,11 067
50 0,22 0,28
Eksperimen 25 669 Aspek
Tidak 0,40 0,3675 2,079 0,05 -
2 Signifikan Kontrol 0,14 963
50 0,19 0,56
Eksperimen Aspek 88 088 Tidak
0,1262 0,619 0,54 3 0,07 0,13 Signifikan Kontrol 25 594
Aspek Eksperimen 0,39 0,25 0,4187 3,607 0,00 Signifikan
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
4 63 972
- 0,20 Kontrol 0,02 091
25 Hasil posttest yang diberikan kepada siswa setelah pelaksanaan konseling model SPICC yang menekankan pada pengembangan perilaku asertif, memperoleh hasil yang positif. Tingkat perilaku asertif pada kelompok eksperimen meningkat. Sedangkan tingkat perilaku asertif pada kelompok kontrol meskipun ada beberapa aspek yang mengalami perubahan namun tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan pada aspek tertentu mengalami penurunan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku asertif pada siswa yang menjadi korban bullying dapat dikembangkan melalui penggunaan konseling model SPICC. Keberhasilan program ini dapat terlihat pada pencapaian skor aspek yang mengalami perubahan kearah positif. Temuan ini dapat ditafsirkan bahwa konseling dengan menggunakan model SPICC dapat digunakan sebagai alternatif layanan bimbingan dan konseling di sekolah yaitu sebagai layanan preventif (pencegahan) bagi siswa yang kurang memiliki perilaku asertif dan berpotensi menjadi korban bullying dan sebagai layanan responsif bagi siswa yang terlah mengalami atau menjadi korban perilaku bullying.
Hasil pelaksanaan program konseling dengan menggunakan model SPICC menunjukkan hampir semua aspek mengalami perubahan yang positif. Meskipun, perubahan perilaku asertif siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh masih menunjukkan keragaman pada perolehan skor pada setiap aspek
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
Peningkatan Indikator Perilaku Asertif
6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0,0001
2
3
4
5
6
7
8
9
10 Pretest 1,250 1,750 3,375 1,125 1,125 2,500 0,875 2,500 2,625 1,000 Posttest 1,625 2,250 5,125 2,000 1,375 3,125 1,125 4,125 3,625 1,625
Grafik 2.
Peningkatan Perilaku Asertif Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh
Setelah Menggunakan Konseling Model SPICC
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektifitas konseling model SPICC (Sequantially Planned Integrative Counseling for Children) untuk meningkatkan perilaku asertif siswa kelas IV korban bullying yang dilakukan kepada siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Gambaran profil perilaku asertif siswa kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh memiliki perilaku asertif pada kategori sedang dan tinggi, secara rata-rata kelas IV SD Negeri 1 Kelapa Tujuh memiliki perilaku asertif pada kategori sedang.
2. Program konseling model SPICC (Sequantially Planned Integrative
Counseling for Children ) sebagai layanan responsif untuk meningkatkan
dan mengembangkan perilaku asertif siswa kelas IV korban bullying di SD Negeri 1 Kelapa Tujuh tahun ajaran 2012/2013.
3. Secara statistik, hasil uji efektifitas menunjukkan bahwa konseling model SPICC (Sequantially Planned Integrative Counseling for
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
Children ) efektif untuk meningkatkan perilaku asertif siswa kelas IV SD
Negeri 1 Kelapa Tujuh tahun ajaran 2012/2013, terutama membantu meningkatkan aspek memiliki harga diri dan menghormati diri sendiri dan aspek mengekspresikan secara jelas, langsung dan tepat pikiran juga perasaan namun kurang efektif untuk meningkatkan untuk aspek mengenali kekuatan dan keterbatasan diri dan menilai apa yang dipikirkan dan dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. (2010). Penyuusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Beane, A.L. (2008). Protect Your Child From Bullying. San Fransisco: Jossey-Bass Chairul dan Puspaningtyas. (2013). Anak Korban 'Bully' Balas Dendam.
12 Januari 2013
Connecticut School Counselor Association (CSCA), et al. (2000).
Connecticut Comprehensive School Counseling Program .
Cowie, H & Jennifer, A.W. (2008). New Perspectives On Bullying. New York : Open University Press. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Penataan Pendidikan Profesional
Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdiknas.
Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan. Bandung : Rosdakarya. _________. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosdakarya.
Dini, L.S. (2012). Trauma Mahasiswa yang Pernah Mengalami Bullying
Ketika Duduk Di Bangku Sekolah Dasar . Error! Hyperlink reference
not valid./2013/01 /trauma-mahasiswa-yang-pernah-mengalami.html
Gibson & Mitchell. (2008). Introduction to Counseling and Guidance. Alih Bahasa oleh Santoso, Yudi. (2011). Bimbingan dan Konseling.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Geldard, K & Geldard, D. (2008). Counseling Children : A Practical
. Alih Bahasa oleh Widijanto, Gianto dan
Introduction (Third Edition)
Yuwono, Lilian. (2012). Konseling Anak-Anak Sebuah Pengatar Praktis
(Edisi Ketiga) . Jakarta : Indeks
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
Hansen,J.C., Stevic, R.R & Warner Jr, R.W. (1982). Counseling Theory and Process Third Ed . USA : Allyn and Bacon, Inc. Hurlock, E.B. (1978). Child Development (Sixth Ed). Alih Bahasa oleh
Tjandrasa,Meitasari dan Zarkasih, Muslichah. Perkembangan Anak Jilid 1(Edisi Keenam) . Jakarta : Erlangga. _________. (1980). Developmental Psychology: A Life Span Approach (Fifth
ed). Alih Bahasa oleh Istidwiyanti dan Soedjarwo. (1997). Psikologi
Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.Jakarta: Erlangga. Kaman, Colleen. (2012). What country has the most bullies?.
Lesmana, J.M. (2006). Dasar-Dasar Konseling. Jakarta : UI-Press McEachern., et.al, (2005). Peer Victimization in Schools: An International
Perspective. Journal of Social Sciences Special Issue No. 8: 51-58.
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia & Menteri Agama Republik Indonesia. (2011)
Mc Leod, John. (2008). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta : Kencana
Mruk,C.J. (2006). Self-Esteem Research, Theory, and Practice. New York : Springer Publishing Company, Inc. Moon, B., Morash, M. & McCluskey
, J.D. (2012). “General Strain Theory and School Bullying : An Empirical Test in South Korea ”. Crime &
Delinquency , 58, (6), 827 –855.
Nurikhsan, A.J. (2009). Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: Refika Aditama ________ &Agustin, M. (2011). Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja . Bandung : Refika Aditama.
Novalia & Dayakisni, Tri. (2013). “Perilaku Asertif Dan Kecenderungan Menjadi Korban Bullying
”. Jurnal Ilmiah dan Psikologi Terapan, 01, (01), 169-175. Prayitno. (2004). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka
Cipta
BULLYING ASERTIF KORBAN ( Risna Rogamelia )
Rees & Graham. (2006). You Really Are Assertion Training: How To Be
Who . London and New York : A Tavistock/Routledge Publication
Rigby, Ken. (2003). Stop the Bullying : A Handbook for Schools. Melborne: Acerpress. Rusmana, Nandang. (2009). Bimbingan Dan Konseling Kelompok Di
Sekolah . Bandung : Rizqi
Rogers, C.R. (1961). On Becoming a Person. Alih Bahasa oleh Fajar, Rahmat (2012). Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Singhal, A & Nagao, M. (1993). Assertiveness as Communication
Competence A Comparison of the Communication Syles of American and Japanese Students . Asian Journal of Communication, 3, (1), 1-18.
LATIHAN_ASERTIF.pdf). Sofwat, R.A.W. (2012). [Makalah Seminar] Training for Tester. Bandung : Tidak diterbitkan.
Syaodih, N.S. (2007). Bimbingan dan Konseling Dalam Praktek;
Mengembangkan Potensi dan Kepribadian Siswa . Bandung : Maestro.
Townend, Anne. (2007). Assertiveness and Diversity. New York : Palgrave Macmillan. Universitas Pendidikan Indonesia. (2010). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Uno, H.B. (2006). Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta:
Bumi Aksara Williams, C.J. (2001). Being Assertive dalam Overcoming Depression: A Five Areas Approach . UK: Arnold Publishers.
Wikipedia. (2013). Narrative Therapy. [Online Tersedia] Narrative_therapy.
Biodata Penulis :
Risna Rogamelia, S.Pd., M.Pd. adalah dosen tetap pada Program Studi
Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Bandar Lampung. Lahir di
Kotabumi pada tanggal 12 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1
pada Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Lampung.
Kemudian menyelesaikan pendidikan S2 pada Program Studi
Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia.