Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metod

PERADABAN DUNIA EDITOR

Andre Ata Ujan Febiana R. Kainama T. Sintak Gunawan

MORALITAS LENTERA PERADABAN DUNIA

028729 © 2011 Kanisius

PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI) Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281 Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011 Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 Website : www.kanisiusmedia.com E-mail : oice@kanisiusmedia.com

Cetakan ke- 5

Tahun

Desain cover oleh Sungging

ISBN 978-979-21-3094-2

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

Yeremias Jena

Pendahuluan

Hampir tiga dekade Prof. K. Bertens, membaktikan hidup dan pe- mi kirannya mengembangkan etika di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (Jakarta). Selama itu pula seluruh penelitian dan releksinya di bidang ilsafat difokuskan pada masalah-masalah etika, teoretis mau pun praktis. Tiga karya utama Prof. Bertens di bidang etika, yakni Etika (Penerbit Gramedia, Jakarta: 1993), Pengantar Etika Bisnis (Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 2000), dan Etika Biomedis (Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 2011) dapat menjadi patokan airmatif sementara, di sam- ping puluhan buku lain, ratusan makalah yang terbit di jurnal-jurnal ilsafat dan etika, serta berbagai ceramah yang menghadirkan sang profesor sebagai pembicara. Buku pertama yang disebutkan di sini lebih merupakan kajian relektif dan deskriptif etika teoretis (etika umum), sementara buku kedua dan terakhir membicarakan tema-tema etika praktis (practical ethics).

Tahun ini, tepatnya tanggal 28 Juni 2011, Prof. Kees Bertens, MSC merayakan hari ulang tahun yang ke-75. Saya teringat ucapan William Wordsworth (1770-1850), seorang pujangga kenamaan Inggris yang mengatakan, “The thought of our past years in me doth breed perpetual benedictions. ” Bagi saya, perjalanan panjang 75 tahun akan menjadi sebuah “berkat abadi” jika itu diperingati sebagai sebuah momen relek- tif, katakan saja memikirkan secara kritis pemikiran-pemikiran Prof. Bertens yang telah disumbangkan bagi pengembangan ilsafat, etika, dan bioetika.

Moralitas Lentera Peradaban Dunia

Tulisan ini merupakan usaha awal menempatkan minat dan per- hatian Prof. Bertens di bidang bioetika dalam konteks perkembangan bioetika secara mundial. Bagian pertama tulisan ini akan mendeskripsikan konteks kelahiran bioetika sebagai salah satu disiplin ilmu etika terapan dalam konteks pendidikan para calon dokter. Sumbangan gereja Katolik bagi kelahiran bioetika dibahas secara khusus persis ketika penghor- matan kepada manusia sebagai pribadi sebagai salah satu fundamen pengembangan bioetika yang telah lama menjadi perhatian Gereja Katolik. Saya melihat bahwa dalam tradisi yang telah berumur ribuan tahun inilah bioetika menemukan semacam tanah yang subur bagi perkembangannya.

Bagian kedua tulisan ini menunjukkan kecenderungan pengem- bangan bioetika modern yang ingin melepaskan diri dari berbagai tradisi dan moralitas agama. Apakah bioetika mencapai kemandiriannya dengan membebaskan diri dari nilai dan prinsip moral keagamaan, atau justru karena kemampuannya menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan prinsip moral yang lebih universal dan imparsial, prinsip moral keagamaan semakin menunjukkan eksistensinya? Saya akan menunjukkan bahwa usaha para bioetikawan sekuler yang mendekonstruksi tradisi keagamaan gagal melihat tantangan lebih serius yang datang dari kaum positivis, yang justru karena menguasai proses pendidikan dan pengajaran di kampus, sering menyulitkan pengembangan bioetika itu sendiri.

Bagian ketiga tulisan ini akan mendiskusikan masalah metodologi. Sebagai semacam usaha mengkontekskan pemikiran Prof. Bertens dalam pengembangan bioetika, saya mengajukan sebuah pertanyaan kritis, “Metodologi apakah yang digunakan dalam mengembangkan bioetika di Indonesia?” Melalui penelusuran saya atas beberapa karya Prof. Bertens di bidang bioetika, saya menyimpulkan bahwa etikawan asal Belanda ini tidak mengembangkan satu metode khusus di bidang bioetika. Prof. Bertens adalah seorang “guru” bioetika, yang dalam pengajaran maupun tulisan-tulisannya, biasanya mendeskripsikan berbagai metodologi yang sedang digunakan, apa kelebihan dan kekurangannya, dan dengan itu sebetulnya juga menunjukkan keberpihakannya pada metodologi ter- tentu.

Sekali lagi seluruh karya Prof. Bertens tidak bisa didalami dan dipahami hanya semalam. Dengan perjalanan waktu saya berharap

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

bisa semakin mengenal lebih dekat pemikiran-pemikiran sang profesor di bidang etika, bioetika, maupun ilsafat pada umumnya. Sadar sepe- nuhnya akan kata-kata Mark Twain, “If you have nothing to say, say nothing ,” izinkan tulisan ini menjadi semacam usaha permulaan untuk semakin menggali, baik pemikiran Prof. Bertens sendiri di bidang etika dan bioetika maupun pertumbuhan dan pengembangan bioetika sebagai disiplin ilmu dalam berbagai fakultas kedokteran di Indonesia.

1. Tanah Subur Agama Melahirkan Bioetika

Sebagai salah satu disiplin ilmu, bioetika belum genap berusia se- tengah abad. Kurang lebih satu dekade sebelum kelahiran bioetika di Amerika Serikat, dunia pelayanan kesehatan mengalami kemajuan pesat. Berbagai teknologi kesehatan mulai diperkenalkan, sementara praktik transplantasi organ, terutama transplantasi hati mulai dipraktikkan di rumah sakit-rumah sakit. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat ikut menuntut perubahan pola pelayanan kesehatan, sementara penelitian dan pengembangan teknologi kesehatan dengan melibatkan manusia sebagai subjek penelitian tidak jarang menimbulkan masalah sosial dan etis yang harus dipecahkan.

Inilah latar belakang sosial yang mendorong Senator Walter F. Mondale dari Minnesota mengumumkan rencana pembentukan apa yang kemudian disebut sebagai A Commission on Ethical and Social Implications of Health Science and Development . Melalui sebuah survei singkat diperoleh data bahwa masyarakat memang menginginkan terbentuknya komisi ini, dan dengan dukungan 16 senator lainnya akhirnya Senat mengeluarkan Joint Resolution 145 yang merekomendasikan terbentuknya komisi dimaksud. Komisi ini diberi mandat untuk bekerja selama setahun dengan melakukan studi komprehensif untuk meneliti apa dampak legal,

sosial, dan etis dari penelitian medis. 1

Perkembangan ini segera memicu gairah luar biasa di bidang etika terapan, terutama kajian masalah-masalah etis dalam pelayanan kesehatan. Setahun setelah komisi etik kepresidenan itu terbentuk, berdi- rilah sebuah pusat kajian nirlaba dan nonpartisan bernama The Hasting

1 Paul G. Waugaman, The Case for a National Commission on Health Science and Society , Public Administration Review, Vol. 29, No. 3 (May-Jun., 1969), hlm.

291-292.

Moralitas Lentera Peradaban Dunia

Center di Washington DC, yang mengkhususkan diri dalam penelitian dan pengembangan bioetika. Sementara itu, lembaga dengan misi dan tujuan yang kurang lebih sama bernama The Kennedy Institute of Bioethics pun didirikan tahun 1971 di Georgetown University, Washington DC. Setahun sebelumnya, Van Rensselaer menerbitkan sebuah artikel ber- judul Bioethics, the Science of Survival, dan diikuti oleh penerbitan bukunya berjudul Bioethics: Bridge to the Future (1971). Buku lain yang juga menandai kelahiran bioetika adalah karangan Paul Ramsey berjudul Patient as Person, sebuah materi kuliah tahun 1969 yang terbit sebagai buku setahun kemudian. Tentu saja karya Dan Callahan berjudul Bioethics as a Discipline yang terbit tahun 1973 tidak boleh lupa disebut, karena dari judul buku inilah untuk pertama kalinya kata ”bioetika” masuk sebagai entry dalam katalog Perpusatakaan Nasional Kongres. 2

Itulah perkembangan dan gairah yang menandai kelahiran bioetika, terutama di Amerika Serikat. Di mana peran agama (Katolik) bagi kelahiran bioetika? Apakah betul bioetika dilahirkan dari rahim agama Katolik yang di kemudian hari coba disangkalnya? Catatan Albert R.

Jonsen 3 sangat membantu penelusuran kita menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Di sekitar tahun 1970-an yang menjadi tahun kelahiran bioetika tersebut, sebenarnya keterlibatan dua imam Jesuit (salah satunya ke- mudian meninggalkan imamat) dalam membidani kelahiran bioetika di Amerika Serikat — dari tradisi religius — pantas disebut. Tepatnya tahun 1973 Albert R. Jonsen, waktu itu masih sebagai imam Jesuit dengan tradisi teologi moral Katolik yang sangat kuat diangkat sebagai Associate Professor Bioetika di School of Medicine, University of California, San Francisco (UCSF). Jonsen memaknakan kiprahnya dalam pengajaran etika praktis di dunia kedokteran sebagai memasuki wilayah yang baru sama sekali, yang menuntut dia menanggalkan segala pemahaman dan cara pandangnya sendiri supaya bisa memahami dunia baru tersebut dari dalam, sebelum mengembangkan pemikiran-pemikiran etisnya sendiri. 4

2 David E. Guinn, (Ed.), Handbook of Bioethics and Religion, Oxford University Press Inc., NY, 2006, hlm. 24.

3 Ibid, hlm. 23-36. 4 Albert R. Jonsen bersaksi, katany, “I had crossed a frontier into a strange

land. I had to learn a new language, illed with the words of anatomy, physiology, 318

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

Imam Jesuit lainnya yang juga berjasa bagi kelahiran bioetika di Amerika Serikat adalah Richard McCormick (1923-2000), seorang profesor teologi moral di Seminari Jesuit dan editor jurnal Theological Studies . Ketika di tahun 1970-an masalah percobaan dalam penelitian menggunakan manusia sebagai objek dan perawatan pasien terminal menjadi perdebatan publik, McCormick sering dimintai pendapatnya, tidak hanya mewakili suara dan pandangan moral Gereja Katolik, tetapi juga pemikir dari tradisi keagamaan yang ada di AS. Tahun 1974 Dr. Andre Hellegers, seorang alumni sekolah Jesuit dan pendiri the Kennedy Institute for Bioethics membawa McCormick ke Georgetown University, dan di kampus inilah pemikir yang bertahan sebagai imam Jesuit sampai akhir hayatnya ini menjadi seorang bioetikawan profesional.

Mengapa dua imam Jesuit ini disitir sebagai contoh peran Gereja Katolik membidani kelahiran bioetika? Kedua imam ini dan ribuan imam Katolik lainnya sebenarnya mewariskan tradisi Gereja Katolik yang menaruh perhatian penuh pada masalah-masalah bioetika, jauh sebelum disiplin etika terapan ini lahir ke dunia. Di zaman kejayaan para Bapa Gereja (patristic age), misalnya, para teolog yang umumnya menaruh perhatian pada masalah pastoral praktis sebenarnya telah me naruh minat pada masalah etika medis. Sebutlah Klemens dari Alexandria (150-210), pendiri pertama sekolah teologi Kristiani, yang dengan tegas mengecam praktik kontrasepsi. Bagi dia, kontrasepsi harus dilarang, karena hubungan perkawinan hanya dibenarkan demi tujuan

melahirkan dan membesarkan keturunan. 5

Perkembangan yang sangat kreatif dari ajaran Gereja Katolik mengenai etika medis muncul selama abad ke-7 sampai dengan ke-12. Dalam Gereja Katolik sendiri, periode ini ditandai oleh terbitnya Libri

pathophysiology, and pharmacologi. I had to learn the culture of medicine and hospitals. I had to converse with men and women who did not share my faith or even my interests. … Above all, I have to learn the values that prevail in the world of medicine so that I could even ask “ethical” questions or dare to teach ethics.” Dalam David E. Guinn, 2006, hlm. 24. 5 Sebenarnya sejak awal para pemikir dan teolog Gereja Katolik sudah menolak aborsi, meskipun orang seperti Hironimus dan Agustinus menerima teori “penundaan jiwa masuk ke dalam tubuh” (delayed ensoulmen). Menurut mereka, jiwa baru masuk ke dalam tubuh beberapa saat setelah pembuahan, dan bukan bersamaan dengan pembuahan. Lihat Charles R. Curan, “Roman Catholicism”, dalam: Encyclopedia of Bioethics, vol. 4 (Revised Edition), Simon & Schuster Macmillan, NY, 1985. Hlm. 2323.

Moralitas Lentera Peradaban Dunia

Poenitentiales alias buku-buku yang berisi ketentuan-ketentuan silih dosa. Setiap imam diwajibkan membaca dan menguasai buku-buku ini supaya bisa menentukan jenis dosa apa yang dilanggar si pengaku dosa dan memberikan hukuman yang sesuai dosa tersebut. Di antara banyaknya daftar dosa dan jenis “hukuman” yang ada dalam buku-buku tersebut — mencuri, menipu, berbohong, berbuat cabul, dan sebagainya — dapat ditemukan pula dosa lain seperti aborsi, kontrasepsi, dan masalah- masalah lainnya yang berhubungan dengan kehidupan perkawinan

Katolik. 6 Abad ke-12 ditandai dengan terbitnya hukum kanonik modern. Adalah Grasianus yang sekitar tahun 1140 mengumpulkan dan me- nyusun berbagai macam hukum dan norma yang telah berkembang selama berabad-abad sebelumnya. Karyanya yang berjudul Dekrit Grasianus (The Decree of Gratian) di kemudian hari diterima sebagai dasar bagi penyusunan hukum kanonik Gereja Katolik. Pada tahun 1234 Paus Gregorius IX menerbitkan kumpulan resmi hukum yang dikenal dengan nama Decretals, yang di dalamnya mengatur antara lain “pemeriksaan medis untuk menentukan impotensi seksual sebagai syarat untuk membatalkan perkawinan” (medical examinations to determine sexual impotence as a condition to nullify marriage ). Sementara itu, pada tahun 1331 Paus Yohanes XI membentuk Roman Rota, yakni “korps para hakim gereja” (ecclesiastical judges) yang bertugas menyelidiki prosedur legal pembatalan sebuah perkawinan Gereja serta menangani kasus-kasus hukum dan masalah-masalah non-administratif lainnya sebagaimana diamanatkan Hukum Gereja. Dalam dekrit berjudul Ratio Iuris Exigit disebutkan bahwa para anggota Roman Rota harus memiliki keterampilan medis dan pengetahuan memadai yang dapat membantu para hakim gereja melakukan pekerjaan tribunal.

Abad ke-13 adalah masa kelahiran teologi skolastik yang mencapai puncaknya pada pemikiran Thomas Aquinas. Karya besar Summa Theologie menjadi karya sistematik teologi sang pemikir. Di bagian kedua dari karyanya ini Thomas membahas pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kehidupan moral Kristiani dalam konteks: (1) relasi manusia dengan Allah sebagai tujuan terakhir, (2) umat manusia sebagai citra Allah yang memiliki kemampuan melakukan penentuan-diri dan

6 Ibid, hlm. 2323.

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

tindakan-tindakan moralnya, serta (3) kemanusiaan Kristus sebagai jalan manusia kepada Allah. Melalui Thomas Aquinas dan pemikiran- pemikirannya, Gereja Katolik menyumbang gagasan mengenai hukum kodrat yang sangat berpengaruh dalam pengembangan etika dan bioetika, bahkan sampai zaman kita. Dalam pemahaman Gereja Katolik, manusia tidak hanya mampu membedakan yang baik dan buruk, tetapi juga sanggup menjauhkan dirinya dari tindakan atau perilaku buruk ketika rasionya (reason) yang memampukan dia melakukan pembedaan itu berpartisipasi atau mengambil bagian dalam rasio mutlak Allah.

Di abad ke-14 dan ke-15 lahir banyak karya yang sebetulnya adalah pengembangan lebih lanjut dari libri penitentiales. Karya-karya tersebut berfungsi sebagai semacam buku petunjuk bagi para imam dan pendengar pengakuan dosa (confessor) dalam mendengar dan menentukan jenis dosa serta penitensi anggota jemaat. Antonius, uskup agung Florence dalam karya ketiga dari empat jilid karyanya berjudul Chronicon partibus tribus distincta ab initio mundi ad MCCCLX (1542) membahas fungsi dan kewajiban yang berbeda-beda dari berbagai profesi di dunia. Menurut dia, di dunia ini ada orang yang berkeluarga, orang yang belum menikah dan janda, para penguasa, tentara, penegak hukum, dokter, pedagang, hakim, pekerja seni, dan sebagainya. Antonius membahas cukup mendetail tugas dan tanggung jawab para dokter. Menurut dia, dokter harus memiliki kompetensi medis dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain harus telaten menangani pasien-pasiennya, seorang dokter juga wajib memberitahu pasien yang akan meninggal mengenai situasi yang akan dihadapinya. Antonius juga menulis mengenai honor atau gaji yang pantas bagi seorang dokter serta kewajiban untuk tidak menganjurkan tindakan-tindakan medis tertentu seperti hubungan seksual antara laki- laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan sakramental ataupun masturbasi karena melawan hukum moral. Karya ini juga berisi berbagai pertanyaan dan pembahasan mengenai aborsi. 7

Awal tahun 1621, Paolo Zacchia, seorang dokter Roma, menerbitkan beberapa jilid karyanya berjudul Questiones Medico-legales. Karena karya inilah dia dikenal sebagai “Bapa Spiritual” etika medis. Dia membahas banyak tema yang berbeda, antara lain masalah usia, kelahiran, kehamilan, kematian, penyakit mental, keracunan, impotensi, sterilitas,

7 Ibid, hlm. 2323.

Moralitas Lentera Peradaban Dunia

penyakit menular, keperawanan, pemerkosaan, puasa, mutilasi bagian tubuh, dan persenggamaan. Karya ini sebetulnya merupakan usaha menjembatani jurang antara teologi, pengobatan, dan hukum, serta menyertakan pengetahuan medis sebagai hal penting bagi para pastor, sama seperti isu moral dan hukum yang juga harus diketahui oleh para dokter. Sementara itu, Michiel Boudewyns menerbitkan sebuah karyanya berjudul Ventilabrum Medico-theologicum (1666). Doktor bidang ilsafat dan kedokteran ini mendiskusikan masalah-masalah moral yang biasanya dihadapi para dokter. Etika medis Katolik di abad ke-20 mengadopsikan beberapa lingkup dan pendekatan pemikir yang satu ini. 8

Perkembangan menarik lainnya tampak dalam karya seorang Jesuit Prancis bernama Théophile Raynaud (1583-1163). Dalam karyanya berjudul De Ortu Infantium sang penulis menegaskan bahwa dalam menolong seorang ibu melahirkan dokter bisa saja memutuskan apakah melakukan operasi sesar atau tidak, dan keputusan itu menimbulkan masalah moral tertentu yang harus dipecahkan. Sementara itu, pada tahun 1658 Girolamo Fiorentini dalam karyanya berjudul Disputatio de Ministrando Baptismo , membahas masalah pembaptisan terhadap fetus yang digugurkan (humanis foetibus abortivorum) yang sebenarnya adalah seorang manusia. Sementara itu, Francesco Cangiamila dalam karyanya Sacra embryologia , mendiskusikan pertanyaan yang berhubungan dengan embriologi, seperti pembaptisan janin yang mati dalam rahim. 9

Tinjauan historis singkat ini belum menunjukkan secara eksplisit peran Gereja Katolik bagi kelahiran bioetika. Hal ini dapat dimengerti karena sekali lagi pada abad ke-17 dan ke-18 ditandai oleh perkembangan lain yang lebih berhubungan dengan kepentingan gereja mempersiapkan para imamnya sebagai pendengar pengakuan dosa (confessor) di mana releksi moral lebih dititikberatkan pada teologi moral, khususnya membuat buku-buku petunjuk yang dapat dirujuk oleh para confessor dalam praktik pengakuan dosa. Dengan demikian, dari akhir abad ke-17 hingga Konsili Vatican II, upaya pelembagaan teologi moral mendominasi releksi teologi moral Katolik dengan ciri utama menyajikan sedikit landasan teoretis dilanjutkan dengan mengaplikasikannya da- lam sakramen pengakuan dosa. Ini disusun dalam skema sepuluh perintah Allah atau sakramen-sakramen, di mana masalah-masalah

8 Ibid, hlm. 2323. 9 Ibid, hlm. 2323-2324.

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

etika medis umumnya direduksikan kepada topik Perintah Allah kelima, yakni “jangan membunuh” yang secara implisit juga melarang praktik mutilasi. Selain itu, masalah etika medis juga sering diletakkan dalam tema perkawinan. Menarik dicatat, pada periode ini muncul buku-buku berisi kasus-kasus praktis (casus conscientiae) sebagai pelengkap bagi pelembagaan teologi moral serta dikembangkannya metode kasuistri (casuistry method) yang di kemudian hari menjadi salah satu sumbangan utama teologi moral Gereja Katolik bagi pengembangan bioetika.

Bagaimana dengan abad-abad selanjutnya? Ilmu-ilmu berkembang pesat di abad ke-19, termasuk ilmu kedokteran. Pada waktu itu dirasakan ada semacam jurang antara teologi moral dengan ilmu kedokteran dalam arti teologi moral sudah tidak sanggup lagi memecahkan masalah- masalah etis yang muncul dari dunia kedokteran, misalnya hanya dengan mereduksikannya di bawah perintah Allah kelima. Menyadari hal ini, Gereja Katolik menciptakan apa yang disebut sebagai “pastoral medicine”. Ini tampak misalnya dalam karya Carl Capellmann, seorang dokter Jerman yang melihat pentingnya mempersiapkan para imam dengan pengetahuan yang cukup memadai di bidang medis yang akan sangat berguna dalam menjalankan pelayanannya dan memampukan para imam mengkomunikasi prinsip-prinsip moral Katolik kepada para dokter. Pemikiran yang dikembangkan Capellmann lalu tidak hanya difokuskan pada perintah Allah kelima (meliputi juga masalah aborsi, pembedahan medis, dan penggunaan obat-obatan), tetapi juga mencakup perintah Allah keenam (meliputi pula masalah masturbasi, perzinahan, dan perkawinan). Topik-topik lain yang berhubungan dengan perintah- perintah Gereja seperti masalah puasa dan pantang, sakramen-sakramen (terutama pembaptisan), komuni, dan perminyakan orang sakit juga ikut dibahas.

Di abad ke-20 masalah-masalah etis, termasuk yang dihadapi para dokter dan perawat tetap dibahas dalam traktat-traktat teologi moral. Meskipun demikian, buku-buku lain mengenai “pastoral medicine” atau etika medis mulai muncul dan mengurangi dominasi traktat teologi moral. Ini merupakan perkembangan yang sangat positif, terutama kalau dikontekskan dalam pentingnya mengembangkan metodologi sendiri yang khas etika biomedis dalam memecahkan persoalan-persoalan etika biomedis. Demikianlah, karya Albert Niedermeyer, seorang pemikir Jerman di bidang pastoral medicine, misalnya, meliputi topik-topik yang

Moralitas Lentera Peradaban Dunia

cukup lengkap di bidang etika medis dewasa ini, termasuk di dalamnya adalah masalah psikiatri dan psikoterapi. Sementara itu, etika medis mulai muncul di Amerika Serikat di abad ke-20, dengan fokus pada masalah-masalah etis yang dihadapi para dokter, perawat, dan rumah sakit-rumah sakit Katolik. Salah satu karya yang layak disebut adalah Moral Principles and Medical Practice (1897) yang ditulis oleh pastor Charles Coppens, teks yang digunakan secara luas sebagai materi pengajaran di fakultas-fakultas kedokteran dan sekolah-sekolah perawat Katolik. Tahun 1949 dan kemudian direvisi tahun 1955, Asosiasi Rumah Sakit Katolik Amerika Serikat memformulasikan “Ethical and Religious Dirrectives for Catholic Hospitals” yang menjadi acuan memecahkan masalah-masalah etis yang dihadapi para dokter dan perawat.

2. Bioetika Mencari Kemandirian?

Itulah perkembangan historis di bidang etika medis menjelang periode kelahiran bioetika. Sebagaimana dikatakan di atas, bioetika — terutama dalam konteks Amerika Serikat — persis lahir dan dibesarkan selama abad akhir abad ke-20 dalam rahim Gereja Katolik di mana keterlibatan etikawan dan teolog Katolik tidak bisa dianggap remeh. Di sinilah menurut saya deskripsi Kevin Wm. Wildes S.J. tepat adanya, bahwa para ahli etika atau teologi moral Katolik dan dunia kedokteran dengan sejuta masalah yang ditimbulkannya bertemu dalam sebuah titik peleburan yang sama, yakni the experience of initude. 10

Meskipun demikian, titik pertemuan yang khas itu ternyata ti- dak menjanjikan sebuah romansa kekal. Betul kata Albert R. Jonsen, “Bioethics began in religion, but religion has faded from bioethics,” 11 dan persis di sinilah hubungan antara bioetika dan agama — terutama agama dan ajaran moral Gereja Katolik — memasuki masa suka dan dukanya. Gereja Katolik menghadapi kenyataan bahwa dia tidak lagi

10 “The practice of medicine confronts, again and again, the inite nature of human existence in sufering, sickness, death, and the limits of resources. The confrontation

with initude is also an impetus for the religious experience which seeks to understand the meaning of human life in the face of sufering and death. The dilemmas of medical ethics present a unique meeting place for religion and medicine.” Kevin Wm. Wildes, dkk. (Eds), Birth, Death, and Sufering. Catholic Perspectives at the Edge of Life, Kluwer Academy Publishers, Netherlands, 1992, hlm. 1.

11 Dalam David E. Guinn, 2006, hlm 23.

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

berbicara kepada masyarakat yang homogen dengan keyakinan dan ajaran moral yang beragam. Karena itu, terminologi seperti martabat manusia, manusia sebagai citra Allah, awal mula kehidupan, teologi kepamongan (theology of stewardship) bahwa sebagai mitra Allah manusia dipanggil untuk menjaga dan merawat keberlangsungan alam semesta, pandangan mengenai manusia sebagai pribadi, dan seterusnya yang sebelumnya diterima begitu saja sebagai universal values dan rationalitas penjelas dalam pengembangan bioetika, kini justru dipersoalkan, bahkan

didekonstruksi. 12 Masalahnya tidaklah mudah mereleksikan dan mengartikulasikan ulang ajaran-ajaran moral dewasa ini, dan inilah situasi nyata yang dihadapi Gereja Katolik dan hampir semua agama lainnya. Sekurang- kurangnya dua contoh bisa dikemukakan di sini untuk menunjukkan kesulitan yang dihadapi. Pertama, konsep martabat manusia dalam

artinya yang klasik 13 yang oleh tradisi Yudeo-Kristiani dipahami sebagai yang bersumber pada Kitab Kejadian 1:26, bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri, justru sekarang dipersoalkan, atau tepatnya didekonstruksi. Sejak bioetika mulai dikembangkan, konsep biblis mengenai martabat manusia ini memiliki implikasi etis bagi dunia kedokteran. Paham mengenai manusia sebagai citra Allah mengandung implikasi bahwa manusia adalah mitra Allah, yang karena keserupaannya diangkat dan diserahi tanggung jawab khusus menyempurnakan dan menjaga keberlangsungan hidup ciptaan ini. Bahwa status keserupaan dengan Allah ini bersifat imparsial dalam

12 “The church now speaks and acts in a secular, morally pluralistic culture which has many moral voices. In the face of such cultural changes it becomes crucial for

traditions, such as catholicism, to reinterpret and rearticulate themselves so that they can understand themselves and speak to others.” Ini sekaligus menjawab pertanyaan fenomenal yang diajukan Alasdair MacIntyre, ‘whose rationality, which justice?’ persis ketika kita sekarang menghadapi fragmentasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral. Dan bagi MacIntyre sendiri, Gereja Katolik yang memiliki tradisi yang amat kaya ini harus mereinterpretasi dan merumuskan ulang ajaran-ajaran moralnya, karena “the ability of a tradition to respond to new problems indicates the vitality of the tradition” itu sendiri. Kevin Wm. Wildes, dkk (Eds), 1992, hlm. 3-5.

13 Martabat manusia dalam artinya yang klasik dipahami dari asal katanya Bahasa Latin dignus dan dignitas, yang artinya “worthiness for honor and self

esteem.” Lihat The President Council on Bioethics, Washington D.C., March 2008, hlm. 6.

Moralitas Lentera Peradaban Dunia

pengertian tidak membeda-bedakan apakah seseorang itu sehat atau sakit, cacat atau normal, apalagi distingsi-distingsi lainnya yang bersifat sosiologis. 14

Ketika tradisi dan pandangan moral Gereja Katolik memengaruhi pengembangan bioetika, konsep biblis mengenai martabat manusia ini diposisikan sebagai semacam authoritative guidance atau prinsip penjustiikasi dalam memecahkan berbagai persoalan etis dalam dunia kedokteran, misalnya prinsip etis bahwa manusia adalah pribadi yang kudus dan bermartabat dalam setiap fase kehidupannya, sejak pembuahan hingga kematian. Bahwa menjadikan manusia semata-mata sebagai alat atau menghancurkannya demi kepentingan suatu penelitian dan pengembangan teknologi, atau dengan sengaja membiarkannya mati tidak bisa dibenarkan sama sekali. Bahkan implikasi lain dari konsep biblis martabat manusia seperti kewajiban berbuat baik, menghormati manusia sebagai pribadi, menerima dan menghormati otonomi manusia yang menurunkan prinsip-prinsip etika kedokteran dewasa ini seperti prinsip otonomi, prinsip melakukan kebaikan, dan prinsip tidak mela- kukan keburukan pada pasien dianggap bersumber pada konsep biblis mengenai martabat manusia tersebut. 15

Bioetika yang bersumber pada tradisi moral Gereja Katolik tentu tetap mempertahankan pandangan semacam itu. Ketika menyampaikan pesan perdamaian dunia pada tanggal 1 Januari 2007, Paus Benediktus

XVI menegaskan sekali lagi ajaran Gereja Katolik mengenai martabat manusia sebagai authoritative guidance. Bagi Benediktus XVI, manusia memiliki martabat yang mulia sebagai pribadi (person). Manusia adalah pribadi (person), bukan sesuatu (something), atau sekadar seseorang (some one). Sebagai ciptaan Allah, manusia adalah pribadi yang memiliki kemampuan mengenal diri sendiri, self-possession, memberikan diri secara bebas, dan merelakan diri masuk dalam persekutuan dengan

orang lain. 16 Manusia adalah pribadi karena dia merupakan satu-satunya makhluk yang diciptakan seturut gambar dan rupa Allah. 17 Implikasinya di bidang bioetika bisa ditarik jauh sampai ke prinsip otonomi pasien,

14 Ibid, hlm. 7-10. 15 Ibid, hlm. 10.

16 H. Tristram Engelhard Jr., The Foundation of Christian Bioethics, Swets and Zeitlinger Publisher, Netherlands, 2000, hlm. 127.

17 Ibid, hlm. 128.

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

informed consent , tanggung jawab dokter menyembuhkan pasien (prinsip melakukan kebaikan) dan menghindari keburukan (prinsip non-male- icence), dan sebagainya.

Mengembangkan bioetika dengan mengacu pada paham martabat manusia semacam ini justru banyak dikritik bioetikawan dewasa ini. Salah satu kritik pedas dan sarkastis dapat dibaca dalam sebuah karangan singkat berjudul Religion and Dignity: Assent and Dissent dan dimuat

dalam buku The Foundation of Christian Bioethics 18 yang ditulis oleh Eilidh Campbell St. John dan Stuart Blacker. Bagi Eilidh Campbell St. John dan Stuart Blacker, siapa pun yang menerima pandangan mengenai martabat manusia sebagaimana dikemukakan Benediktus XVI akan mengikatkan diri pada implikasi, bahwa apa pun perilaku yang menyangkal manusia sebagai pribadi yang bermartabat adalah penghinaan (blasphemy) kepada Allah sendiri. Implikasi lain, Allah adalah sumber segala kehidupan, pribadi yang kudus dan suci, dan sang pencipta. Dengan menciptakan manusia seturut gambar dan rupa-Nya, Allah mengizinkan manusia berpartisipasi dalam keilahian-Nya. Pertanyaan yang diajukan kedua pemikir ini, “Apakah di luar paham teologis dan biblis ini kita tidak bisa berbicara mengenai manusia yang memiliki martabat?” “Apakah martabat manusia tidak bisa didiskusikan dalam konteks lain, misalnya ateisme atau psikologi?” Gugatan lebih keras lagi, “Apakah kata-kata yang dikemukakan Benediktus XVI sungguh menggambarkan realitas yang sesungguhnya mengenai martabat manusia?” Menurut mereka, apa yang dikatakan Benediktus XVI serta para ilsuf dan teolog Kristiani yang menghubungkan martabat manusia dengan rahasia penciptaan Allah sebenarnya tidak lebih dari orang yang mengumbar kata tanpa makna. Mengutip Francis Bacon, Eilidh Campbell St. John dan Stuart Blacker berpendapat bahwa kata-kata itu hanya akan mengaburkan pemahaman kita mengenai siapa manusia. Atau, merujuk ke pendapat Herbert Spencer yang mengatakan bahwa pilihan kata-kata yang tidak tepat hanya akan menghasilkan pemikiran yang menyesatkan, kedua

18 Buku ini diedit oleh H. Tristram Engelhard Jr., semula seorang bioetikawan Katolik yang dua puluh tahun belakangan menjadi pengikut Gereja Ortodox,

adalah pemegang gelar dua doktor dalam bidang yang berbeda, yakni ilsafat dan kesehatan. Buku ini diterbitkan oleh Swets and Zeitlinger Publisher, Netherlands, 2000. Khusus karangan Eilidh Campbell St. John dan Stuart Blacker, lihat hlm. 127-134.

Moralitas Lentera Peradaban Dunia

pemikir ini pun beranggapan bahwa apa yang dikemukakan Benediktus

XVI dapat menyesatkan kita. Karena itu mereka menghimbau masyarakat untuk tidak menganggap serius apa yang dikatakan pemimpin agama yang menghubungkan martabat manusia dengan rahasia penciptaan Ilahi. 19

Kedua , pemikiran para ilsuf yang justru mempertanyakan apakah “martabat manusia” termasuk sebuah konsep yang bermanfaat bagi bioetika itu sendiri. Dr. Adam Schulman, misalnya, dalam karangannya berjudul Bioethics and the Question of Human Dignity yang diterbitkan

dalam buku Human Dignity and Bioethics, 20 mempertanyakan masalah ini. Dengan nada cukup pedas dan kontroversial, Schulman memulai tulisannya seraya bertanya, “Apakah martabat manusia adalah sebuah konsep yang bermanfaat dalam bioetika?” Di sini kata “manfaat” sengaja digunakan Schulman untuk mengingatkan kita bahwa penerapan konsep apapun dalam bioetika harus bisa menjadi terang atau penjelas yang penting terhadap keseluruhan isu bioetika, mulai dari penelitian embrio dan reproduksi berbantuan (assisted reproduction), pengembangan biomedis, sampai merawat orang-orang yang tidak mampu (secara medis) dan pasien terminal. Jika tidak, konsep “martabat manusia” tidak punya manfaat apa-apa bagi bioetika dan menjadi slogan kosong tanpa dukungan argumen-argumen meyakinkan, sekaligus menyembunyikan bias-bias yang tak-terartikulasikan. 21

Menurut Schulman, martabat manusia dalam tradisi Yudeo-Kristiani adalah konsep yang tidak memadai jika diterapkan dalam bioetika. Tafsir

19 Kutipan: “In many ways it [the word] would be satisfying to be able to dismiss ideas

we ind inconvenient or misleading as nomina tantum — only words — but once utered, and especially once repeated and applied, words take on a powerful dynamism of their own which drags us along path ways we might, upon sober relection, choose not to tread. Man acts as if he were sharper and master of language, while it is language which remains the mistress of man.” Ibid, hlm. 129.

20 Buku ini disebut berwibawa karena berisi tulisan, perdebatan dan diskusi seputar martabat manusia dan bioetika yang sebetulnya adalah kumpulan

tulisan (essay) yang diminta oleh Penasihat Presiden untuk Masalah Bioetika ( President’s Council on Bioethics) Amerika Serikat dengan Edmund D. Pellegrino sebagai Ketua Dewan Penasihatnya. Bagian “Pengantar” menampilkan dua artikel yang sebenarnya langsung menukik ke perdebatan seputar martabat manusia dalam ranah publik. Diterbitkan oleh The President Council on Bioethics , Washington D.C., March 2008.

21 Ibid, hlm. 3

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

teologis bahwa manusia diangkat pada tingkat menyerupai Allah karena diciptakan seturut citranya dan diposisikan dengan tugas khusus di dunia untuk menyempurnakan dunia justru menimbulkan kontroversi tersendiri dalam memecahkan masalah moral bioetika. Mengapa misal- nya pandangan moral Kristiani melarang pembuahan in vitro atau cloning, padahal tindakan medis ini sendiri dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari partisipasi manusia dalam tindakan penciptaan Allah, yakni sebagai mitra Allah ikut menyempurnakan dunia dan seluruh ciptaan-

Nya. 22 Menurut Schulman, mempertahankan konsep Yudeo-Kristiani me- nge nai martabat manusia akan menimbulkan masalah moral lainnya yang lebih rumit dalam bioetika yang sulit dipecahkan. Dalam hal penelitian dan pengembangan stem cell, misalnya, apakah setiap tahap dari perkembangan kehidupan manusia itu sendiri harus dipandang sebagai suci (sacred), atau pada level tertentu belum bisa dikategorikan sebagai suci sehingga bisa memberi ruang kepada ahli biologi untuk mengembangkan penelitiannya dengan menjadikan “manusia” yang

be lum mencapai level kemanusiaannya itu sebagai objek penelitian? Bagi Schulman, jika seluruh tahap perkembangan manusia adalah suci, bukankah sudah menjadi bagian dari tanggung jawab moral manusia untuk menyembuhkan, mempertahankan, atau “memperbaiki” hidup manusia itu sendiri melalui tindakan-tindakan medis semacam stem cell?

Apa yang bisa disimpulkan dari sikap kritis para pemikir terhadap pengembangan bioetika berbasiskan tradisi Yudeo-Kristiani ini? Kita bisa menjawab pertanyaan ini dari dua sudut pandang, yakni secara spesiik (mengacu kepada pandangan para pengkritik sendiri) dan secara umum (melihat optimisme dan tren pengembangan bioetika dewasa ini).

Secara khusus harus diakui, tinjauan historis yang dilakukan Schulman atas perkembangan konsep martabat manusia mulai dari tradisi Yunani dan Romawi, kritik terhadap pandangan Yudeo Kristiani, tradisi pemi- kiran Kantian, dan pandangan modern mengenai martabat manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan satu hal yang tampaknya lolos dari perhatian. Dr. Schulman seharusnya sadar bahwa konsep martabat manusia lahir dalam ruang dan waktu historis tertentu, dipahami dan ditafsir oleh tradisi tertentu dengan seluruh kekayaan

22 Ibid, hlm. 8-9.

Moralitas Lentera Peradaban Dunia

nilai-nilainya, karena itu kelemahan dan keterbatasannya merupakan sesuatu yang wajar. Schulman justru melupakan aspek fundamental perkembangan seluruh sejarah pemikiran, yakni sifat saling memperkaya dan mengisi dan bukan saling meniadakan. Apa yang ingin dibuktikan Schulman sebenarnya menunjukkan ketidakmampuannya memahami konsep martabat manusia dari berbagai perspektif. Lagi pula, bioetika merupakan cabang etika terapan yang harus didekati secara lintas ilmu, dan bukan dengan membayangkan kehadiran semacam “organ” eksternal penyelesai berbagai persoalan etis yang ditimbulkan ilmu ini.

Saya melihat bahwa kritik serta upaya mendekonstruksi konsep Yudeo-Kristiani mengenai martabat manusia dari dunia bioetika seperti yang gencar dilakukan Eilidh Campbell St. John, Stuart Blacker, dan Dr. Adam Schulman sebenarnya adalah bagian dari proyek besar mereka memperjuangkan sebuah bioetika sekuler yang menurut mereka sanggup memecahkan seluruh dilema moral yang ditimbulkan dunia kedokteran maupun pengembangan teknologi biologi. Dan itu mereka lakukan dengan mengembangkan sebuah bioetika yang membangun prinsip- prinsip moralnya semata-mata berdasarkan pertimbangan kemanusiaan (humanity ). Artinya, justiikasi etis atas tindakan medis atau penelitian yang menjadikan manusia sebagai objek penelitian tidak lagi berdasarkan konsep “martabat manusia” dari tradisi pemikiran dan budaya ter ten- tu, katakan Yudeo-Kristiani, tetapi semata-mata berdasarkan pertim- bangan yang sangat kasuistik mengenai kemanusiaan. Bahayanya, alasan kemanusiaan semacam ini lebih sering jatuh ke pertimbangan- per timbangan utilitaristik yang semata-mata mementingkan akumulasi manfaat sebesar-besarnya yang bisa dicapai dalam sebuah tindakan medis. Padahal berbagai pendekatan utilitaristik dalam memecahkan masalah moral sering — untuk tidak mengatakan selalu — menciderai rasa keadilan, termasuk keadilan manusia yang kita kategorikan sebagai belum memiliki dimensi persona, belum mampu berpikir rasional, atau belum otonom seperti embrio. 23

23 Pandangan dan pendekatan utilitaristik ini sangat kentara pada pemahaman Peter Singer yang membedakan manusia berdasarkan kategori anggota

sebuah spesies tertentu (homo sapiens) dan yang memiliki atau belum memiliki persona. Semua manusia adalah anggota spesies homo sapiens, tetapi tidak semuanya adalah “persona” sehingga tidak semua homo sapiens dapat disebut sebagai “person”. Manusia hanya bisa disebut “persona” atau human person jika dia memiliki “kesadaran-diri, kontrol-diri, kepekaan akan masa

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

Secara umum kita merujuk kepada tren dan perkembangan bioetika sekarang dan ke depan. Bagi Robert S. Morison 24 , bioetika ke depan akan tetap relevan, terutama karena masalah-masalah etis yang timbul baik dalam dunia kedokteran maupun pengembangan teknologi biologi. Robert S. Morison melihat bahwa di bidang pengembangan teknologi biologi, bahaya menjadikan manusia sebagai objek penelitian dan eksperimen sangatlah kentara. Sementara bioetika di dunia kedokteran sendiri telah beralih dari sekadar masalah probable damage of the unidentiiable persons kepada hal-hal yang lebih subtle dan rumit. Masalah euthanasia, misalnya, tidak sekadar apakah seorang dokter dibenarkan menghentikan pengobatan dan asupan makanan kepada pasien terminal (tidak tertolong lagi, tetapi apakah dibenarkan menghentikan peralatan medis penunjang kehidupan, atau peralatan medis lainnya pada pasien tertentu (belum terminal); di mana prinsip-prinsip bioetika yang mendasarkan diri pada tradisi pemikiran Yudeo-Kristiani sudah tidak memadai lagi. 25

Robert S. Morison justru memotret masalah bioetika yang menurut saya jauh lebih tepat dibandingkan dengan perdebatan apakah bioetika perlu dibersihkan dari tradisi Yudeo-Kristiani atau tidak. 26 Menurut dia, sekularisasi universitas justru menjadi musuh yang tampaknya sulit ditaklukkan dalam upaya pengembangan bioetika dewasa ini. Ketika para bioetikawan, ilsuf moral (etikawan), atau teolog moral berpartisipasi dalam dunia pendidikan dengan mengajar dan mendampingi para calon dokter atau calon ilmuwan biologi, mereka justru berhadapan dengan kerasnya hati kaum positivis yang mengkategorikan “pertanyaan-per-

depan, kesadaran relektif akan masa lampau, kemampuan berelasi dengan orang lain, kemampuan membangun relasi dengan orang lain, kemampuan komunikasi, dan rasa ingin tahu.” Sebagai konsekuensi, homo sapiens seperti fetus, manusia dalam keadaan vegetatif, atau bayi yang baru lahir, tidak mungkin dikategorikan sebagai human person (persona). Mengambil kehidupan manusia jenis terakhir ini tidak akan merugikan kepentingan atau kebaikan yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok human person(persona). Lih. Peter Singer, Practical Ethics, Cambridge Univ. Press, NY, 1979. Hlm. 75.

24 Robert S. Morison, Bioethics After Two Decades, The Hasting Center Report, Vol. 11, No. 2 (Apr., 1981), hlm. 8-12.

25 Ibid, hlm. 8. 26 Pandangan terakhir ini justru mendorong tradisi-tradisi agama mem-

formulasikan dan menafsir ulang ajaran-ajaran moralnya, sehingga mereka akan tetap berkembang dan hidup.

Moralitas Lentera Peradaban Dunia

tanyaan mengenai nilai” (values questions) sebagai sesuatu yang tidak bermakna. Lebih berbahaya lagi ketika kaum positivis menguasai sebagian besar pengambilan keputusan strategis dalam dunia akademis. 27

Sekali lagi setelah hampir empat dekade bioetika berkembang dan dikembangkan, kita boleh mengatakan bahwa cabang ilsafat terapan yang satu ini memiliki masa depan sangat cerah. Gereja Katolik sendiri tidak berpretensi mengembalikan kemesraan hubungan antara bioetika dan ajaran moral dasar mengenai martabat manusia sebagai citra Allah. Meminjam tilikan Alasdair MacIntyre, Gereja Katolik sangat sadar, bahwa dia sedang berhadapan dengan sebuah kultur yang pluralistik dengan sejuta pandangan moralnya, di mana ketidakkekalan menjadi karakteristik utama setiap pandangan moral. Dalam kesadaran semacam inilah Gereja Katolik memandang penting untuk selalu “menginterpretasi ulang dan merumuskan ulang dirinya dan ajaran-ajarannya supaya bisa memiliki pemahaman yang akurat mengenai siapa dirinya sehingga bisa menyapa dan menyampaikan ajaran-ajarannya kepada dunia.” 28

3. Mendiskusikan Metode

Sebagai seorang etikawan, Prof. Bertens terlibat aktif dalam pene- litian, pengembangan, dan pengajaran etika di perguruan tinggi pada masa ketika bioetika — termasuk juga etika terapan lainnya seperti etika bisnis — mengalami perkembangan pesat, pertama-tama di Amerika Serikat, lalu menyebar ke seantero dunia. Mencermati kiprah Prof. Bertens dalam pengembangan etika di perguruan tingi dalam kerangka tren universal pengembangan etika terapan, dapat dipastikan bahwa mustahil mempertahankan etika selaku ilsafat moral di sebuah menara gading selaku ilmu yang menguji secara kritis dan komprehensif prinsip- prinsip penjustiikasi tindakan moral tanpa implikasi praktis sama sekali. Mencermati rancangan buku Etika (1993) lalu Pengantar Etika Bisnis (2000), dan Etika Biomedis (2011), jelas terlihat usaha mengembangkan sebuah etika terapan. 29

27 Robert S. Morison, 1981, hlm. 8. 28 Dikutip dari Kevin Wm. Wildes , 1992, hlm. 5. 29 Bdk. Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 7. Sementara

itu dalam materi kuliah “Etika Kedokteran”, ketika membahas pertanyaan “bagaimana menjadi dokter yang baik?”, Prof. Bertens secara eksplisit merujuk ke bab 6 buku Etika, yakni materi “bagaimana menjadi manusia yang

Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

Masalahnya, apakah prinsip-prinsip etika umum tersebut diterapkan begitu saja dalam pengembangan bioetika? Karena pertanyaan ini menggugat masalah metodologi, maka pertanyaan selanjutnya adalah metodologi apakah yang digunakan Prof. Bertens dalam mengembangkan bioetika? Apakah Prof. Bertens bersikukuh mempertahankan grand theory tertentu dari etika umum dan menerapkannya begitu saja dalam bioetika? Apakah Prof. Bertens mengembangkan metodologi tertentu yang khas sebagai sumbangan pemikirannya?

Mengatakan bahwa bioetika merupakan sebuah etika terapan (applied ethics), orang bisa saja menyimpulkan bahwa cabang etika yang satu ini menerapkan secara langsung prinsip-prinsip dasar teori etika

semisal utilitarisme. 30 Kesimpulan seperti ini tentu beralasan, terutama dalam kerangka teori utilitarisme yang sejak bioetika berkembang di- anggap sebagai pendekatan yang mumpuni dalam memecahkan masa-

lah-masalah yang ditimbulkan dunia kedokteran. 31 Orang sekaliber Engelhardt saja pernah melakukan kekeliruan yang sama persis ketika di awal keterlibatannya dalam pengembangan bioetika dia menerapkan begitu saja teori-teori etika umum yang dikuasainya dalam memecahkan masalah-masalah etis kedokteran. 32

Sejak awal Prof. Bertens menyadari bahwa tidaklah mungkin mengembangkan bioetika sebagai etika terapan dengan mengandalkan hanya teori-teori etika yang diketahuinya. Bagaimanapun, seorang etikawan tidak sanggup memecahkan sendiri, berdasarkan keahliannya,

seluruh masalah etis yang ditimbulkan dunia kedokteran. 33 Seorang etikawan harus sanggup bekerja bersama para ahli dari bidang lain

baik?” Lih. K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001 (cet. ke- 6), hlm. 211-231; Lihat juga K. Bertens dan T. Sintak Gunawan (Diktat), Etika dan Hukum Kedokteran , Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta, 2004, hlm. 86-94.

30 James Rachels menyebut hal ini sebagai model aplikasi langsung (the straigh- forward-application model ), dalam arti “the ethical theory is the starting-point, and

we apply theory to the case at hand in order to reach a conclusion about what should

be done.” Dalam: Helga Kuhse dan Peter Singer (Eds.), A Companion to Bioethics, Blackwell Publishers Ltd., NJ, 2001, hlm. 15. 31 Ibid. 32 Lih. Ana Smith Iltis and Mark J.Cherry (Eds.), At the Roots of Christian Bioethics

Critical Essays on the Thought of H.Tristram Engelhardt,Jr. , Published by M &M Scrivener Press, MA, 2010, hlm. viii-ix.

33 K. Bertens, Etika, 2001, hlm. 273.

Moralitas Lentera Peradaban Dunia