Imperalisme Informasi dan Peran Literasi
6/12/2018
Opini - Harian Analisa
Imperialisme Informasi dan Peran Literasi
Senin, 11 Juni 2018 | Dibaca 126 kali
Oleh : Rony K. Pratama.
Hari Kebangkitan Nasional di era Re volusi Industri 4.0 bukan lagi perso alan menyambut nostalgia masa silam. Glo
rifikasi peristiwa historis membawa sema ngat baru. Namun, pada zaman disrupsi, segala faktor itu perlu direkonstruksi
ulang dalam rangka mencari kebangkitan nasional yang relevan dengan situasi kekinian.
Jamak orang pesta pora dengan penuh gegapgempita ka rena di tahun milenium mereka diterangi beragam pengeta
huan. Informasi salingsengkarut memenuhi kehidupan mere ka tanpa harus mengeluarkan kocek besar. Bila di abad
ke20 selebrasi informasi hanya dimiliki sekelompok cende kia wan dan wedana berduit, kini siapa pun tanpa pan dang
strata eko no mi merasakan demokratisasi pengetahuan.
Zaman kegelapan yang ditandai dengan krisis pengeta huan berangsur mencapai titik senjakala. Narasi jagat sosial
dewasa ini kemudian beralih menuju perjamuan informasi. Penan da nya cukup jelas, yakni kemajuan saintifik yang
memung kinkan internet dimasyarakatkan secara masif. Dunia siber mem beri jalan bagi mereka yang girang akan
lumbung infor masi yang bebas akses tanpa terpaut ruang dan waktu.
Abad informasi bersalin rupa menjadi harapan mutakhir. Di satu sisi diterima sebagai bagian dari kemajuan,
sedangkan di lain sisi dicemaskan karena menisca yakan distrupsi sosial. Anggapan “semakin banyak menguasai
informasi, semakin besar pula kesempatan menggenggam du nia” yang diwacana kan tiga dekade terakhir patut
dipertanyakan ulang. Yang ter jadi belakangan ini justru “semakin banyak informasi, semakin berpeluang besar untuk
menjadi budak dari informasi itu”.
Problem gelombang informasi yang menerpa warga dunia sema kin tak tertangguhkan. Informasi sudah menjadi bagian
primer dari habituasi manusia modern. Tanpa membaca, ia merasa tertinggal. Spirit membaca pun relatif kuat meski
ba nyak dimulai dari membaca status media sosial. Pada saat yang sama, berita bohong (hoaks) mudah menyebar dan
divi ral kan tanpa kecakapan literasi kritis. Masalah pelik sontak timbul: hoaks muncul dan menjadi dalang utama friksi di
antara warganet.
Problem Kolektif
Musuh manusia modern tak lagi berbentuk fisik seba gaimana seperti masa revolusi fisik. Hampir semua orang kini
senapas bahwa hoak betapapun bentuk dan konstruksinya mem beri celah permusuhan komunal. Perang
terhadapnya ada lah bentuk strategis menguatkan kedaulatan nasional yang menjadi aksiologi para pendiri bangsa.
Tentu ia dibutuhkan siasat jitu yang harus awali de ngan mengenali karakteris tiknya.
Pertama, hoaks lazim ditemui dalam genre informasi yang bernuansa politik, aga ma, ras, dan sentimen sektoral lain.
Ke khasan hoaks yang menyelinap di sana dimaksudkan guna menjadi tangan panjang kepentingan partikular.
Pembuat hoaks mafhum betapa masyarakat kini mudah saling adu jotos hanya karena sentimen sepele semacam itu.
Kedua, karakteristik hoaks bisa ditebak melalui bubuhan judul yang terkesan fantastis tapi tak dikuatkan oleh isi infor
masi. Judul dibuat khusus supaya pembaca tertarik membuka isi berita meski kebenaran faktual informasi di sana
telah terdistorsi sedemikian rupa. Banyak orang terkecoh karena tertarik magnet judul tersebut. Bahkan, lebih ironi lagi,
setelah membaca isi warta, ia mengangguk tanda menyetujui.
Ketiga, genre tulisan yang mengan dung toksin hoaks dapat ditelanjangi secara substansial. Kalau menelusuri ke cen
de rung an diksi, tulisan hoaks cenderung mengambil klasifikasi kata yang repetitif dan agitatif. Terdapat pengulangan
kata khusus yang ditekankan pada tiap paragraf agar mempe ngaruhi alam bawah sadar pembaca. Kekuatan
semacam ini mi rip seperti ungkapan arkais Hitler: ke bo ho ngan yang diulang terusmenerus akan menjadi kebenaran
pada waktunya.
Ilmu Kedaulatan
Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun) per nah mengatakan kunci utama manusia agar tak hancur dari terpaan informasi
ada lah berdaulat atas dirinya sendiri. Posisi berdaulat secara nilai dan laku ini bisa dimanifestasikan ke dalam praksis
membaca. Dengan membentengi diri dari sikap awas terhadap bacaan, sesungguhnya ia telah mengejawantahkan
perilaku berdaulat.
http://harian.analisadaily.com/opini/news/imperialisme-informasi-dan-peran-literasi/569754/2018/06/11
1/2
6/12/2018
Opini - Harian Analisa
Teori pendekatan ilmiah sebetulnya telah membentangkan segenap konsep kritis agar membiasakan diri untuk
bersikap verifikatif. Memeriksa kembali kebenaran substansial sebuah informasi adalah langkah pertama
membendung hoaks. Ia mem butuhkan kesadaran total yang harus diaktualisasikan tiap membaca warta apa pun.
Hoaks, karenanya, tak men jangkit pikiran. Ini wujud nyata dari ke cakapan literasi kritis yang relevan dina rasikan dalam
rangka kebangkitan nasional.
Terorisme Siber
Indonesia berduka karena banalitas pa ra teroris yang mere sahkan publik harihari ini. Kerusuhan di Jakarta masih ha
ngat, beberapa jam kemudian, teror kembali mengemuka di Sura baya. Bom bunuh diri terulang kembali. Tempat suci
menjadi sasaran. Korban berjatuhan tak terelakkan. Di samping itu, jamak pengguna media sosial mengutuk perilaku
biadab itu di li nimasa.
Kasus terorisme ditelisik aparat sehingga disampaikan asumsi logis mengenai te rorisme, selain berada di lapangan, ia
juga berjaga di dunia maya. Yang terakhir ini merupakan simptom baru bagi perkem bangan terorisme sedasawarsa
terakhir. Ke nyataan ini mesti diwaspadai dan dire duksi geliatnya melalui kerja samao antarwarganet. Kebangkitan
nasional juga berarti kebangkitan kewaspadaan kolektif.
Menegaskan makna Kebangkitan Nasional juga tak sekadar diperingati setahun sekali. Seharihari dapat
diselebrasikan dan dimulai dengan kebangkitan diri dalam rangka kewas pa daan massal. Tanpa pro yeksi individu,
kolektivitas yang diwa ca nakan, alihalih berhasil, malah yang terjadi justru seba liknya. Tentu hal demikian mendesak
kesadaran total agar terus ingat betapa persoalan nasional seperti kasus terorisme tak akan terjadi selama
persatuan dan kesatuan bangsa terjalin erat. Poin ini telah tegas dan eksplisit dinyatakan dalam sila pertama
Pancasila.
Pelajaran Antiterorisme
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apa dan bagaimana strategi me reduksi terorisme melalui jagat maya da
pat dilakukan wilayah pendidikan? Menjawab pertanyaan ini tak semudah me nguraikan duduk perkara aksi
penyebaran terorisme di internet sebagaimana viral di grup media sosial belakangan ini. Namun, di luar persoalan itu,
literasi kritis menjadi titik temu yang memungkinkan diterapkan.
Selain strategi menangkal hoaks sebagaimana telah dije laskan sebelumnya, literasi kritis sebagai bagian inheren dari
mata pelajaran bahasa di sekolah mendesak untuk direkons truksi. Ra nah pendidikan formal seperti seko lah berperan
penting di sini. Peme rintah, melalui Kemendikbud, sebe tulnya sudah memberi acuan konkret dimensi literasi yang
dieja wan tahkan di bangku kelas. Model itu bernama Gerakan Literasi Se kolah (GLS).
GLS adalah program membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Peserta didik diminta mem ba ca buku
mana su ka dalam durasi yang ditentukan. Guru turut ikut serta selama proses itu. Akan tetapi, sepanjang pengamatan
di lapangan, teksteks yang dijadikan referensi GLS belum sepe nuh nya terrencana baik. Setidak nya terdapat dua
genre teks yang dimaksudkan, yakni fiksi dan nonfiksi. Jamak siswa lebih memilih fiksi oleh karena memberi
“kenikmatan sas tra wi” yang mustahil didapatkan ketimbang teks nonsastra.
Keterbatasan acuan tekstual dal am praktik GLS, apalagi dalam konteks peristiwa terorisme yang belakangan menge
muka, mendesak untuk me lakukan terobosan cerdas yang mesti dilakukan, baik guru maupun satgas GLS di sekolah.
Teksteks fiksi dan non fiksi yang berangkat dari persoalan terorisme harus dipertimbangkan sebagai bahan bacaan
siswa di ke las.Guru juga seyogianya menghimpun sendiri teksteks demikian, baik diteroka dari dunia maya maupun
hasil tulisan sendiri. Dengan referensi teks yang kontekstual dengan problem “mengatasi terorisme” itu diha rapkan
peserta didik mencapai tingkat literat (melek literasi).
Kondisi melek literasi peserta di dik terhadap kebrutalan tero risme menjadi bekal krusial bagi pereduksian aksi teror—
setidaknya dimulai dari sekolah. Dengan demikian, me ngatasi terorisme, selain tugas formal aparat kepolisian, juga
bisa dilakukan dari ranah pendidikan. Di situ on tologi kebangkitan nasional zaman Revolusi Industri 4.0. ***
Peneliti Pendidikan Literasi Yogyakarta.
http://harian.analisadaily.com/opini/news/imperialisme-informasi-dan-peran-literasi/569754/2018/06/11
2/2
Opini - Harian Analisa
Imperialisme Informasi dan Peran Literasi
Senin, 11 Juni 2018 | Dibaca 126 kali
Oleh : Rony K. Pratama.
Hari Kebangkitan Nasional di era Re volusi Industri 4.0 bukan lagi perso alan menyambut nostalgia masa silam. Glo
rifikasi peristiwa historis membawa sema ngat baru. Namun, pada zaman disrupsi, segala faktor itu perlu direkonstruksi
ulang dalam rangka mencari kebangkitan nasional yang relevan dengan situasi kekinian.
Jamak orang pesta pora dengan penuh gegapgempita ka rena di tahun milenium mereka diterangi beragam pengeta
huan. Informasi salingsengkarut memenuhi kehidupan mere ka tanpa harus mengeluarkan kocek besar. Bila di abad
ke20 selebrasi informasi hanya dimiliki sekelompok cende kia wan dan wedana berduit, kini siapa pun tanpa pan dang
strata eko no mi merasakan demokratisasi pengetahuan.
Zaman kegelapan yang ditandai dengan krisis pengeta huan berangsur mencapai titik senjakala. Narasi jagat sosial
dewasa ini kemudian beralih menuju perjamuan informasi. Penan da nya cukup jelas, yakni kemajuan saintifik yang
memung kinkan internet dimasyarakatkan secara masif. Dunia siber mem beri jalan bagi mereka yang girang akan
lumbung infor masi yang bebas akses tanpa terpaut ruang dan waktu.
Abad informasi bersalin rupa menjadi harapan mutakhir. Di satu sisi diterima sebagai bagian dari kemajuan,
sedangkan di lain sisi dicemaskan karena menisca yakan distrupsi sosial. Anggapan “semakin banyak menguasai
informasi, semakin besar pula kesempatan menggenggam du nia” yang diwacana kan tiga dekade terakhir patut
dipertanyakan ulang. Yang ter jadi belakangan ini justru “semakin banyak informasi, semakin berpeluang besar untuk
menjadi budak dari informasi itu”.
Problem gelombang informasi yang menerpa warga dunia sema kin tak tertangguhkan. Informasi sudah menjadi bagian
primer dari habituasi manusia modern. Tanpa membaca, ia merasa tertinggal. Spirit membaca pun relatif kuat meski
ba nyak dimulai dari membaca status media sosial. Pada saat yang sama, berita bohong (hoaks) mudah menyebar dan
divi ral kan tanpa kecakapan literasi kritis. Masalah pelik sontak timbul: hoaks muncul dan menjadi dalang utama friksi di
antara warganet.
Problem Kolektif
Musuh manusia modern tak lagi berbentuk fisik seba gaimana seperti masa revolusi fisik. Hampir semua orang kini
senapas bahwa hoak betapapun bentuk dan konstruksinya mem beri celah permusuhan komunal. Perang
terhadapnya ada lah bentuk strategis menguatkan kedaulatan nasional yang menjadi aksiologi para pendiri bangsa.
Tentu ia dibutuhkan siasat jitu yang harus awali de ngan mengenali karakteris tiknya.
Pertama, hoaks lazim ditemui dalam genre informasi yang bernuansa politik, aga ma, ras, dan sentimen sektoral lain.
Ke khasan hoaks yang menyelinap di sana dimaksudkan guna menjadi tangan panjang kepentingan partikular.
Pembuat hoaks mafhum betapa masyarakat kini mudah saling adu jotos hanya karena sentimen sepele semacam itu.
Kedua, karakteristik hoaks bisa ditebak melalui bubuhan judul yang terkesan fantastis tapi tak dikuatkan oleh isi infor
masi. Judul dibuat khusus supaya pembaca tertarik membuka isi berita meski kebenaran faktual informasi di sana
telah terdistorsi sedemikian rupa. Banyak orang terkecoh karena tertarik magnet judul tersebut. Bahkan, lebih ironi lagi,
setelah membaca isi warta, ia mengangguk tanda menyetujui.
Ketiga, genre tulisan yang mengan dung toksin hoaks dapat ditelanjangi secara substansial. Kalau menelusuri ke cen
de rung an diksi, tulisan hoaks cenderung mengambil klasifikasi kata yang repetitif dan agitatif. Terdapat pengulangan
kata khusus yang ditekankan pada tiap paragraf agar mempe ngaruhi alam bawah sadar pembaca. Kekuatan
semacam ini mi rip seperti ungkapan arkais Hitler: ke bo ho ngan yang diulang terusmenerus akan menjadi kebenaran
pada waktunya.
Ilmu Kedaulatan
Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun) per nah mengatakan kunci utama manusia agar tak hancur dari terpaan informasi
ada lah berdaulat atas dirinya sendiri. Posisi berdaulat secara nilai dan laku ini bisa dimanifestasikan ke dalam praksis
membaca. Dengan membentengi diri dari sikap awas terhadap bacaan, sesungguhnya ia telah mengejawantahkan
perilaku berdaulat.
http://harian.analisadaily.com/opini/news/imperialisme-informasi-dan-peran-literasi/569754/2018/06/11
1/2
6/12/2018
Opini - Harian Analisa
Teori pendekatan ilmiah sebetulnya telah membentangkan segenap konsep kritis agar membiasakan diri untuk
bersikap verifikatif. Memeriksa kembali kebenaran substansial sebuah informasi adalah langkah pertama
membendung hoaks. Ia mem butuhkan kesadaran total yang harus diaktualisasikan tiap membaca warta apa pun.
Hoaks, karenanya, tak men jangkit pikiran. Ini wujud nyata dari ke cakapan literasi kritis yang relevan dina rasikan dalam
rangka kebangkitan nasional.
Terorisme Siber
Indonesia berduka karena banalitas pa ra teroris yang mere sahkan publik harihari ini. Kerusuhan di Jakarta masih ha
ngat, beberapa jam kemudian, teror kembali mengemuka di Sura baya. Bom bunuh diri terulang kembali. Tempat suci
menjadi sasaran. Korban berjatuhan tak terelakkan. Di samping itu, jamak pengguna media sosial mengutuk perilaku
biadab itu di li nimasa.
Kasus terorisme ditelisik aparat sehingga disampaikan asumsi logis mengenai te rorisme, selain berada di lapangan, ia
juga berjaga di dunia maya. Yang terakhir ini merupakan simptom baru bagi perkem bangan terorisme sedasawarsa
terakhir. Ke nyataan ini mesti diwaspadai dan dire duksi geliatnya melalui kerja samao antarwarganet. Kebangkitan
nasional juga berarti kebangkitan kewaspadaan kolektif.
Menegaskan makna Kebangkitan Nasional juga tak sekadar diperingati setahun sekali. Seharihari dapat
diselebrasikan dan dimulai dengan kebangkitan diri dalam rangka kewas pa daan massal. Tanpa pro yeksi individu,
kolektivitas yang diwa ca nakan, alihalih berhasil, malah yang terjadi justru seba liknya. Tentu hal demikian mendesak
kesadaran total agar terus ingat betapa persoalan nasional seperti kasus terorisme tak akan terjadi selama
persatuan dan kesatuan bangsa terjalin erat. Poin ini telah tegas dan eksplisit dinyatakan dalam sila pertama
Pancasila.
Pelajaran Antiterorisme
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apa dan bagaimana strategi me reduksi terorisme melalui jagat maya da
pat dilakukan wilayah pendidikan? Menjawab pertanyaan ini tak semudah me nguraikan duduk perkara aksi
penyebaran terorisme di internet sebagaimana viral di grup media sosial belakangan ini. Namun, di luar persoalan itu,
literasi kritis menjadi titik temu yang memungkinkan diterapkan.
Selain strategi menangkal hoaks sebagaimana telah dije laskan sebelumnya, literasi kritis sebagai bagian inheren dari
mata pelajaran bahasa di sekolah mendesak untuk direkons truksi. Ra nah pendidikan formal seperti seko lah berperan
penting di sini. Peme rintah, melalui Kemendikbud, sebe tulnya sudah memberi acuan konkret dimensi literasi yang
dieja wan tahkan di bangku kelas. Model itu bernama Gerakan Literasi Se kolah (GLS).
GLS adalah program membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Peserta didik diminta mem ba ca buku
mana su ka dalam durasi yang ditentukan. Guru turut ikut serta selama proses itu. Akan tetapi, sepanjang pengamatan
di lapangan, teksteks yang dijadikan referensi GLS belum sepe nuh nya terrencana baik. Setidak nya terdapat dua
genre teks yang dimaksudkan, yakni fiksi dan nonfiksi. Jamak siswa lebih memilih fiksi oleh karena memberi
“kenikmatan sas tra wi” yang mustahil didapatkan ketimbang teks nonsastra.
Keterbatasan acuan tekstual dal am praktik GLS, apalagi dalam konteks peristiwa terorisme yang belakangan menge
muka, mendesak untuk me lakukan terobosan cerdas yang mesti dilakukan, baik guru maupun satgas GLS di sekolah.
Teksteks fiksi dan non fiksi yang berangkat dari persoalan terorisme harus dipertimbangkan sebagai bahan bacaan
siswa di ke las.Guru juga seyogianya menghimpun sendiri teksteks demikian, baik diteroka dari dunia maya maupun
hasil tulisan sendiri. Dengan referensi teks yang kontekstual dengan problem “mengatasi terorisme” itu diha rapkan
peserta didik mencapai tingkat literat (melek literasi).
Kondisi melek literasi peserta di dik terhadap kebrutalan tero risme menjadi bekal krusial bagi pereduksian aksi teror—
setidaknya dimulai dari sekolah. Dengan demikian, me ngatasi terorisme, selain tugas formal aparat kepolisian, juga
bisa dilakukan dari ranah pendidikan. Di situ on tologi kebangkitan nasional zaman Revolusi Industri 4.0. ***
Peneliti Pendidikan Literasi Yogyakarta.
http://harian.analisadaily.com/opini/news/imperialisme-informasi-dan-peran-literasi/569754/2018/06/11
2/2