Tinjauan Akademis Mengapa Menaikkan Harg
Tinjauan Akademis: Mengapa Menaikkan Harga BBM? Apakah Hanya Itu Satusatunya Jalan?
Oleh Kodrat Wibowo1
I. Latar Belakang
Kebijakan Pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM pada awal Maret 2005, untuk
kesekian kalinya mendapat sorotan yang tajam dari berbagai kalangan, mulai dari
akademisi, pelaku industri, hingga politisi. Tanggapan Pro dan Kontra tentang harus
tidaknya menaikkan harga BBM telah meluas bukan pada hal-hal mendasar seperti alasan
penghapusan subsidi BBM-penyebab utama kenaikan harga BBM- hingga masalah
antisipatif tentang bagaimana implementasi penyaluran dana kompensasi BBM yang
dijanjikan kepada masyarakat miskin.
Masalah kenaikan harga BBM ini sebenarnya merupakan trend umum di tingkat
internasional karena setelah kasus Indonesia, baru-baru ini Thailand telah meningkatkan
pula harga BBM jenis Solar sebesar 19,7%, kemudian disusul oleh China negara
konsumsi energi BBM terbesar kedua setelah Amerika Serikat yang meningkatkan harga
BBM sebesar 8% walaupun sempat ditutup-tutupi kemungkinannya oleh pemerintahnya.
Tak terhindarkan pula bahwa diperkirakan Malaysia dan India pun akan menyusul
tindakan menaikkan harga BBM-nya pada tahun ini.2 Seluruh tindakan menaikkan harga
BBM ini menggunakan mekanisme yang sama yaitu memangkas sebagian atau seluruh
subsidi yang diberikan pemerintah untuk penentuan harga minyak.3
Dengan memperhatikan penggunaan cara penghapusan subsidi BBM sebenarnya
kebijakan menaikkan harga BBM ini dapat disikapi dengan lebih bijak bila alasan utama
dengan dasar penyehatan posisi keuangan publik dapat dimengerti oleh masyarakat.
Walaupun masalah kenaikan harga BBM ini memang berkaitan dengan berbagai dimensi
sosial dan juga politik namun sebenarnya semuanya akan berujung pada analisis publik,
baik dari sisi keuangan maupun dari sisi public choices. Sebagai contoh, Gary S. Becker
pemenang Nobel 1992 untuk bidang Ilmu Ekonomi dari University of Chicago dan
dikenal sangat concern pada masalah lingkungan hidup dengan bersemangatnya
menyerukan agar harga BBM dinaikkan setinggi-tingginya guna menekan
ketergantungan energy dan jelas mengarahkan pendapatnya pada peningkatan penerimaan
pajak pusat dan daerah di Amerika Serikat yang dapat digunakan untuk membiayai
pemeliharaan infrastructure transportasi.4 Di Jerman, peningkatan harga BBM bahkan
lebih jauh lagi dilakukan dengan menambahkan item “ecological tax” sebagai upaya
penanggulangan polusi dan perbaikan kondisi pelayanan publik.
1
Pemakalah adalah dosen FE Unpad, peneliti utama LP3E-FE Unpad, pengurus ISEI Bandung divisi
pengembangan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Email: [email protected]
2
Reuters, Indian Government May Raise Fuel Prices from April 01, Thursday March 24, 2005.
3
Financial Times. http://news.ft.com/cms/s/9a8e4976-9abf-11d9-90f9-00000e2511c8,ft_acl=,s01=1.html
dan China Daily, 24 maret, 2005.
4
Gary S. Becker, Business Week, New York, 31 Mei, terbitan No. 3385 hal. 24
Namun berbeda dengan fenomena menaikkan harga BBM di negara-negara maju,
masalah penghapusan subsidi minyak di negara-negara berkembang seperti Indonesia
lebih banyak dipelintir pada isu kesejahteraan dan kemiskinan dan bahkan digunakan
sebagai alat politik dalam pencapaian perolehan simpati suara masyarakat pemilih. Oleh
karenanya tujuan makalah ini sebenarnya sangatlah sederhana yaitu meninjau secara
akademis alasan penghapusan subsidi BBM yang mengakibatkan resiko kenaikan harga
BBM dalam kerangka ilmiah dengan pendekatan general equlibrium. Dengan asumsi
bahwa kenaikan harga BBM yang diramaikan sekarang ini memang akan terjadi cepat
ataupun lambat walaupun mungkin akan ditunda atau disesuaikan kembali penerapannya,
makalah ini akan mencoba mendiskusikan mekanisme yang mungkin cocok dalam
menjalankan kebijakan subsidi BBM dan dapat menekan biaya serta government failures
yang diantaranya terlihat dari tersia-sianya waktu dan enerji para pakar dan pemikir
dalam memperdebatkan kebijakan pemerintah yang tidak populer ini.
II. Alasan Utama Menaikkan Harga Minyak
Tanpa harus belajar ilmu ekonomi secara formal akademik, sangat jelas dan gamblang
dapat terlihat bahwa kenaikan harga barang akhir (output produksi) sangat tergantung
pada kenaikan harga barang antara (input produksi). Karenanya dengan harga minyak
mentah per barrel yang makin meningkat terutama karena kuatnya praktek kartel yang
dilegalkan yaitu OPEC5 dan berkurangnya pasokan dari lepas pantai utara eropa karena
cuaca dingin, tentunya jelas terlihat konsekwensinya adalah meningkatkan harga barang
akhir berupa BBM. Sudah dapat dimengerti posisi Indonesia yang sekarang ini relatif
merupakan negara pengimpor minyak harus menyesuaikan harga BBM nya karena
adanya kenaikan biaya produksi.6 Dalam mikroekonomi, secara teoritis, kenaikan harga
BBM ini dapat lebih dimengerti menimbang bahwa penentuan satu harga barang akhir
selain dipengaruhi faktor biaya produksi ditentukan pula oleh elastis tidaknya sebuah
barang (dan tidak lupa besaran margin keuntungan perusahaan yang ingin diperoleh).7
Bila aspek margin diabaikan, maka terlihat bahwa penentuan harga BBM dengan
sendirinya (by nature) akan lebih tinggi dari barang-barang lain karena BBM bersifat
inelastis dan cenderung merupakan barang kebutuhan pokok tanpa substitusi yang dekat.
Dengan mekanisme pasar sebetulnya harga bisa saja ditekan dengan supply yang lebih
besar, namun pendekatan ini sangatlah mustahil diterapkan pada komoditi BBM yang
secara implisit sistem industrinya masih condong pada sistem monopoly seperti layaknya
PT. Pertamina.8 Bila sistem pasar dan industri yang lebih kompetitif dapat diberlakukan,
tuntutan pasokan supply BBM yang lebih banyakpun tetap sulit dilakukan karena input
minyak mentah terbatas ketersediaanya. Menurut teori produksi, satu-satunya yang dapat
menambah pasokan supply dan akhirnya meredam kenaikan harga adalah faktor
5
Harga minyak mentah internasional telah mencapai 57,6 USD pada minggu ketiga bulan maret ini.
Internasional Energy Agency (IEA) memproyeksikan bahwa dalam 5 s.d. 10 tahun terakhir ini Indonesia
akan menjadi negara pengimpor minyak (net importer).
6
7
�e �
P MC � p �dimana
ep 1�
�
P adalah harga, MC marginal cost dan ep adalah elastisitas harga permintaan.
8
Tahun 1995 merupakan tahun berlakunya liberalisasi bidang energy dimana penyaluran BBM dapat
dilakukan oleh perusahaan lain sebagai upaya meningkatkan persaingan dan effisiensi PT Pertamina
sebagai BUMN, memperbesar pasokan BBM di pasar, dan sekaligus menekan harga.
2
teknologi yang lagi-lagi juga diragukan dalam hal teknologi inovasi guna menemukan
sumber energi yang secara dekat dapat menggantikan fungsi BBM.9
Alasan lain yang umum dapat dimengerti adalah makin beratnya beban keuangan
pemerintah dalam melakukan belanja publik berupa subsidi BBM yang jumlahnya bisa
membengkak hingga 100 Trilyun Rupiah karena kenaikan harga minyak mentah di pasar
internasional. Posisi fiskal Indonesia yang makin sulit pasca krisis moneter plus
merosotnya nilai tukar rupiah riil menyebabkan adanya wacana ide penghapusan seluruh
atau sebagian pengeluaran subsidi yang diantaranya adalah subsidi BBM yang jumlahnya
memang signifikan dibanding jenis subsidi lain. Salah satu alasan dari International
Energy Agency (IEA) memproyeksikan Indonesia menjadi net importer minyak bumi
adalah karena subsidi yang terus menerus diberlakukan sekarang ini akan menggenjot
pula konsumsi domestik yang bersifat massal (mass consumption). Dalam teori ekonomi
pembangunan, kondisi mass consumption ini memang merupakan suatu kondisi final
indikator kemajuan sebuah negara, namun kondisi ini dapat tercipta hanya bila sistem
pasar yang kompetitif sudah tercipta, sedangkan mass-consumption yang diakibatkan
subsidi akan membahayakan bukan hanya kondisi sektor riil namun juga kondisi moneter
karena adanya demand pull inflation yang akan terjadi.10 Karenanya pendapat bahwa
kenaikan BBM akan menyebabkan suatu tingkat inflasi yang berbahaya seharusnya
memperhitungkan pula bahaya inflasi yang mungkin muncul akibat bila subsidi BBM
tetap dipertahankan agar suatu tingkat inflasi yang lebih riil dapat diprediksi akibat
kenaikan BBM.11
Terkait dengan alasan penghapusan subsidi BBM, alasan lain yang mungkin digunakan
adalah guna mencapai suatu posisi fiskal budget pemerintah yang sustainable via
penggunaan dana hasil penghapusan subsidi BBM untuk membayar hutang luar negeri
(HLN) yang saat ini jumlahnya sekitar 68 trilyun rupiah-walaupun hal ini sudah diklaim
tidak akan dilakukan pemerintah mengingat hutang luar negeri kita mayoritas adalah
beban hutang luar negeri yang dilakukan pihak swasta dengan penjaminan pemerintah.
Membengkaknya jumlah HLN akibat akumulasi bunga serta merosotnya nilai tukar
rupiah secara sistematis memang telah diupayakan untuk mencapai zero growth dalam
waktu yang harusnya tidak lama lagi. Namun dengan adanya fasilitas morotarium HLN
pasca bencana Tsunami, target zero growth ini akan sulit dicapai, karenanya HLN current
harus dibayar secepatnya agar tujuan sustainability fiskal tercapai. Dengan selesainya
tugas BPPN dalam menjalankan fungsinya, Indonesia mungkin mengalami kesulitan
dalam memperoleh sumber pembiayaan lain selain usaha privatisasi dan penjualan asset
negara. Pemangkasan belanja negara seperti subsidi memang mungkin saja dilakukan.
Penulis akui bahwa kemungkinan ini memang kecil dilakukan mengingat dasar analisis
ilmiah tidak dapat menjelaskan pendekatan ini terlebih lagi mengingat bahwa membayar
9
Fungsi sederhana untuk teori produksi dikemukakan oleh Cobb dan Douglas: Q = A f(K,L), dimana K dan
L adalah input kapital dan tenaga kerja, sedangkan A adalah faktor teknologi.
10
Teori Rostov tentang tahap-tahap pembangunan ekonomi sebuah negara dikemukakan pada saat
pemikiran adanya peran serta pemerintah tidaklah terlalu besar seperti sekarang ini.
11
Penulis berpendapat bahwa klaim seorang pakar LPEM-UI bahwa tingkat bahaya inflasi yang
ditimbulkan kenaikan BBM adalah paling rendah dibandingkan kebijakan lain harus dibuktikan dengan
menambahkan penghitungan tingkat inflasi akibat subsidi BBM tetap dipertahankan. Demikian pula untuk
klaim pengamat yang kontra dengan klaim pertama.
3
hutang mayoritas pihak swasta harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan
rakyat adalah tidak manusiawi dan mengkhianati kepercayaan rakyat.
Dengan pertimbangan bahwa alasan kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga minyak
mentah tidak dapat dipungkiri dan diragukan lagi dan juga alasan pengalihan dana
subsidi BBM untuk membayar hutang luar negeri dirasa tidak mungkin digunakan
pemerintah sebagai alasan kenaikan harga BBM, penulis akan lebih melihat tinjauan
akademis ekonomi publik mengenai mekanisme alasan penghapusan subsidi BBM
secara lebih mendetail sebagai sarana pembelajaran untuk masyarakat luas.
III. Subsidi Bahan Bakar Minyak (Energy Subsidy)
Definisi dari subsidi bahan bakar yang paling umum adalah bentuk pembayaran langsung
pada konsumen atau produsen dari produk bahan bakar minyak (BBM). Namun definisi
yang lebih luas adalah setiap ukuran yang menjaga agar harga BBM untuk konsumen
dibawah harga pasar atau untuk produsen menjaga harga diatas harga pasar atau sekaligus
mengurangi beban biaya yang harus dibayar produsen dan/atau konsumen.12 International
Energy Agency (IEA) lebih lanjut mendefinisikan subsidi BBM sebagai segala tindakan
pemerintah yang concern dengan sektor energy dimana cara yang dipakai dapat berupa
(i) mengurangi biaya produksi BBM; (ii) menaikkan harga yang diterima produsen BBM;
(iii) menurunkan harga BBM yang dibayarkan konsumen.
Campur tangan pemerintah lewat subsidi ini didasarkan pada dua fungsi utama
pemerintah secara ekonomi publik, yaitu regulator dan stabilizer. Sudah diketahui bahwa
mekanisme pasar terutama untuk sektor produksi barang atau jasa yang relatif menguasai
hajat hidup orang banyak selalu mengakibatkan kegagalan pasar (market failure), oleh
karenanya campur tangan pemerintah dianggap layak untuk memperbaiki kegagalan
pasar tersebut. Pertimbangan lain adalah karena barang seperti BBM relatif sangat
inelastis permintaannya dengan demikian menyerahkan sepenuhnya distribusi dan alokasi
sumber daya pada mekanisme pasar akan cenderung selalu merugikan konsumen. Disisi
lain, pertimbangan sosial seperti keperdulian terhadap kelompok masyarakat miskin juga
menjadi alasan pemberlakuan subsidi BBM.
Terdapat banyak cara yang dapat digunakan untuk melakukan subsidi BBM: (i) cara
langsung seperti campur tangan langsung pada harga pasar, hibah, dan pengecualian
pajak (tax exemption); dan (ii) tidak langsung seperti regulasi dan aturan yang memaksa
pasar untuk berproduksi dan mengkonsumsi satu atau beberapa jenis BBM saja atau
penelitian dan pengembangan teknologi energy yang dibiayai pemerintah. Masingmasing cara penerapannya di berbagai negara sangat tergantung pada banyak aspek
seperti aspek pembiayaan, administrasi, dan khususnya aspek dampak fiskal terhadap
keuangan negara dan/atau masalah sosial masyarakat. Table 1 menyajikan berbagai
bentuk subsidi BBM serta bagaimana sistem penyaluran dana subsidi BBM masingmasing. Tranfer langsung dan regulasi pemerintah merupakan dua jenis subsidi yang
paling umum banyak digunakan termasuk di Indonesia. Namun kedua jenis subsidi ini
mengandung biaya transaksi dan akunting dan pada akhirnya beresiko pada terancamnya
12
Definisi di negara-negara OECD.
4
posisi fiskal negara. Oleh karenanya beberapa negara memilih untuk mengklasifikasikan
subsidi BBM sebagai off-budget untuk alasan politis; atau on-budget sebagai cara mudah
mengurangi tax burden keseluruhan untuk kepentingan dari kelompok berkepentingan:
baik produsen maupun konsumen BBM. Di Indonesia cara subsidi BBM yang dipilih
adalah menetapkan harga yang dibayar konsumen dibawah biaya sesungguhnya terutama
karena BBM diproduksi oleh BUMN. Namun secara jelas juga terlihat bahwa subsisi
BBM diIndonesia dilakukan untuk membela kepentingan melindungi produsen (industri
dalam negeri) yang dianggap belum efisien. Walaupun dalam hal ini terdapat dua sisi
kepentingan pihak yang dilindungi, namun pada implementasinya kemungkinan adanya
bias kebijakan bisa saja terjadi.
Sumber: UNEP, 2000
5
III.1 Besaran Subsidi Bahan Bakar
Salah satu studi dari World Bank menyebutkan bahwa pada akhir 1997, besaran subsidi
BBM mencapai total 48 juta USD di 20 negara besar non-OECD termasuk Indonesia, dan
10 juta USD di negara-negara OECD. Pertumbuhan besaran subsidi ini meningkat di 20
negara besar non-OECD menjadi 96 juta USD pada tahun 1998. Harga akhir dari produk
BBM secara rata-rata diperkirakan 1/5 dari biaya produksi BBM sebenarnya karena di
kebanyakan negara berkembang, subsidi BBM ditujukan pada kepentingan konsumen.
Lain halnya di negara-negara maju dimana subsidi BBM lebih banyak diberikan pada
produsen untuk kepentingan penelitian dan pengembangan menemukan alternatif
pengganti BBM seperti mengolah tumbuhan atau senyawa kimia lain pengganti BBM.
III.2. Efek Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Diluar efek lingkungan yang dianggap tidak banyak berarti bagi banyak kalangan yang
mengklaim membela kepentingan rakyat terutama di negara-negara berkembang, berikut
akan lebih banyak dibahas pengaruh subsidi BBM terhadap aspek ekonomi dan sosial.
Menghitung pengaruh ekonomi dan sosial lewat pendekat social benefit dan cost analysis
akan sulit mengingat masalah kuantifikasi variable-variable yang dianggap mewakili
benefit dan cost tersebut. Namun kita dapat mengambil beberapa perbandingan dari
negara-negara lain mengenai high economic cost yang diakibatkan oleh subsidi BBM.
IEA mengestimasi bahwa Net Present Value (NPV) dari kerugian pertumbuhan ekonomi
di delapan negara non-OECD mencapai 257 juta USD per tahun dengan asumsi 7% pada
tingkat diskonto. Keseluruhan biaya sosial-dan lingkungan- diperkirakan akan lebih besar
lagi bila dapat dihitung.
Tergantung pada jenis subsidi yang digunakan, beberapa kerugian efisiensi secara
ekonomi yang relevan dengan kasus di Indonesia dan dapat dijelaskan dengan
pendekatan general equilbrium adalah:
1. Subsidi untuk produsen BBM akan menyebabkan keengganan produsen untuk
upaya minimalisasi biaya dalam fungsi produksinya. Sudah bukan rahasia umum
bahwa PT Pertamina merupakan salah satu BUMN yang kerap dikritik
efisiensinya. Padahal secara ekonomi Pertamina haruslah menjadi sebuah
perusahaan yang memanfaatkan fasilitas monopolinya untuk bersaing dengan
perusahaan minyak lainnya dalam situasi global competitiveness. Situasi
inefficiency ini diperparah dengan fungsi Pertamina yang lebih kentara dijadikan
sebagai “sapi perah” pihak pemerintah dan bahkan partai politik. Sisi
profesionalisme sebuah badan usaha terabaikan sehingga pemborosan, kolusi,
korupsi menghancurkan sendi-sendi kekuatan usaha PT Pertamina itu sendiri.13
2. Subsidi langsung kepada konsumen dapat memperparah kondisi anggaran
pemerintah terutama pada saat harga minyak mentah sedang membumbung tinggi.
13
PT Pertamina telah ditetapkan sebagai pihak distribusi BBM sedangkan fungsi eksplorasi telah
diserahkan kepada BP MIGAS sesuai dengan liberalisasi perminyakan yang efektif diberlakukan awal
tahun 2005.
6
Dilain pihak subsidi tidak langsung juga dapat memperparah kondisi anggaran
pemerintah dengan pengabaian sumber-sumber penerimaan pajak. Terlebih untuk
jenis subsidi langsung, konsumsi BBM yang berlebihan akan mendorong pada
permintaan import yang lebih besar dan mengurangi jumlah BBM yang
sebenarnya bisa digunakan untuk kegiatan produksi ekspor. Balance of Payment
dapat terganggu karena ketergantungan import yang berlebihan. Pemerintah
Indonesia pada tahun 2000 contohnya telah mengestimasi bahwa subsidi BBM
selain membahayakan posisi fiskal juga mengakibatkan kerugian negara sebesar
16 juta USD dari penerimaan hasil ekspor hingga tahun 2005.
Patut dicatat bahwa biaya kerugian akibat subsidi BBM ini tidak akan otomatis hilang
bila subsidi dihapuskan, keseluruhan sekalipun. Karena biaya kerugian ekonomi ini harus
juga mempertimbangkan biaya sosial yang diakibatkan oleh subsidi BBM ini.
Implikasi sosial dari subsidi BBM sangat bervariasi tergantung pada jenis subsidi BBM
yang diberlakukan. Untuk kasus Indonesia dimana subsidi LPG dan minyak tanah
diarahkan pemberiannya pada golongan masyarakat berpendapatan rendah hingga
sedang, subsidi yang diberikan hanya akan lebih menguntungkan pihak produsen
perlengkapan memasak dan rantai distributor kedua jenis BBM ini. Dengan demikian
harapan bahwa terjadi transfer dari golongan kaya ke miskin malahan menyebabkan
biaya subsidi dibagi rata pada semua golongan masyarakat termasuk masyarakat
menengah dan miskin yang menjadi obyek subsidi itu sendiri. Terdapat dua alasan yang
jelas terlihat dari fenomena ini:
1. Walaupun golongan miskin dapat menikmati subsidi BBM ini, namun secara
financial, nilai yang mereka hasilkan tidaklah terlalu besar, karena konsumsi
mereka relatif lebih kecil dibandingkan konsumsi kelompok masyarakat dengan
pendapatan yang lebih tinggi. Kelompok masyarakat berpendapatan lebih tinggi
cenderung lebih menikmati subsidi BBM dalam bentuk nominal karena mereka
mengkonsumsi lebih besar. Alasan ini berlaku pula untuk subsidi BBM untuk
premium dan solar.
2. Subsidi untuk konsumsi dengan menerapkan price cap dibawah harga pasar akan
mengakibatkan illegal resale terutama bila kepastian dan kedaulatan hukum juga
lemah. Sekali lagi terlihat bahwa secara sosial masyarakat dalam kelompok
menengah ke bawahlah yang menjadi korban.
Dapat disimpulkan sementara bahwa pada kasus subsidi BBM di Indonesia, pengaruh
negatif secara ekonomi sangat terasa pada beban pemerintahan yang berlebihan terhadap
belanja sektor publik dimana dengan upaya pemulihan ekonomi pasca krisis moneter
1998 dan beban pembayaran hutang luar negeri yang membahayakan kesinambungan
fiskal (fiscal sustainability). Selain itu efek negatif dari subsidi BBM timbul karena target
yang tidak tepat dimana subsidi untuk BBM secara umum untuk semua individu
masyarakat tidak dapat menyentuh sasaran yang sebenarnya ingin dicapai. Dalam ilmu
ekonomi publik pendekatan subsidi seperti yang diberlakukan di Indonesia ini adalah
penerapan dari teori Commodity Egaliterianism yang menyatakan bahwa pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan dapat dicapai dengan cara menciptakan pemerataan pada
7
beberapa komoditi yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak dan pada
akhirnya akan mengarah pada pemerataan pendapatan dan kesejahteraan secara umum.
Dibandingkan dengan pendekatan simple utilitirianism yang menyatakan bahwa
pemerataan pendapatan dan kesejahteraan dapat dicapai dengan men-support daya
konsumsi kelompok masyarakat yang eligible untuk diberi subsidi, jelas terlihat bahwa
secara pencapaian target, pendekatan subsidi BBM di Indonesia tidak akan berhasil
meningkatkan tingkat kehidupan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran.14
Dengan demikian terbukti bahwa secara teori ekonomi publik, fenomena deadweight loss
atau excess burden tidak hanya terjadi pada pembebanan pajak. Surplus konsumen
memang meningkat (dari moPh menjadi muq), namun terdapat sebagian tambahan surplus
produsen (ovu) yang dinikmati oleh pihak yang bukan menjadi target, bisa saja dari pihak
produsen sendiri yaitu PT Pertamina, distributor, atau konsumen lain yang secara konsep
free rider ikut menikmati subsidi BBM yang diberikan.
Gambar. 1
Harga per
liter BBM
Jumlah Konsumsi BBM
Berbagai studi yang dilakukan UNEP dan IEA menyimpulkan bahwa tingkat polusi
global dapat menurun hingga 6% dan pertumbuhan ekonomi dapat meningkat rata-rata
hingga 0,1 % tiap negara pada tahun 2010 bila seluruh subsidi dalam bentuk enerji
apapun dihapuskan diseluruh dunia. Dengan estimasi yang disajikan pada tabel. 2 dapat
diperkirakan bahwa Indonesia menaruh harapan bahwa tingkat pertumbuhan ekonominya
dapat ditumbuhkan secara bertahap lewat penghapusan subsidi BBM.15 Hasil yang
diperoleh dari penghapusan subsidi BBM pada era pemerintahan sebelumnya adalah
14
Dalam ilmu keuangan publik, fokus pemerataan pendapatan merupakan aplikasi dari teori simple
utilitiarinism. Dengan memperkuat daya beli atau konsumsi lewat peningkatan pendapatan riil kelompok
masyarakat tertentu, nilai utility dan manfaat perorangan (U) akan meningkat, dan pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan (W). Secara matematis hubungan ini ditunjukkan oleh fungsi W=f(U).
15
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah mencapai angka 7% pada masa orde baru yang tergolong
fantastis, hingga Indonesia sempat dijuluki sebagai calon macan perekonomian Asia yang potensial.
8
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2 % dengan penurunan konsumsi BBM
yang berlebihan sebesar 7,1 %.
Namun diluar segala efek negatif dari adanya subsidi BBM, sebenarnya terdapat pula
pengaruh positif dari pengenaan subsidi BBM, terutama dalam memenuhi kepentingan
para pecinta lingkungan dunia, dimana subsidi BBM mengakibatkan terpeliharanya hutan
tropis dari bahaya deforestration. Lebih jauh, subsidi di negara-negara maju lewat
pembiayaan penelitian dan pengembangan sumber enerji, mengakibatkan efek
lingkungan yang baik lewat penemuan sumber enerji baru yang lebih efisien dan ramah
lingkungan. Pengaruh positif lain dari subsidi BBM berkaitan erat dengan legitimasi
politis, dimana preferensi masyarakat yang bila diambil secara collective menginginkan
harga BBM yang murah maka kebijakan populis dengan mensubsidi BBM akan
meningkatkan suara pemilih dan biasanya berujung pada kestabilan serta tingkat
keamanan dan ketertiban yang lebih baik. Dari sisi ekonomi adanya subsidi BBM dapat
menimbulkan kegairahan dalam melakukan kegiatan perekonomian via konsumsi dan
produksi masyarakat.
IV. Apakah Kenaikan Harga BBM Satu-satunya Jalan?
Jawaban dari pertanyaan sub bagian ini sangat tergantung pada alasan yang dipakai untuk
menaikkan harga BBM. Bila alasan yang dipakai pemerintah adalah meringankan beban
belanja publik dari anggaran pemerintah, maka kenaikan harga BBM sangat beralasan
untuk dinaikkan, karena sumber penerimaan yang sangat terbatas terutama bila opsi
meningkatkan penerimaan pajak lewat diversifikasi dan intensifikasi pajak membutuhkan
waktu yang panjang. Apalagi dari aspek statutory dan economic, incidence dari pajak
dapat lebih membebani masyarakat konsumen secara umum, bahkan kemungkinan
9
timbulnya deadweight loss of tax bisa lebih besar lagi. Masalah beban belanja negara
inipun ditambah lagi dengan masalah bahwa opsi dari sumber pembiayaan lain seperti
hutang terutama hutang luar negeri sudah bukan menjadi pilihan. Opsi penjualan asset
negara serta privatisasi BUMN juga kerapkali mengundang polemik dan protes
berkepanjangan.16
Bila alasan yang dipakai adalah untuk membayar hutang luar negeri, maka jelas
menghapuskan subsidi BBM yang otomatis menaikkan harga BBM bukan pilihan bijak
karena beban hutang luar negeri tidak tepat untuk dibebankan kepada masyarakat
pengguna BBM karena hutang luar negeri Indonesia sebagian besar merupakan hutang
swasta yang dijamin oleh pemerintah.
Bila alasan yang dipakai adalah untuk mengurangi konsumsi berlebihan dari BBM, maka
masih banyak opsi lain yang dapat dilakukan, contohnya adalah rationing seperti yang
dilakukan India. Walaupun mengandung resiko distribusi karena membutuhkan
administrasi yang dilengkapi dengan kepastian dan tindakan hukum, namun opsi ini
terasa lebih adil dan mampu mencapai target sasaran subsidi dengan lebih akurat.
Berdasarkan data yang ada bila masalah beban belanja negara dijadikan alasan,
sebenarnya pemerintah dapat melakukan langkah-langkah strategis seperti efisiensi
belanja negara di sektor lain non-BBM. Anggaran belanja pegawai misalnya harus
diupayakan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan negara dan meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Anggaran belanja publik harus diprioritaskan pada pemenuhan
kewajiban pembayaran bunga utang, melaksanakan program subsidi dalam rangka
mengurangi beban masyarakat miskin dan membantu usaha kelompok kecil dan
menengah. Kemudian belanja modal harus mengarah pada stimulasi pertumbuhan
ekonomi dan mendukung kegiatan-kegiatan pembangunan yang tidak sepenuhnya dapat
dilakukan oleh sektor swasta. Dengan kata lain harus diupayakan adanya disiplin
anggaran disemua tingkat pemerintahan maupun instansi pemerintah. Terlebih lagi
sebenarnya dana off-budget dan rekening-rekening lain dana pemerintah di Bank
Indonesia (misalnya Rekening Dana Investasi), sebagian besar dapat digunakan untuk
memenuhi defisit belanja pemerintah, membayar hutang luar negeri atau bahkan
membayar subsidi BBM.
Bila alasan yang dipakai adalah karena subsidi BBM yang telah dilaksanakan
menghasilkan net effect yang negatif, maka yang harus diupayakan segera adalah
meminimalkan efek-efek negatif dari subsidi BBM secara sistematis. Hal ini lebih aman
dilakukan mengingat menghapus seluruh atau sebagian subsidi sangat kental nuansa serta
warna policy judgement dan politisnya. Dengan kata lain pemerintah dapat saja
mengupayakan dan menciptakan satu sistem subsidi BBM yang relatif lebih baik
dibandingkan yang sudah dilakukan.
16
Amien Rais Ketua PAN pernah gusar dan menyatakan bahwa usaha privatisasi BUMN pasca krisis
moneter sama saja dengan menjual harga diri bangsa.
10
IV.1 Reformasi Subsidi Bahan Bakar Minyak17
Reformasi subsidi BBM memang secara general tidak bisa disama-ratakan di semua
negara yang mengimplementasikan subsidi baik langsung maupun tidak langsung.
Muatan nilai lokal serta kerangka kondisi pasar dan ekonomi, kondisi fiskal dan faktor
kelembagaan sangat menentukan pendekatan yang dipakai dalam reformasi subsidi BBM
ini. Namun beberapa hal mendasar yang dapat berlaku disemua negara dalam upaya
reformasi subsidi BBM ini adalah:
o well-targeted—subsidi BBM harus diarahkan hanya pada mereka yang
ditargetkan dan pantas menerima subsidi;
o efficient—subsidi seharusnya tidak mengabaikan insentif yang pantas diterima
produsen, dan/atau distributor penyedia dalam penyediaan BBM;
o soundly based—program subsidi harus dijustifikasi melalui proses analisa yang
melibatkan analisa biaya serta manfaat subsidi BBM;
o practical—Keseluruhan jumlah subsidi harus dapat dipenuhi anggaran dan secara
administrasi dapat dikelola dengan biaya yang reasonable;
o transparent—Informasi tentang jumlah pengeluaran subsidi BBM dan pihak
yang berhak menerima subsidi harus disosialisasikan; dan mengingat bahwa pada
dasar analisa ekonomi nya subsidi memang harus dihapuskan maka
o limited in time—klausul “matahari terbenam” harus diikutsertakan dalam desain
program subsidi BBM, agar konsumen dan produsen tidak tergantung secara
berlebihan pada support subsidi BBM yang bisa berakibat aspek pembiayaan
berada diluar kontrol.
Karena besarnya resiko resistensi dari masyarakat, tentunya bagi kelompok masyarakat
yang akan terkena kerugian akibat reformasi subsidi ini, misalnya pembayar pajak dari
kelompok masyarakat berpenghasilan menengah hingga tinggi, maka praktek dari
reformasi subsidi BBM ini harus di lakukan dengan political will yang kuat dan dengan
dasar tujuan pemerataan kesejahteraan masyarakat keseluruhan. Hal-hal yang perlu
dilakukan guna menghadapi resistensi yang sudah muncul:
1. Reformasi harus dilakukan secara gradual guna memberikan nafas bagi kelompok
masyarakat yang akan terkena kerugian reformasi subsidi
2. Memperkenalkan kompensasi langsung yang dapat mendukung daya beli
masyarakat yang terkena akibat langsung reformasi subsidi BBM seperti
peningkatan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan umum. Tentunya dibutuhkan
suatu sistem efektif dan struktur distribusi kesejahteraan yang bisa terbebas dari
unsur kolusi, korupsi dan nepotisme.
3. Politisi dan birokrasi harus melakukan komunikasi yang kontinyu kepada publik
tentang manfaat reformasi subsidi BBM dalam berbagai aspek, seperti sosial,
ekonomi dan lingkungan. Di negara-negara maju issue ramah lingkungan dengan
sukses dapat dikomunikasikan antara birokrat dan publik, sehingga pihak politisi
17
Sebagian besar dari bahasan sub bagian ini merupakan reproduksi dari laporan UNEP and IEA(2002),
“Reforming Energy Subsidies”, United Nation Publication, Oxford, UK.
11
yang mempunyai self interest untuk mempertahankan subsidi BBM untuk satu
industri enerji mengalami kesulitan.
4. Tentunya pihak akademisi, perbankan, penyedia dana internasional non-IMF, dan
stakeholders lain harus diikut-sertakan peranannya dalam membantu
penaggulangan masa transisi reformasi subsidi diberlakukan.
V. Kesimpulan
1. Masalah kenaikan harga BBM merupakan trend di negara-negara berkembang
saat ini.
2. Alasan utama yang bisa diterima secara akademis dan aspek umum adalah
penghapusan subsidi BBM guna meringankan beban belanja anggaran negara.
3. Subsidi BBM mengandung excess burden dimana subsidi ini bisa berakibat pada
konsumsi berlebihan (pemborosan) BBM dan mungkin saja mengarah pada
ketergantungan impor, naiknya laju inflasi akibat mekanisme demand pull
inflation. Karenanya subsidi harus mengorbankan tujuan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang cepat.
4. Subsidi BBM terlebih lagi pada akhirnya tidak akan menolong peningkatan
tingkat sosial dan ekonomi bagi masyarakat miskin. Sebaliknya kelompok
masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggilah yang akan lebih banyak
menikmati subsidi tersebut
5. Kenaikan harga BBM bukanlah solusi satu-satunya dalam menanggulangi
masalah beban belanja negara terutama dalam hal belanja publik.
6. Bila subsidi memang diinginkan secara preferensi sosial, pemerintah harus
mengupayakan suatu sistem subsidi BBM yang baik, “reformed Energy Subsidy”
7. Bila kenaikan harga BBM tetap dilaksanakan maka diperlukan satu upaya
pendistribusian dana kompensasi dengan sistem yang lebih baik, terencana,
transparan, dikelola dengan baik dan bisa dipertanggungjawabkan lewat audit
akuntansi.
12
Catatan Pribadi Pemakalah:
Singkatnya pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan SBY “sedikit” lalai dalam
melakukan kebijakan kenaikan harga BBM tahun ini, karena timing yang dipakai
sangatlah tidak tepat. Seharusnya pemerintahan SBY memperkenalkan terlebih dahulu
(sosialisasi) istilah reformasi subsidi BBM kepada publik dan stakeholders terutama pers
dan media massa, bukannya langsung mendengungkan kemungkinan kenaikan harga
BBM atau istilah penghapusan subsidi BBM. Komunikasi dengan politisi dan pihak
publik yang mungkin mengalami kerugian akibat reformasi subsidi BBM juga tidak
dilakukan dengan baik, sehingga resistensi yang timbul menyebabkan kredibilitas
pemerintahan turun.
Bila kenaikan harga BBM harus ditunda atau di”bargain” kembali, maka upaya
pemberlakuan subsidi BBM harus dirombak total sistem distribusinya menjadi lebih
efektif, mengingat pula bahwa dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,
peranan dan tanggung-jawab masalah pengeluaran pemerintah untuk kesejahteraan dapat
di-sharing dengan lebih proporsional. Namun bila kebijakan ini tidak bisa ditawar-tawar
lagi, maka seyogyanya transparansi dari alokasi dana penghapusan BBM harus
dilakukan, mengingat jumlah yang dialokasikan untuk penanggulangan kemiskinan
tidaklah sebesar yang diperkirakan.
Lebih jauh lagi dampak-dampak negatif akibat kenaikan harga BBM seperti tingkat harga
umum yang naik akibat mekanisme Cost Push Inflation sehingga dapat berakibat buruk
pada upaya menjaga tingkat inflasi yang sedang dilakukan BI lewat survey-survey
langsung pada konsumsi masyarakat terhadap commodity bracket tidak menjadi sia-sia
pelaksanaanya. Karenanya semua unsur masyarakat khususnya aparatur yang terlibat
dalam penanggulangan dan kepastian hukum harus ikut berperan aktif dan intensif
berkoordinasi dengan instansi dan asosiasi lain guna menjamin ketersediaan barang,
kelancaran distribusi, dan antisipasi gejolak harga.
13
Referensi
Birol, F., A.V. Aleagha and R. Ferroukhi (1995), The Economic Impact of Subsidy PhaseOut in Oil Exporting Countries: A Case Study of Algeria, Iran and Nigeria, Energy
Policy, vol. 23, no. 3, pp. 209-215.
Financial Times. http://news.ft.com/cms/s/9a8e4976-9abf-11d9-90f900000e2511c8,ft_acl=,s01=1.html
Gary S. Becker, “Let's Make Gasoline Prices Even Higher” Business Week, New York,
31 Mei, 2004 No. 3385 p. 24
Myles, Gareth D., (1996), “Public Economics”, Cambridge University Press, Cambridge
Nicholson, Walter (2002), “Microeconomics Theory and its Application”, 8th Edition,
Thompson-SouthWestern Publishing
Organisation for Economic Co-operation and Development (1996), Subsidies and
environment: exploring the linkages (Paris: Organisation for Economic Co-operation and
Development).
Rosen, Harvey S. (2002), “Public Finance”, 6th Edition, Irwin-McGraw-Hill, New York
Stiglitz, Joseph. E, (2000), “Economics of Public Sector”, Norton Publisher, New York
UNEP and IEA(2002), “Reforming Energy Subsidies”, United Nation Publication,
Oxford, UK
Varian, Hal R., (2000), “Intermediate Economics: A Modern Approach”, 5th Edition,
Norton Publisher.
14
Oleh Kodrat Wibowo1
I. Latar Belakang
Kebijakan Pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM pada awal Maret 2005, untuk
kesekian kalinya mendapat sorotan yang tajam dari berbagai kalangan, mulai dari
akademisi, pelaku industri, hingga politisi. Tanggapan Pro dan Kontra tentang harus
tidaknya menaikkan harga BBM telah meluas bukan pada hal-hal mendasar seperti alasan
penghapusan subsidi BBM-penyebab utama kenaikan harga BBM- hingga masalah
antisipatif tentang bagaimana implementasi penyaluran dana kompensasi BBM yang
dijanjikan kepada masyarakat miskin.
Masalah kenaikan harga BBM ini sebenarnya merupakan trend umum di tingkat
internasional karena setelah kasus Indonesia, baru-baru ini Thailand telah meningkatkan
pula harga BBM jenis Solar sebesar 19,7%, kemudian disusul oleh China negara
konsumsi energi BBM terbesar kedua setelah Amerika Serikat yang meningkatkan harga
BBM sebesar 8% walaupun sempat ditutup-tutupi kemungkinannya oleh pemerintahnya.
Tak terhindarkan pula bahwa diperkirakan Malaysia dan India pun akan menyusul
tindakan menaikkan harga BBM-nya pada tahun ini.2 Seluruh tindakan menaikkan harga
BBM ini menggunakan mekanisme yang sama yaitu memangkas sebagian atau seluruh
subsidi yang diberikan pemerintah untuk penentuan harga minyak.3
Dengan memperhatikan penggunaan cara penghapusan subsidi BBM sebenarnya
kebijakan menaikkan harga BBM ini dapat disikapi dengan lebih bijak bila alasan utama
dengan dasar penyehatan posisi keuangan publik dapat dimengerti oleh masyarakat.
Walaupun masalah kenaikan harga BBM ini memang berkaitan dengan berbagai dimensi
sosial dan juga politik namun sebenarnya semuanya akan berujung pada analisis publik,
baik dari sisi keuangan maupun dari sisi public choices. Sebagai contoh, Gary S. Becker
pemenang Nobel 1992 untuk bidang Ilmu Ekonomi dari University of Chicago dan
dikenal sangat concern pada masalah lingkungan hidup dengan bersemangatnya
menyerukan agar harga BBM dinaikkan setinggi-tingginya guna menekan
ketergantungan energy dan jelas mengarahkan pendapatnya pada peningkatan penerimaan
pajak pusat dan daerah di Amerika Serikat yang dapat digunakan untuk membiayai
pemeliharaan infrastructure transportasi.4 Di Jerman, peningkatan harga BBM bahkan
lebih jauh lagi dilakukan dengan menambahkan item “ecological tax” sebagai upaya
penanggulangan polusi dan perbaikan kondisi pelayanan publik.
1
Pemakalah adalah dosen FE Unpad, peneliti utama LP3E-FE Unpad, pengurus ISEI Bandung divisi
pengembangan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Email: [email protected]
2
Reuters, Indian Government May Raise Fuel Prices from April 01, Thursday March 24, 2005.
3
Financial Times. http://news.ft.com/cms/s/9a8e4976-9abf-11d9-90f9-00000e2511c8,ft_acl=,s01=1.html
dan China Daily, 24 maret, 2005.
4
Gary S. Becker, Business Week, New York, 31 Mei, terbitan No. 3385 hal. 24
Namun berbeda dengan fenomena menaikkan harga BBM di negara-negara maju,
masalah penghapusan subsidi minyak di negara-negara berkembang seperti Indonesia
lebih banyak dipelintir pada isu kesejahteraan dan kemiskinan dan bahkan digunakan
sebagai alat politik dalam pencapaian perolehan simpati suara masyarakat pemilih. Oleh
karenanya tujuan makalah ini sebenarnya sangatlah sederhana yaitu meninjau secara
akademis alasan penghapusan subsidi BBM yang mengakibatkan resiko kenaikan harga
BBM dalam kerangka ilmiah dengan pendekatan general equlibrium. Dengan asumsi
bahwa kenaikan harga BBM yang diramaikan sekarang ini memang akan terjadi cepat
ataupun lambat walaupun mungkin akan ditunda atau disesuaikan kembali penerapannya,
makalah ini akan mencoba mendiskusikan mekanisme yang mungkin cocok dalam
menjalankan kebijakan subsidi BBM dan dapat menekan biaya serta government failures
yang diantaranya terlihat dari tersia-sianya waktu dan enerji para pakar dan pemikir
dalam memperdebatkan kebijakan pemerintah yang tidak populer ini.
II. Alasan Utama Menaikkan Harga Minyak
Tanpa harus belajar ilmu ekonomi secara formal akademik, sangat jelas dan gamblang
dapat terlihat bahwa kenaikan harga barang akhir (output produksi) sangat tergantung
pada kenaikan harga barang antara (input produksi). Karenanya dengan harga minyak
mentah per barrel yang makin meningkat terutama karena kuatnya praktek kartel yang
dilegalkan yaitu OPEC5 dan berkurangnya pasokan dari lepas pantai utara eropa karena
cuaca dingin, tentunya jelas terlihat konsekwensinya adalah meningkatkan harga barang
akhir berupa BBM. Sudah dapat dimengerti posisi Indonesia yang sekarang ini relatif
merupakan negara pengimpor minyak harus menyesuaikan harga BBM nya karena
adanya kenaikan biaya produksi.6 Dalam mikroekonomi, secara teoritis, kenaikan harga
BBM ini dapat lebih dimengerti menimbang bahwa penentuan satu harga barang akhir
selain dipengaruhi faktor biaya produksi ditentukan pula oleh elastis tidaknya sebuah
barang (dan tidak lupa besaran margin keuntungan perusahaan yang ingin diperoleh).7
Bila aspek margin diabaikan, maka terlihat bahwa penentuan harga BBM dengan
sendirinya (by nature) akan lebih tinggi dari barang-barang lain karena BBM bersifat
inelastis dan cenderung merupakan barang kebutuhan pokok tanpa substitusi yang dekat.
Dengan mekanisme pasar sebetulnya harga bisa saja ditekan dengan supply yang lebih
besar, namun pendekatan ini sangatlah mustahil diterapkan pada komoditi BBM yang
secara implisit sistem industrinya masih condong pada sistem monopoly seperti layaknya
PT. Pertamina.8 Bila sistem pasar dan industri yang lebih kompetitif dapat diberlakukan,
tuntutan pasokan supply BBM yang lebih banyakpun tetap sulit dilakukan karena input
minyak mentah terbatas ketersediaanya. Menurut teori produksi, satu-satunya yang dapat
menambah pasokan supply dan akhirnya meredam kenaikan harga adalah faktor
5
Harga minyak mentah internasional telah mencapai 57,6 USD pada minggu ketiga bulan maret ini.
Internasional Energy Agency (IEA) memproyeksikan bahwa dalam 5 s.d. 10 tahun terakhir ini Indonesia
akan menjadi negara pengimpor minyak (net importer).
6
7
�e �
P MC � p �dimana
ep 1�
�
P adalah harga, MC marginal cost dan ep adalah elastisitas harga permintaan.
8
Tahun 1995 merupakan tahun berlakunya liberalisasi bidang energy dimana penyaluran BBM dapat
dilakukan oleh perusahaan lain sebagai upaya meningkatkan persaingan dan effisiensi PT Pertamina
sebagai BUMN, memperbesar pasokan BBM di pasar, dan sekaligus menekan harga.
2
teknologi yang lagi-lagi juga diragukan dalam hal teknologi inovasi guna menemukan
sumber energi yang secara dekat dapat menggantikan fungsi BBM.9
Alasan lain yang umum dapat dimengerti adalah makin beratnya beban keuangan
pemerintah dalam melakukan belanja publik berupa subsidi BBM yang jumlahnya bisa
membengkak hingga 100 Trilyun Rupiah karena kenaikan harga minyak mentah di pasar
internasional. Posisi fiskal Indonesia yang makin sulit pasca krisis moneter plus
merosotnya nilai tukar rupiah riil menyebabkan adanya wacana ide penghapusan seluruh
atau sebagian pengeluaran subsidi yang diantaranya adalah subsidi BBM yang jumlahnya
memang signifikan dibanding jenis subsidi lain. Salah satu alasan dari International
Energy Agency (IEA) memproyeksikan Indonesia menjadi net importer minyak bumi
adalah karena subsidi yang terus menerus diberlakukan sekarang ini akan menggenjot
pula konsumsi domestik yang bersifat massal (mass consumption). Dalam teori ekonomi
pembangunan, kondisi mass consumption ini memang merupakan suatu kondisi final
indikator kemajuan sebuah negara, namun kondisi ini dapat tercipta hanya bila sistem
pasar yang kompetitif sudah tercipta, sedangkan mass-consumption yang diakibatkan
subsidi akan membahayakan bukan hanya kondisi sektor riil namun juga kondisi moneter
karena adanya demand pull inflation yang akan terjadi.10 Karenanya pendapat bahwa
kenaikan BBM akan menyebabkan suatu tingkat inflasi yang berbahaya seharusnya
memperhitungkan pula bahaya inflasi yang mungkin muncul akibat bila subsidi BBM
tetap dipertahankan agar suatu tingkat inflasi yang lebih riil dapat diprediksi akibat
kenaikan BBM.11
Terkait dengan alasan penghapusan subsidi BBM, alasan lain yang mungkin digunakan
adalah guna mencapai suatu posisi fiskal budget pemerintah yang sustainable via
penggunaan dana hasil penghapusan subsidi BBM untuk membayar hutang luar negeri
(HLN) yang saat ini jumlahnya sekitar 68 trilyun rupiah-walaupun hal ini sudah diklaim
tidak akan dilakukan pemerintah mengingat hutang luar negeri kita mayoritas adalah
beban hutang luar negeri yang dilakukan pihak swasta dengan penjaminan pemerintah.
Membengkaknya jumlah HLN akibat akumulasi bunga serta merosotnya nilai tukar
rupiah secara sistematis memang telah diupayakan untuk mencapai zero growth dalam
waktu yang harusnya tidak lama lagi. Namun dengan adanya fasilitas morotarium HLN
pasca bencana Tsunami, target zero growth ini akan sulit dicapai, karenanya HLN current
harus dibayar secepatnya agar tujuan sustainability fiskal tercapai. Dengan selesainya
tugas BPPN dalam menjalankan fungsinya, Indonesia mungkin mengalami kesulitan
dalam memperoleh sumber pembiayaan lain selain usaha privatisasi dan penjualan asset
negara. Pemangkasan belanja negara seperti subsidi memang mungkin saja dilakukan.
Penulis akui bahwa kemungkinan ini memang kecil dilakukan mengingat dasar analisis
ilmiah tidak dapat menjelaskan pendekatan ini terlebih lagi mengingat bahwa membayar
9
Fungsi sederhana untuk teori produksi dikemukakan oleh Cobb dan Douglas: Q = A f(K,L), dimana K dan
L adalah input kapital dan tenaga kerja, sedangkan A adalah faktor teknologi.
10
Teori Rostov tentang tahap-tahap pembangunan ekonomi sebuah negara dikemukakan pada saat
pemikiran adanya peran serta pemerintah tidaklah terlalu besar seperti sekarang ini.
11
Penulis berpendapat bahwa klaim seorang pakar LPEM-UI bahwa tingkat bahaya inflasi yang
ditimbulkan kenaikan BBM adalah paling rendah dibandingkan kebijakan lain harus dibuktikan dengan
menambahkan penghitungan tingkat inflasi akibat subsidi BBM tetap dipertahankan. Demikian pula untuk
klaim pengamat yang kontra dengan klaim pertama.
3
hutang mayoritas pihak swasta harus dilakukan dengan mengorbankan kepentingan
rakyat adalah tidak manusiawi dan mengkhianati kepercayaan rakyat.
Dengan pertimbangan bahwa alasan kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga minyak
mentah tidak dapat dipungkiri dan diragukan lagi dan juga alasan pengalihan dana
subsidi BBM untuk membayar hutang luar negeri dirasa tidak mungkin digunakan
pemerintah sebagai alasan kenaikan harga BBM, penulis akan lebih melihat tinjauan
akademis ekonomi publik mengenai mekanisme alasan penghapusan subsidi BBM
secara lebih mendetail sebagai sarana pembelajaran untuk masyarakat luas.
III. Subsidi Bahan Bakar Minyak (Energy Subsidy)
Definisi dari subsidi bahan bakar yang paling umum adalah bentuk pembayaran langsung
pada konsumen atau produsen dari produk bahan bakar minyak (BBM). Namun definisi
yang lebih luas adalah setiap ukuran yang menjaga agar harga BBM untuk konsumen
dibawah harga pasar atau untuk produsen menjaga harga diatas harga pasar atau sekaligus
mengurangi beban biaya yang harus dibayar produsen dan/atau konsumen.12 International
Energy Agency (IEA) lebih lanjut mendefinisikan subsidi BBM sebagai segala tindakan
pemerintah yang concern dengan sektor energy dimana cara yang dipakai dapat berupa
(i) mengurangi biaya produksi BBM; (ii) menaikkan harga yang diterima produsen BBM;
(iii) menurunkan harga BBM yang dibayarkan konsumen.
Campur tangan pemerintah lewat subsidi ini didasarkan pada dua fungsi utama
pemerintah secara ekonomi publik, yaitu regulator dan stabilizer. Sudah diketahui bahwa
mekanisme pasar terutama untuk sektor produksi barang atau jasa yang relatif menguasai
hajat hidup orang banyak selalu mengakibatkan kegagalan pasar (market failure), oleh
karenanya campur tangan pemerintah dianggap layak untuk memperbaiki kegagalan
pasar tersebut. Pertimbangan lain adalah karena barang seperti BBM relatif sangat
inelastis permintaannya dengan demikian menyerahkan sepenuhnya distribusi dan alokasi
sumber daya pada mekanisme pasar akan cenderung selalu merugikan konsumen. Disisi
lain, pertimbangan sosial seperti keperdulian terhadap kelompok masyarakat miskin juga
menjadi alasan pemberlakuan subsidi BBM.
Terdapat banyak cara yang dapat digunakan untuk melakukan subsidi BBM: (i) cara
langsung seperti campur tangan langsung pada harga pasar, hibah, dan pengecualian
pajak (tax exemption); dan (ii) tidak langsung seperti regulasi dan aturan yang memaksa
pasar untuk berproduksi dan mengkonsumsi satu atau beberapa jenis BBM saja atau
penelitian dan pengembangan teknologi energy yang dibiayai pemerintah. Masingmasing cara penerapannya di berbagai negara sangat tergantung pada banyak aspek
seperti aspek pembiayaan, administrasi, dan khususnya aspek dampak fiskal terhadap
keuangan negara dan/atau masalah sosial masyarakat. Table 1 menyajikan berbagai
bentuk subsidi BBM serta bagaimana sistem penyaluran dana subsidi BBM masingmasing. Tranfer langsung dan regulasi pemerintah merupakan dua jenis subsidi yang
paling umum banyak digunakan termasuk di Indonesia. Namun kedua jenis subsidi ini
mengandung biaya transaksi dan akunting dan pada akhirnya beresiko pada terancamnya
12
Definisi di negara-negara OECD.
4
posisi fiskal negara. Oleh karenanya beberapa negara memilih untuk mengklasifikasikan
subsidi BBM sebagai off-budget untuk alasan politis; atau on-budget sebagai cara mudah
mengurangi tax burden keseluruhan untuk kepentingan dari kelompok berkepentingan:
baik produsen maupun konsumen BBM. Di Indonesia cara subsidi BBM yang dipilih
adalah menetapkan harga yang dibayar konsumen dibawah biaya sesungguhnya terutama
karena BBM diproduksi oleh BUMN. Namun secara jelas juga terlihat bahwa subsisi
BBM diIndonesia dilakukan untuk membela kepentingan melindungi produsen (industri
dalam negeri) yang dianggap belum efisien. Walaupun dalam hal ini terdapat dua sisi
kepentingan pihak yang dilindungi, namun pada implementasinya kemungkinan adanya
bias kebijakan bisa saja terjadi.
Sumber: UNEP, 2000
5
III.1 Besaran Subsidi Bahan Bakar
Salah satu studi dari World Bank menyebutkan bahwa pada akhir 1997, besaran subsidi
BBM mencapai total 48 juta USD di 20 negara besar non-OECD termasuk Indonesia, dan
10 juta USD di negara-negara OECD. Pertumbuhan besaran subsidi ini meningkat di 20
negara besar non-OECD menjadi 96 juta USD pada tahun 1998. Harga akhir dari produk
BBM secara rata-rata diperkirakan 1/5 dari biaya produksi BBM sebenarnya karena di
kebanyakan negara berkembang, subsidi BBM ditujukan pada kepentingan konsumen.
Lain halnya di negara-negara maju dimana subsidi BBM lebih banyak diberikan pada
produsen untuk kepentingan penelitian dan pengembangan menemukan alternatif
pengganti BBM seperti mengolah tumbuhan atau senyawa kimia lain pengganti BBM.
III.2. Efek Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Diluar efek lingkungan yang dianggap tidak banyak berarti bagi banyak kalangan yang
mengklaim membela kepentingan rakyat terutama di negara-negara berkembang, berikut
akan lebih banyak dibahas pengaruh subsidi BBM terhadap aspek ekonomi dan sosial.
Menghitung pengaruh ekonomi dan sosial lewat pendekat social benefit dan cost analysis
akan sulit mengingat masalah kuantifikasi variable-variable yang dianggap mewakili
benefit dan cost tersebut. Namun kita dapat mengambil beberapa perbandingan dari
negara-negara lain mengenai high economic cost yang diakibatkan oleh subsidi BBM.
IEA mengestimasi bahwa Net Present Value (NPV) dari kerugian pertumbuhan ekonomi
di delapan negara non-OECD mencapai 257 juta USD per tahun dengan asumsi 7% pada
tingkat diskonto. Keseluruhan biaya sosial-dan lingkungan- diperkirakan akan lebih besar
lagi bila dapat dihitung.
Tergantung pada jenis subsidi yang digunakan, beberapa kerugian efisiensi secara
ekonomi yang relevan dengan kasus di Indonesia dan dapat dijelaskan dengan
pendekatan general equilbrium adalah:
1. Subsidi untuk produsen BBM akan menyebabkan keengganan produsen untuk
upaya minimalisasi biaya dalam fungsi produksinya. Sudah bukan rahasia umum
bahwa PT Pertamina merupakan salah satu BUMN yang kerap dikritik
efisiensinya. Padahal secara ekonomi Pertamina haruslah menjadi sebuah
perusahaan yang memanfaatkan fasilitas monopolinya untuk bersaing dengan
perusahaan minyak lainnya dalam situasi global competitiveness. Situasi
inefficiency ini diperparah dengan fungsi Pertamina yang lebih kentara dijadikan
sebagai “sapi perah” pihak pemerintah dan bahkan partai politik. Sisi
profesionalisme sebuah badan usaha terabaikan sehingga pemborosan, kolusi,
korupsi menghancurkan sendi-sendi kekuatan usaha PT Pertamina itu sendiri.13
2. Subsidi langsung kepada konsumen dapat memperparah kondisi anggaran
pemerintah terutama pada saat harga minyak mentah sedang membumbung tinggi.
13
PT Pertamina telah ditetapkan sebagai pihak distribusi BBM sedangkan fungsi eksplorasi telah
diserahkan kepada BP MIGAS sesuai dengan liberalisasi perminyakan yang efektif diberlakukan awal
tahun 2005.
6
Dilain pihak subsidi tidak langsung juga dapat memperparah kondisi anggaran
pemerintah dengan pengabaian sumber-sumber penerimaan pajak. Terlebih untuk
jenis subsidi langsung, konsumsi BBM yang berlebihan akan mendorong pada
permintaan import yang lebih besar dan mengurangi jumlah BBM yang
sebenarnya bisa digunakan untuk kegiatan produksi ekspor. Balance of Payment
dapat terganggu karena ketergantungan import yang berlebihan. Pemerintah
Indonesia pada tahun 2000 contohnya telah mengestimasi bahwa subsidi BBM
selain membahayakan posisi fiskal juga mengakibatkan kerugian negara sebesar
16 juta USD dari penerimaan hasil ekspor hingga tahun 2005.
Patut dicatat bahwa biaya kerugian akibat subsidi BBM ini tidak akan otomatis hilang
bila subsidi dihapuskan, keseluruhan sekalipun. Karena biaya kerugian ekonomi ini harus
juga mempertimbangkan biaya sosial yang diakibatkan oleh subsidi BBM ini.
Implikasi sosial dari subsidi BBM sangat bervariasi tergantung pada jenis subsidi BBM
yang diberlakukan. Untuk kasus Indonesia dimana subsidi LPG dan minyak tanah
diarahkan pemberiannya pada golongan masyarakat berpendapatan rendah hingga
sedang, subsidi yang diberikan hanya akan lebih menguntungkan pihak produsen
perlengkapan memasak dan rantai distributor kedua jenis BBM ini. Dengan demikian
harapan bahwa terjadi transfer dari golongan kaya ke miskin malahan menyebabkan
biaya subsidi dibagi rata pada semua golongan masyarakat termasuk masyarakat
menengah dan miskin yang menjadi obyek subsidi itu sendiri. Terdapat dua alasan yang
jelas terlihat dari fenomena ini:
1. Walaupun golongan miskin dapat menikmati subsidi BBM ini, namun secara
financial, nilai yang mereka hasilkan tidaklah terlalu besar, karena konsumsi
mereka relatif lebih kecil dibandingkan konsumsi kelompok masyarakat dengan
pendapatan yang lebih tinggi. Kelompok masyarakat berpendapatan lebih tinggi
cenderung lebih menikmati subsidi BBM dalam bentuk nominal karena mereka
mengkonsumsi lebih besar. Alasan ini berlaku pula untuk subsidi BBM untuk
premium dan solar.
2. Subsidi untuk konsumsi dengan menerapkan price cap dibawah harga pasar akan
mengakibatkan illegal resale terutama bila kepastian dan kedaulatan hukum juga
lemah. Sekali lagi terlihat bahwa secara sosial masyarakat dalam kelompok
menengah ke bawahlah yang menjadi korban.
Dapat disimpulkan sementara bahwa pada kasus subsidi BBM di Indonesia, pengaruh
negatif secara ekonomi sangat terasa pada beban pemerintahan yang berlebihan terhadap
belanja sektor publik dimana dengan upaya pemulihan ekonomi pasca krisis moneter
1998 dan beban pembayaran hutang luar negeri yang membahayakan kesinambungan
fiskal (fiscal sustainability). Selain itu efek negatif dari subsidi BBM timbul karena target
yang tidak tepat dimana subsidi untuk BBM secara umum untuk semua individu
masyarakat tidak dapat menyentuh sasaran yang sebenarnya ingin dicapai. Dalam ilmu
ekonomi publik pendekatan subsidi seperti yang diberlakukan di Indonesia ini adalah
penerapan dari teori Commodity Egaliterianism yang menyatakan bahwa pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan dapat dicapai dengan cara menciptakan pemerataan pada
7
beberapa komoditi yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak dan pada
akhirnya akan mengarah pada pemerataan pendapatan dan kesejahteraan secara umum.
Dibandingkan dengan pendekatan simple utilitirianism yang menyatakan bahwa
pemerataan pendapatan dan kesejahteraan dapat dicapai dengan men-support daya
konsumsi kelompok masyarakat yang eligible untuk diberi subsidi, jelas terlihat bahwa
secara pencapaian target, pendekatan subsidi BBM di Indonesia tidak akan berhasil
meningkatkan tingkat kehidupan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran.14
Dengan demikian terbukti bahwa secara teori ekonomi publik, fenomena deadweight loss
atau excess burden tidak hanya terjadi pada pembebanan pajak. Surplus konsumen
memang meningkat (dari moPh menjadi muq), namun terdapat sebagian tambahan surplus
produsen (ovu) yang dinikmati oleh pihak yang bukan menjadi target, bisa saja dari pihak
produsen sendiri yaitu PT Pertamina, distributor, atau konsumen lain yang secara konsep
free rider ikut menikmati subsidi BBM yang diberikan.
Gambar. 1
Harga per
liter BBM
Jumlah Konsumsi BBM
Berbagai studi yang dilakukan UNEP dan IEA menyimpulkan bahwa tingkat polusi
global dapat menurun hingga 6% dan pertumbuhan ekonomi dapat meningkat rata-rata
hingga 0,1 % tiap negara pada tahun 2010 bila seluruh subsidi dalam bentuk enerji
apapun dihapuskan diseluruh dunia. Dengan estimasi yang disajikan pada tabel. 2 dapat
diperkirakan bahwa Indonesia menaruh harapan bahwa tingkat pertumbuhan ekonominya
dapat ditumbuhkan secara bertahap lewat penghapusan subsidi BBM.15 Hasil yang
diperoleh dari penghapusan subsidi BBM pada era pemerintahan sebelumnya adalah
14
Dalam ilmu keuangan publik, fokus pemerataan pendapatan merupakan aplikasi dari teori simple
utilitiarinism. Dengan memperkuat daya beli atau konsumsi lewat peningkatan pendapatan riil kelompok
masyarakat tertentu, nilai utility dan manfaat perorangan (U) akan meningkat, dan pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan (W). Secara matematis hubungan ini ditunjukkan oleh fungsi W=f(U).
15
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah mencapai angka 7% pada masa orde baru yang tergolong
fantastis, hingga Indonesia sempat dijuluki sebagai calon macan perekonomian Asia yang potensial.
8
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2 % dengan penurunan konsumsi BBM
yang berlebihan sebesar 7,1 %.
Namun diluar segala efek negatif dari adanya subsidi BBM, sebenarnya terdapat pula
pengaruh positif dari pengenaan subsidi BBM, terutama dalam memenuhi kepentingan
para pecinta lingkungan dunia, dimana subsidi BBM mengakibatkan terpeliharanya hutan
tropis dari bahaya deforestration. Lebih jauh, subsidi di negara-negara maju lewat
pembiayaan penelitian dan pengembangan sumber enerji, mengakibatkan efek
lingkungan yang baik lewat penemuan sumber enerji baru yang lebih efisien dan ramah
lingkungan. Pengaruh positif lain dari subsidi BBM berkaitan erat dengan legitimasi
politis, dimana preferensi masyarakat yang bila diambil secara collective menginginkan
harga BBM yang murah maka kebijakan populis dengan mensubsidi BBM akan
meningkatkan suara pemilih dan biasanya berujung pada kestabilan serta tingkat
keamanan dan ketertiban yang lebih baik. Dari sisi ekonomi adanya subsidi BBM dapat
menimbulkan kegairahan dalam melakukan kegiatan perekonomian via konsumsi dan
produksi masyarakat.
IV. Apakah Kenaikan Harga BBM Satu-satunya Jalan?
Jawaban dari pertanyaan sub bagian ini sangat tergantung pada alasan yang dipakai untuk
menaikkan harga BBM. Bila alasan yang dipakai pemerintah adalah meringankan beban
belanja publik dari anggaran pemerintah, maka kenaikan harga BBM sangat beralasan
untuk dinaikkan, karena sumber penerimaan yang sangat terbatas terutama bila opsi
meningkatkan penerimaan pajak lewat diversifikasi dan intensifikasi pajak membutuhkan
waktu yang panjang. Apalagi dari aspek statutory dan economic, incidence dari pajak
dapat lebih membebani masyarakat konsumen secara umum, bahkan kemungkinan
9
timbulnya deadweight loss of tax bisa lebih besar lagi. Masalah beban belanja negara
inipun ditambah lagi dengan masalah bahwa opsi dari sumber pembiayaan lain seperti
hutang terutama hutang luar negeri sudah bukan menjadi pilihan. Opsi penjualan asset
negara serta privatisasi BUMN juga kerapkali mengundang polemik dan protes
berkepanjangan.16
Bila alasan yang dipakai adalah untuk membayar hutang luar negeri, maka jelas
menghapuskan subsidi BBM yang otomatis menaikkan harga BBM bukan pilihan bijak
karena beban hutang luar negeri tidak tepat untuk dibebankan kepada masyarakat
pengguna BBM karena hutang luar negeri Indonesia sebagian besar merupakan hutang
swasta yang dijamin oleh pemerintah.
Bila alasan yang dipakai adalah untuk mengurangi konsumsi berlebihan dari BBM, maka
masih banyak opsi lain yang dapat dilakukan, contohnya adalah rationing seperti yang
dilakukan India. Walaupun mengandung resiko distribusi karena membutuhkan
administrasi yang dilengkapi dengan kepastian dan tindakan hukum, namun opsi ini
terasa lebih adil dan mampu mencapai target sasaran subsidi dengan lebih akurat.
Berdasarkan data yang ada bila masalah beban belanja negara dijadikan alasan,
sebenarnya pemerintah dapat melakukan langkah-langkah strategis seperti efisiensi
belanja negara di sektor lain non-BBM. Anggaran belanja pegawai misalnya harus
diupayakan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan negara dan meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Anggaran belanja publik harus diprioritaskan pada pemenuhan
kewajiban pembayaran bunga utang, melaksanakan program subsidi dalam rangka
mengurangi beban masyarakat miskin dan membantu usaha kelompok kecil dan
menengah. Kemudian belanja modal harus mengarah pada stimulasi pertumbuhan
ekonomi dan mendukung kegiatan-kegiatan pembangunan yang tidak sepenuhnya dapat
dilakukan oleh sektor swasta. Dengan kata lain harus diupayakan adanya disiplin
anggaran disemua tingkat pemerintahan maupun instansi pemerintah. Terlebih lagi
sebenarnya dana off-budget dan rekening-rekening lain dana pemerintah di Bank
Indonesia (misalnya Rekening Dana Investasi), sebagian besar dapat digunakan untuk
memenuhi defisit belanja pemerintah, membayar hutang luar negeri atau bahkan
membayar subsidi BBM.
Bila alasan yang dipakai adalah karena subsidi BBM yang telah dilaksanakan
menghasilkan net effect yang negatif, maka yang harus diupayakan segera adalah
meminimalkan efek-efek negatif dari subsidi BBM secara sistematis. Hal ini lebih aman
dilakukan mengingat menghapus seluruh atau sebagian subsidi sangat kental nuansa serta
warna policy judgement dan politisnya. Dengan kata lain pemerintah dapat saja
mengupayakan dan menciptakan satu sistem subsidi BBM yang relatif lebih baik
dibandingkan yang sudah dilakukan.
16
Amien Rais Ketua PAN pernah gusar dan menyatakan bahwa usaha privatisasi BUMN pasca krisis
moneter sama saja dengan menjual harga diri bangsa.
10
IV.1 Reformasi Subsidi Bahan Bakar Minyak17
Reformasi subsidi BBM memang secara general tidak bisa disama-ratakan di semua
negara yang mengimplementasikan subsidi baik langsung maupun tidak langsung.
Muatan nilai lokal serta kerangka kondisi pasar dan ekonomi, kondisi fiskal dan faktor
kelembagaan sangat menentukan pendekatan yang dipakai dalam reformasi subsidi BBM
ini. Namun beberapa hal mendasar yang dapat berlaku disemua negara dalam upaya
reformasi subsidi BBM ini adalah:
o well-targeted—subsidi BBM harus diarahkan hanya pada mereka yang
ditargetkan dan pantas menerima subsidi;
o efficient—subsidi seharusnya tidak mengabaikan insentif yang pantas diterima
produsen, dan/atau distributor penyedia dalam penyediaan BBM;
o soundly based—program subsidi harus dijustifikasi melalui proses analisa yang
melibatkan analisa biaya serta manfaat subsidi BBM;
o practical—Keseluruhan jumlah subsidi harus dapat dipenuhi anggaran dan secara
administrasi dapat dikelola dengan biaya yang reasonable;
o transparent—Informasi tentang jumlah pengeluaran subsidi BBM dan pihak
yang berhak menerima subsidi harus disosialisasikan; dan mengingat bahwa pada
dasar analisa ekonomi nya subsidi memang harus dihapuskan maka
o limited in time—klausul “matahari terbenam” harus diikutsertakan dalam desain
program subsidi BBM, agar konsumen dan produsen tidak tergantung secara
berlebihan pada support subsidi BBM yang bisa berakibat aspek pembiayaan
berada diluar kontrol.
Karena besarnya resiko resistensi dari masyarakat, tentunya bagi kelompok masyarakat
yang akan terkena kerugian akibat reformasi subsidi ini, misalnya pembayar pajak dari
kelompok masyarakat berpenghasilan menengah hingga tinggi, maka praktek dari
reformasi subsidi BBM ini harus di lakukan dengan political will yang kuat dan dengan
dasar tujuan pemerataan kesejahteraan masyarakat keseluruhan. Hal-hal yang perlu
dilakukan guna menghadapi resistensi yang sudah muncul:
1. Reformasi harus dilakukan secara gradual guna memberikan nafas bagi kelompok
masyarakat yang akan terkena kerugian reformasi subsidi
2. Memperkenalkan kompensasi langsung yang dapat mendukung daya beli
masyarakat yang terkena akibat langsung reformasi subsidi BBM seperti
peningkatan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan umum. Tentunya dibutuhkan
suatu sistem efektif dan struktur distribusi kesejahteraan yang bisa terbebas dari
unsur kolusi, korupsi dan nepotisme.
3. Politisi dan birokrasi harus melakukan komunikasi yang kontinyu kepada publik
tentang manfaat reformasi subsidi BBM dalam berbagai aspek, seperti sosial,
ekonomi dan lingkungan. Di negara-negara maju issue ramah lingkungan dengan
sukses dapat dikomunikasikan antara birokrat dan publik, sehingga pihak politisi
17
Sebagian besar dari bahasan sub bagian ini merupakan reproduksi dari laporan UNEP and IEA(2002),
“Reforming Energy Subsidies”, United Nation Publication, Oxford, UK.
11
yang mempunyai self interest untuk mempertahankan subsidi BBM untuk satu
industri enerji mengalami kesulitan.
4. Tentunya pihak akademisi, perbankan, penyedia dana internasional non-IMF, dan
stakeholders lain harus diikut-sertakan peranannya dalam membantu
penaggulangan masa transisi reformasi subsidi diberlakukan.
V. Kesimpulan
1. Masalah kenaikan harga BBM merupakan trend di negara-negara berkembang
saat ini.
2. Alasan utama yang bisa diterima secara akademis dan aspek umum adalah
penghapusan subsidi BBM guna meringankan beban belanja anggaran negara.
3. Subsidi BBM mengandung excess burden dimana subsidi ini bisa berakibat pada
konsumsi berlebihan (pemborosan) BBM dan mungkin saja mengarah pada
ketergantungan impor, naiknya laju inflasi akibat mekanisme demand pull
inflation. Karenanya subsidi harus mengorbankan tujuan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang cepat.
4. Subsidi BBM terlebih lagi pada akhirnya tidak akan menolong peningkatan
tingkat sosial dan ekonomi bagi masyarakat miskin. Sebaliknya kelompok
masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggilah yang akan lebih banyak
menikmati subsidi tersebut
5. Kenaikan harga BBM bukanlah solusi satu-satunya dalam menanggulangi
masalah beban belanja negara terutama dalam hal belanja publik.
6. Bila subsidi memang diinginkan secara preferensi sosial, pemerintah harus
mengupayakan suatu sistem subsidi BBM yang baik, “reformed Energy Subsidy”
7. Bila kenaikan harga BBM tetap dilaksanakan maka diperlukan satu upaya
pendistribusian dana kompensasi dengan sistem yang lebih baik, terencana,
transparan, dikelola dengan baik dan bisa dipertanggungjawabkan lewat audit
akuntansi.
12
Catatan Pribadi Pemakalah:
Singkatnya pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan SBY “sedikit” lalai dalam
melakukan kebijakan kenaikan harga BBM tahun ini, karena timing yang dipakai
sangatlah tidak tepat. Seharusnya pemerintahan SBY memperkenalkan terlebih dahulu
(sosialisasi) istilah reformasi subsidi BBM kepada publik dan stakeholders terutama pers
dan media massa, bukannya langsung mendengungkan kemungkinan kenaikan harga
BBM atau istilah penghapusan subsidi BBM. Komunikasi dengan politisi dan pihak
publik yang mungkin mengalami kerugian akibat reformasi subsidi BBM juga tidak
dilakukan dengan baik, sehingga resistensi yang timbul menyebabkan kredibilitas
pemerintahan turun.
Bila kenaikan harga BBM harus ditunda atau di”bargain” kembali, maka upaya
pemberlakuan subsidi BBM harus dirombak total sistem distribusinya menjadi lebih
efektif, mengingat pula bahwa dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,
peranan dan tanggung-jawab masalah pengeluaran pemerintah untuk kesejahteraan dapat
di-sharing dengan lebih proporsional. Namun bila kebijakan ini tidak bisa ditawar-tawar
lagi, maka seyogyanya transparansi dari alokasi dana penghapusan BBM harus
dilakukan, mengingat jumlah yang dialokasikan untuk penanggulangan kemiskinan
tidaklah sebesar yang diperkirakan.
Lebih jauh lagi dampak-dampak negatif akibat kenaikan harga BBM seperti tingkat harga
umum yang naik akibat mekanisme Cost Push Inflation sehingga dapat berakibat buruk
pada upaya menjaga tingkat inflasi yang sedang dilakukan BI lewat survey-survey
langsung pada konsumsi masyarakat terhadap commodity bracket tidak menjadi sia-sia
pelaksanaanya. Karenanya semua unsur masyarakat khususnya aparatur yang terlibat
dalam penanggulangan dan kepastian hukum harus ikut berperan aktif dan intensif
berkoordinasi dengan instansi dan asosiasi lain guna menjamin ketersediaan barang,
kelancaran distribusi, dan antisipasi gejolak harga.
13
Referensi
Birol, F., A.V. Aleagha and R. Ferroukhi (1995), The Economic Impact of Subsidy PhaseOut in Oil Exporting Countries: A Case Study of Algeria, Iran and Nigeria, Energy
Policy, vol. 23, no. 3, pp. 209-215.
Financial Times. http://news.ft.com/cms/s/9a8e4976-9abf-11d9-90f900000e2511c8,ft_acl=,s01=1.html
Gary S. Becker, “Let's Make Gasoline Prices Even Higher” Business Week, New York,
31 Mei, 2004 No. 3385 p. 24
Myles, Gareth D., (1996), “Public Economics”, Cambridge University Press, Cambridge
Nicholson, Walter (2002), “Microeconomics Theory and its Application”, 8th Edition,
Thompson-SouthWestern Publishing
Organisation for Economic Co-operation and Development (1996), Subsidies and
environment: exploring the linkages (Paris: Organisation for Economic Co-operation and
Development).
Rosen, Harvey S. (2002), “Public Finance”, 6th Edition, Irwin-McGraw-Hill, New York
Stiglitz, Joseph. E, (2000), “Economics of Public Sector”, Norton Publisher, New York
UNEP and IEA(2002), “Reforming Energy Subsidies”, United Nation Publication,
Oxford, UK
Varian, Hal R., (2000), “Intermediate Economics: A Modern Approach”, 5th Edition,
Norton Publisher.
14