SINERGI DUA PENDEKATAN SEBUAH REVOLUSI P
ESSAY COMPETITION
"Revolusi Politik Berantas Korupsi Sistemik"
SINERGI DUA PENDEKATAN : SEBUAH REVOLUSI POLITIK PEMBERANTASAN
KORUPSI SISTEMIK
Studi Terhadap Pendekatan Aktor dan Kepartaian dalam Pemberantasan Korupsi Sistemik di Indonesia
Disusun oleh:
Nama : Desiana Rizka Fimmastuti
NIM : 10/ 305078/ SP/ 24358
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
SINERGI DUA PENDEKATAN : SEBUAH REVOLUSI POLITIK PEMBERANTASAN
KORUPSI SISTEMIK
Studi Terhadap Pendekatan Aktor dan Kepartaian dalam Pemberantasan Korupsi Sistemik di
Indonesia
A. PENDAHULUAN
Kesejahteraan dan kehidupan yang layak merupakan dambaan setiap lapisan masyarakat. Untuk
mewujudkannya diperlukan peran dari berbagai pihak, salah satunya adanya negara yang memiliki
otoritas tertinggi untuk mengelola dan mewujudkan cita- cita tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa
negara memiliki power yang begitu besar. Namun realitasnya, kekuasaan tersebut acap kali
disalahgunakan, seperti yang terjadi di Perancis. Dalam buku L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws)
dipaparkan bahwa negara, yang digambarkan oleh para raja Bourbon memiliki sifat despotis1. Inilah
yang mengakibatkan kesejahteraan rakyat dapat dipertanyakan ulang.
Guna mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan, memang diperlukan dispertion of power
untuk membagi kekuasaan tersebut. Hal ini senada dengan Montesqiueu (1750) melalui gagasannya
mengenai Trias Politica, yaitu mana memisahkan negara kedalam 3 bentuk kekuasaan yaitu eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Konsep ini telah diterapkan di Indonesia, dengan kekuasaan eksekutif diwakili
oleh pemerintah, legislatif oleh wakil rakyat, serta kekuasaan yudikatif diwakili oleh peradilan.
Harapannya pemerintah tidak lagi berlaku sewenang- wenang, akan tetapi lebih demokratis dimana
melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Dengan begitu, kesejahteraan rakyat akan segara terwujud.
Namun, lain yang terjadi di Indonesia dimana para pemilik otoritas justru bekerjasama untuk
melakukan penyelewengan. Korupsi menjadi salah satu contohnya. Korupsi tidak lagi terjadi secara
perseorangan, akantetapi dilakukan secara bersama-sama melalui sebuah persekongkolan. Ironisnya,
fenomena tersebut juga tidak lepas dari keberadaan partai politik – selaku agen pemasok calon
pemimpin bangsa. Jelas terlihat bahwa korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistemik dimana
melibatkan banyak pihak dalam prakteknya. Inilah yang menyebabkan kesejahteraan rakyat Indonesia
belum terwujud hingga kini.
Atas dasar itulah korupsi harus segera diprioritaskan penyelesaiannya agar publik tidak lagi
dirugikan. Sejauh ini, pemberantasan korupsi sejauh ini hanya berkutat pada aktor semata, akan tetapi
lebih dari itu belum terlihat adanya pembenahan dari kondisi partai politik selaku ‘pemasok’ para
1
Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu 1750, The Spirit of Laws, dilihat pada 28 September
2013< http://global.britannica.com/EBchecked/topic/560421/The-Spirit-of-Laws>
pejabat publik. Dengan demikian, menjadi penting untuk dipikirkan sinergi pemberantasan korupsi
terhadap pelaku dan diiringi adanya pembenahan kondisi kepartaian di Indonesia.
Pada kasus ini, penulis ingin memfokuskan pada fenomena kartelisasi akibat atas adanya
‘pencarian’ pendanaan partai politik. Hal ini didasari oleh adanya fenomena bahwa pendanaan partai
merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi adanya korupsi para pejabat publik. Untuk itu,
tulisan ini berusaha memberikan solusi pemberantasan korupsi dari berbagai sudut sehingga tiada celah
dan tiada akar yang tersisa bagi bibit korupsi di Indonesia.
B. TERKUAKNYA
KORUPSI
SISTEMIK
DALAM
OTORITAS
NEGARA:
PENERAWANGAN DARI SISI AKTOR DAN KETERLIBATAN PARPOL
Ironis memang, Ibu Pertiwi kini menjadi ladangnya para koruptor Indonesia. Satu per satu
korupsi telah terkuak dihadapan publik. Tak ayal jika nilai CPI Indonesia mencapai angka 4 pada tahun
20122. Inilah yang menggambarkan bahwa korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Realitanya, korupsi
di Indonesia telah terjadi secara sistemik, dimana pelaku kini beragam, dan mereka saling bekerjasama
satu sama lain. Berikut adalah data yang menunjukkan pelaku korupsi berdasarkan jabatan dari tahun
2004 hingga tahun 2013.
Tabel 1. Data Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan
Tahun 2004-2013 (per 31 Agustus 2013)
Sebelum menganalisa tabel di atas, harus diketahui bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia
sudah akut dan telah terjadi secara sistemik terutama pada segi modus. Jika kita melihat korupsi dapat
Jabatan
Anggota DPR dan
DPRD
Kepala
Lembaga/Kementerian
Duta Besar
Komisioner
Gubernur
Walikota/Bupati dan
Wakil
Eselon I, II dan III
Hakim
Swasta
Lainnya
Jumlah Keseluruhan
dilak
2004
0
2005
0
2006
0
2007
2
2008
7
2009
8
2010
27
2011
5
2012
16
2013
7
Jml
72
0
1
1
0
1
1
2
0
1
2
9
mela
0
0
1
0
0
3
0
0
0
2
2
3
2
1
0
7
1
1
2
5
0
0
2
5
1
0
1
4
0
0
0
4
0
0
0
4
0
0
1
2
4
7
9
34
lui
2
0
1
0
4
9
0
4
6
23
15
0
5
1
29
10
0
3
2
27
22
0
12
4
55
14
0
11
4
45
12
1
8
9
65
15
2
10
3
39
8
2
16
3
50
7
3
17
9
48
114
8
87
41
385
ukan
tiga
sudut
pand
ang,
yaitu subjek, sektor atau objek, dan modus. Pada segi subjek, dapat dilihat bahwa sejak tahun 2008 para
2
CORRUPTION
PERCEPTIONS
INDEX
2012,
dilihat
pada
28
September
2013
pelaku korupsi rata- rata berasal dari kalangan pejabat pemerintahan, sedangkan sektornya fokus pada
pemerintah daerah atau pemerintah pusat (Alim, Hifdzil 2013) . Hal ini didukung dengan paparan data
di atas bahwa korupsi didominasi oleh aktor yang menduduki jabatan legislatif (total : 72) dan jabatan
eksekutif (total : 114) semenjak tahun 2004 hingga 2013.
Apabila dilakukan zoom in, mayoritas korupsi terjadi di sektor pengadaan barang atau jasa
dengan nilai kerugian negara hampir mencapai Rp 12,5 triliun selama semester pertama tahun 20123.
Berdasarkan pemantauan dari ICW, selama periode semester I tahun 2012, kasus korupsi tertinggi
terjadi di sektor infrastruktur atau sektor pengadaan barang dan jasa dengan jumlah kasus sebanyak 87
kasus. Sedangkan dari segi modus, terlihat bahwa modus operandi korupsi Indonesia terlihat semakin
sistemik. Korupsi yang terjadi di Indonesia tidak hanya melibatkan satu sektor, akan tetapi lebih dari itu.
Praktik korupsi dahulu terlihat lebih sederhana, dimana koruptor membuat kuitansi fiktif. Sedangkan
pada saat ini, korupsi dilakukan dengan didahului oleh deal- deal satu sama lain (Alim, Hifdzil 2013),
sehingga akan saling menguntungkan semua pihak yang terlibat.
Perkembangan korupsi yang terlihat semakin sistemik menunjukkan bahwa koruptor semakin
canggih dalam beraksi. Setidaknya begitulah yang terjadi pada mayoritas kasus korupsi di Indonesia,
salah satunya terlihat dalam kasus Wisma Atlet. Pada kasus tersebut terdapat prosedur yaitu pelelangan
tender yang harus dipenuhi. Akan tetapi, jika diamati lebih dalam terdapat skenario yang telah mengatur
pemenang tender tersebut sedari awal. Pada kasus yang panas itu, Muhammad Nazaruddin berhasil
melarikan diri ke Singapura sebelum ditangkap oleh KPK, hal tersebut bukanlah atas usahanya sendiri.
Akan tetapi terdapat keterlibatan ‘sektor-sektor’ lain yang memungkinkannya untuk melarikan diri ke
luar negeri (Alim, Hifdzil 2013). Dari kasus ini, terlihat bahwa banyak aktor yang terlibat dalam korupsi
ini.
Dari paparan kasus tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa korupsi sistemik di Indonesia
dapat dilakukan oleh legislatif, eksekutif, dan juga yudikatif. Koruptor menjadi aktor yang layak
disalahkan. Namun tidak semua orang menyadari bahwa, terdapat aktor lain yang ikut
‘bertanggungjawab’ atas keseluruhan korupsi yang terjadi yaitu partai politik. Hal ini dikarenakan dalam
era demokrasi seperti saat ini, partai politik memegang kendali besar atas keberadaan aktor- aktor
publik. Di Indonesia, partai politik menjagokan kandidatnya sebagai presiden. Pada proses ini, akan
terjadi koalisi antar partai, yang mana kelak akan diberi imbalan ‘jasa’ berupa jabatan mentri dan posisi
strategis lainnya. Tidak hanya itu, partai politik juga berperan dalam menempatkan kadernya untuk
menduduki jabatan legislatif. Para legislator inilah yang memiliki peran begitu banyak, diantaranya
3
______2012,’Potensi Kerugian Negara Umumnya pada Pengadaan Barang dan Jasa’, dilihat 26 Oktober 2012
adalah penganggaran, perumusan perundang- undangan, pengawasan, dan sebagainya4. Jabatan dan
kewenangan para aktor inilah yang acap kali diselewengkan, untuk kepentingan dirinya dan
golongannya.
Idealnya, partai politik akan mengontrol para kadernya untuk bekerja sesuai dengan ideologi dan
kepentingan konstituennya yang berada di level grassroot. Dengan demikian sistem demokrasi yang
dibangun akan berjalan dengan baik, dimana masyarakat akan menyalurkan aspirasi via partai,
kemudian partai – melalui para wakilnya akan mengejawantahkan dalam public policy5. Namun yang
terjadi di Indonesia adalah para pejabat publik justru saling bekerjasama untuk melakukan korupsi.
Mereka justru menyalahgunakan jabatan untuk kepentingannya sendiri dan partainya.
Kondisi para pejabat publik yang memprihatinkan tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Salah satu yang akan dianalisa dalam tulisan ini adalah keterlibatan partai politik dalam perlombaan
mencari keuntungan. Kondisi kepartaian di Indonesia kini begitu pelik, dimana terjadi kartelisasi dalam
tubuh partai6. Karetelisasi didefinisikan sebagai situasi dimana parpol mengabaikan komitmen ideologis
dan programatis mereka, demi kelangsungan hidup mereka sendiri. Mereka justru melakukan deal- deal
agar kebijakan dan setiap pasal dalam perundang- undangan dapat menguntungkan mereka. Mereka
melakukan kartelisasi untuk mendapatkan kekuasaan dan akhirnya bisa jadi menjadi salah satu jalan
melakukan distorsi. Ini didasari oleh adanya pendanaan partai politik yang beperan penting dalam
perebutan kekuasaan pada periode selanjutnya.
Tabel 2: Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2004 Dan Pemilu 20097
PartaiPolitik
Partai Golkar
PDIP
PKB
PPP
Partai Demokrat
PAN
PKS
Jumlah
Pemilu 2004 (RP)
112.791.035.149
111.435.731.096
7.223.761.480
n/a
9.040.910.780
27.342.426.509
29.795.410.385
297.629.275.399
Pemilu 2009 (RP)
145.583.002.911
38.944.436.113
3.609.500.000
18.338.239.000
235.168.086.289
17.858.157.150
36.521.468.175
496.022.889.638
Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa political cost yang dipakai partai politik secara umum
sangatlah tinggi, dan mayoritas partai akan mengelurakan dana yang tinggi dari pemilu ke pemilu
selanjutnya. Tidak hanya itu, biaya politik yang digunakan untuk modal menjadi calon legislatif
4
Boboy, Max 1994, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan Tata Negara,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Törnquist, O, Webster, N, Stokke, K, 2009, Rethinking popular representation, Palgrave MacMillan, New York
6
Ambardi, Kuskridho 2009, The Making of Indonesian Multyparty System : A Cartelized Party System and Its Origin,
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, h - 290
5
7
Supriyanto, Didik & Wulandari, Lia 2013, Basa-Basi Dana Kampanye Pengabaian Prinsip Transparansi Dan Akuntabilitas Peserta
Pemilu, Yayasan Perludem, Jakarta Selatan
mencapai 1- 3 Milyar8. Mereka menginginkan adanya balik modal, sehingga berkecenderungan untuk
masuk dalam kartelisasi yang berujung korupsi. Dengan menilik uraian tersebut, jelas sudah bahwa akar
korupsi sistemik di Indonesia tidak hanya dari aktor, akan tetapi juga dari kondisi kepartaian itu sendiri.
KARTELISASI
(Nuansa Nonkompetitif,
Rent Seeking)
-
Political Cost tinggi
Perebutan dana untuk
modal partai
Peraturan yang
kurang ketat
-
Korupsi Sistemik
Kebijakan Tidak Pro
Rakyat
Hilangnya Checks and
Balances
MENYUBURNYA
KORUPSI
Gambar 1. Kaitan Antara Kondisi Kepartaian Dengan Korupsi
Gambar di atas menunjukkan bahwa kartelisasi dan korupsi sistemik dalam kondisi kepartaian di
Indonesia berakibat pada minimnya checks and balances. Hal ini bisa disebabkan adanya kartelisasi
partai politik, sehingga abai terhadap kesejahteraan rakyat. Mereka ingin menyejahterakan partainya,
sehingga korupsi menjadi salah satu jalan menggiurkan. Dana inilah yang digunakan untuk cost politik
selanjutnya, sehingga partai mereka tetap eksis. Dengan menggunakan dana inilah, para partai politik
akan berkontestasi untuk memenangkan kandidatnya, dan menguasai sumberdaya.
C. REVOLUSI POLITIK PEMBERANTASAN KORUPSI : TELAAH DARI SISI
KEPARTAIAN DAN SISI AKTOR
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa korupsi sistemik berasal dari motif aktor. Akan tetapi
lebih dari itu, korupsi tersebut juga erat kaitannya dengan kondisi partai politik di Indonesia yang tengah
terjebak kartelisasi. Partai politik tidak memiliki ideologi yang mengakar pada para kadernya, sehingga
para pejabat publik tidak memiliki visi yang jelas – untuk menampung aspirasi dan mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Dengan begitu, mereka memiliki kecenderungan untuk bekerja untuk dirinya
sendiri (rent seeking). Untuk itu, diperlukan adanya pemberantasan korupsi yang dapat dimulai dari
ranah aktor, dan dibarengi dengan pembenahan dalam kepartaian Indonesia.
8
Ramli, Rizal 2013, ‘Rizal Ramli: Politik Uang Telah Membunuh Demokrasi, dilihat pada 16 September 2013 <
http://www.rmol.co/read/2013/05/24/111785/Rizal-Ramli:-Politik-Uang-Telah-Membunuh-Demokrasi- >’
a. Pemberantasan Korupsi Level Aktor
Korupsi merupakan fenomena yang melibatkan aktor- aktor baik lembaga eksekuti, legislatif,
maupun yudikatif. Untuk itu, diperlukan pemberantasan korupsi dari level aktor. Masyarakat menilai
bahwa hukuman mati merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Namun hal ini jelas sulit diterapkan
karena hukuman mati hanya ditujukan pada pelaku Pasal 2 Ayat 1, dengan dilengkapi dengan keadaan
tertentu. Disamping itu, dari sisi hukum internasional, hukuman mati sebenarnya telah diwajibkan untuk
dihapuskan dalam UU negara anggota PBB, termasuk Indonesia9. Untuk itu diperlukan cara lain
pemberantasan korupsi yaitu dengan pertama adalah pemiskinan koruptor dan penangkapan anggota
keluarga yang terlibat dalam kasus korupsi. Penangkapan keluarga dapat menghadirkan efek jera,
sehingga keluarga mampu mengingatkan pejabat atau mereka yang akan melakukan korupsi10. Kedua,
penerapan sanksi sosial dengan cara pemborgolan dan penggunaan baju tahanan korupsi. Tidak hanya
itu, ketika para koruptor selesai menjalani hukumannya, merekajuga diharuskan untuk melakukan kerja
sosial selama beberapa tahun tanpa menerima upah. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, mereka
diwajibkan untuk mengenakan baju ‘Mantan Koruptor’. Dengan begitu, efek jera akan terbentuk
sehingga membuat orang enggan untuk melakukan korupsi.
Pemberantasan korupsi dari level aktor tersebut merupakan hal tambahan yang harus dilakukan
disamping melakukan hukuman kurungan maupun denda. Kesemua itu memang harus dilakukan agar
para koruptor merasa jera, di sisi lain dapat menjadi pendidikan dini bagi generasi bangsa untuk hidup
jujur.
b. Pemberantasan Korupsi dan Partai Politik
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa salah satu kondisi yang menyebabkan suburnya
korupsi di Indonesia adalah adanya kartelisasi partai politik. Kartelisasi menyebabkan partai mendekat
ke negara untuk meraih sumberdaya untuk dirinya. Pada titik inilah para tangan- tangan partai ikut
berlomba untuk mendapatkan keuntungan maksimal atau sering disebut berburu rente (rent seeking).
Untuk itu, diperlukan adanya pembenahan dalam tubuh kepartaian Indonesia, sehingga dapat
berkontribusi dalam pemberantasan korupsi. Pertama, diperlukan adanya penguatan ideologi partai
politik sehingga tidak lagi terjebak dalam kartelisasi. Harapannya, partai politik akan bergerak sesuai
dengan ideologi – meskipun terkadang harus menjadi oposisi. Dengan adanya hal ini, maka partai akan
9
Atmasasmita,
Romli
2008,’
Hukuman
Mati
untuk
Koruptor’
10
Nur Wahid, Hidayat 2005,’ Hukuman Mati untuk Koruptor’dilihat
http://antikorupsi.org/en/content/hukuman-mati-untuk-koruptor >
dilihat
pada
12
12
Oktober
September
2013
2013
<
saling mengawasi satu sama lain, sehingga checks and balances akan terbentuk. Bisa jadi para partai
memegang dan akan saling mengeluarkan ‘kartu as’, sehingga kasus korupsi akan mudah terbongkar.
Jika berbagai kasus terbongkar dan dipadukan dengan pendekatan aktor11, maka akan terbentuk efek jera
untuk korupsi. Kedua, diperlukan adanya lembaga yang menjadi intimidating power yang senantiasa
mengawasi partai politik yang berburu rente. Di Indonesia sudah ada KPK yang berperan penting dalam
proses tersebut. Namun kritik yang muncul akhir- akhir ini adalah KPK dinilai tebang pilih dalam
melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Indonesia dapat mencontoh Korea Selatan, dimana
negara tersebut juga mengalami perombakan sistem untuk mencegah korupsi. Pada tahun 1993- 1998,
terdapat penguatan dewan audit dan inspeksi (BAI), dan Komite Pencegahan Korupsi (CPC) dimana
bertugas sebagai penasehat BAI; Pada tahun 2000, Korsel juga membangun landasan hukum yang kuat
berupa UU Anti Korupsi dan UU Pencegahan Pencucian Uang. Berlanjut pada tahun 2002-2008
terdapat beberapa perubahan diantaranya adalah dibentuklah Korea Independent Commission Against
Corruption (KICAC) yang mengimplementasikan kebijakan mengenai 1) perbaikan kelembagaan untuk
pencegahan korupsi,(2) penanganan laporan korupsi; (3) melindungidan memberi penghargaan kepada
whistle- blower ,(4) penilaian kegiatan anti-korupsi, serta(5) meningkatkan kesadaran publik tentang isu
korupsi melalui kode etik bagi para pejabat publik dan pelatihan anti-korupsi12. KICAC berkerjasama
dengan Badan Audit, Kepolisian, Kejaksaan Agung untuk memberantas korupsi. Jika diamati lebih jauh,
pada tahun 2008- 2013 KICAC diganti dengan Komisi Anti-Korupsi dan Hak Sipil (ACRC) pada
tanggal 29 Februari 2008 yang mana merupakan integrasi dari Ombudsman Korea, Komisi Independen
Anti Korupsi Korea (KICAC) danKomisi Banding Administratif. Konsolidasi inilah yang memberikan
pelayanan satu atap kepada masyarakat terkait pengaduan, pengajuan banding administratif, sekaligus
pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi ala Korea Selatan ini bisa dijadikan referensi tambahan
dalam mengelola organisasi pemberantasan korupsi di Indonesia.
D. KESIMPULAN
Realitas maraknya korupsi di Indonesia bukanlah isapan jempol semata. Data menyebutkan
bahwa mayoritas kasus terjadi pada lembaga eksekutif dan legislatif. Di samping itu, jika dilakukan
analisa mendalam, korupsi Indonesia sudah bersifat sistemik dimana antar sektor saling kerjasama untuk
melakukan korupsi berjamaah. Ini merupakan PR terbesar bangsa untuk segera memikirkan strategi
tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
11
Pendekatan aktor merupakan mekanisme pemberantasan korupsi dari level pelaku, seperti yang telah dipaparkan dalam
point (a)
12
Gae Ok Park,Korea’s Policies and Instruments to Manage Conflict of Interest, dilihat pada 13 Oktober 2013
< http://www.oecd.org/site/adboecdanti-corruptioninitiative/39368038.pdf>
Uraian di atas telah membuka mata kita bahwa korupsi tidak cukup jika hanya dilakukan dengan
pendekatan aktor pelaku. Lebih dari itu, diperlukan adanya perhatian khusus pada kondisi kepartaian di
Indonesia. Kondisi partai di Indonesia kini terjebak dalam kartelisasi, dimana mereka hanya mencari
keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara mendekati negara. Disinilah korupsi sistemik kian marak
terjadi, dibarengi dengan memudarnya checks and balances antar aktor politik. Jika kondisi ini tidak
dibenahi, dapat dipastikan bahwa korupsi sistemik kian subur.
Melalui telaah inilah, penulis menawarkan sinergi dua pendekatan aktor dan kepartaian dalam
pemberantasan korupsi sistemik di Indonesia. Dari pendekatan aktor, hal yang harus dilakukan adalah
pemiskinan koruptor dan penangkapan anggota keluarga yang terlibat dalam kasus korupsi; serta
penerapan sanksi sosial dengan cara pemborgolan dan penggunaan baju tahanan korupsi. Sedangkan
dari segi kepartaian, hal yang dapat dilakukan adalah penguatan ideologi partai politik sehingga tidak
lagi terjebak dalam kartelisasi; serta diperlukan adanya lembaga yang menjadi intimidating power yang
senantiasa mengawasi partai politik yang berburu rente. Dengan diberlakukannya dua metode sekaligus,
maka pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara terpadu sehingga hasilnya dapat sesuai dengan
harapan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ambardi, Kuskridho 2009, The Making of Indonesian Multyparty System : A Cartelized Party System
and Its Origin, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, h – 290
Törnquist, O, Webster, N, Stokke, K, 2009, Rethinking popular representation, Palgrave MacMillan,
New York
Boboy, Max 1994, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Supriyanto, Didik & Wulandari, Lia 2013, Basa-Basi Dana Kampanye Pengabaian Prinsip
Transparansi Dan Akuntabilitas Peserta Pemilu, Yayasan Perludem, Jakarta Selatan
Ramli, Rizal 2013, ‘Rizal Ramli: Politik Uang Telah Membunuh Demokrasi, dilihat pada 16 September
2013
<
http://www.rmol.co/read/2013/05/24/111785/Rizal-Ramli:-Politik-Uang-TelahMembunuh-Demokrasi- >’
Alim, Hifdzil 2013, ‘Pukat UGM: Modus Korupsi Semakin Lama Semakin Sistemik’, dilihat pada 28
September
2013
Atmasasmita, Romli 2008,’ Hukuman Mati untuk Koruptor’ dilihat 12 Oktober 2013
Nur Wahid, Hidayat 2005,’ Hukuman Mati untuk Koruptor’dilihat pada 12 September 2013 <
http://antikorupsi.org/en/content/hukuman-mati-untuk-koruptor >
Gae Ok Park,Korea’s Policies and Instruments to Manage Conflict of Interest, dilihat pada 13 Oktober
2013 < http://www.oecd.org/site/adboecdanti-corruptioninitiative/39368038.pdf>
______2012,’Potensi Kerugian Negara Umumnya pada Pengadaan Barang dan Jasa’, dilihat 26 Oktober
2012
CORRUPTION PERCEPTIONS INDEX 2012, dilihat pada 28 September 2013
Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu 1750, The Spirit of Laws, dilihat pada
28 September 2013< http://global.britannica.com/EBchecked/topic/560421/The-Spirit-of-Laws>
"Revolusi Politik Berantas Korupsi Sistemik"
SINERGI DUA PENDEKATAN : SEBUAH REVOLUSI POLITIK PEMBERANTASAN
KORUPSI SISTEMIK
Studi Terhadap Pendekatan Aktor dan Kepartaian dalam Pemberantasan Korupsi Sistemik di Indonesia
Disusun oleh:
Nama : Desiana Rizka Fimmastuti
NIM : 10/ 305078/ SP/ 24358
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
SINERGI DUA PENDEKATAN : SEBUAH REVOLUSI POLITIK PEMBERANTASAN
KORUPSI SISTEMIK
Studi Terhadap Pendekatan Aktor dan Kepartaian dalam Pemberantasan Korupsi Sistemik di
Indonesia
A. PENDAHULUAN
Kesejahteraan dan kehidupan yang layak merupakan dambaan setiap lapisan masyarakat. Untuk
mewujudkannya diperlukan peran dari berbagai pihak, salah satunya adanya negara yang memiliki
otoritas tertinggi untuk mengelola dan mewujudkan cita- cita tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa
negara memiliki power yang begitu besar. Namun realitasnya, kekuasaan tersebut acap kali
disalahgunakan, seperti yang terjadi di Perancis. Dalam buku L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws)
dipaparkan bahwa negara, yang digambarkan oleh para raja Bourbon memiliki sifat despotis1. Inilah
yang mengakibatkan kesejahteraan rakyat dapat dipertanyakan ulang.
Guna mencegah adanya penyalahgunaan kekuasaan, memang diperlukan dispertion of power
untuk membagi kekuasaan tersebut. Hal ini senada dengan Montesqiueu (1750) melalui gagasannya
mengenai Trias Politica, yaitu mana memisahkan negara kedalam 3 bentuk kekuasaan yaitu eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Konsep ini telah diterapkan di Indonesia, dengan kekuasaan eksekutif diwakili
oleh pemerintah, legislatif oleh wakil rakyat, serta kekuasaan yudikatif diwakili oleh peradilan.
Harapannya pemerintah tidak lagi berlaku sewenang- wenang, akan tetapi lebih demokratis dimana
melibatkan rakyat dalam setiap kebijakan. Dengan begitu, kesejahteraan rakyat akan segara terwujud.
Namun, lain yang terjadi di Indonesia dimana para pemilik otoritas justru bekerjasama untuk
melakukan penyelewengan. Korupsi menjadi salah satu contohnya. Korupsi tidak lagi terjadi secara
perseorangan, akantetapi dilakukan secara bersama-sama melalui sebuah persekongkolan. Ironisnya,
fenomena tersebut juga tidak lepas dari keberadaan partai politik – selaku agen pemasok calon
pemimpin bangsa. Jelas terlihat bahwa korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistemik dimana
melibatkan banyak pihak dalam prakteknya. Inilah yang menyebabkan kesejahteraan rakyat Indonesia
belum terwujud hingga kini.
Atas dasar itulah korupsi harus segera diprioritaskan penyelesaiannya agar publik tidak lagi
dirugikan. Sejauh ini, pemberantasan korupsi sejauh ini hanya berkutat pada aktor semata, akan tetapi
lebih dari itu belum terlihat adanya pembenahan dari kondisi partai politik selaku ‘pemasok’ para
1
Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu 1750, The Spirit of Laws, dilihat pada 28 September
2013< http://global.britannica.com/EBchecked/topic/560421/The-Spirit-of-Laws>
pejabat publik. Dengan demikian, menjadi penting untuk dipikirkan sinergi pemberantasan korupsi
terhadap pelaku dan diiringi adanya pembenahan kondisi kepartaian di Indonesia.
Pada kasus ini, penulis ingin memfokuskan pada fenomena kartelisasi akibat atas adanya
‘pencarian’ pendanaan partai politik. Hal ini didasari oleh adanya fenomena bahwa pendanaan partai
merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi adanya korupsi para pejabat publik. Untuk itu,
tulisan ini berusaha memberikan solusi pemberantasan korupsi dari berbagai sudut sehingga tiada celah
dan tiada akar yang tersisa bagi bibit korupsi di Indonesia.
B. TERKUAKNYA
KORUPSI
SISTEMIK
DALAM
OTORITAS
NEGARA:
PENERAWANGAN DARI SISI AKTOR DAN KETERLIBATAN PARPOL
Ironis memang, Ibu Pertiwi kini menjadi ladangnya para koruptor Indonesia. Satu per satu
korupsi telah terkuak dihadapan publik. Tak ayal jika nilai CPI Indonesia mencapai angka 4 pada tahun
20122. Inilah yang menggambarkan bahwa korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Realitanya, korupsi
di Indonesia telah terjadi secara sistemik, dimana pelaku kini beragam, dan mereka saling bekerjasama
satu sama lain. Berikut adalah data yang menunjukkan pelaku korupsi berdasarkan jabatan dari tahun
2004 hingga tahun 2013.
Tabel 1. Data Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan
Tahun 2004-2013 (per 31 Agustus 2013)
Sebelum menganalisa tabel di atas, harus diketahui bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia
sudah akut dan telah terjadi secara sistemik terutama pada segi modus. Jika kita melihat korupsi dapat
Jabatan
Anggota DPR dan
DPRD
Kepala
Lembaga/Kementerian
Duta Besar
Komisioner
Gubernur
Walikota/Bupati dan
Wakil
Eselon I, II dan III
Hakim
Swasta
Lainnya
Jumlah Keseluruhan
dilak
2004
0
2005
0
2006
0
2007
2
2008
7
2009
8
2010
27
2011
5
2012
16
2013
7
Jml
72
0
1
1
0
1
1
2
0
1
2
9
mela
0
0
1
0
0
3
0
0
0
2
2
3
2
1
0
7
1
1
2
5
0
0
2
5
1
0
1
4
0
0
0
4
0
0
0
4
0
0
1
2
4
7
9
34
lui
2
0
1
0
4
9
0
4
6
23
15
0
5
1
29
10
0
3
2
27
22
0
12
4
55
14
0
11
4
45
12
1
8
9
65
15
2
10
3
39
8
2
16
3
50
7
3
17
9
48
114
8
87
41
385
ukan
tiga
sudut
pand
ang,
yaitu subjek, sektor atau objek, dan modus. Pada segi subjek, dapat dilihat bahwa sejak tahun 2008 para
2
CORRUPTION
PERCEPTIONS
INDEX
2012,
dilihat
pada
28
September
2013
pelaku korupsi rata- rata berasal dari kalangan pejabat pemerintahan, sedangkan sektornya fokus pada
pemerintah daerah atau pemerintah pusat (Alim, Hifdzil 2013) . Hal ini didukung dengan paparan data
di atas bahwa korupsi didominasi oleh aktor yang menduduki jabatan legislatif (total : 72) dan jabatan
eksekutif (total : 114) semenjak tahun 2004 hingga 2013.
Apabila dilakukan zoom in, mayoritas korupsi terjadi di sektor pengadaan barang atau jasa
dengan nilai kerugian negara hampir mencapai Rp 12,5 triliun selama semester pertama tahun 20123.
Berdasarkan pemantauan dari ICW, selama periode semester I tahun 2012, kasus korupsi tertinggi
terjadi di sektor infrastruktur atau sektor pengadaan barang dan jasa dengan jumlah kasus sebanyak 87
kasus. Sedangkan dari segi modus, terlihat bahwa modus operandi korupsi Indonesia terlihat semakin
sistemik. Korupsi yang terjadi di Indonesia tidak hanya melibatkan satu sektor, akan tetapi lebih dari itu.
Praktik korupsi dahulu terlihat lebih sederhana, dimana koruptor membuat kuitansi fiktif. Sedangkan
pada saat ini, korupsi dilakukan dengan didahului oleh deal- deal satu sama lain (Alim, Hifdzil 2013),
sehingga akan saling menguntungkan semua pihak yang terlibat.
Perkembangan korupsi yang terlihat semakin sistemik menunjukkan bahwa koruptor semakin
canggih dalam beraksi. Setidaknya begitulah yang terjadi pada mayoritas kasus korupsi di Indonesia,
salah satunya terlihat dalam kasus Wisma Atlet. Pada kasus tersebut terdapat prosedur yaitu pelelangan
tender yang harus dipenuhi. Akan tetapi, jika diamati lebih dalam terdapat skenario yang telah mengatur
pemenang tender tersebut sedari awal. Pada kasus yang panas itu, Muhammad Nazaruddin berhasil
melarikan diri ke Singapura sebelum ditangkap oleh KPK, hal tersebut bukanlah atas usahanya sendiri.
Akan tetapi terdapat keterlibatan ‘sektor-sektor’ lain yang memungkinkannya untuk melarikan diri ke
luar negeri (Alim, Hifdzil 2013). Dari kasus ini, terlihat bahwa banyak aktor yang terlibat dalam korupsi
ini.
Dari paparan kasus tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa korupsi sistemik di Indonesia
dapat dilakukan oleh legislatif, eksekutif, dan juga yudikatif. Koruptor menjadi aktor yang layak
disalahkan. Namun tidak semua orang menyadari bahwa, terdapat aktor lain yang ikut
‘bertanggungjawab’ atas keseluruhan korupsi yang terjadi yaitu partai politik. Hal ini dikarenakan dalam
era demokrasi seperti saat ini, partai politik memegang kendali besar atas keberadaan aktor- aktor
publik. Di Indonesia, partai politik menjagokan kandidatnya sebagai presiden. Pada proses ini, akan
terjadi koalisi antar partai, yang mana kelak akan diberi imbalan ‘jasa’ berupa jabatan mentri dan posisi
strategis lainnya. Tidak hanya itu, partai politik juga berperan dalam menempatkan kadernya untuk
menduduki jabatan legislatif. Para legislator inilah yang memiliki peran begitu banyak, diantaranya
3
______2012,’Potensi Kerugian Negara Umumnya pada Pengadaan Barang dan Jasa’, dilihat 26 Oktober 2012
adalah penganggaran, perumusan perundang- undangan, pengawasan, dan sebagainya4. Jabatan dan
kewenangan para aktor inilah yang acap kali diselewengkan, untuk kepentingan dirinya dan
golongannya.
Idealnya, partai politik akan mengontrol para kadernya untuk bekerja sesuai dengan ideologi dan
kepentingan konstituennya yang berada di level grassroot. Dengan demikian sistem demokrasi yang
dibangun akan berjalan dengan baik, dimana masyarakat akan menyalurkan aspirasi via partai,
kemudian partai – melalui para wakilnya akan mengejawantahkan dalam public policy5. Namun yang
terjadi di Indonesia adalah para pejabat publik justru saling bekerjasama untuk melakukan korupsi.
Mereka justru menyalahgunakan jabatan untuk kepentingannya sendiri dan partainya.
Kondisi para pejabat publik yang memprihatinkan tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor.
Salah satu yang akan dianalisa dalam tulisan ini adalah keterlibatan partai politik dalam perlombaan
mencari keuntungan. Kondisi kepartaian di Indonesia kini begitu pelik, dimana terjadi kartelisasi dalam
tubuh partai6. Karetelisasi didefinisikan sebagai situasi dimana parpol mengabaikan komitmen ideologis
dan programatis mereka, demi kelangsungan hidup mereka sendiri. Mereka justru melakukan deal- deal
agar kebijakan dan setiap pasal dalam perundang- undangan dapat menguntungkan mereka. Mereka
melakukan kartelisasi untuk mendapatkan kekuasaan dan akhirnya bisa jadi menjadi salah satu jalan
melakukan distorsi. Ini didasari oleh adanya pendanaan partai politik yang beperan penting dalam
perebutan kekuasaan pada periode selanjutnya.
Tabel 2: Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2004 Dan Pemilu 20097
PartaiPolitik
Partai Golkar
PDIP
PKB
PPP
Partai Demokrat
PAN
PKS
Jumlah
Pemilu 2004 (RP)
112.791.035.149
111.435.731.096
7.223.761.480
n/a
9.040.910.780
27.342.426.509
29.795.410.385
297.629.275.399
Pemilu 2009 (RP)
145.583.002.911
38.944.436.113
3.609.500.000
18.338.239.000
235.168.086.289
17.858.157.150
36.521.468.175
496.022.889.638
Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa political cost yang dipakai partai politik secara umum
sangatlah tinggi, dan mayoritas partai akan mengelurakan dana yang tinggi dari pemilu ke pemilu
selanjutnya. Tidak hanya itu, biaya politik yang digunakan untuk modal menjadi calon legislatif
4
Boboy, Max 1994, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan Tata Negara,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Törnquist, O, Webster, N, Stokke, K, 2009, Rethinking popular representation, Palgrave MacMillan, New York
6
Ambardi, Kuskridho 2009, The Making of Indonesian Multyparty System : A Cartelized Party System and Its Origin,
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, h - 290
5
7
Supriyanto, Didik & Wulandari, Lia 2013, Basa-Basi Dana Kampanye Pengabaian Prinsip Transparansi Dan Akuntabilitas Peserta
Pemilu, Yayasan Perludem, Jakarta Selatan
mencapai 1- 3 Milyar8. Mereka menginginkan adanya balik modal, sehingga berkecenderungan untuk
masuk dalam kartelisasi yang berujung korupsi. Dengan menilik uraian tersebut, jelas sudah bahwa akar
korupsi sistemik di Indonesia tidak hanya dari aktor, akan tetapi juga dari kondisi kepartaian itu sendiri.
KARTELISASI
(Nuansa Nonkompetitif,
Rent Seeking)
-
Political Cost tinggi
Perebutan dana untuk
modal partai
Peraturan yang
kurang ketat
-
Korupsi Sistemik
Kebijakan Tidak Pro
Rakyat
Hilangnya Checks and
Balances
MENYUBURNYA
KORUPSI
Gambar 1. Kaitan Antara Kondisi Kepartaian Dengan Korupsi
Gambar di atas menunjukkan bahwa kartelisasi dan korupsi sistemik dalam kondisi kepartaian di
Indonesia berakibat pada minimnya checks and balances. Hal ini bisa disebabkan adanya kartelisasi
partai politik, sehingga abai terhadap kesejahteraan rakyat. Mereka ingin menyejahterakan partainya,
sehingga korupsi menjadi salah satu jalan menggiurkan. Dana inilah yang digunakan untuk cost politik
selanjutnya, sehingga partai mereka tetap eksis. Dengan menggunakan dana inilah, para partai politik
akan berkontestasi untuk memenangkan kandidatnya, dan menguasai sumberdaya.
C. REVOLUSI POLITIK PEMBERANTASAN KORUPSI : TELAAH DARI SISI
KEPARTAIAN DAN SISI AKTOR
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa korupsi sistemik berasal dari motif aktor. Akan tetapi
lebih dari itu, korupsi tersebut juga erat kaitannya dengan kondisi partai politik di Indonesia yang tengah
terjebak kartelisasi. Partai politik tidak memiliki ideologi yang mengakar pada para kadernya, sehingga
para pejabat publik tidak memiliki visi yang jelas – untuk menampung aspirasi dan mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Dengan begitu, mereka memiliki kecenderungan untuk bekerja untuk dirinya
sendiri (rent seeking). Untuk itu, diperlukan adanya pemberantasan korupsi yang dapat dimulai dari
ranah aktor, dan dibarengi dengan pembenahan dalam kepartaian Indonesia.
8
Ramli, Rizal 2013, ‘Rizal Ramli: Politik Uang Telah Membunuh Demokrasi, dilihat pada 16 September 2013 <
http://www.rmol.co/read/2013/05/24/111785/Rizal-Ramli:-Politik-Uang-Telah-Membunuh-Demokrasi- >’
a. Pemberantasan Korupsi Level Aktor
Korupsi merupakan fenomena yang melibatkan aktor- aktor baik lembaga eksekuti, legislatif,
maupun yudikatif. Untuk itu, diperlukan pemberantasan korupsi dari level aktor. Masyarakat menilai
bahwa hukuman mati merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Namun hal ini jelas sulit diterapkan
karena hukuman mati hanya ditujukan pada pelaku Pasal 2 Ayat 1, dengan dilengkapi dengan keadaan
tertentu. Disamping itu, dari sisi hukum internasional, hukuman mati sebenarnya telah diwajibkan untuk
dihapuskan dalam UU negara anggota PBB, termasuk Indonesia9. Untuk itu diperlukan cara lain
pemberantasan korupsi yaitu dengan pertama adalah pemiskinan koruptor dan penangkapan anggota
keluarga yang terlibat dalam kasus korupsi. Penangkapan keluarga dapat menghadirkan efek jera,
sehingga keluarga mampu mengingatkan pejabat atau mereka yang akan melakukan korupsi10. Kedua,
penerapan sanksi sosial dengan cara pemborgolan dan penggunaan baju tahanan korupsi. Tidak hanya
itu, ketika para koruptor selesai menjalani hukumannya, merekajuga diharuskan untuk melakukan kerja
sosial selama beberapa tahun tanpa menerima upah. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, mereka
diwajibkan untuk mengenakan baju ‘Mantan Koruptor’. Dengan begitu, efek jera akan terbentuk
sehingga membuat orang enggan untuk melakukan korupsi.
Pemberantasan korupsi dari level aktor tersebut merupakan hal tambahan yang harus dilakukan
disamping melakukan hukuman kurungan maupun denda. Kesemua itu memang harus dilakukan agar
para koruptor merasa jera, di sisi lain dapat menjadi pendidikan dini bagi generasi bangsa untuk hidup
jujur.
b. Pemberantasan Korupsi dan Partai Politik
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa salah satu kondisi yang menyebabkan suburnya
korupsi di Indonesia adalah adanya kartelisasi partai politik. Kartelisasi menyebabkan partai mendekat
ke negara untuk meraih sumberdaya untuk dirinya. Pada titik inilah para tangan- tangan partai ikut
berlomba untuk mendapatkan keuntungan maksimal atau sering disebut berburu rente (rent seeking).
Untuk itu, diperlukan adanya pembenahan dalam tubuh kepartaian Indonesia, sehingga dapat
berkontribusi dalam pemberantasan korupsi. Pertama, diperlukan adanya penguatan ideologi partai
politik sehingga tidak lagi terjebak dalam kartelisasi. Harapannya, partai politik akan bergerak sesuai
dengan ideologi – meskipun terkadang harus menjadi oposisi. Dengan adanya hal ini, maka partai akan
9
Atmasasmita,
Romli
2008,’
Hukuman
Mati
untuk
Koruptor’
10
Nur Wahid, Hidayat 2005,’ Hukuman Mati untuk Koruptor’dilihat
http://antikorupsi.org/en/content/hukuman-mati-untuk-koruptor >
dilihat
pada
12
12
Oktober
September
2013
2013
<
saling mengawasi satu sama lain, sehingga checks and balances akan terbentuk. Bisa jadi para partai
memegang dan akan saling mengeluarkan ‘kartu as’, sehingga kasus korupsi akan mudah terbongkar.
Jika berbagai kasus terbongkar dan dipadukan dengan pendekatan aktor11, maka akan terbentuk efek jera
untuk korupsi. Kedua, diperlukan adanya lembaga yang menjadi intimidating power yang senantiasa
mengawasi partai politik yang berburu rente. Di Indonesia sudah ada KPK yang berperan penting dalam
proses tersebut. Namun kritik yang muncul akhir- akhir ini adalah KPK dinilai tebang pilih dalam
melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Indonesia dapat mencontoh Korea Selatan, dimana
negara tersebut juga mengalami perombakan sistem untuk mencegah korupsi. Pada tahun 1993- 1998,
terdapat penguatan dewan audit dan inspeksi (BAI), dan Komite Pencegahan Korupsi (CPC) dimana
bertugas sebagai penasehat BAI; Pada tahun 2000, Korsel juga membangun landasan hukum yang kuat
berupa UU Anti Korupsi dan UU Pencegahan Pencucian Uang. Berlanjut pada tahun 2002-2008
terdapat beberapa perubahan diantaranya adalah dibentuklah Korea Independent Commission Against
Corruption (KICAC) yang mengimplementasikan kebijakan mengenai 1) perbaikan kelembagaan untuk
pencegahan korupsi,(2) penanganan laporan korupsi; (3) melindungidan memberi penghargaan kepada
whistle- blower ,(4) penilaian kegiatan anti-korupsi, serta(5) meningkatkan kesadaran publik tentang isu
korupsi melalui kode etik bagi para pejabat publik dan pelatihan anti-korupsi12. KICAC berkerjasama
dengan Badan Audit, Kepolisian, Kejaksaan Agung untuk memberantas korupsi. Jika diamati lebih jauh,
pada tahun 2008- 2013 KICAC diganti dengan Komisi Anti-Korupsi dan Hak Sipil (ACRC) pada
tanggal 29 Februari 2008 yang mana merupakan integrasi dari Ombudsman Korea, Komisi Independen
Anti Korupsi Korea (KICAC) danKomisi Banding Administratif. Konsolidasi inilah yang memberikan
pelayanan satu atap kepada masyarakat terkait pengaduan, pengajuan banding administratif, sekaligus
pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi ala Korea Selatan ini bisa dijadikan referensi tambahan
dalam mengelola organisasi pemberantasan korupsi di Indonesia.
D. KESIMPULAN
Realitas maraknya korupsi di Indonesia bukanlah isapan jempol semata. Data menyebutkan
bahwa mayoritas kasus terjadi pada lembaga eksekutif dan legislatif. Di samping itu, jika dilakukan
analisa mendalam, korupsi Indonesia sudah bersifat sistemik dimana antar sektor saling kerjasama untuk
melakukan korupsi berjamaah. Ini merupakan PR terbesar bangsa untuk segera memikirkan strategi
tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
11
Pendekatan aktor merupakan mekanisme pemberantasan korupsi dari level pelaku, seperti yang telah dipaparkan dalam
point (a)
12
Gae Ok Park,Korea’s Policies and Instruments to Manage Conflict of Interest, dilihat pada 13 Oktober 2013
< http://www.oecd.org/site/adboecdanti-corruptioninitiative/39368038.pdf>
Uraian di atas telah membuka mata kita bahwa korupsi tidak cukup jika hanya dilakukan dengan
pendekatan aktor pelaku. Lebih dari itu, diperlukan adanya perhatian khusus pada kondisi kepartaian di
Indonesia. Kondisi partai di Indonesia kini terjebak dalam kartelisasi, dimana mereka hanya mencari
keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara mendekati negara. Disinilah korupsi sistemik kian marak
terjadi, dibarengi dengan memudarnya checks and balances antar aktor politik. Jika kondisi ini tidak
dibenahi, dapat dipastikan bahwa korupsi sistemik kian subur.
Melalui telaah inilah, penulis menawarkan sinergi dua pendekatan aktor dan kepartaian dalam
pemberantasan korupsi sistemik di Indonesia. Dari pendekatan aktor, hal yang harus dilakukan adalah
pemiskinan koruptor dan penangkapan anggota keluarga yang terlibat dalam kasus korupsi; serta
penerapan sanksi sosial dengan cara pemborgolan dan penggunaan baju tahanan korupsi. Sedangkan
dari segi kepartaian, hal yang dapat dilakukan adalah penguatan ideologi partai politik sehingga tidak
lagi terjebak dalam kartelisasi; serta diperlukan adanya lembaga yang menjadi intimidating power yang
senantiasa mengawasi partai politik yang berburu rente. Dengan diberlakukannya dua metode sekaligus,
maka pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara terpadu sehingga hasilnya dapat sesuai dengan
harapan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ambardi, Kuskridho 2009, The Making of Indonesian Multyparty System : A Cartelized Party System
and Its Origin, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, h – 290
Törnquist, O, Webster, N, Stokke, K, 2009, Rethinking popular representation, Palgrave MacMillan,
New York
Boboy, Max 1994, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Supriyanto, Didik & Wulandari, Lia 2013, Basa-Basi Dana Kampanye Pengabaian Prinsip
Transparansi Dan Akuntabilitas Peserta Pemilu, Yayasan Perludem, Jakarta Selatan
Ramli, Rizal 2013, ‘Rizal Ramli: Politik Uang Telah Membunuh Demokrasi, dilihat pada 16 September
2013
<
http://www.rmol.co/read/2013/05/24/111785/Rizal-Ramli:-Politik-Uang-TelahMembunuh-Demokrasi- >’
Alim, Hifdzil 2013, ‘Pukat UGM: Modus Korupsi Semakin Lama Semakin Sistemik’, dilihat pada 28
September
2013
Atmasasmita, Romli 2008,’ Hukuman Mati untuk Koruptor’ dilihat 12 Oktober 2013
Nur Wahid, Hidayat 2005,’ Hukuman Mati untuk Koruptor’dilihat pada 12 September 2013 <
http://antikorupsi.org/en/content/hukuman-mati-untuk-koruptor >
Gae Ok Park,Korea’s Policies and Instruments to Manage Conflict of Interest, dilihat pada 13 Oktober
2013 < http://www.oecd.org/site/adboecdanti-corruptioninitiative/39368038.pdf>
______2012,’Potensi Kerugian Negara Umumnya pada Pengadaan Barang dan Jasa’, dilihat 26 Oktober
2012
CORRUPTION PERCEPTIONS INDEX 2012, dilihat pada 28 September 2013
Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu 1750, The Spirit of Laws, dilihat pada
28 September 2013< http://global.britannica.com/EBchecked/topic/560421/The-Spirit-of-Laws>