Hubungan Antara Keterbukaan Terhadap Pengalaman Dan Efikasi Diri Dengan Kreativitas

Persona, Jurnal Psikologi Indonesia
September 2014, Vol. 3, No. 03, hal 195 - 204

Hubungan Antara Keterbukaan Terhadap Pengalaman
Dan Efikasi Diri Dengan Kreativitas
Paksi Caponti Putra

Niken Titi Pratitis

Reswara Malang

Dosen Tetap Fakultas Psikologi
Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya

e-mail: paksicaponti@gmail.com

e-mail: nickpanthera@gmail.com

Abstract. This research was conducted to determine the relation of openness to experience
and self efficacy to creativity with 105 college students of letters faculty in 17 Agustus

University Surabaya (78 respondents from english language course and 27 respondents
from japanese language course). The instruments was used creativity scale (based on
Suharnan’s psycho-component theory), openness to experience scale, and self efficacy
scale.The result showed that openness to experience scale and self efficacy was
significantly correlated to creativity shown by the calculated F value 55,353 which at p
value 0,000 (p < 0,01). The coefficient of determination was 0,520 so that it means both of
independet variables (openness to experience scale and self efficacy) has jointly
contributed 52% to dependent variable (creativity). The determination percentage revealed
that self efficacy gives much more efficient contribution (46,332%) than openness to
experience does (5,714%).
Keywords: Creativity, oppenness to experience, self efficacy
Intisari. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara keterbukaan terhadap
pengalaman dan efikasi diri dengan kreativitas dengan melibatkan 105 mahasiswa fakultas
sastra di Universitas 17 Agustus Surabaya (78 mahasiswa bahasa Inggris dan 27 mahasiswa
bahasa Jepang). Alat ukur yang digunakan antara lain skala kreativitas (berdasarkan teori
Psiko Komponen Suharnan), skala keterbukaan terhadap pengalaman, dan skala efikasi
diri.Hasilnya menunjukkan bahwa keterbukaan terhadap pengalaman dan efikasi diri
berkorelasi secara signifikan dengan kreativitas di mana nilai F sebesar 55,353 pada nilai p
sebesar 0,000 (p < 0,01). Koefisien determinasi sebesar 0,520, sehingga hal ini berarti
kedua variabel bebas (keterbukaan terhadap pengalaman dan efikasi diri) memberikan

sumbangan efektif secara bersama-sama sebesar 52% kepada variabel terikat (kreativitas).
Prosentase determinasi menunjukkan bahwa efikasi diri lebih memberikan sumbangan
efektif (46,332%) daripada keterbukaan terhadap pengalaman (5,714%).
Kata Kunci: Kreativitas, keterbukaan terhadap pengalaman, efikasi diri

Dewasa ini, di Indonesia khususnya, minat
masyarakat terhadap bahasa dan budaya asing
kian meningkat. Hal ini terlihat dari bermacammacam event yang dilangsungkan di beberapa
tempat ataupun acara-acara yang ditayangkan
lewat televisi. Minat tersebut lambat laun
merambat ke seluruh aspek khususnya dalam
dunia pendidikan.
Bahasa dan budaya asing dalam dunia pendidikan pada awalnya mungkin merupakan disiplin ilmu yang sebatas pada kebutuhan dan

pengetahuan, misalnya bahasa Arab yang biasa
digunakan di beberapa pondok pesantren.
Budaya pop Asia mulai menjadi tren ketika
film-film kartun dan komik diperkenalkan di
Indonesia, dan saat itulah budaya Jepang mulai
populer. Berbeda halnya dengan bahasa dan

budaya Cina yang dulu menjadi alat komunikasi
yang sebatas pada etnis tionghoa sendiri yang
bertempat tinggal di Indonesia. Gejolak reformasi di tahun 1998 dan kebijakan presiden

195

Hubungan Antara Keterbukaan Terhadap Pengalaman Dan Efikasi Diri Dengan Kreativitas

Habibie kala itu membawa bahasa dan budaya
mereka menjadi begitu populer hingga saat ini.
Berbicara mengenai bahasa dan budaya,
tentu berkaitan erat dengan kreativitas. Bentukbentuk riilnya dapat dirasakan lewat gubahan
sastra, lagu, pentas seni, dan lain sebagainya.
Masyarakat Indonesia pada awalnya memang
hanya sebagai penikmat atau penonton hasil
dari kreativitasnya, namun seiring berjalannya
waktu, masyarakat mulai ikut serta dalam
kegiatan-kegiatan tersebut. Kampus-kampus
yang memiliki fakultas sastra sudah pasti setiap
tahunnya menampilkan pentas seni dengan

nuansa budaya asing atau bahkan mengintegrasikannya dengan budaya Indonesia. Tidak
hanya dengan pentas seni, mereka juga menampilkan life style budaya asing, seperti fashion,
table manner, dan lain sebagainya.
Sesuatu yang dianggap kreatif tidak hanya
terbatas pada bidang seni, misalnya melukis,
musik, puisi, tulisan karangan, atau di lingkungan ilmu pengetahuan, misalnya konsep dan
teori baru, tetapi juga meliputi semua bidang
kehidupan manusia termasuk cara memasak,
komunikasi antar pribadi, metode penyembuhan
penyakit, pengembangan bibit tanaman dan
produk perdagangan, bahkan cara-cara memenangkan calon presiden di dalam suatu pemilihan umum (Suharnan, 2011).
Salah satu kampus yang dilibatkan dalam
penelitian ini adalah kampus Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya, khususnya fakultas
sastra. Hampir seluruh mahasiswa baik berasal
dari program studi bahasa Jepang maupun
program studi bahasa Inggris bersama-sama
membuat suatu event (sering disebut bunkasai)
pada setiap tahunnya. Desain event pun beraneka ragam mulai dari seminar hingga pentas
seni. Tidak jarang juga mereka yang terlibat di

dalam event tersebut diwawancarai oleh media
massa dan hasil dari wawancara tersebut ditulis
dalam koran. Hal ini merupakan prestasi dan
kebanggan tersendiri bagi mereka sebagai
mahasiswa fakultas sastra.
Budaya Asia (contohnya Jepang atau Korea)
memang menawarkan berbagai macam pilihan
untuk dipelajari, diminati, dan dicoba. Baik
mahasiswa bahasa Jepang maupun Inggris
setiap tahunnya selalu mempelajari serta
mempraktekkan hal-hal baru yang kemudian

diterapkan lewat pesta seni tersebut. Keterbukaan, keterlibatan, dan keinginan untuk mencoba-coba sensasi budaya asing inilah yang
sebenarnya dapat memicu daya kreativitas mereka. Terlepas dari kemampuan mereka memahami budaya tersebut, mereka akan tetap mencobanya.
Menurut Suharnan (2011), kreativitas adalah
aktivitas pikiran yang bertujuan untuk membuat
gagasan-gagasan, tindakan-tindakan, dan karyakarya baru yang memiliki nilai manfaat, dan
untuk itu diperlukan sejumlah komponen yang
berasal dari sumber yang berbeda. Beberapa di
antaranya adalah daya nalar yang baik, motivasi

untuk tumbuh dan berkembang dengan baik
serta memiliki rasa ingin tahu yang besar,
memiliki ketahanan mental, dan menyukai tantangan.
Pencapaian dan kesempatan yang terbuka
lebar tersebut rupanya masih kurang diikuti
oleh kemampuan mahasiswa dalam berinovasi
dan berimprovisasi dalam menyelenggara-kan
bunkasai atau event, khususnya konten-konten
acara dan hal-hal unik yang dapat ditawarkan
dan memiliki nilai jual. Bagi penikmat dan
pihak-pihak yang terlibat tentu selalu mengharapkan adanya perubahan yang berbeda dari
pada tahun-tahun sebelumnya.
Tidak hanya soal bunkasai, dalam hal mengerjakan tugas-tugas dan pemberian gagasan,
para mahasiswa kurang aktif dan dinamis.
Misalnya, tugas mengarang yang kontenkontennya masih terkesan umum, mudah, dan
biasa saja, kemudian tema-tema yang diangkat
atau diajukan untuk dipresentasikan masih memiliki keunikan, orisinalitas, dan variasi yang
kurang menonjol, terlebih hal tersebut masih
dimaklumi oleh para dosen. Kondisi demikian
tidak hanya membuat sebagian mahasiswa

kurang tertantang sehingga merasa jenuh untuk
mengikuti perkuliahan, tetapi juga keingintahuan dan improvisasi diri menjadi kurang berkembang.
Kendala dalam peningkatan kreativitas tidak
hanya tampak pada mahasiswa saja, namun juga
pada dosen-dosennya. Sebagian besar isi perkuliahan adalah proses belajar mengajar yang
masih terkesan konvensional, sehingga pemberian insentif, seperti referensi buku atau jurnal
yang menarik dan pemanfaatan sarana audio-

196

Paksi Caponti Putra dan Niken Titi Pratitis

visual, kurang dirasakan oleh mahasiswa. Hal
ini membuat mahasiswa kurang terdorong untuk
meningkatkan aktivitas pikirannya sehingga
wawasan kurang luas, menganggap hal-hal
baru/tidak biasa menjadi terasa aneh, dan kurang peka akan masalah-masalah.
Menurut Sung dan Choi (2009), kreativitas
bahwasannya selalu berasal dari gagasan yang
asing dan tidak biasa yang mana dianggap hal

yang „salah‟ oleh orang pada umumnya. Individu yang memiliki keterbukaan terhadap pengalaman dapat bersikap fleksibel terhadap gagasan
yang asing meskipun hal tersebut belum teruji
atau aneh.
Suharnan (2011) menyatakan bahwa orangorang yang kreatif memiliki sikap terbuka
terhadap pengetahuan dan pengalaman lain atau
baru, serta di samping itu juga sangat terbuka
bagi masuknya berbagai informasi baik yang
berasal dari lingkungan maupun pengalaman
pribadi.
Berdasarkan dua pendapat di atas, dapat
dipahami bahwa untuk menjadi kreatif perlu
adanya kemauan dan kesediaan untuk mencoba
hal-hal yang asing atau baru, baik berupa
gagasan maupun tindakan. Tidak berbeda halnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman,
dalam meningkatkan kreativitas butuh pula
adanya efikasi diri. Sebagian besar mahasiswa
sastra Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
sesungguhnya siap dan mampu untuk melakukan sesuatu hal dan melakukan aktivitas yang
baru dan menarik, tidak hanya dalam akademik
(seperti membuat cerita dan percakapan) namun

juga dalam menyelenggarakan buunkasai tersebut.
Bandura (dalam Santrock, 2010) menyatakan
bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang
untuk mampu menguasai situasi dan memproduksi hasil positif. Seseorang yang memiliki
efikasi diri yang tinggi setuju dengan pernyataan seperti “saya tahu bahwa saya akan mampu
menguasai materi ini” dan “saya akan bisa
mengerjakan ini”.
Orang yang menganggap dirinya memiliki
tingkat kecakapan diri cukup tinggi akan berusaha lebih keras, berprestasi lebih banyak, dan
lebih gigih dalam menjalankan tugas daripada
yang menganggap kecakapan dirinya rendah
(Hergenhahn & Olson, 2008).

Modal efikasi diri ini merupakan aset berharga dalam menghasilkan tindakan-tindakan
kreatif. Mungkin hal ini belum terlalu disadari
baik oleh mahasiswa maupun dosen. Aktivitasaktivitas di kampus yang sedikit monoton
/kurangnya dinamika aktivitas, permasalahan
yang kurang variatif, serta benturan-benturan
kepentingan pribadi bisa menjadi penyebabnya.
Bandura (2007, dalam Prabhu, Sutton, dan

Suser, 2008) menekankan bahwa efikasi diri
begitu penting dalam melahirkan ide-ide kreatif,
dan suatu hal yang penting bagi individu yang
kreatif adalah yakin terhadap kemampuan dirinya sendiri, tidak hanya pada batas waktu tertentu (atas dasar keyakinan) namun juga dalam
periode yang lama (bersifat trait).
Dinamika psikologis efikasi diri dalam berbagai latar akan mendorong individu untuk
berpikir kreatif, memupuk rasa ingin tahu,
membuka diri terhadap pengalaman, toleran
terhadap resiko, dan menggunakan energi yang
dimiliki (Djalali, Kasiati, & Sofiah, 2012).
Menurut teori-teori yang dipaparkan tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa baik keterbukaan terhadap pengalaman maupun efikasi diri
berkorelasi positif dengan kreativitas, yakni jika
keterbukaan terhadap pengalaman meningkat
maka kreativitas meningkat, begitu pula dengan
meningkatnya efikasi diri disertai dengan meningkatnya kreativitas. Hal-hal apapun yang
nampak menarik bagi seseorang pasti akan
memunculkan dorongan untuk meraihnya.
Fenomena ini menarik untuk dikaji karena
mempelajari serta mem-praktekkan hal baru dan

benar-benar berbeda (dalam hal ini adalah
gagasan, konten/budaya asing, dan aktivitasaktivitasnya) bukanlah hal yang mudah dan bisa
diterima begitu saja, terlebih dasar-dasar yang
mereka pelajari lebih menekankan hanya pada
bahasa Jepang atau bahasa Inggris. Dalam menumbuhkan kreativitas diperlukan kesediaan,
kesiapan, dan keyakinan oleh individu untuk
bereksplorasi dan mencoba hal-hal baru.
Bunkasai atau pentas seni yang biasa mereka
pentaskan sesungguhnya adalah salah satu
bagian dari proses pembelajaran selama berkuliah. Mempelajari hal-hal di luar bidangnya
setidaknya akan memperluas wawasan mereka.
Mahasiswa memang tidak hanya dituntut untuk
menguasai materi perkuliahan, namun juga se-

197

Hubungan Antara Keterbukaan Terhadap Pengalaman Dan Efikasi Diri Dengan Kreativitas

cara tidak langsung dituntut untuk berpikir
kritis dalam memandang berbagai masalah,
mengembangkan gagasan-gagasan, menemukan
alternatif-alternatif, dan terbuka terhadap ideide, sehingga output pendidikan di Indonesia
bukan sekedar sertifikat melainkan pada kualitasnya.
Kreativitas
Menurut Suharnan (2002, dalam Tjundjing,
2002), hakikat kreativitas adalah sebagai suatu
kemauan, keinginan atau semangat untuk melakukan eksplorasi, mempertanyakan, dan melakukan eksperimentasi terhadap berbagai objek,
peristiwa, dan situasi yang ada di lingkungan.
Munandar (2002, dalam Kisti dan Fardana,
2012) menambahkan, kreativitas atau berpikir
kreatif merupakan suatu kemampuan untuk
melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu problema-problema yang
semakin kompleks di mana individu harus
mampu memikirkan, membentuk cara-cara baru
atau mengubah cara-cara lama secara kreatif
agar dapat bertahan dalam persaingan yang
semakin ketat.
Kreativitas adalah suatu aktivitas kognitif
yang menghasilkan suatu pandangan yang baru
mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak
dibatasi pada hasil yang pragmatis (Solso,
Maclin, & Maclin, 2007). Selanjutnya Evans
(1991, dalam Suharnan, 2011) mendefinisikan
kreativitas sebagai kemampuan menemukan
hubungan-hubungan baru, melihat pokok permasalahan dalam perspektif yang baru, dan
membentuk kombinasi baru dari konsep-konsep
yang sudah ada di dalam pikiran. Kreativitas
sering diartikan sebagai proses mental yang
melibatkan generasi ide-ide baru atau hubungan
baru antara ide-ide yang muncul atau konsepkonsep (Simonton, 2000, 2008, dalam Leikin,
2012).
Csikszentmihalyi (1996, dalam Suharnan
2011) berpendapat bahwa kreativitas didefinisikan sebagai setiap tindakan, gagasan, atau
hasil karya yang mengubah domain yang telah
ada, atau mentransformasikan domain yang
telah ada untuk menjadi suatu domain yang
baru. Lebih lanjut menurut Torrance (1965,
dalam Dorri & Mahdi, 2013), kreativitas adalah
kemampuan individu untuk menyadari celah

dalam suatu masalah atau informasi, menghasilkan ide atau hipotesis, menguji dan mengembangkan hipotesis-hipotesis, dan menyebarluaskan data.
Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah
kemampuan untuk melihat persoalan-persoalan
dari berbagai sudut pandang, mengeksplorasi,
menghubungkan tiap-tiap informasi, dan menghasilkan suatu pandangan atau gagasan-gagasan
baru yang bertransformasi dari domain atau
konsep-konsep yang telah ada sebagai hasil dari
aktivitas kognitif/proses mental.
Teori Psiko-Komponen (Suharnan, 2011)
mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas
pikiran manusia yang ditujukan untuk mencari
dan menemukan gagasan-gagasan baru atau
orisinal yang berguna atau dapat diterapkan.
Kreativitas dapat muncul karena keterlibatan
beberapa variabel yang disebut komponen.
Setiap komponen terdiri dari beberapa subkomponen yang mempengaruhi keseluruhan
proses kreatif dengan cara saling mempengaruhi
dan berinteraksi satu sama lainnya.
Terdapat beberapa asumsi dalam pengembangan teori tersebut: (1) kreativitas selalu
dimulai dari adanya kemauan untuk menghasilkan sesuatu yang belum pernah dilakukan, (2)
seseorang memerlukan persediaan dan keleluasaan dalam menggunakan sumber-sumber kapasitas kognitif yang cukup besar demi mewujudkan keinginannya, dan (3) seseorang sering
menghadapi tugas-tugas yang tidak jelas ketika
melakukan usaha-usaha kreatif dan hasilnya
pun belum dapat dipastikan, oleh karena itu
diperlukan konsentrasi dan keterlibatan diri
secara total dengan tugas-tugas tersebut.
Pada kerangka kerja teori ini, aktivitas
pikiran untuk melahirkan gagasan-gagasan
orisinal atau baru dan menciptakan karya-karya
baru yang berguna tentu diperlukan peran-peran
tertentu yang dilakukan secara seimbang dan
simultan di antara sejumlah komponen penting.
Komponen-komponen yang muncul dari berbagai sumber ini antara lain: (1) kemampuan
kognitif, terdiri dari penalaran logis dan penalaran analitis, imajeri /membayangkan kembali
secara visual, persepsi yang mendalam, dan berpikir transformatif/kemampuan pikiran untuk
memanipulasi atau mengombinasikan objek-

198

Paksi Caponti Putra dan Niken Titi Pratitis

objek, situasi-situasi, dan konsep-konsep melalui eksperimentasi dan eksplorasi, (2) motivasi,
terdiri dari motivasi intrinsik, motivasi kompeten dalam menguasai pengetahuan dan keterampilan tertentu, motivasi pertumbuhan untuk
memperbaiki diri sendiri menjadi lebih baik/
efektif, dan motivasi ingin tahu, (3) karakteristik kepribadian, terdiri dari kepekaan /kecenderungan untuk menaruh minat, gaya kerja yang
luwes, mandiri, berorientasi pada waktu yang
cukup, dan totalitas, gaya kognitif lateral /memikirkan hal-hal baru, dan ketahanan mental/
tekun, sabar, dan fokus, dan (4) lingkungan
fisik dan sosial, terdiri dari hubungan yang
demokratis, tantangan, permainan dan humor,
dan lingkungan yang tenang serta leluasa.
Komponen-komponen yang berasal dari
dalam diri seseorang (kognitif dan nonkognitif)
dan lingkungan (fisik dan sosial) ini lah yang
dapat mempengaruhi munculnya berbagai pemikiran dan perbuatan kreatif. Salah satu
komponen yang paling menonjol menjadi tidak
begitu berarti tanpa adanya dukungan dari
sumber-sumber komponen lainnya secara
sinergis.
Peneliti menggunakan teori Psiko-Komponen Suharnan untuk menyusun alat ukur kreativitas, yang mana terdapat empat komponen di
dalamnya. Komponen-komponen tersebut antara lain kemampuan kognitif, motivasi, karakteristik kepribadian, dan lingkungan fisik-sosial.
Komponen-komponen ini berfungsi dalam
penyusunan butir-butir aitem kreativitas.
Keterbukaan terhadap Pengalaman
Keterbukaan terhadap pengalaman mengacu
pada bagaimana seseorang bersedia melakukan
penyesuaian dalam gagasan dan kegiatan sesuai
dengan ide-ide atau situasi baru (Goldberg,
1993; McCrae & John, 1992, dalam Fayombo,
2010). Terbuka terhadap pengalaman berarti
individu memberi kelonggaran pada keraguraguannya terhadap suatu hal, dapat menerima
makna ganda pada sesuatu peristiwa, lebih
menyukai keadaan yang rumit dan tidak
lengkap, serta mempunyai rasa petualangan
(Usman, 2012). Selanjutnya, keterbukaan terhadap pengalaman menjelaskan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas dari aspek mental dan

pengalaman hidup seseorang (Pervin, et a.l.,
2010, dalam Hardiyanti, 2013).
Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa keterbukaan terhadap
pengalaman adalah keluasan, kedalaman, kompleksitas dari aspek mental dan pengalaman
hidup yang berwujud pada kelonggaran terhadap keraguan individu terhadap suatu hal,
menerima makna-makna, menyukai keadaan
rumit dan tidak lengkap, dan mendorong rasa
petualangan sebagai bentuk penyesuaian ide-ide
dan situasi yang baru.
Coan (1972, dalam Eldesouky, 2013) menguraikan keenam aspek dari variabel keterbukaan terhadap pengalaman: (1) action: dorongan untuk mencari kegiatan dan mencoba
hal-hal baru, (2) values: kemauan untuk memeriksa/memastikan kembali nilai-nilai tradisional, baik dalam bidang politik, budaya, atau
agama, (3) aesthetic: kecenderungan menghargai seni, (4) feelings: keselarasan dalam menerima emosi diri sendiri, (5) ideas: keinginan
untuk mencari tahu hal-hal bersifat intelektual
dan berpikir mengenai cara-cara yang baru dan
menarik, dan (6) fantasy: kecenderungan untuk
tenggelam dalam imajinasi dan fantasi yang
mendalam.
Efikasi Diri
Efikasi adalah penilaian pada diri sendiri
mengenai dapat atau tidaknya melakukan
tindakan yang baik atau buruk, bisa atau tidak
bisa, tepat atau salah mengerjakan sesuai syarat
yang telah ditentukan. Efikasi diri berhubungan
dengan keyakinan terhadap diri sendiri untuk
mampu melakukan tindakan yang diharapkan
(Alwisol, 2009). Senada dengan pernyataan
tersebut, efikasi diri adalah keyakinan individu
terhadap kemampuan yang benar-benar menentukan perilaku apa yang akan dilakukan, berapa
banyak usaha yang akan dilakukan, dan berapa
lama individu akan mempertahankan perilaku
ketika keberhasilan tertunda (Lyman dkk, 1984,
dalam Yapono, Farid,& Suharnan, 2013).
Efikasi diri adalah keyakinan pada diri
seseorang untuk dapat menguasai sebuah situasi, mempelajari materi pelajaran, menyelesaikan
aktivitas dengan baik, dan memberikan hasil
yang menguntungkan (Santrock, 2011). Selanjutnya menurut Bandura (1986: 391, dalam

199

Hubungan Antara Keterbukaan Terhadap Pengalaman Dan Efikasi Diri Dengan Kreativitas

Schunk et al., 2012), efikasi diri diartikan sebagai penilaian seseorang tentang kemampuan
dirinya dalam mengorganisasikan dan menjalankan serangkaian tindakan yang dibutuhkan
untuk mencapai berbagai kinerja yang sudah
ditetapkan”. Masih menurut Bandura (1997,
dalam Kisti dan Fardana, 2012), efikasi diri
merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk untuk
mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan sesuatu, dan
mengimplementasi tindakan untuk menunjukkan kecakapan tertentu.
Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa efikasi diri adalah
keyakinan atau bentuk penilaian individu terhadap kemampuan dirinya sendiri untuk mengorganisasi, menguasai situasi, melakukan suatu
tugas sesuai yang telah disyaratkan, mempertahankan perilaku dan usaha, dan menghasilkan
sesuatu demi pencapaian tertentu.
Bandura (1986, dalam Christian & Moningka, 2012) mengatakan bahwa komponen-komponen yang membedakan efikasi diri individu
satu dengan individu lainnya adalah: (1) magnitude, masalah yang berkaitan dengan tingkat
kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang dipersepsikan dapat
dikerjakannya, sebaliknya menghindari situasi
dan perilaku yang dipersepsikan di luar batas
kemampuannya, (2) generality, mencakup luas
bidang tingkah laku di mana individu merasa yakin terhadap kemampuannya, dan (3)
strength, berkaitan dengan kekuatan pada keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap akan mendorong
individu tetap gigih dalam berupaya mencapai
tujuan sekalipun tidak ditunjang dengan pengalaman-pengalaman.

METODE
Subyek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya sebanyak 377 orang (291 mahasiswa dari program studi bahasa Inggris dan 86
mahasiswa dari program studi bahasa Jepang)
pada tahun ajaran 2014.
Jumlah sampel sebanyak 105 orang (78
mahasiswa bahasa Inggris dan 27 mahasiswa
bahasa Jepang) dan dalam pemilihan sampel
menggunakan teknik proportional random sampling, karena dari setiap program studi diambil
sejumlah sampel dengan memper-hitungkan
besar kecilnya sub-bab populasi secara acak.
Alat Ukur

Kreativitas dalam penelitian ini diukur
dengan menggunakan skala Kreativitas yang
berdasar pada teori Psiko-Komponen Suharnan
(2011) yang meliputi aspek kemampuan kognitif, motivasi, karakteristik kepribadian, dan
lingkungan fisik-sosial. Aitem skala berjumlah
33 butir aitem dengan koefisien validitas butir
bergerak dari 0,301 sampai 0,594 dengan reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,882.
Keterbukaan terhadap Pengalaman dalam
penelitian ini diukur dengan menggunakan
skala Keterbukaan terhadap Pengalaman yang
berdasar pada pernyataan Coan (1972, dalam
Eldesouky, 2013) di mana aspek-aspek tersebut
antara lainaction, value, aesthetic, feeling,
ideas, dan fantasy. Aitem skala berjumlah 28
butir aitem dengan koefisien validitas butir
bergerak dari 0,300 sampai 0,553 dengan reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,868.
Efikasi Diri dalam penelitian ini diukur
dengan menggunakan skala Efikasi Diri yang
berdasar pada teori Bandura (1986, dalam
Hipotesis
Christian & Moningka, 2012) yang meliputi
1. Ada korelasi antara keterbukaan terhadap aspek magnitude, generality, dan strength.
pengalaman dan efikasi diri dengan kreati- Aitem skala berjumlah 42 butir aitem dengan
vitas.
koefisien validitas butir bergerak dari 0,300
2. Ada korelasi positif antara keterbukaan ter- sampai 0,596 dengan reliabilitas Alpha Cronhadap pengalaman dengan kreativitas.
bach sebesar 0,921.
3. Ada korelasi positif antara efikasi diri
dengan kreativitas.

200

Paksi Caponti Putra dan Niken Titi Pratitis

HASIL PENELITIAN
Hasil komputasi ANAREG diperoleh F
hitung sebesar 55,353 dengan db 2:102 diperoleh tabel F = 4,82 (1%), sehingga F hitung
55,353 > Tabel F dengan nilai p sebesar 0,00 (p
< 0,01). Temuan ini menunjukkan ada korelasi
sangat signifikan bersama-sama antara keterbukaan terhadap pengalaman dan efikasi diri
dengan kreativitas. Dengan demikian, hipotesis
mayor yang berbunyi “ada korelasi antara keterbukaan terhadap pengalaman dan efikasi diri
dengan kreativitas” dapat diterima.
Hasil korelasi ditemukan rhitung product
moment sebesar 0,585 (p = 0,00) dengan db =
103 (N-2) diperoleh tabel r pada 1 ekor sebesar
0,23 (1%) yang berarti r hitung > tabel r.
Temuan ini menunjukkan ada korelasi positif
antara keterbukaan terhadap pengalaman dengan kreativitas. Hal ini bermakna semakin
tinggi keterbukaan terhadap pengalaman akan
semakin tinggi pula kreativitas, sebaliknya
semakin rendah keterbukaan terhadap pengalaman akan semakin rendah pula kreativitas.
Dengan demikian, hipotesis minor pertama
yang berbunyi “ada korelasi positif antara
keterbukaan terhadap pengalaman dengan kreativitas” dapat diterima.
Hasil korelasi ditemukan rhitung product
moment sebesar 0,681 (p = 0,00) dengan db =
103 (N-2) diperoleh tabel r pada 1 ekor sebesar
0,23 (1%) yang berarti r hitung > tabel r.
Temuan ini menunjukkan ada korelasi positif
antara efikasi diri dengan kreativitas. Hal ini
bermakna semakin tinggi efikasi diri akan
semakin tinggi pula kreativitas, sebaliknya
semakin rendah efikasi diri akan semakin
rendah pula kreativitas. Dengan demikian, hipotesis minor kedua yang berbunyi “ada korelasi
positif antara efikasi diri dengan kreativitas”
dapat diterima.
Hasil koefisien determinan (R2) diperoleh
hasil sebesar 0,520 yang berarti sumbangan
efektif yang diberikan oleh keterbukaan terhadap pengalaman dan efikasi diri terhadap kreativitas sebesar 52%, sehingga sumbangan efektif
yang tersisa sebesar 48% yang mana dipengaruhi oleh faktor lain.
Perhitungan sumbangan efektif menunjukkan
bahwa keterbukaan terhadap pengalaman mem-

berikan sumbangan efektif sebesar 5,714%,
sedangkan efikasi diri sebesar 46,332%. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam menumbuhkan
kreativitas, efikasi diri lebih memberikan sumbangan efektif daripada keterbukaan terhadap
pengalaman.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuji
menunjukkan bahwa keterbukaan terhadap pengalaman dan efikasi diri memiliki korelasi
dengan kreativitas. Hal ini menunjukkan perubahan keterbukaan terhadap pengalaman dan
efikasi diri akan merubah pula kreativitas yang
dialami. Dalam hal pemberian sumbangan efektif, efikasi diri lebih berperan daripada keterbukaan terhadap pengalaman.
Pernyataan di atas sepaham dengan apa yang
dijelaskan oleh Bandura (2007, dalam Prabhu,
Sutton, dan Suser, 2008) yang menekankan
bahwa efikasi diri begitu penting dalam melahirkan ide-ide kreatif, dan dalam menumbuhkan
pribadi yang kreatif sangat membutuhkan keyakinan terhadap kemampuan dirinya sendiri.
Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi
cenderung untuk menumbuhkan dan mempertahankan ketertarikannya terhadap setiap permasalahan yang tengah dihadapi, dan dengan
demikian kesempatan individu untuk mencoba
dan bereksperimen dengan hal-hal baru lebih
terbuka lebar.
Dilihat dari kurikulumnya, fakultas sastra
Universitas 17 Agustus 1945 menyediakan beberapa mata kuliah pilihan yang menarik dan
memiliki konten di luar sastra yang dapat dipilih oleh para mahasiswa. Variasi mata kuliah
tersebut dapat merangsang ketertarikan setiap
mahasiswa untuk lebih mengkaji secara mendalam. Seluruh mahasiswa diharuskan untuk memilih sekurang-kurangnya dua mata kuliah
setiap semesternya, dan ini dapat menjadi tantangan bagi siapapun yang memilihnya. Selain
itu, mahasiswa mendapatkan tugas-tugas baru
pada setiap tahap pembelajarannya, dan hal
tersebut sesungguhnya memberikan kesempatan
pada mereka untuk bereksplorasi.
Masih menurut Bandura (dalam Santrock,
2010) yang menyatakan bahwa efikasi diri
membuat individu untuk mampu menguasai

201

Hubungan Antara Keterbukaan Terhadap Pengalaman Dan Efikasi Diri Dengan Kreativitas

situasi dan memproduksi hal positif, kemudian
Schwarzer dkk (1997) berpendapat bahwa
dengan adanya efikasi diri, individu akan lebih
memilih latar belakang yang menantang serta
menjelajahi lingkungan. Individu yang mampu
menguasai berbagai situasi akan mengetahui
langkah-langkah untuk bertindak sehingga
untuk itu perlu menambah wawasannya sendiri.
Dosen-dosen sastra Universitas 17 Agustus
1945 selalu memberikan kebebasan kepada para
mahasiswanya untuk mengerjakan tugas sesuai
dengan kemampuan dan minatnya. Tugas-tugas
yang diajukan sesekali memiliki bermacammacam tema/permasalahan yang mana mahasiswa bebas memilihnya, jika mahasiswa memiliki
ide sendiri mengenai suatu tema maka hal
tersebut diperbolehkan dan dapat dikerjakan.
Atas kendalinya sendiri, mahasiswa merasa
yakin untuk membuat atau menciptakan terobosan baru, baik dalam bentuk pemikiran/ide
maupun bukti riil. Permasalahan yang bervariasi dengan segala tingkatannya akan mendorong mahasiswa untuk memberdayakan daya
kreativitasnya.
Salah satu ciri-ciri kepribadian kreatif yang
disebutkan oleh Munandar (1977, dalam Sobur,
2003) adalah memiliki rasa keingintahuan yang
besar dan berpikir secara bebas. Efikasi diri
mendorong individu untuk berpikir kreatif dan
memupuk rasa ingin tahu sehingga mampu
menghasilkan gagasan-gagasan orisinil, baru,
berguna, efektif, dan otentik (Djalali, Kasiati, &
Sofiah, 2012). Individu yang kreatif selalu
bergerak maju dengan bereksplorasi, berimajinasi, dan yakin bahwa apapun yang dilakukannya dapat menghasilkan sesuatu yang baru dan
berguna.
Setiap tahun, di Universitas 17 Agustus 1945
selalu diadakan bunkasai, yakni festival budaya
yang berisi berbagai macam kegiatan dan dikerjakan oleh mahasiswa sastra, baik dari program studi bahasa Inggris maupun dari program
studi bahasa Jepang. Dalam menciptakan konsep acara, para mahasiswa perlu berdiskusi
dengan dosen-dosennya serta mencari ide lewat
buku, internet, film, dan sebagainya. Kegiatan
ini benar-benar mendorong mahasiswa untuk
lebih aktif dalam bereksplorasi, berimajinasi,
dan bekerjasama antar mahasiswa lainnya.
Bunkasai bukan acara yang dinikmati oleh

kalangan sendiri, melainkan dapat dinikmati
oleh masyarakat umum juga, sehingga mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan tersebut
perlu merasa yakin untuk mampu menampilkan
hiburan yang dapat menambah wawasan bagi
siapapun yang menyaksikannya. Kegiatan ini
bersifat acara tahunan, oleh karena itu para
mahasiswa dituntut lebih berkompeten untuk
membuat acara yang lebih kompleks dan kreatif
dari tahun ke tahun.
Keberhasilan mahasiswa dalam menyelenggarakan bunkasai secara kasat mata dapat
dilihat dari jenis-jenis acara, kualitas acara,
jumlah penonton yang bertahan hingga akhir
acara, dan apresiasi dari seluruh yang menyaksikannya. Keberhasilan tersebut merupakan bentuk kreativitas yang didukung oleh
adanya efikasi diri dan keterbukaan terhadap
pengalaman dari setiap mahasiswa. Tanpa adanya keyakinan dalam mengemban tanggung
jawab, bunkasai akan terasa kurang meriah dan
bermutu, serta mungkin akan lebih kurang
menarik jika setiap mahasiswa yang terlibat
kurang menunjukkan minat khusus terhadapnya
dan menggunakan konsep-konsep lama.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2009). Psikologi
Malang: UMM Press.

Kepribadian.

Christian & Moningka, C. (2012). Self-Efficacy
dan Kecemasan Pegawai Negeri Sipil Menghadapi Pensiun. Jurnal Psikologi Ulayat.
Vol. 1. No. 1. 45-56.
Dorri, E & Mahdi, TST.. (2013). The Relationship between Creativity and Translation,
Nature and Science. 11 (8). 94.
Eldesouky, L. (2013). Openness to Experience
and Health: A Review of the Literature. Yale
Review of Undergraduate Research in Psychology.
Fayombo, G. (2010). The Relationship between
Personality Traits and Psychological Resilience among Caribbean Adolescents. International Journal of Psychological Studies.
Vol. 02. No. 02. 105-116.

202

Paksi Caponti Putra dan Niken Titi Pratitis

Feist, J & Feist, GJ. (2013). Teori Kepribadian Prabhu, V., Sutton, C., & Sauser, W. (2008).
Buku Kedua (Edisi Ketujuh,. Jakarta:
Creativity and Certain Personality Traits:
Salemba Humanika.
Understanding The Medating Effect on
Intrinsic Motivation. Creativity Research
Hardiyanti, R. (2013). Burnout Ditinjau dari
Journal. 20 (1). 53-66.
Big Five Factors Personality pada Karyawan
Kantor Pos Pusat Malang. Jurnal Ilmiah Santrock, JW. (2010). Psikologi Pendidikan.
Psikologi Terapan. Vol. 01. No. 02. 343Jakarta: Kencana.
360.
Schunk, DH., Pintrich, PR., & Meece, JL.
Hergenhahn, B.R. & Olson, MH. (2008). Theo(2012). Motivasi dalam Pendidikan: Teori,
ries of Learning (Edisi Ketujuh). Jakarta:
Penelitian, dan Aplikasi. (Edisi Ketiga).
Kencana.
Jakarta Barat: PT Indeks.
Kasiati & Djalali, M.A. (2012). Pola Asuh Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung:
Orangtua Demokratis, Efikasi-Diri dan KreaCV Pustaka Setia.
tivitas Remaja. Persona, Jurnal Psikologi
Suharnan. (2011). Kreativitas: Teori dan
Indonesia. Vol. 01. No.01. 15-19.
Pengembangan. Surabaya: Laras.
Kisti, HH & Fardana, NA. (2012). Hubungan
Sung, S. Y & Choi, J.N. (2009). Do Big Five
Antara Sel-Efficacy dengan Kreativitas pada
Personality Factors Affect Individual
Siswa SMK. Jurnal Psikologi Klinis dan
Creativity? The Moderating Role of ExtrinKesehatan Mental. Vol. 1 No. 02. 52-58.
sic Motivation. Social Behavior and PersoLeikin, M. (2012). The Effect of Bilingualism
nality. 37 (7). 941-956.
on Creativity: Developmental and EducatioTjundjing, S. (2002). Skala c.o.r.e.: Pengukur
nal Perspectives. International Journal of
Kreativitas yang Benar-Benar Kreatif
Bilingualism. 17 (4). 433.
(Komentar terhadap Skala C.O.R.E. Sebagai
Peng, YS & Chen, KH. (2012). The Level of
Alternatif Mengukur Kreativitas: Suatu
Concern about Feng Shui in House PurchaPendekatan Kepribadian). Anima, Indonesian
sing: The Impacts of Self-Efficacy, SuperPsychological Journal. Vol. 18. No. 1. 58.
stition, and The Big Five Personality Traits.
Yapono, Farid & Suharnan. (2013). KonsepPsychology and Marketing. Vol. 29 (7): 519Diri, Kecerdasan Emosi, dan Efikasi-Diri.
530.
Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol.
02. No. 03. 217-222.

203

Hubungan Antara Keterbukaan Terhadap Pengalaman Dan Efikasi Diri Dengan Kreativitas

204