Makalah Kepribadian Yang Sehat dan sakit

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai tingkah laku masyarakat yang beraneka ragam mendorong
para ahli ilmu jiwa untuk menyelidiki apa penyebab perbedaan tingkah laku
orang-orang dalam kehidupan bermasyarakat sekalipun dalam kondisi yang
sama. Selain itu, juga menyelidiki penyebab seseorang tidak mampu
mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Usaha ini
kemudian menimbulkan satu cabang ilmu jiwa yaitu kesehatan mental.
Dengan memahami ilmu kesehatan mental dalam arti mengerti, mau,
dan mampu mengaktualisasikan dirinya, maka seseorang tidak akan
mengalami bermacam-macam ketegangan, ketakutan, konflik batin. Selain itu,
ia melakukan upaya agar jiwanya menjadi seimbang dan kepribadiannya pun
terintegrasi dengan baik. Ia juga akan mampu memecahkan segala
permasalahan hidup.
Kematangan dan kesehatan mental berhubungan erat antara satu sama
lainnya dan saling tergantung. Apabila kita bicara tentang keduanya secara
terpisah maka hanya sekadar untuk memudahkan penganalisaannya. Karena
sangat sulit untuk membanyangkan seseorang yang matang dari segi sosial
dan tidak matang dari segi kejiwaan.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kepribadian yang sehat dalam perspektif Psikologi Islam?
2. Bagaimana Kesehatan Mental yang optimal dalam perspektif Psikologi
Islam?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepribadian Yang sehat Dalam Perspektif Psikologi Islam
Aspek agama dalam perumusan kesehatan jiwa harus masuk, karena
agama memiliki peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Agama
merupakan salah satu kebutuhan psikis manusia yang perlu dipenuhi oleh
setiap orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan. Kebutuhan
psikis manusia akan keimanan dan ketakwaan kepada allah tidak akan
terpenuhi kecuali dengan agama. Oleh karena prinsipnya dimensi keimanan
dan ketakwaan dalam kesehatan jiwa, maka ada di antara ulama Islam yang
mengartikan kesehatan jiwa itu dengan keimanan dan ketakwaan.1
Organisasi kesehatan dunia (WHO, 1959) memberikan kriteria jiwa
atau mental yang sehat sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. dr. Dadang
Hawari, psikiater, sebagai berikut:
a. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun
b.

c.
d.
e.

kenyataan itu buruk baginya.
Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.
Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.
Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas.
Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling

memuaskan.
f. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran untuk di
kemudian hari.
g. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif.
h. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar. 2
WHO (1984) telah menyempurnakan batas kesehatan dengan
menambahkan satu elemen spiritual (agama). Dengan masuknya aspek
agama, seperti keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, dalam kesehatan jiwa


1Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam: Dalam Menumbuh kembangkan Kepribadian dan
Kesehatan Jiwa, Jakarta:CV. Ruhama, 1994) h. 77.
2 Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Mental, PT. Dana
Bhakti Primayasa, Yogyakarta, 1999, h. 12-13.

maka pengertiannya terasa luas karena sudah mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia.
Untuk mengetahui bagaimanakah jiwa yang sehat menurut pandangan
Islam, Allah SWT telah memberikan berbagai petunjuk. Hal ini dapat dilihat
dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang banyak menerangkan tentang jiwa yang
sehat di antaranya dalam surat Al-Fajr: 27-28.

   
    

“Hai jiwa tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi
diredhai-Nya”. (Al-Fajr/ 89: 27-28)3
Selain ayat di atas, Allah SWT juga berfirman dalam surat Ar-Ra’d
ayat: 28.


   
      
 
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan
mengingat kepada Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tentram.” (QS. Ar-Rad/13: 28).4
Di balik keanekaragaman konsep mengenai kesehatan jiwa, beberapa
ahli mengemukakan semacam orientasi umum dan pola-pola kesehatan jiwa.
Saparinah Sadli, guru besar Fakultas UI, mengemukakan tiga orientasi dalam
Kepribadian (jiwa) yang sehat, yakni:
1. Orientasi klasik: seseorang dianggap sehat bila ia tidak mempunyai
kelakuan tertentu, seperti ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau
perasaan tak berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan “sakit” atau
“rasa tak sehat” serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari aktivitas
klasik ini banyak dianut di lingkungan kedokteran.

3 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Terj. Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQur’an, (Semarang: CV. Toha Putra, , 1989) h. 1059
4 Ibid, h. 373.

2. Orientasi penyesuaian diri: seseorang dianggap sehat secara psikologis

bila ia mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan orangorang lain serta lingkungan sekitarnya.
3. Orientasi pengembangan potensi: seseorang dikatakan mencapai taraf
kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan
potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh orang lain dan
dirinya sendiri.5
Prof. Dr. Hamka mengemukakan bahwa kesehatan jiwa memerlukan
empat syarat, yaitu:
1.
2.
3.
4.

Syaja’ah : Berani pada kebenaran, takut pada kesalahan
Iffah : Pandai menjaga kehormatan batin.
Hikmah : Tahu rahasia dari pengalaman kehidupan
Adalah : Adil walaupun kepada diri sendiri. 6
Peranan ajaran Islam demikian dapat membantu orang dalam

menumbuhkan kepribadian yang sehat dan mencegahnya dari gangguan
kejiwaan serta membina kondisi kesehatan mental. Dengan menghayati dan

mengamalkan ajaran-ajaran Islam orang dapat pula memperoleh kebahagiaan
dan kesejahteraan jiwa atau kesehatan mental.
Berikut ini indikasi-indikasi kepribadian yang sehat dan kesehatan jiwa dalam
Islam:
1. Sisi spiritualitas: adanya keimanan kepada Allah, konsisten dalam
melaksanakan ibadah kepada-Nya, menerima takdir dan ketetapan yang
telah digariskan oleh-Nya, selalu merasakan kedekatan kepada Allah,
memenuhi segala kebutuhan hidupnya dengan cara yang halal dan selalu
berdzikir kepada Allah.
2. Sisi sosial: cinta kepada orang tua, anak dan pasangan hidup, suka
membantu orang-orang yang membutuhkan amanah, berani mengatakan
kebenaran, menjauhi segala hal yang dapat menyakiti manusia dan
mampu bertanggung jawab sosial.

5 Saparinah Sadli, “Pengantar dalam Kesehatan Mental”, dan Hanna Djumhana
Bastaman, Psikologsi dengan Islam menuju Psikologi Islam, (Jakarta:Pustaka Pelajar, 1997) h.
132.
6 Hamka, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996) h. 154.

3. Sisi biologis: terhindarnya tubuh dari segala bentuk penyakit dan juga

cacat fisik dengan adanya pemahaman akan selalu menjaga kesehatan
tubuh dengan tidak membebaninya dengan suatu tugas yang tidak sesuai
dengan kemampuannya.7
B. Kesehatan Mental yang Optima Perspektif Psikologi Islam
1. Tanda Kesehatan Mental Dalam Islam
Dalam pengertian yang amat sederhana mental itu sudah dikenal
sejak manusia pertama (Adam), karena Adam as merasa berdosa yang
menyebabkan jiwanya gelisah dan hatinya sedih. Untuk menghilangkan
kegelisahan dan kesedihan tersebut, ia bertaubat kepada Allah dan
taubatnya diterima serta merasa lega kembali. Musthafa Fahmi,
sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Mahmud, menemukaan dua
pola dalam kesehatan mental:
Pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah
terhindarnya seseorang dari gejala neurosis (al-amarah al-ashabiyah) dan
psikosis (al-amaradh al-dzibaniyah).
Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah
kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap
lingkungan sosialnya. Pola yang kedua ini lebih umum dan lebih luas
dibandingkan dengan pola pertama.8
2. Indikator Kesehatan Mental Dalam Islam

a. Indikator Kesehatan Mental Menurut Said Hawa
Said

Hawa

menetapkan

berdasarkantathhiral-qalh (penyucian

indikator
jiwa)

kesehatan
dengan

mental

indikatornya

sebagai berikut:

1) Sempurna dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah
Allah SWT.
2) Terlihat efek dari peribadatanya pada sifat-sifatnya yang utama dan
akhlak-al-karimah dan melaksanakan habl in Allah dan habl min
al-nas.
3) Mempunyai hati yang mantap dalam mentauhidkan Allah SWT.
7 Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, Terj. Sari Marulita, Lc. (Jakarta:Gema
Insani Press, , 2005) h. 450.
8 Ramayulis, Psikologi Agama. (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.128

4) Tidak mempunyai penyakit hati, yang bertentangan dengan
keesaan Allah SWT.
5) Jiwa menjadi suci, hatinya menjadi suci, dan pandangannya
menjadi jernih.
6) Seluruh anggota badannya senantiasa berbuat sesuai dengan apa
yang diperintahkan oleh Allah SWT.
b. Indikator Kesehatan Mental Menurut Ahmad Farid
Ahmad

Farid


enetapkan

indikator

Kesehatan

Mental

berdasarkan kepada agama sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)

Berfokus pada akhirat
Tiada meninggalkan zikrullah
Selalu merindukan untuk beribadah kepada Allah
Tujuan hidupnya hanya Kepada Allah

Kyusu’ dalam menegakkan shalat dan saat itu ia lupa akan segala

urusan dunia
6) Menghargai waktu dan tidak bakhil harta
7) Tidak berputus asa dan tidak malas untuk berzikir
8) Mengutamakan kualitas perbuatan
c. Indikator Kesehatan Mental Menurut Zakiah Daradjat.
Zakiah Daradjat menetapkan indikator kesehatan mental
dengan memasukkan unsur keimanan dan ketaqwaan, sebagai berikut:
1) Terbebas dari gangguan dan penyakit jiwa
2) Terwujudnya keserasian antara unsur-unsur kejiwaan
3) Mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri secara fleksibel
dan menciptakan hubungan yang bermanfaat dan menyenangkan
antar individu
4) Mempunyai kemampuan dalam mengembangkan potensi yang
dimiliknya serta memanfaatkannya untuk dirinya dan orang lain
5) Beriman dan bertakwa kepada Allah dan selalu berupaya
merealisasikan tercipta kehidupan yang bahagia di dunia dan
akhirat.
Indikator Kesehatan Mental Menurut Al-Ghazali didasarkan
kepada seluruh aspek kehidupan manusia baik habl min Allah, habl
min al-nas,dan habl min al-alam. Menurutnya ada tiga indikator yang
menantukan kesehatan mental seseorang yaitu:

1) Keseimbangan yang terus menerus antara jesmani dan rohani
dalam, kehidupan manusia.
2) Memiliki kemuliaan akhlak dan kezakiyahan jiwa, atau memiliki
kualitas iman dan takwa yang tinggal
3) Memiliki makrifat tauhid kepada Allah
3. Keabnormalan Mental Dalam Islam
Menurut Zakiah Daradjat, keabnormalan mental adalah kumpulan
dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan
fisik, maupun dengan psikis. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh
sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan meskipun kadangkadang gejalanya terlihat pada fisik. Keabnormalan dapat dibagi atas dua
bagian, yaitu (1) gangguan mental (jiwa/neurose), dan (2) sakit mental
(jiwa/psychose).
Dalam perspektif Islam sehat atau tidaknya mental seseorang
berpijak pada aspek spiritualitas keagamaan. Seberapa jauh keimanan
seseorang yang tercermin dalam kehidupan keberagamaan dalam
kesehariannya menjadi titik tolak penting dalam menantukan sehat atau
tidaknya mental seseorang. Dalam perspektif Islam gangguan dan tidak
sakit mental tidak hanya diukur dengan ukuran humanistik saja,
sebagaimana diikut oleh semua aliran psikologi kontemporer. Akan tetapi
Islam juga melihat bagaimana kaitannya dengan iman dan akhlak.
Al-Ghazali memandang bahwa keabnormalan mental indetik
dengan akhlak yang buruk. Akhlak yang baik dikategorikan sebagai sifat
para rasul Allah, perbuatan para al-Shiddiqin paling utama. Sedangkan
akhlak yang buruk dinyatakan sebagai racun yang berbisa yang dapat
membunuh, atau kotoran yang bisa menjauhkan seseorang dari Allah
SWT. Disamping itu akhlak yang buruk juga termasuk ke dalam langkah
setan yang bisa menjerumuskan manusia masuk dalam perangkapnya.
Gangguan mental dalam Islam berkaitan dengan penyimpananpenyimpangan sikap batin. Inilah yang menjadi dasar dan awal dari semua
pendarita batin. Ada aspek penting yang menjadi ciri-ciri gangguan mental

menurut islam yaitu qalb dan af’al (hati dan perbuatan). Gejala-gejala
gangguan mental semacam ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Hati yang menyimpang dari keikhlasan dan ketundukan kepada Allah
sehingga menjadi lupa terhadap posisinya sebagai hamba Allah. Wujud
dari penyimpangan ini bisa dalam bentuk ria, hasad, ujub, takabur,
tamak dan sebagainya.
b. Perilaku yang terbiasa dengan pelanggaran ajaran agama disebabkan
oleh dominannya peran nafs al-ammarah dalam kehidupan.
4. Cara Memelihara Kesehatan Mental Menurut Islam
Dalam literatur yang berkembang ada beberapa cara untuk
memelihara kesehatan mental dalam Islam salah satunya adalah pola atau
metode Iman Islam Dan Ihsan yang didalamnya terdapat berbagai macam
karakter berdasarkan konsep Iman Islam Dan Ihsan.9
a. Iman
Didalam metode iman terdapat beberapa macam pola
karakter.Pertama, karakter rabbani yang berasal dari kata rabb yang
dalam bahasa Indonesia berarti tuhan, yaitu tuhan yang memiliki,
memperbaiki, mengatur. Istilah rabbani dalam konteks ini memiliki
ekuivalensi dengan mentransformasikan asma dan sifat tuhan kedalam
dirinya untuk kemudian diinternalisasikan dengan kehidupan nyata.
Kedua, karakter malaki adalah kepribadian individu yang
didapat setelah mentransformasikan sifat-sifat malaikat kedalam
dirinya untuk kemudian di internalisasikan kedalam kehidupan nyata.
Ketiga, karakter Qurani yang pada intinya kepribadian qurani
adalah kepribadian yang melaksanakan sepenuh hati nilai-nilai alQur`an baik pada dimensi I`tiqadiyah, Khulukqiyah, amaliyah, ibadah,
muamalah, daruriyyah, hajiyyah, ataupun tahsiniyah,
Keempat, karakter rasuli yang. mengarah pada sifat-sifat khas
seorang rasul sebagai manusi pilihan (Al-Musthafa) berupa sifat Jujur,
Terpercaya, Menyampaikan perintah dan cerdas.
9 Abdul Mujib, Jusuf Muzakkir; Nuansa-nuansa Psikologi Islam; (Jakarta : Raja
Grafindo Perkasa;; 2002) h. 149.

Kelima, Karakter yawm akhiri adalah kepribadian individu
yang didapat sesudah mengimani, mamhami dan mempersiapkan diri
untuk memasuki hari akhir dimana seluruh perilaku manusia dimintai
pertanggungjawaban. Kepribadian ini menuju kepada salah satu
konsekwensi perilaku manusia, dimana yang amalnya baik akan
mendapatkan kenikmatan syurga sementara bagi yang amalnya buruk
akan mendapatkan kesengsaraan neraka.
Keenam, karakter taqdiri, Pola-pola tingkah laku taqdiri antara
lain; pertama, bertingkah laku berdasarkan aturan dan hukum tuhan,
sehingga tidak semena-mena memperturutkan hawa nafsu. Kedua,
membangun jiwa optimis dalam mencapai sesuatu tujuan hidup. Tidak
sombong ketika mendapatkan kesuksesan hidup. Tidak pesimis, stress
atau depresi ketika mendapatkan kegagalan.
b. Islam
Didalam metode Islam terdapat beberapa macam pola
karakter.Pertama, kepribadian syahadatain adalah kepribadian individu
yang didapat setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, memahami
hakikat dari ucapannya serta menyadari akan segala konsekwensi
persaksiannya tersebut. Kepribadian syahadatain meliputi domanin
kognitif dengan pengucapan dua kalimat secara verbal; domain afektif
dengan kesadaran hati yang tulus; dan domain psikomotorik dengan
melakukan segala perbuatan sebagai konsekwensi dari persaksiannya
itu.
Kedua, karakter mushalli adalah kepribadian individu yang
didapat setelah melaksanakan shalat dengan baik, konsisten, tertib, dan
khusyu, sehingga ia mendapatkan hikmah dari apa yang dikerjakan.
Ketiga, karakter shaim adalah kepribadian individu yang
didapat setelah melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan
ketakwaan, sehingga ia dapat mengendalikan diri dengan baik.
Pengertian ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mampu
menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa memiliki

kepribadian lebih kokoh, tahan uji, dan stabil ketimbang orang yang
tidak

mengerjakannya,

sebab

ia

mendapatkan

hikmah

dari

perbuatannya.
Keempat, karakter muzakki adalah pribadi yang suci, fitrah
dan tanpa dosa. Ia memilki kepribadian yang seimbang, mampu
menyelaraskan

antara

aktifitas

yang

berdimensi

vertikal

dan

horizontal. Ia adalah sosok yang empatik terhadap penderitaan pribadi
lain.
Kelima, karakter haji adalah orang yang telah melakukan
ibadah haji yang secara etimologi berarti menyengaja pada sesuatu
yang diagungkan. Orang yang melaksanakan haji hatinya selalu tertuju
pada yang maha tinggi. Orang yang berhaji memiliki beberapa
kepribadian antara lain : kepribadian muhrim, kepribadian thawif,
kepribadian waqif, kepribadian sa`i, kepribadian mutahalli dan lain
sebagainya.
c. Ihsan
Kata ihsan berasal dari kata hasuna yang berarti baik atau
bagus.

Seluruh

perilaku

yang

mendatangkan

manfaat

dan

menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku yang ihsan. Namun
karena ukuran ihsan bagi manusia sangat relative dan temporal, maka
criteria ihsan yang sesungguhnya berasal dari Allah swt. Karena itu
hadits Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa ihsan bermuara pada
peribadatan dan muwajahah, dimana ketika sang hamba mengabdikan
diri pada-Nya seakan-akan bertatap muka dan hidup bersama
(ma`iyyah) dengan-Nya, sehingga seluruh perilakunya menjadi baik
dan bagus. Sang budak tidak akan berbuat buruk dihadapan
majikannya, apalagi sang hamba dihadapan tuhannya. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan kepribadian muhsin adalah
kepribadian yang dapat memperbaiki dan mempercantik individu. Baik

berhubungan dengan diri sendiri, sesamanya, alam semesta dan tuhan
yang diniatkan hanya untuk mencari ridha-Nya.10

10Abdul Mujib; Kepribadian Dalam Psikologi Islam; (Jakarta; PT Raja Grafindo
Perkasa; 2006).h. 305.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Pandangan Islam kebahagiaan terbagi kepada dua hal,
duniawi dan ukhrawi. Disini perlu diperhatikan bahwa, menurut pandangan
Islam kedua kebahagiaan itu tidak dapat dipisahkan, sebab kebahagiaan dunia
hanyalah jalan kearah kebahagiaan akhirat, sedangkan kebahagiaan akhirat
tidak dapat dicapai tanpa usaha didunia. Namun memang tumpuan
pembicaraan kita disini adalah kebahagiaan di dunia, dan inilah yang biasanya
diberi nama dengan kesehatan mental.
Kebahagiaan didunia ini berarti selamat dari hal-hal yang
mengancam kehidupan didunia ini. Yang mengancam kehidupan dunia ini
banyak, seperti kehilangan harta benda atau orang yang dikasihi, kegagalan
mencapai cita-cita, dan lain sebagainya yang kesemuanya mengancam
kehidupan dan menimbulkan kesedihan, ketakutan dan kecemasan.
Menurut Al-Qur`an, keadaan yang merisaukan itu bersumber dari
manusia sendiri, yaitu sifat lupa. Oleh sebab itu ia memerlukan petunjuk dari
penciptanya, agar ia bisa menyadari perasaan duka dan nestapa yang
dimilikinya bersumber dari Allah SWT yang telah menjadikannya dan
memberikan semua kepadanya dengan hikmah yang dimiliki-Nya. Maka
disinilah sumbangan besar agama dalam kesehatan mental manusia.
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Terj. Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Al-Qur’an, Semarang: CV. Toha Putra.
Hamka, 1996. Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panji Mas,
Hawari, Dadang, 1999. Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Mental,
PT. Dana Bhakti Primayasa, Yogyakarta,
Jaya, Yahya, 1994. Spiritualisasi Islam: Dalam Menumbuh kembangkan
Kepribadian dan Kesehatan Jiwa, Jakarta:CV. Ruhama,
Mujib, Abdul, Jusuf Muzakkir; 2002. Nuansa-nuansa Psikologi Islam; Jakarta :
Raja Grafindo Perkasa.
Mujib, Abdul; 2006. Kepribadian Dalam Psikologi Islam; Jakarta; PT Raja
Grafindo Perkasa.
Ramayulis, 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.
Sadli, Saparinah, 1997. “Pengantar dalam Kesehatan Mental”, dan Hanna
Djumhana Bastaman, Psikologsi dengan Islam menuju Psikologi Islam,
Jakarta:Pustaka Pelajar,
Az-Zahrani, Musfir bin Said, 2005. Konseling Terapi, Terj. Sari Marulita, Lc.
Jakarta:Gema Insani Press.