Pertumbuhan dan perkembangan dan tafsir

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan umat Islam bahkan pembangunan seseorang manusia,
tidaklah mungkin dengan hanya berpegang kepada pengalaman semata tanpa
adanya petunjuk-petunjuk dari ajaran Al Qur’an yang meliputi segala unsur
kebahagiaan bagi jenis manusia. Dengan mudah kita dapat mengetahui, bahwa
tidak mungkin beramal dengan ajaran-ajaran Al Qur’an, terkecuali sesudah kita
memahami Al Qur’an, mengetahui isinya, prinsip-prinsip yang diatur. Hal ini
tidaklah mungkin dicapai, melainkan dengan mengetahui apa yang ditunjukkan oleh
lafal-lafal Al Qur’an. Maka untuk dapat menguraikan lafal-lafal Al Qur’an yang
bersifat global itu perlu adanya upaya dan proses penafsiran Al Qur’an.
Karenanyalah, dapat kita tetapkan bahwa tafsir adalah anak kunci perbendaharaan
isi Al Qur’an yang diturunkan untuk memperbaiki keadaan manusia, melepaskan
manusia dari kehancuran dan menyejahterakan alam ini.
Kenyataan sejarah membuktikan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring
dengan derap langkah perkembangan peradaban dan budaya manusia. Tafsir sebuah
hasil dari dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis memang mau
tidak mau harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan. Setiap generasi
akan mewarisi kebudayaan generasi-generasi sebelumnya, kebutuhan suatu generasi
berlainan dan hampir tidak sama dengan kebutuhan generasi lain. Begitu pula

perbedaan tempat dan keadaan, tidak dapat di katakan sama keperluan dan
kebutuhannya, sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah
didapat dan dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya, serta saling tukarmenukar pengalaman yang di alami oleh manusia pada suatu daerah dengan daerah
yang lain, mana yang masih sesuai dipakai, mana yang kurang sesuai dilengkapi dan
mana yang tidak sesuai lagi dikesampingkan, sampai nanti keadaan dan masa
membutuhkan pula. Demikian pula halnya dengan Al Qur’an, ia berkembang

1

mengikiti irama perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia dalam
suatu generasi.
Hal itu yang membuat para peminat studi Al Qur’an khususnya dan umat
Islam pada umumnya dituntut untuk selalu cerdas mengembangkan penafsiran Al
Qur’an, sebab setiap zaman memiliki kekhasannya sendiri-sendiri. Tiap-tiap
generasi melahirkan tafsir-tafsir Al Qur’an yang sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Agama Islam
sendiri. Maka dari itu perlunya untuk mengetahui tentang sejarah dari pertumbuhan
dan perkembangan tafsir Al Qur’an adalah lantaran sangat berhajatnya kita kepada
tafsir Al Qur’an ini.
B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah: Bagaimanakah
pertumbuhan dan perkembangan Tafsir Al Qur’an dari masa ke masa?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir-tafsir Al – Qur’an Pada Periode Klasik
1. Tafsir Al - Qur’an Pada Masa Nabi Saw beserta Para Sahabatnya
Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan tafsir itu sejak Al Qur’an itu sendiri
diturunkan. Sebab begitu Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, sejak
itu pula beliau melakukan tafsir dalam pengertian sederhana yakni memahami dan

2

menjelaskannya kepada para sahabat. Jadi beliau adalah awwalul mufassir, orang
pertama yang menguraikan Al Qur’an dan menjelaskan kepada umatnya.1[1]
Pada waktu Nabi Saw masih hidup nampaknya tak ada seorangpun dari
sahabat yang berani menafsirkan Al Qur’an, karena beliau masih berada di tengahtengah mereka. Jadi seolah-olah otoritas penafsiran saat itu ada di tangan Nabi Saw
sendiri2[2]. Hal ini dapat dimengerti sebab tugas menjelaskan Al Qur’an pertama
memang ada di pundak Nabi Saw yang mendapat garansi dari Alloh Swt langsung,
sebagaimana firmanNya dalam Surat Al Qiyamah (75): 17-19.

Yang artinya:
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah
selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya
.”atas tanggungan Kamilah penjelasannya
Meskipun Al Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab namun Al Qur’an tidak
serta merta dapat dimengerti dan ditangkap maknanya oleh semua kalangan sahabat.
Hal ini karenakan perbedaan intelegensia dan pengetahuan kosa kata antar sahabat
tidaklah sama. Disamping itu kedekatannya dengan Nabi saw juga sangat
berpengaruh dalam memahami suatu ayat, sehingga diantara sahabat ada yang
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat dan ada pula
yang tidak mengetahuinya.
Tidak semua ayat dalam Al Qur’an dijelaskan oleh Nabi saw. Beliau hanya
menjelaskan ayat-ayat yang makna dan maksudnya tidak diketahui oleh para
sahabat (karena hanya beliau yang dianugerahi Alloh Swt tentang tafsirnya).
Begitupun dengan ayat-ayat yang menerangkan tentang hal-hal ghaib, yang tidak
ada seorang pun tahu kecuali Alloh Swt, seperti terjadinya hari kiamat, dan hakikat
ruh, tidak dijelaskan dan ditafsiri oleh Rasulullah.3[3]
1
2

3

3

Dalam penafsirannya terhadap Al Qur’an, Nabi menggunakan bahasa yang
tidak panjang lebar, beliau hanya menjelaskan hal-hal yang masih samar dan global,
memerinci sesuatu yang masih umum, dan menjelaskan lafadz dan hal-hal yang
berkaitan dengannya. Nabi Saw dalam menafsirkan Al Qur’an selalu berdasarkan
pada sebuah ilham dari Alloh Swt. Seperti ketika Nabi menafsirkan kata al kalimat
dalam ayat:
Yang artinya :
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Alloh
menerima taubatnya. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang” (Q.S al Baqarah (02): 37)
Yang artinya:
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan Kami, Kami telah menganiaya diri kami sendiri
dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (Q.S Al A’raf (07): 23).
Penafsiran Nabi Saw seperti ini merupakan penafsiran atas ayat-ayat yang
ringkas dan yang masih global (mujmal) dengan menggunakan ayat yang jelas

arahnya (mubayyan), juga penafsiran atas ayat yang masih umum (‘am) dengan ayat
yang khusus (khas), menafsiri ayat yang masih bersifat tak terbatas (muthlaq)
dengan ayat yang sudah dibatasi (muqayyad).
2. Tafsir Al – Qur’an Pada Masa Sahabat ( Pasca Kemangkatan Nabi Saw)
Setelah kemangkatan Nabi Saw, para sahabat dalam menafsirkan suatu ayat
Al Qur’an lebih dulu mencarinya dalam Al Qur’an apakah ada ayat yang bisa
menafsirkan atau tidak ada sama sekali. Kemudian setelah mereka tidak
menemukan ayat yang bisa menafsirkannya, mereka beralih ke sunnah atau haditshadits Nabi Saw. Kemudian apabila mereka tidak menemukan ayat Al Qur’an dan
hadits Nabi Saw yang bisa menafsiri, mereka melakukan penalaran dan ijtihad
dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Dalam berijtihad, sahabat telah
memiliki beberapa modal yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk melakukan
ijtihad, diantaranya adalah: 4[4] (1) pengetahuan yang memadai tentang sastra Arab,
4

4

(2) pengetahuan akan adat istiadat dan moral Bangsa Arab, (3) pengetahuan tentang
tingkah dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nashrani di Jazirah Arab pada saat
turunnya Al Qur’an, (4)pengetahuan tentang asbab al nuzul, (5) kemampuan
penalaran dan daya tangkap.

Pada tahap selanjutnya, sahabat juga menyandarkan penafsiran pada ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani). Rujukan ini dilakukan jika memang sudah tidak
menemukannya dalam Al Qur’an dan hadits sebagai landasan dalam menafsirkan
ayat Al Qur’an. Meskipun demikian, sahabat tidak terlalu banyak merujuk dari ahli
kitab, dan mereka tetap melakukan pemilahan dari apa yang mereka dengar dari ahli
kitab tersebut, apakah sesuai dengan akidah dan syari’at Islam atau tidak. Rujukan
dari ahli kitab ini dilakukan hanya untuk mengambil aspek nasehat dan pelajaran
yang ada di dalam ayat itu saja, tidak lebih. Biasanya yang sahabat tanyakan pada
ahli kitab adalah ayat-ayat yang masih ada kaitannya dengan Kitab Taurat dan Injil,
seperti cerita nabi dan umat terdahulu yang baik di dalam Al Qur’an dan hadits tidak
dijelaskan secara rinci.
Adapun karakteristik tafsir pada masa ini antara lain:5[5]
1. Penafsiran pada masa itu belum merupakan tafsir yang utuh. Artinya Al Qur’an
tidak ditafsirkan semua, hanya ayat-ayat tertentu saja yang dianggap sulit
pengertiannya yang diberi tafsiran. Dari situ kemudian penafsiran itu
berkembang sedikit demi sedikit seiring dan senapas dengan perkembangan
zaman dan problem yang dihadapi umat.
2. Sedikit terjadi perbedaan dalam memahami lafadz Al Qur’an, sebab problem
yang dihadapi umat pada waktu itu tidak serumit sekarang
3. Mencukupkan penafsiran secara global (ijmali)

4. Membatasi penafsiran dengan penjelasan berdasar makna bahasa yang primer
5. Tidak ada penafsiran secara ilmi, fiqhi, dan madzhabi (sektarian)

5

5

6. Belum ada pemubukuan tafsir, sebab pembukuan baru ada setelah abad II H.
meskipun sebenarnya sudah ada shahifah yang sudah berisi tafsir, tetapi oleh
para ulama mutaakhirin dianggap sebagai catatan belaka.
7. Penafsiran saat itu merupakan bentuk perkembangan dari hadits, bahkan
merupakan dari perkembangan hadits. Sebab tafsir pada mulanya merupakan
cabang dari hadits yang diriwayatkan dari nabi mengenai hal-hal yang terkait
dengan penafsiran ayat-ayat Al Qur’an.
Tokoh-tokoh mufassir pada masa sahabat, yang termasyhur ada 10 orang
yaitu: (1) Abu Bakar as Shidiq, (2) Umar bin Khatab, (3) Utsman bin Affan, (4) Ali
bin Abi Thalib, (5) Ibn Mas’ud, (6) Ibn Abbas, (7) Ubay bin Ka’ab, (8) Zaid bin
Tsabit, (9) Abu Musa al Ash’ari, (10) Abdullah bin Zubair.6[6]
Jumhur ulama berpendapat, tafsir sahabat mempunyai status marfu’ bila
berkenaan dengan asbabun nuzul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki

ra’yu. Sedangkan hal yang mungkin dimasuki ra’yu maka statusnya mauquf pada
sahabat jika tidak disandarkan kepada Rasulullah Saw.
3.

Tafsir Al – Qur’an Pada Masa Tabi’in
Pergerakan dan pertumbuhan tafsir pada periode tabiin ini tidak jauh berbeda

dari tafsir pada periode sebelumnya. Mereka sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan tafsir yang diperoleh dari para sahabat. Seperti para pendahulunya,
para tabiin selalu berpijak pada dasar yang sama dalam meriwayatkan Al Qur’an.
Mereka lebih dahulu merujuk pada Al Qur’an dalam penafsiran mereka. Kemudian
berlanjut ke hadits Nabi Saw, apabila tidak ditemukan juga, maka mereka
menafsirinya dengan perkataan dan ijtihad para sahabat. Para tabi’in baru
melakukan ijtihad dalam penafisran Al Qur’an setelah ketiga tahap diatas tidak
mendapatkan pijakan dalam penafsiran ayat Al Qur’an. Langkah terakhir yang
mereka lakukan dalam melakukan penafsiran Al Qur’an adalah bertanya pada Ahli
kitab.
6

6


Yang membedakan penafsiran yang dilakukan para tabi’in dari penafsiran
para sahabat adalah frekuensi penafsiran tabi’in lebih banyak, yang sebelumnya
tidak ada dalam penafsiran dari sahabat. Selain itu, perujukan kepada Ahli kitab
juga semakin sering dan semakin mudah dilakukan oleh mereka. Hal ini merupakan
konsekuensi logis

dari semakin luasnya wilayah

Islam, yang akhirnya

membutuhkan tafsir pada ayat-ayat yang belum ditafsiri pada masa sahabat dan juga
sebagai imbas dari semakin banyaknya orang-orang yang masuk Islam dari
kalangan Non Arab, terutama Ahli kitab yang ingin mengetahui tentang ayat-ayat Al
Qur’an yang mengisahkan isra’illiyat.
Tafsir pada masa tabiin masih berkembang dengan cara perjumpaan tokoh
mufassir dalam meriwayatkan tafsir seperti masa sahabat atau nabi, hanya saja
periwayatan ini mempunyai kekhususan yaitu bahwa periwayatan terjadi antara
tokoh aliran tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya. Pada masa sahabat,
periwayatan disertai dengan makna yang paripurna dan menyeluruh (tidak terpaku

pada satu orang saja yang meriwayatkannya). Sedangkan pada periode ini, talaqqi
dilakukan secara tertentu dengan gurunya saja. Seperti di Mekkah, talaqqi
periwayatan hanya kepada Ibn ‘Abbas, di Madinah hanya kepada Ubay bin Ka’ab,
dan di Irak hanya kepada Ibn Mas’ud. Pada masa ini para tabiin tidak melakukan
lintas riwayat dan lintas talaqqi kepada sahabat-sahabat yang lainnya. Hal-hal lain
yang membedakan tafsir periode tabiin ini adalah mulai tumbuhnya benih-benih
mahzab atau aliran agama dan banyaknya pertentangan dan perbedaan penafsiran di
antara tabiin, meskipun jumlahnya sedikit bila dibandingkan dengan tafsir pada
periode berikutnya.
Secara garis besar aliran-aliran tafsir pada masa ini dapat dikategorikan
menjadi tiga kelompok:7[7]
1. Aliran tafsir di Mekkah
Aliran tafsir ini didirikan oleh murid-murid sahabat Abdullah ibn Abbas, seperti:
Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha bin Abi Rabah, Ikrimah maula Ibnu Abbas dan
7

7

Thawus bin Kisan al Yamani. Mereka ini semua dari golongan maula (sahaya yang
telah dibebaskan).

Aliran ini berawal dari keberadaan Ibn Abbas sebagai guru di Mekkah yang
menafsirkan Al Qur’an kepada tabiin dengan menjelaskan hal-hal yang musykil.
Para tabiin tersebut kemudian meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas dan
menambahkan pemahamannya dan mentransfer kepada generasi berikutnya.
Dalam hal qira’ah, aliran ini memakai qira’ah yang berbeda-beda. Seperti
Said bin Jubair, kadang-kadang memakai qiraah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan
kadang-kadang memakai qiraah Zaid bin Tsabit. Sementara itu dalam hal metode
penafsiran, aliran ini sudah memakai dasar aqli.
2. Aliran tafsir di Madinah
Aliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab yang didukung oleh sahabatsahabat lain di Madinah dan selanjutnya diteruskan oleh tabiin Madinah seperti Abu
‘Aliyah, Zaid bin Aslam, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
Aliran tafsir di Madinah muncul karena banyaknya sahabat yang menetap di
Madinah bertadarus Al Qur’an dan sunnah Rasul yang diikuti oleh para tabiin
sebagai murid-murid sahabat melalui Ubay bin Ka’ab. Melalui beliaulah para tabiin
banyak menafsirkan Al Qur’an yang seterusnya disebarluaskan kepada generasi
selanjutnya sampai kepada kita.
Para aliran tafsir Madinah telah ada sistem penulisan pada naskah-naskah
dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu ‘Aliyah dari Rabi’ dari Abu Ja’far al-Razy.
Demikian juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim banyak meriwayatkan
tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. Pada aliran ini telah berkembang ta’wil terhadap
ayat-ayat Al Qur’an. Dengan kata lain, pada aliran tafsir di Madinah ini telah timbul
penafsiran bir ra’yi.
3. Aliran tafsir di Irak
Aliran tafsir di Irak ini dipelopori oleh Abdullah Ibn Mas’ud (dipandang
oleh para ulama sebagai cikal bakal aliran ahli ra’yi) dan dilindungi oleh Gubernur
Irak, ‘Ammar bin Yasir, serta didukung oleh tabiin di Irak seperti: Al Qomah bin

8

Qais, Masruq, Aswad bin Yasir, Murrah al Hamdani, Amir asy Sya’bi, Hasan al
Basri, Qatadah bin Di’amah.
Berangkat dari penunjukkan Khalifah Umar terhadap Ammar bin Yasir
sebagai Gubernur Kuffah dan Ibnu Mas’ud sebagai ulama di Kuffah, penafsiran Al
Qur’an Ibnu Mas’ud banyak diikuti oleh tabiin di Iraq, yang kemudian dilanjutkan
kepada generasi setelahnya.
Secara global, aliran ini lebih banyak berwarna ra’yi. Sebagai akibat warna
tersebut, maka timbul banyak masalah khilafiyyah dalam penafsiran Al Qur’an yang
selanjutnya memunculkan metode istidlal (deduktif).
Sebenarnya, baik tafsir periode Nabi dan sahabat serta tabiin, sifatnya
pendek-pendek dan ringkas. Hal ini dikarenakan penguasaan Bahasa Arab yang
murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya Bahasa Al Qur’an. Adapun
karakteristik tafsir pada masa tabiin secara ringkas dapat disimpulkan sebagai
berikut: (1) pada masa ini tafsir juga belum dikodifikasi secara tersendiri, (2) tradisi
tafsir juga masih bersifat hafalan dan riwayat, (3) tafsir sudah kemasukan
isra’illiyyat, karena keinginan sebagian para tabiin untuk mencari penjelasan secara
detail mengenai cerita dalam Al Qur’an, (4) sudah mulai muncul benih-benih
perbedaan mazhab dalam penafsirannya, (5) sudah banyak perbedaan pendapat
antara penafsiran para tabiin dengan para sahabat. 8[8]
Untuk dijadikan sebagai rujukan, tafsir dari tabiin masih diperselisihkan oleh
ulama. Akan tetapi, perbedaan pendangan ini hanya berkisar pada tafsir yang bukan
peninggalan Nabi Saw dan sahabat. Sebagian besar ulama memilih bahwa tafsir dari
tabiin wajib untuk dijadikan rujukan karena mereka secara langsung mendapatkan
riwayat tafsir dari sahabat Nabi Saw. Sedangkan kelompok ulama lain, bersikukuh
bahwa riwayat tafsir dari tabiin tidak wajib untuk digunakan dengan alasan: (1)
mereka tidak mendengar langsung tafsir dari Nabi Saw seperti halnya sahabat, (2)
tabiin tidak menyaksikan secara langsung asbab al nuzul, yang bisa saja
menyebabkan mereka salah dalam memahami apa yang dikehendaki dari sebuah
8

9

ayat, (3) sifat ‘adil dari para tabiin masih diragukan, tidak sperti sahabat yang sudah
pasti sifat ‘adalah-nya. Husain al Dzahabi menengahi dua pendapat yang kontras itu
dengan mewajibkan tafsir dari tabiin untuk dijadikan rujukan hanyalah masalah
yang tidak memiliki peluang untuk penalaran dan tidak ada keraguan sedikitpun
serta hal-hal yang menjadi kesepakatan (ijma’) tabiin melalui penalaran, sedangkan
hal-hal yang masih diragukan seperti keterangan dari ahli kitab tidak wajib
dijadikan pegangan dan harus ditinggalkan.9[9]
4.

Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Masa Periode Klasik10[10]
Ada beberapa kelebihan tafsir pada masa klasik terutama pada masa sahabat,

antara lain yaitu: (1) tidak bersifat sektarian yang dimaksudkan untuk membela
madzhab tertentu, (2) tidak banyak perbedaan pendapat diantara mereka mengenai
hasil penafsirannya, (3) belum kemasukan riwayat-riwayat isra’iliyyat yang dapat
merusak akidah Islam (terutama tafsir masa Nabi dan sahabat).
Ada beberapa kelemahan tafsir pada masa klasik, antara lain: (1) belum
mencakup keseluruhan penafsiran ayat Al Qur’an, sehinga masih banyak ayat-ayat
Al Qur’an yang belum ditafsirkan, (2) Penafsirannya masih bersifat parsial dan
kurang mendetail dalam menafsirkan suatu ayat sehingga kadang sulit mendapatkan
gambaran yang utuh mengenai pandangan Al Qur’an terhadap suatu masalah
tertentu, (3) pada masa tabiin tafir sudah mulai bersifat sectarian dan mulai
terkontaminasi oleh kepentingan madzhab tertentu, sehingga menjadi kurang
objektif dalam menafsirkan Al Qur’an, (4) tafsir pada masa tabiin sudah mulai
kemasukan riwayat-riwayat isra’iliyyat, yang sebagian dapat membahayakan
kemurnian ajaran Islam.
9
10

10

B. Tafsir Al – Qur’an Pada Periode Pertengahan
Secara garis besar tafsir Al Qur’an pada periode pertengahan ini
diklasifikasikan menjadi lima periode, yaitu: 11[11]
1. Periode I, pada zaman Bani Muawiyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang
masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan
sebelumnya.
2. Periode II, telah dilakukan pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara
terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran
ayat dibawah ayat tersebut. seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At Thobary,
Abu Bakar An Naisabury, Ibnu Abi Hatim, dengan mencantumkan sanad
masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat, dan tabi’in
3.

Periode III, membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil
pendapat para ulama tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam
membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para
mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran/ kesalahan
dari tafsir tersebut.

4. Periode IV, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku terjemahan
dari luar Islam. Sehingga pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir
menurut bidang keilmuan para mufassirnya
5. Periode V, tafsir maudhui yaitu tafsir dibukukan menurut suatu pembahasan
tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan. Seperti yang ditulis oleh Ibn Qoyyim
dalam bukunya At Tibyan Fi Aqsamil Al Qur’an, Abu Ja’far An Nukhas dengan
Nasih wal Mansukh, Al Wahidi dengan Asbabun Nuzul, dan Al Jassos dengan
Ahkamul Qur’annya.
Periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang
sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Dalam peta
sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan ilmu
11

11

pengetahuan. Perhatian resmi dari pemerintahan dalam hal ini menjadi stimulus
yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri.
Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir
mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadits Nabi
Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa
(khalifah) yang berkuasa pada saat itu (masa akhir dari Dinasti Umayyah dan awal
Dinasti Abbasiyyah).
Pada akhir abad ke-3 H dan permulaan abad ke-4 H, geliat tafsir mengalami
perubahan genre. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadits-hadits
selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat
tafsir dan sesuai dengan urutan ayat-ayat Al Qur’an. Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H)
diakui sebagai orang pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui karyanya
Jami’ al Bayan fi Ta’wil Ay Al Qur’an. 12[12]
Tafsir pada generasi ini masih menggunakan metode riwayat (naql atau
ma’tsur) dari hadits Nabi Saw, sahabat, maupun tabiin, dan ulama-ulama setelahnya
(tabi’ al-tabi’in) lengkap dengan sanadnya. Tak terkecuali tafsir milik Al Thabari
yang sering menyelipkan pendapat-pendapat ulama (baik dalam masalah gramatika
Bahasa Arab, mazhab fikih ataupun aliran-aliran ilmu kalam), yang kemudian mentarjih-nya (mengunggulkan salah satu pendapat), menjelaskan tata bahasa, serta
menggali hukum dari ayat-ayat Al Qur’an. Selain riwayat dari Nabi Saw, sahabat,
tabiin, mereka juga mengutip tafsir dari kitab-kitab generasi sebelumnya beserta
sanad yang sampai kepada sang pengarang tafsir. Selain itu, maraknya riwayat
isra’iliyyat juga mewarnai tafsir generasi ini.
Kebijakan Dinasti Abbasiyyah sangat mendukung terjadinya pelebaran
wilayah kajian tafsir pada periode ini. Pada masa Dinasti ‘Abbasiyyah,
perkembangan keilmuan Islam sangat pesat, sehingga usaha-usaha penulisan dalam
berbagai bidang keilmuan seperti imu gramatika Arab, hadits, sejarah, ilmu kalam,
dan lainnya mendapat perhatian yang cukup besar. Mulai periode ini dan periode
12

12

setelahnya, tafsir yang dulu hanya bersandar pada riwayat hadits Nabi Saw, sahabat
dan tabiin (naql, riwayat), mulai bergerak menjalar ke wilayah nalar ijtihad (‘aqli).
Penafsiran tidak lagi sekedar hanya menukil riwayat-riwayat dari pendahulunya.
Ayat-ayat yang tidak atau belum sempat ditafsiri oleh Nabi Saw maupun sahabat
menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sebagai ladang penafsiran dengan al ra’yi
al ijtihadi. Belum lagi penafsiran-penafsiran pada hal-hal yang tidak begitu penting
kaitannya dengan ayat Al Qur’an. Tafsir juga dijadikan sarana pencarian
pembenaran bagi sebagian golongan. Apalagi dengan maraknya fanatisme
bermazhab dalam bidang fiqih, aliran-aliran ilmu kalam, sampai dengan bidang
gramatika Bahasa Arab (nahw sharf). Penafsiran yang dilakukan sesuai dengan
golongan atau bidang yang mereka geluti.
Corak tafsir periode pertengahan ini, dengan latar belakang seperti tersebut
diatas, maka dapat ditebak kalau tafsir yang muncul ke permukaan pada periode ini
akan didominasi oleh kepentingan spesialisasi yang menjadi basis intelektual
mufassirnya. Adanya orang-orang tertentu diantara para peminat studi masingmasing disiplin ilmu yang mencoba menggunakan basis pengetahuannya sebagai
kerangka pemahaman Al Qur’an, atau bahkan diantaranya yang sengaja mencari
dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari Al Qur’an, maka muncullah apa yang
disebut dengan tafsir fighiy, tafsir I’tiqadiy, tafsir sufiy, tafsir ilmiy, tafsir tarbawiy,
tafsir akhlaqiy, dan tafsir falsafiy. 13[13]
Penafsiran – penafsiran seperti ini terus berkembang dan berlanjut hingga
melahirkan beratus-ratus kitab tafsir dengan berbagai macam ragam. Meskipun
demikian, masih ada kitab tafsir yang tetap berpegang teguh dengan konsep riwayat
(ma’tsur) di luar Tafsir al Thabari, seperti Bahr al-Ulum miliknya al Samarqandi (w.
373 H), Mu’alim al Tanzil tafsir karangan al Baghawi (w. 510 H), al Muharrar al
Wajiz fi Tafsir al Kitab al Aziz Tafsir karangan Ibn ‘Athiyyah (w. 546 H), kitab
Tafsir al Qur’an al Azhim karangan Ibn Katsir (w. 774 H), al- Durr al Mantsur fi al
Tafsir al Ma’tsur karya al Suyuthi (w. 911 H).
13

13

C. Tafsir Al – Qur’an Pada Periode Modern
Dalam kajian tafsir, sebagaimana penafsiran sebelumnya, tafsir abad modern
selalu terdorong untuk menyesuaikan al Qur’an dengan kondisi para mufassirnya.
Pengaruh ilmu pengetahuan barangkali merupakan faktor utama dalam melahirkan
dan memicu para penafsir memberikan respon. Mereka pada umumnya yakin bahwa
umat Islam belum memahami hakikat pesan al Qur’an secara utuh, karena itu
mereka belum bisa menangkap spirit rasional Al Qur’an. Kaum modernis
mempunyai pandangan misalnya, menafsirkan al Qur’an sesuai dengan penalaran
rasional, dengan konsep penafsiran al Qur’an dengan al Qur’an, atau kembali
kepada al Qur’an. Mereka juga menentang legenda, fantasi, magic, tahayul dengan
cara mengembangkan penafsiran simbolis.14[14]
Sebagaimana golongan fuqaha, kaum modernis juga memahami dan
menafsirkan Al Qur’an sesuai dengan pemikirannya. Mereka menyakini bahwa
penafsiran al Qur’an tidak hanya hak para ulama terdahulu, melainkan terbuka bagi
setiap muslim. Dalam pandangan para pembaharu, mufassir klasik selalu
menyesuaikan karya mereka dengan keadaan zamannya. Oleh karena itu pada
periode sekarang penafsiran diorientasikan ke masa kini.
Semboyan yang selalu diungkapkan adalah bahwa Al Qur’an itu salih li
kulli zaman wa makan, dalam pengertian mereka tidak sekedar menerima begitu
saja apa yag terungkap secara literal (sebagaimana kebanyakan mufassir terdahulu),
namun berusaha memahami dengan selalu mencoba melihat konteks dan makna di
balik ayat-ayat Al Qur’an. Dengan kata lain, yang ingin dicari adalah “ruh” atau
pesan moral Al Qur’an sendiri. Beberapa tafsir abad modern, antara lain adalah
Tafsir Fath al Qadir karya al Shaukani, dan Tafsir Ruh al Ma’ani karya al Alusi.15
[15]
D. Tafsir Al – Qur’an Pada Periode Kontemporer
14
15

14

Pengertian

kontemporer

biasanya

dikaitkan

dengan

zaman

yang

berlangsung. Istilah kontemporer ini sering kali dipakai untuk menunjukkan periode
yang tengah kita jalani sekarang, buka periode yang telah berlalu. Dalam konteks
perkembangan tafsir, istilah masa kontemporer terkait dengan situasi dan kondisi
tafsir pada saat ini. Dengan demikian, ia dibedakan dengan masa modern.
Meski demikian, perkembangan tafsir masa kontemporer sangat tidak bisa
dilepaskan dengan perkembangannya di masa modern. Setidaknya, gagasan-gagasan
yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula sejak zaman modern,
yakni pada masa Muhammad ‘Abduh dan Rashid Rida. Hanya saja secara
substansial, terdapat banyak perbedaan antara masa kedua mufassir ini dengan
perkembangan tafsir yang terjadi saat ini.
Berangkat dengan tujuan untuk mengembalikan al Qur’an sebagai hudan li
an Nas, metode yang digunakan oleh para mufassir kontemporerpun sedikit banyak
berlainan dengan yang digunakan oleh para mufassir tradisional. Kalau para
mufassir tradisional kebanyakan cenderung melakukan penafsiran dengan memakai
metode tahlily (analitis), maak dalam masa kontemporer penafsiran dilakukan
dengan menggunakan metode ijmaly (global), mawdu’iy (tematik) atau penafsiran
ayat-ayat tertentu dengan menggunakan pendekatan-pendekatan modern seperti
semantik, analisis gender, semiotik, hermeneutika, dan sebagainya. 16[16]
Diantara berbagai metode yang berkembang di masa kontemporer, metode
mawdu’iy tampaknya merupakan yang paling banyak diminati oleh para mufassir
kontemporer. Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan pendekatan ini adalah
al insan fi al Qur’an dan al Mar’ah fi al Qur’an karya Mahmud Abbas al Aqqad, al
Riba fi al Qur’an karya Abu al A’la al Mawdudiy, al Aqidah fi al Qur’an karya
Muhammad Abu Zahra, dll. Di Indonesia kita juga bisa membaca buku Wawasan al
Qur’an karya Quraish Shihab atau Ensiklopedia al Qur’an karya Dawam Raharjo
yang juga menggunakan metode tematik ini.17[17]
16
17

15

BAB III
PENUTUP
Yang dapat disimpulkan dari makalah ini, antara lain sebagai berikut:
1. Tafsir al Qur’an mengalami pertumbuhan dan perkembangan dari masa ke masa.
2. Pertumbuhan dan perkembangan tafsir al Qur’an itu sendiri dalam konteks
historis, metodologis, corak, dan geografis-nya.
3. Pemetaan pertumbuhan dan perkembangan tafsir al Qur’an dibagi menjadi
beberapa periode yaitu:
a. periode klasik, yang terdiri dari zaman Nabi Saw, zaman sahabat, dan zaman
tabi’in
b. periode pertengahan, periode ini tafsir al Qur’an mulai dibukukan dengan
melewati lima tahapan masanya (dari periode I hingga periode V).
c. periode modern, pada periode ini tafsir al Qur’an semakin banyak terlahir
dengan dipengaruhi berkembangnya berbagai macam disiplin ilmu
pengetahuan
d. periode kontemporer, pada periode ini tafsir al Qur’an banyak dilakukan
para mufassir dengan menggunakan metode ijmaly (global) dan metode
mawdu’iy (tematik)

DAFTAR RUJUKAN
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an dan
Tafsir. 2000. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.

16

Arifin, M. Zaenal. Pemetaan Kajian Tafsir: Perspektif Historis, Metodologis,
Corak, dan Geografis. 2010. Kediri: STAIN Kediri Press.
Mustaqim, Abdul. Aliran-Aliran Tafsir. 2005. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Mustaqim, Abdul. Studi Al Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir. 2002. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. 2007. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Syurbasyi, Ahmad. diterjemah oleh Zufran Rahman. Study Tentang Sejarah
Perkembangan Tafsir Al Qur’anul Al Karim. 1999. Jakarta: Kalam Mulia.
Shihab, Quraish. Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. 1994. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN. Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir
Kalamullah. 2011. Kediri: Lirboyo Press.
http://pwknw.blogspot.com/2009/11/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html,
diakses 11 Desember 2011

17