Sejarah bulukumba kajang ammatoa Men

Sejarah bulukumba kajang ammatoa…{_-}
A fine WordPress.com site

Menu
Lanjut ke konten


Beranda



About

Hidup Selaras dengan Alam sebagai
Kosmologi Suku Kajang, Bulukumba,
Sulawesi Selatan
Juni 17, 2012

Hidup Selaras dengan Alam sebagai
Kosmologi Suku Kajang, Bulukumba,
Sulawesi Selatan

Masyarakat Kajang dengan identitas budayanya: berpakaian serba hitam
A. Asal-usul
Di tengah-tengah maraknya aksi pembalakan liar oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab
akhir-akhir ini, melihat praktek hidup Suku Kajang—atau yang juga disebut masyarakat adat
Ammatoa—dalam melestarikan kawasan hutannya seolah-olah memberi secercah harapan
bagi kelestarian lingkungan alam. Masyarakat adat Ammatoa yang hidup di Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara
geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan
pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat
dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan
hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006).
Gapura untuk memasuki kawasan adat Ammatoa Suku Kajang

Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan
Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa
Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa
Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan
Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan
dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan
Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa

Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe (Aziz, 2008).
Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya
berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka memraktekkan cara hidup sangat sederhana
dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi
dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian
sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang
kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006).
Masyarakat Kajang dalam sebuah upacara
Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung.
Istilah Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa Makassar yang jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia berarti “mencari sumber kebenaran” (to inquiri into or to
investigate the truth). Ajaran Patuntung mengajarkan—jika manusia ingin mendapatkan
sumber kebenaran tersebut, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu
menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna, dan nenek
moyang (Rossler, 1990). Kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek Akrakna
merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung. Masyarakat adat
Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha
Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa (Adhan, 2005: 270).
Turiek Akrakna menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang
(sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernama

Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah
sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala
aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh
nenek moyang mereka dari generasi ke generasi (Usop, 1985). Pasang tersebut wajib ditatati,
dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar
pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam
sebuah pasang yang berbunyi “Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki” (Artinya:
Kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalu dilangkahi kita lumpuh)
(Adhan, 2005: 271).
Agar pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh
manusia, Turiek Akrakna memerintahkan Ammatoa untuk menjaga, menyebarkan, dan
melestarikan pasang tersebut. Fungsi Ammatoa dalam masyarakat Kajang adalah sebagai
mediator, pihak yang memerantarai antara Turiek Akrakna dengan manusia. Dari mitos yang
berkembang dalam masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang
diturunkan oleh Turiek Akrakna ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat
pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang ini menjadi
tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat ini sebagai
Tanatoa, “tanah tertua”, tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka percaya, konon

di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah To Manurung

dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti perintah Turek Akrakna atau Yang Maha
Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung
Kajang yang menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi
permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni
orang Kajang dari Tanatoa. Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini
diterima sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka mendirikan
sebuah desa yang disebut sebagai Tanatoa atau tanah tertua tempat pertama kali manusia ada.
Karena itu, mereka meyakini To Manurung sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi Suku
Kajang) yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut
menjadi pedoman mereka dalam hidup keseharian, dan nama burung Kajang kemudian
digunakan sebagai nama komunitas mereka (http://www.liputan6.com/progsus/?id=20087).
Melalui pasang, masyarakat Ammatoa menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan
komponen dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis; Turiek Akrakna (Tuhan),
Pasang, Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang telah diberikan oleh Turiek Akrakna
kepada leluhur mereka. Merawat hutan, bagi masyarakat Kajang merupakan bagian dari
ajaran pasang, karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turiek
Akrakna kepada leluhur Suku Kajang. Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat
kekuatan gaib yang dapat menyejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika tidak
dijaga kelestariannya. Kekuatan itu berasal dari arwah leluhur masyarakat Kajang yang
senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia (Aziz, 2008).

Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya menebang pohon dan
membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut akan menurunkan
kutukan. Kutukan itu dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau
juga dapat mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di lingkungan Tanatoa Kajang.
Tentang hal ini, sebuah pasang menjelaskan:
Naparanakkang juku
Napaloliko raung kaju
Nahambangiko allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo‘rang Ere Tua
Nakajariangko Tinanang
Artinya:
Ikan bersibak pohon-pohon bersemi,
Matahari bersinar,hujan turun,
Air Tuak menetes,
segala tanaman menjadi (Adhan, 2005: 262).
Pasang di atas merupakan gambaran bagaimana masyarakat Kajang menghormati
lingkungannya dengan cara menjaga hutan agar tetap lestari. Bagi orang Kajang, tetap
terjaganya kelestarian hutan juga merupakan petanda bahwa Ammatoa yang terpilih diterima
oleh Turiek Akrakna dan alam. Ammatoa dianggap telah berhasil mengimplementasikan

ajaran-jaran pasang sebagaimana dititahkan oleh Turiek Akrakna. Terlepas dari benarsalahnya ajaran yang diyakini masyarakat Kajang, yang pasti konstruksi mereka tentang
hutan yang bersifat sakral tersebut tidak dapat disangkal telah berperan besar dalam menjaga
tetap lestarinya kawasan hutan mereka.

B. Konsep Kearifan Ekologis Suku Kajang
Berbicara tentang kearifan ekologis yang dipraktekkan oleh masyarakat Kajang, kita tidak
dapat melepaskannya dari sebuah prinsip hidup yang disebut tallase kamase-mase, bagian
dari pasang yang secara eksplisit memerintahkan masyarakat Kajang untuk hidup secara
sederhana dan bersahaja. Secara harfiah, tallase kamase-mase berarti hidup memelas, hidup
apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut
pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turek Akrakna. Prinsip tallase kamase-mase,
berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk
makan, maupun dalam kebutuhan pakaiannya. Dengan cara yang demikian, maka keinginan
mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari, setidak-tidaknya dapat
ditekan seminimal mungkin, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya (Salle, 2000).
Hidup sederhana bagi masyarakat Kajang adalah semacam ideologi yang berfungsi sebagai
pemandu dan rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas
tallase kamase-mase ini tercermin dalam pasang sebagai berikut:



Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a‘dakkako nu kamasemase, a‘meako nu kamase-mase artinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau
sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana.



Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na rie, care-care na
rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju. Artinya; Kekayaan itu tidak
kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya,
membeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya (Restu dan Sinohadji,
2008).



Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga.
Artinya; Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan.
Pasang ini mengajarkan nilai kebersahajaan bagi seluruh warga masyarakat Kajang,
tak terkecuali Ammatoa, pemimpin tertinggi adat Kajang. Hal ini dapat dipandang
sebagai filosofi hidup mereka yang menempatkan langit, dunia, manusia dan hutan,
sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam suatu ekosistem yang harus dijaga
keseimbangannya. Manusia hanyalah salah satu komponen dari makro kosmos yang

selalu tergantung dengan komponen lainnya. Untuk itu, dalam berinteraksi dengan
komponen makro kosmos lainnya, manusia tidak boleh bertindak sewenang-wenang
karena akan merusak keseimbangan yang telah tertata secara alami (Salle, 2000).

Masyarakat adat Kajang sangat konsisten memegang teguh prinsip tallase kamase-mase ini.
Hal ini dapat dilihat dari cara mereka mengimplementasikannya dalam praktek hidup seharihari sebagai berikut:


Bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam besarnya, dan sedapat
mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu bermaksud menghindari saling
iri di kalangan mereka, yang dapat berakibat pada keinginan memperoleh hasil lebih
banyak dengan cara merusak hutan.
Bentuk bangunan rumah Suku Kajang



Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya batu-bata. Menurut pasang, hal
ini adalah pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat
yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun
penghuninya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah mati, karena

sudah dikelilingi oleh tanah. Apabila diperhatikan hal tersebut lebih jauh, maka
sebenarnya pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan pelestarian hutan.
Bukankah untuk membuat batu-bata, diperlukan bahan bakar kayu, karena proses
pembakaran batu-bata memerlukan kayu bakar yang cukup banyak. Dengan
pantangan itu sebenarnya memberikan perlindungan pada bahan bakar kayu yang
sumber utamanya berasal dari hutan.



Memakai pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam untuk pakaian (baju, sarung)
adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan.
Menurut pasang, tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang
lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian (baju dan sarung)
menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turek Akrakna.
Kesamaan bukan hanya dalam wujud lahir, akan tetapi juga dalam menyikapi keadaan
lingkungan, utamanya hutan mereka, sehingga dengan kesederhanaan yang demikian,
tidak memungkinkan memikirkan memperoleh sesuatu yang berlebih dari dalam
hutan mereka. Dengan demikian hutan akan tetap terjaga kelestariannya (Salle, 2000).

Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya

alam di sekitar mereka, masyarakat adat Kajang dengan demikian bukanlah masyarakat yang
mengejar kekayaan material, namun mengejar kehidupan abadi di akhirat. Karena itu, bagi
mereka, tanah bukan untuk dieksploitasi demi materi, melainkan sekedar untuk memenuhi
kebutuhan hidup secukupnya. Dari penjelasan tersebut, tallase kamasa-mase juga merupakan
representasi dari tiga prinsip utama. Pertama, perbuatan manusia di dunia akan
mempengaruhi kehidupannya di akhirat. Jika manusia berbuat baik di dunia, maka ia akan
menuai kebaikan pula kelak di akhirat. Sebaliknya, jika ia berbuat kejahatan di dunia, maka
kelak di akhirat ia akan mendapat celaka. Kedua, setiap orang harus mengerahkan unsur
dirinya, jasmani maupun rohani, kepada nasihat, petuah, dan petunjuk Yang Mahakuasa untuk
mendapatkan kedudukan yang baik di sisi Tuhan. Dan ketiga, paham kehidupan materialistis
di dunia dapat berakibat buruk dalam kehidupan manusia (Suriani, 2006). Dengan prinsip
tallase kamasa-mase ini, masyarakat adat Kajang diharapkan mampu mengekang hawa
nafsunya, selalu bersikap jujur, tegas, sabar, rendah hati, tidak melakukan perbuatan yang
merugikan orang lain, dan tidak memuja materi secara berlebihan.
Selain ajaran tallase kamasa-mase, masyarakat adat Kajang juga memiliki mekanisme lain
untuk menjaga kelestarian hutan mereka, yaitu dengan cara menetapkan kawasan hutan
menjadi tiga bagian di mana setiap bagian memiliki fungsi dan makna yang berbeda bagi
masyarakat adat. Ketetapan ini langsung dibuat oleh Ammatoa. Secara lebih jelas Al Rawali
(2008) menyebutkan tiga kawasan hutan tersebut sebagai berikut:
Kawasan yang pertama adalah Barong Karamaka atau hutan keramat, yaitu kawasan hutan

yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus
steril dari kegiatan penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan
fauna yang ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasan
barong karamaka ini begitu sakral bagi masyarakat Kajang karena adanya keyakinan bahwa
hutan ini adalah tempat tinggal para leluhur orang Kajang. Hal ini diungkapkan secara jelas
dalam sebuah pasang, yaitu: “Talakullei nisambei kajua, Iyato‘ minjo kaju timboa. Talakullei

nitambai nanikurangi borong karamaka. Kasipalli tauwa a‘lamung-lamung ri boronga,
Nasaba‘ se‘re wattu la rie‘ tau angngakui bate lamunna” (Artinya: Tidak bisa diganti
kayunya, itu saja kayu yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu.
Orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui
bekas tanamannya.
Kawasan yang kedua adalah Barong Batasayya atau hutan perbatasan. Hutan ini merupakan
hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan
seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir boleh tidaknya masyarakat
mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini
hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang
tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.
Namun, tidak semua kayu boleh ditebang. Hanya beberapa jenis kayu saja yang boleh
ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh, dan Pangi. Jumlah kayu yang ditebang pun harus sesuai
dengan kebutuhan, sehingga tidak jarang kayu yang ditebang akan dikurangi oleh Ammatoa.
Syarat utama ketika orang ingin menebang pohon adalah orang yang bersangkutan wajib
menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka
penebangan pohon baru dapat dilakukan. Menebang satu jenis pohon, maka orang yang
bersangkutan wajib menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh
Ammatoa. Penebangan pohon itu juga hanya boleh dilakukan dengan menggunakan alat
tradisional berupa kampak atau parang. Cara mengeluarkan kayu yang sudah ditebang juga
harus dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena dapat merusak
tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.
Dan kawasan yang ketiga adalah Borong Luara‘ atau hutan rakyat. Hutan ini merupakan
hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai
oleh rakyat, namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini tetap
masih berlaku. Ammatoa melarang setiap praktek kesewenang-wenangan dalam
memanfaatkan sumberdaya yang terdapat dalam hutan rakyat ini.
Agar ketiga kawasan hutan tersebut tetap mampu memerankan fungsinya masing-masing,
Ammatoa akan memberikan sangsi kepada siapapun yang melanggar ketentuan yang telah
dibuatnya itu. Sangsi yang diberikan tidaklah sama, tergantung di kawasan hutan mana orang
yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan di hutan keramat
akan mendapatkan sanksi yang paling berat.
C. Pengaruh Sosial
Masyarakat adat Kajang menerapkan ketentuan-ketentuan adat dalam kehidupan sehari-hari
termasuk dalam pemanfaatan hutan. Ketentuan adat yang diberlakukan di wilayah adat
Ammatoa Kajang diberlakukan kepada seluruh komponen masyarakat tanpa kecuali.
Ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur yang disampaikan secara turun temurun. Ketentuan
adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku (lebba) yang diterapkan kepada setiap orang
yang telah melakukan pelanggaran yang dapat merusak kelestarian lingkungan hutan. Dalam
hal ini diberlakukan sikap tegas (gattang), dalam arti konsekuen dengan aturan dan
pelaksanaannya tanpa ada dispensasi, sebagaimana disebutkan dalam pasang yang berbunyi:
‘Anre na‘kulle nipinra-pinra punna anu lebba‘ Artinya : Jika sudah menjadi ketentuan, tidak
bisa dirubah lagi (Restu dan Sinohadji, 2008).

Pasang secara eksplisit melarang setiap tindakan yang mengarah pada kemungkinan
rusaknya ekosistem hutan, seperti menebang kayu, memburu satwa, atau memungut hasilhasil hutan. Pasang inilah yang memberikan ketentuan tersebut agar aturan yang ditetapkan
berjalan dengan efektif. Konsekuensinya, bagi siapa saja yang melanggar aturan-aturan yang
telah ditentukan akan dikenai sanksi yang tegas. Tentang bagaimana usaha agar warga
masyarakat menaati aturan pelestarian hutan yang berdasarkan atas pasang, maka di bawah
kepemimpinan Ammatoa sebagai Kepala Adat Keammatoaan mengadakan acara abborong
(bermusyawarah) yang menetapkan bahwa pelanggaran atas ketentuan pasang yang
berhubungan dengan pelestarian hutan dikenakan denda (apabila diketahui pelanggarnya)
sebagai berikut:
Pertama, Cappa Ba‘bala atau pelanggaran ringan. Cappa Ba‘bala diberlakukan terhadap
pelanggar yang menebang pohon dari koko atau kebun warga masyarakat adat Ammatoa.
Hukumannya berupa denda enam real atau menurut mata uang Indonesia kira-kira setara
dengan uang enam ratus ribu rupiah. Selain itu, pelanggar juga wajib memberikan satu
gulung kain putih kepada Ammatoa.
Kedua, Tangnga Ba‘bala atau pelanggaran sedang. Tangnga ba‘bala merupakan sangsi untuk
pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan hutan perbatasan atau Borong Batasayya.
Pengambilan kayu atau rotan atau apa saja dalam kawasan ini tanpa seizin Ammatoa berarti
melanggar aturan Tangnga ba‘bala. Ketika seseorang diizinkan oleh Ammatoa untuk
mengambil sebatang pohon kemudian ternyata mengambil lebih banyak dari yang diizinkan,
maka orang tersebut telah melanggar aturan Tangnga ba‘bala ini. Denda dari pelanggaran ini
sebesar delapan real atau sebanding dengan delapan ratus ribu rupiah dengan mata uang
Indonesia ditambah satu gulung kain putih.
Ketiga, Poko‘ Ba‘bala atau pelanggaran berat. Poko‘ ba‘bala diberlakukan kepada seluruh
masyarakat yang bernaung di bawah kepemimpinan Ammatoa jika melakukan pelanggaran
berat menurut adat. Poko‘ ba‘bala diberlakukan jika masyarakat adat melakukan pelanggaran
di Barong maraka atau hutan keramat dalam bentuk mengambil hasil hutan baik kayu
maupun non kayu yang terdapat di dalamnya. Poko‘ ba‘bala merupakan hukuman terberat
dalam konsep aturan adat masyarakat Ammatoa. Masyarakat adat yang melakukan
pelanggaran berat dikenai sanksi berupa denda dua belas real, atau dalam mata uang
Indonesia setara dengan satu juta dua ratus ribu rupiah, kain putih satu lembar, dan kayu yang
diambil dikembalikan ke dalam hutan (Restu dan Sinohadji, 2008).
Di samping sanksi berupa denda, hukuman adat yang sangat mempengaruhi kelestarian hutan
adalah sanksi sosial berupa pengucilan. Hukuman ini bagi masyarakat adat kajang lebih
menakutkan. Jika masyarakat melanggar Poko‘ ba‘bala maka Ammatoa tidak akan
menghadiri setiap acara atau pesta yang dilangsungkannya. Ketika Ammatoa tidak hadir
maka setiap acara atau pesta yang berlangsung dianggap sia-sia. Bagi mereka yang telah
melanggarnya, lebih baik dipenjara seumur hidup daripada harus terkena Poko‘ ba‘bala.
Lebih menakutkan lagi karena sanksi pengucilan ini berlaku juga bagi seluruh keluarga
sampai tujuh turunan.
Apabila sebuah pelanggaran tidak diketahui siapa pelakunya, maka adat Ammatoa akan
melangsungkan upacara attunu panrolik (membakar linggis sampai merah karena panasnya).
Mendahului upacara tersebut dipukullah gendang di rumah Ammatoa dengan irama tertentu
yang langsung diketahui oleh warga masyarakat Keammatoaan, bahwa mereka dipanggil
berkumpul untuk menghadiri upacara attunu panrolik. Kepada setiap warga masyarakat

Keammatoaan dipersilakan memegang linggis yang sudah berwarna merah karena panasnya.
Bagi orang yang tangannya melepuh ketika memegang linggis tersebut, maka dialah
pelakunya. Sedangkan bagi yang bukan pelaku, tidak akan merasakan panasnya linggis
tersebut. Akan tetapi pada umumnya pelaku tidak mau menghadiri upacara tersebut, sehingga
untuk mengetahui pelakunya (yang mutlak harus dicari), maka diadakan upacara attunu
passauk (membakar dupa) (Salle, 2000).
Mendahului upacara tersebut, terlebih disampaikan pengumuman kepada segenap warga
selama sebulan berturut-turut, dengan harapan bahwa pelaku, maupun yang mengetahui
perbuatan penebangan pohon itu akan datang melapor kepada Ammatoa. Hal itu sangat perlu,
karena akibat dari attunu passauk yang sangat berat, yaitu bukan hanya menimpa pelaku,
akan tetapi juga kepada keturunannya. Attunu passauk diadakan setelah attunu panrolik gagal
menemukan pelaku. Upacara dilakukan oleh Ammatoa bersama pemuka adat di dalam
Barong Karamaka. Attunu passauk adalah kegiatan menjatuhkan hukuman “in absentia”.
Hukuman ini dipercaya langsung diberikan oleh Turek Akrakna, yang berupa musibah secara
beruntun, baik pada pelaku, keluarga, dan keturunannya, serta orang lain yang mengetahui
perbuatan itu, namun tidak melaporkannya kepada Ammatoa (Salle, 2000).
Namun, dalam masyarakat Kajang sendiri, pemberlakukan denda dan sanksi bagi pelanggar
kelestarian hutan hanyalah sarana saja (bukan tujuan itu sendiri) karena idealitas yang mereka
kehendaki sebenarnya adalah terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang terbebas dari
sanksi apapun. Sanksi dalam konteks ini berarti hanya berfungsi sebagai sarana prevensi agar
pelanggaran terhadap kelestarian hutan dalam bentuk apapun tidak akan dilakukan oleh
komunitas Ammatoa. Lantas, apa kira-kira rasionalisasi dari pemberlakuan sanksi tersebut?
Bagi masyarakat Kajang, hutan ibarat seorang ibu yang memberikan perlindungan sekaligus
harus dilindungi. Perumpamaan ini sebenarnya tidak hanya mengandung makna filosofis saja,
tetapi juga berimplikasi pada manfaat praktis terkait dengan kegiatan-kegiatan pelestarian
hutan. Terkait dengan hal ini, setidaknya ada dua fungsi utama hutan bagi masyarakat
Kajang. Pertama, sebagai fungsi ritual yaitu salah satu mata rantai dari sistem kepercayaan
yang memandang hutan sebagai suatu yang sakral. Konsekuensi dari kepercayaan tersebut
tergambar pada upacara yang dilakukan dalam hutan, misalnya pelantikan pemimpin adat
(Ammatoa), attunu passaung (upacara kutukan bagi pelanggar adat), upacara pelepasan nazar
dan upacara angnganro (bermohon kepada Turek Akrakna untuk suatu hajat baik individu
maupun kolektif). Kedua, sebagai fungsi ekologis, di mana hutan dipandang sebagai pengatur
tata air (appariek bosi, appariek tumbusu), yang menimbulkan adanya hujan dan menyimpan
cadangan air (Restu dan Sinohadji, 2008).

INTERAKSI MANUSIA ADAT KAJANG
DENGAN LINGKUNGANNYA
Juni 17, 2012

INTERAKSI MANUSIA ADAT KAJANG
DENGAN LINGKUNGANNYA
PENDAHULUAN

Manusia dan lingkungan hidupnya adalah dua hal yang saling bergantung satu sama lain. Ada
kaitan erat di antara kedua sistem ini. Manusia adalah suatu sistem kompleks dari makhluk
hidup yang terdiri dari sel-sel di dalam tubuhnya. Untuk bertahan hidup (survival), manusia
berinteraksi dengan lingkungan dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhannya. Sedangkan
lingkungan hidup merupakan suatu sistem akbar dari kehidupan makhluk hidup dan di
dalamnya termasuk manusia itu sendiri. Dengan singkat dikatakan bahwa manusia termasuk
dalam sistem lingkungan hidup itu sendiri.
Kedua komponen kehidupan ini telah mengalami proses saling mempengaruhi satu sama lain
sejak dahulu kala. Sejak manusia pertama kali menginjakkan kakinya ke muka bumi, maka
sejak itu pula proses itu dimulai. Proses saling mempengaruhi ini dapat kita lihat pada
beberapa kasus dalam kehidupan sehari-hari. Manusia yang tinggal di daerah dingin (kutub
utara misalnya) akan mencoba mengadaptasikan dirinya dengan memakai pakaian yang tebal
sebagai penahan dingin. Contoh lainnya adalah ketika manusia ingin membuka lahan, maka
dilakukanlah penebangan pohon sehingga terjadi perubahan lingkungan, misalnya lahan yang
tadinya berupa hutan dapat berubah menjadi lahan persawahan atau suatu kota yang indah.
Juga ketika manusia dalam kehidupannya meningkatkan pemakaian gas freon yang pada
akhirnya menyebabkan rusaknya lapisan ozon, dan akibatnya selanjutnya adalah terjadinya
perubahan intensitas sinar matahari yang sampai ke bumi. Contoh-contoh ini menunjukkan
pada kita bahwa proses saling mempengaruhi adalah suatu hal yang biasa terjadi dalam
kehidupan manusia dengan lingkungannya.
Secara umum diketahui bahwa akibat kegiatan manusia dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya sering terjadi degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan adalah menurunnya
peruntukan lahan akibat kegiatan manusia di dalamnya. Contoh yang paling sering kita temui
mengenai degradasi lingkungan adalah longsor akibat penebangan pohon di daerah yang
memiliki kemiringan cukup besar dan juga banjir yang sering melanda karena kurangnya
daerah resapan air, yang merupakan akibat dari berkurangnya pepohonan sebagai komponen
utama peresap air. Hal-hal seperti itu sangat jelas merupakan dampak negatif dari tindakan
manusia dalam mempengaruhi lingkungannya yang nantinya juga akan berdampak negatif
terhadap manusia itu sendiri. Akibat dampak-dampak negatif yang timbul itu, maka perhatian
terhadap keadaan lingkungan hidup mulai bermunculan satu per satu dari tiap kalangan, yang
pada intinya mereka menuntut adanya perlakuan khusus terhadap lingkungan hidup agar
kelestariannya tetap terjaga.
“Bumi bukan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan anak cucu kita”.[1] Demikian
bunyi sebuah kalimat dari pemerhati lingkungan. Sebenarnya perhatian terhadap lingkungan
hidup telah dimulai sejak dasawarsa 1970-an. Hal ini dijelaskan oleh Soemarwoto (2004 : 1):
Permasalahan lingkungan hidup, atau secara pendek lingkungan, mendapat perhatian yang
besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah
diadakannya Konprensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm dalam tahun 1972.
Konprensi itu terkenal pula sebagai Konprensi Stokholm. Hari pembukaan konprensi itu,
tanggal 5 Juni, telah disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Dalam konprensi
Stokholm telah disetujui banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai
landasan tindak lanjut. Salah satu di antaranya ialah didirikannya badan khusus dalam PBB
yang ditugasi untuk mengurus permasalahan lingkungan, yaitu United Nations
Environmental Programme, disingkat UNEP. Badan ini bermarkas besar di Nairobi, Kenya.
[2]

Selanjutnya Soemarwoto (2004 : 1) menjelaskan mengenai kemunculan perhatian lingkungan
hidup di Indonesia. “Di Indonesia perhatian tentang lingkungan hidup telah mulai muncul di
media massa sejak tahun 1960-an. Pada umumnya berita itu berasal dari dunia barat yang
dikutip oleh media massa kita.” Hal ini menggambarkan kepada kita, bahwa masalah
lingkungan sebenarnya telah lama mendapat perhatian. Akan tetapi kenyataan yang kita lihat
dalam kehidupan sehari-hari mengatakan bahwa hampir tidak ada perhatian yang terwujud di
dalamnya. Sebagian orang mengasumsikan bahwa hal ini terjadi karena solusi yang
diterapkan kadang mengalami penyimpangan ketika sampai di lapangan. Contoh misalnya
peraturan tentang persentase hutan yang boleh dipotong adalah 30% dari keseluruhan hutan
yang ada di suatu daerah. Dalam pelaksanaannya hal ini mengalami penyimpangan karena
banyak kasus yang didapatkan bahwa pemotongan hutan melebihi ketentuan 30% tersebut.
[3] Dan parahnya lagi kadang hal tersebut diketahui oleh pihak yang terkait dan mereka tidak
memberikan sanksi yang berat kepada pelakunya, sehingga hal itu terus saja terjadi dan
semakin bertambah parah menjadiillegal logging (pembalakan liar).
Hal yang menarik ditemukan ketika kita mengamati kehidupan masyarakat adat yang
umumnya tinggal di dalam hutan, misalnya manusia adat Kajang yang terletak di desa Tanah
Towa, kabupaten Bulukumba. Meskipun tanpa pengetahuan formal, mereka tahu bagaimana
cara berinteraksi dengan lingkungan hidup. Lingkungan diperlakukannya tidak sebagai hal
yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai pendamping hidup dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Oleh karenanya tidak mengherankan jika hutan yang berada di sekitar areal tersebut
hingga hari ini masih terjaga kelestariaannya.
Banyak penelitian yang menemukan bahwa ada kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat
adat ini dalam mengelola dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kearifan lokal ini dipegang
teguh oleh masyarakatnya dan apabila terjadi penyimpangan di dalamnya, maka sanksi yang
jelas dan berat sudah siap menanti pelakunya.
Oleh karena interaksi lingkungan yang terjadi antara manusia “Kajang-dalam”[4] dengan
lingkungannya yang berbeda dari biasanya, maka banyak penelitian yang telah dilakukan di
daerah ini. Dan hal ini pula yang mendasari dari penulisan makalah yang membahas kearifan
lokal masyarakat adat Kajang[5] dalam memperlakukan hutannya ini.
ISI
Lingkungan adalah suatu sistem yang di dalamnya termasuk makhluk hidup, salah satunya
adalah manusia. Manusia dalam statusnya sebagai salah satu komponen di dalam sistem
lingkungan, memperlakukan lingkungannya sebagai salah satu faktor penunjang
kelangsungan hidup. Manusia mengelola lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Dan proses ini telah berlangsung sejak lama yang diperkirakan
sejak manusia pertama menginjakkan kakinya di muka bumi.
Awalnya manusia mengeksploitasi lingkungannya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya semata (survival). Peralihan zaman mengakibatkan perubahan pola pengelolaan
lingkungan. Hari ini dapat kita lihat bahwa lingkungan telah menjadi salah satu komoditi
bisnis yang menjanjikan keuntungan yang cukup besar. Contoh yang paling nyata adalah
eksploitasi hutan dengan tujuan yang cukup beragam.
Suryohadikusumo (dalam Ibrahim, 1996)[6] menjelaskan manfaat dari keberadaan hutan.
Beliau menyatakan bahwa terdapat manfaat langsung dan tidak langsung akibat keberadaan

hutan sebagai salah satu komponen lingkungan. Namun manfaat tersebut dapat tetap
dirasakan bukan hanya pada masyarakat kini, melainkan juga untuk masyarakat yang akan
datang, jika diterapkan kebijaksanaan dalam pengelolaannya. Kebijaksanaan itu dapat berupa
aturan-aturan dalam mengelola hutan secara khusus, dan lingkungan hidup secara umum.
Masyarakat adat Kajang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, menganut atau
bersandar pada Pasang (pesan).Pasang yang dimaksud adalah pesan, amanat, perintah, yang
bersifat memaksa dan mengikat penganutnya. Oleh karena sifat itulah maka Pasang ini
mempunyai sanksi yang jelas dan tegas terhadap penyimpangan yang terjadi.
Kedudukan Pasang jika coba diteliti lebih lanjut, maka akan tampak bahwa Pasang -menurut
penganutnya- setara kedudukannya dengan hadist dalam agama Islam. Di mana diketahui
bahwa hadist adalah ucapan dan perilaku nabi yang dijadikan pedoman dalam menjalani
kehidupan, maka demikian pula halnya denganPasang yang berlaku di masyarakat adat
Kajang. Menurut masyarakat adat Kajang, Pasang adalah norma atau nilai yang harus
dijunjung tinggi. Pelanggaran terhadap norma atau nilai itu, akan mengakibatkan
dijatuhkannya sanksi kepada pelakunya.
Kondisi Geografis Desa Tana Toa – Kajang
Ibrahim (2006)[7] menjelaskan mengenai kondisi letak geografis desa Tana Toa. Menurutnya,
secara administratif desa Tana Toa merupakan satu dari sembilan belas desa yang berada
dalam wilayah kecamatan Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa
merupakan desa tempat komunitas masyarakat adat Kajang yang masih erat menjaga
peradaban mereka hingga hari ini. Desa ini secara berbatasan dengan:
Sebelah utara : Tuli
Sebelah selatan : Limba
Sebelah timur : Seppa
Sebelah barat : Doro[8]
Hasil wawancara dengan kepala desa setempat memberikan penjelasan bahwa luas wilayah
desa Tana Toa ini adalah 331,17 ha secara keseluruhan, baik yang termasuk wilayah Kajang
dalam maupun Kajang luar. Dan dari 331,17 ha tersebut, sekitar 90 ha digunakan sebagai
lahan pertanian tadah hujan. Tanaman yang dibudidayakan di atas lahan seluas itu cukup
beragam, di antaranya padi, jagung, coklat, kopi, dan lain-lain.
Desa ini dinamakan Tana Toa (tanah yang tertua di dunia) dikarenakan kepercayaan
masyarakat adatnya. Ibrahim (2006)[9]menjelaskan mengenai kepercayaan ini. Menurutnya,
masyarakat Tana Toa percaya
bahwa bumi yang pertama kali diciptakan olehTuhan (Turie’ A’ra’na)[10] berada di dalam
kawasan hutan dan dinamakan Tombolo’. Daerah itu diyakini sebagai Tana Toa atau daerah
yang tertua di dunia, sehingga diabadikanlah namanya menjadi nama desa tersebut, yaitu desa
Tana Toa.
Desa Tana Toa, secara nyata, mempunyai kondisi hutan yang sangat lebat. Jika diamati
dengan teliti, hampir seluruh dusun yang berada di dalamnya di kelilingi hutan. Sama sekali
tidak ada jalan beraspal di dalam kawasan ini. Hanya berupa jalan setapak yang terbuat dari

batu-batu yang disusun secara teratur sebagai penanda jalan. Letak sawah pertaniannya
adalah dekat rumah Amma Toa, tepatnya di bawah bukit. Cukup luas dan subur terlihat dari
kejauhan.[11]
Karakteristik Masyarakat Adat Desa Tana Toa – Kajang
Masyarakat adat Kajang dicirikan dengan pakaian serba hitam. Makna hitam ini menurut
pemuka adat melambangkan kebersahajaan. Nilai kebersahajaan ini tidak saja dapat dilihat
dari pakaian itu, melainkan juga terlihat dari rumah penduduk yang mendiami daerah dalam
kawasan ini. Dari hasil observasi di lapangan diketahui bahwa tidak ada satupun rumah di
dalam kawasan adat ini yang berdinding tembok. Semuanya
berdindingpapan dan beratap rumbia, terkecuali rumah Ammatoa yangberdinding bambu.
Tidak akan kita temukan satu pun di dalam kawasan ini rumah yang modelnya seperti yang
sering kita lihat di perkotaan. Semuanya sama bahkan terkesan seragam mulai dari bentuk,
ukuran, dan warnanya.
Masyarakat adat Kajang menggunakan bahasa Makassar yang berdialek Konjo sebagai
bahasa sehari-harinya. Olehnya itu, akan sangat sulit ditemukan orang yang mampu
berbahasa Indonesia di dalam kawasan ini. Umumnya sebahagian besar penduduk tidak
pernah merasakan bangku pendidikan formal, meskipun beberapa tahun terakhir ini telah
didirikan sekolah tepat di depan pintu masuk kawasan ini.
Sebahagian besar penduduknya bermata-pencaharian sebagai petani, tukang kayu dan
penenun. Aktivitas ini pun dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, tanpa ada
kecenderungan mencari sesuatu yang lebih dari kebutuhan hidup mereka. Nilai
kesederhanaan atau kebersahajaan inilah yang membuat masyarakat adat Kajang identik
dengan istilah“Tallasa’ kamase-masea” atau hidup bersahaja. Tallasa kamase-masea ini
tercermin dalam Pasang:
Ammentengko nu kamase-mase.
A’cci’dongko nu kamase-mase.
A’dakkako nu kamase-mase.
A’meako nu kamase-mase.
Artinya:
Berdiri engkau sederhana.
Duduk engkau sederhana.
Berjalan engkau sederhana.
Berbicara engkau sederhana.
Dan juga dalam Pasang:
Anre kalumannyang kalupepeang.

Rie’ kamase-masea.
Angnganre na rie’.
Care-care na rie’.
Pammalli juku’ na rie’.
Koko na rie’.
Balla situju-tuju.
Artinya:
Kekayaan itu tidak kekal.
Yang ada hanya kesederhanaan.
Makan secukupnya.
Pakaian secukupnya.
Pembeli ikan secukupnya.
Kebun secukupnya.
Rumah seadanya.[12]
Tallasa’ kamase-masea ini adalah merupakan prinsip hidup masyarakat adat Kajang. Ia
dipegang teguh oleh warganya, meskipun secara sadar mereka mengetahui bahwa hidup lebih
sejahtera dapat mereka peroleh karena potensi sumber daya lingkungan (hutan) yang
mendukung.
Hampir setiap masyarakat adat yang masih eksis di Indonesia, secara umum juga memiliki
struktur lembaga di dalam adatnya masing-masing. Tidak terkecuali dengan masyarakat adat
Kajang ini. Mereka mempunyai struktur lembaga yang menurut logika sulit dibuat oleh orang
yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan. Bahkan yang lebih mengesankan adalah
masing-masing individu yang masuk dalam struktur dan menduduki suatu posisi dalam
lembaga adat, menjalankan amanahnya secara jujur dan konsisten. Mereka memahami arti
tugas dan tanggung jawab meskipun tidak pernah mendapatkan pelajaran formal mengetahui
hal itu. Satu-satunya yang mengajari mereka adalah adat yang mereka junjung tinggi dan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Struktur lembaga adat masyarakat ini begitu lengkap dengan menteri-menterinya. Sesuatu
yang sulit dijelaskan dengan logika karena struktur tersebut disusun telah lama sebelum
Indonesia merdeka dan oleh orang yang sama sekali tidak pernah mengenyam
pendidikan.Pemimpin tertinggi sebagai pelaksana pemerintahan di kawasan adat Tana Toa ini
adalah Amma Toa. Amma Toa inilah yang bertanggung jawab terhadap pelestarian dan
pelaksanaan Pasang di komunitasnya. Sebagai wakil dari Turie’ A’ra’na di muka bumi, ia

bertugas menjaga agar masyarakat tetap mentaati isi Pasang. Hal ini dijelaskan
dalam Pasang yang berlaku di komunitas Amma Toa.
Anjo Karaenga se’reji, karaeng Allah Ta’alaji,
mingka rie’nikua karaeng labbiriyya.
Karaeng labbiriyya battuanna parekna Allah Ta’ala.
Karaeng Allah Ta’ala taniassengai niurang abbicara,
Jari annanroi karaeng di bohena linoa,
Iyami antu nikua ada, iyamintu Amma Toa
Artinya:
Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah Ta’ala
Tapi ada yang disebut raja mulia
Yang diciptakan oleh Allah Ta’ala
Karaeng Allah Ta’ala tidak dapat secara langsung diajak berbicara
Jadi Allah menetapkan wakilnya di bumi
Itulah yang disebut adat, itulah Amma Toa[13]
Demikianlah alasan utama sehingga sampai hari ini, adat dan nilai-nilai yang berlaku dalam
komunitas Amma Toa masih tetap lestari. Disebabkan keberadaan seorang pemimpin adat,
yang secara hakikat mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
adat istiadat beserta nilai-nilai yang berlaku di dalam komunitas adat desa Tana Toa.
Interaksi Masyarakat Adat Kajang dengan Lingkungannya
Prinsip hidup yang tertuang dalam “tallasa’ kamase-masea”ternyata menjadi salah satu
alasan tetap lestarinya hutan yang ada di dalam kawasan adat Amma Toa ini. Ibrahim (2006)
menjelaskan hal ini secara gamblang. “Prinsip hidup sederhana seperti Balla’ situjutuju (rumah seadanya) mengakibatkan pemakaian kayu yang efisien, menjadikan hutan
sebagai tempat yang multi-fungsi dan memiliki peran yang sangat penting dan sakral
menjadikan hutan terjaga dengan lestari, meskipun bisa dimanfaatkan.”[14] Bukti dari hal ini
dapat kita lihat sekarang di dalam kawasan adat Amma Toa. Pepohonan ada seperti sedia
kalanya, dan meskipun ada pohon yang tumbang dengan sendirinya, maka ia tetap tidak
boleh diambil oleh masyarakat. Singkatnya dibiarkan begitu saja.
Selain prinsip hidup sederhana yang merupakan implementasi dari nilai-nilai Pasang, juga
terdapat aturan-aturan pemanfaatan hutan yang juga berasal dari Pasang. Aturan-aturan ini
secara jelas mengatur masyarakat adat Kajang dalam mengelola dan memanfaatkan

lingkungannya. Aturan itu pun lengkap dengan sanksi yang jelas dan tegas di dalamnya. Dan
masyarakatnya pun patuh terhadap aturan-aturan itu hingga hari ini.
Berikut ini adalah ringkasan aturan mengenai pemanfaatan hutan yang dikutip secara intensif
dari Makalah “ “Pasang” Kearifan Komunitas Ammatoa dalam Pengelolaan Hutan
Adat, Di Desa Tanatoa, Kec. Kajang, Kab. Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan ”,
yang ditulis oleh Tamzil Ibrahim (2006).
Ammatoa selaku pemimpin adat membagi hutan menjadi 3 bagian, yaitu:
Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis
kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual. Tidak boleh ada penebangan,
pengukuran luas, penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas,
termasuk larangan mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya
keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman leluhur(pammantanganna sikamma To
riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Hal ini diungkapkan
secara jelas dalam sebuah Pasang, yaitu:
Talakullei nisambei kajua,
Iyato’ minjo kaju timboa.
Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka.
Kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga,
Nasaba’ se’re wattu la rie’ tau angngakui bate lamunna
Artinya
Tidak bisa diganti kayunya,
Itu saja kayu yang tumbuh
Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu.
Orang dilarang menanam di dalam hutan
Sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.

Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah diganggu oleh komunitas Amma
Toa. Dan kalau ternyata terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat ini, maka akan dikenakan
sanksi yang disebut Poko’ Ba’bala’. Poko’ Ba’bala’atau sanksi atas pelanggaran berat
merupakan sanksi yang tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulonnua real[15] (12 real) atau 24
ohang. Denda ini jika di-rupiah-kan setara dengan Rp. 1.200.000 ditambah dengan sehelai
kain putih dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan. Jenis pelanggaran
berat dalam hutan keramat itu, antara lain:ta’bang kaju (menebang kayu), rao’
doang (mengambil udang), tattang uhe’ (mengambil rotan), dan tunu bani(membakar lebah).

Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil
kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Amma Toa selaku
pemimpin adat. Jadi keputusan akhir bisa tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini
tergantung dari Amma Toa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk
membangun sarana umum, dan bagi komunitas Amma Toa yang tidak mampu membangun
rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.
Hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh dan Pangi.
Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak jarang, kayu
yang diminta akan dikurangi oleh Amma Toa. Kemudian ukuran kayunya pun ditentukan oleh
Amma Toa sendiri.
Syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon, maka pertama-tama orang
yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah
tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru bisa dilakukan. Penebangan 1 jenis
pohon, maka seseorang harus menanam 2 pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan
oleh Amma Toa. Penebangan pohon itu memakai alat tradisional berupa kampak atau parang.
Dan kayu yang habis ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau
dipanggul dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di
sekitarnya.
Pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti menebang tanpa seizin Amma
Toa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan, akan dikenai sanksi. Sanksinya
dikenal dengan istilah Tangnga Ba’bala’. Sanksi ini mendenda pelakunya sebesar Sangantuju
real (8 real) atau 12 ohang, yang setara dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung
kain putih. Selain itu, dikenal juga sanksi ringan(Cappa’ Ba’bala’), yang dikenakan atas
pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan
mengalami kerusakan/tumbang. Untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa denda
sebesar Appa’ real (4 real) atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,- ditambah satu gulung
kain putih.
Sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang menebang pohon dari kebun
warga masyarakat Amma Toa, yang selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian
di bawah ini.
Borong Luara’ (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat.
Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan-aturan adat mengenai
pengelolaan hutan di kawasan ini masih berlaku. Tidak diperbolehkan adanya kesewenangwenangan memanfaatkan hutan rakyat ini.[16]
Selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat sanksi berupa
hukuman adat. Hukuman adat sangat mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa
sanksi sosial yang dianggap oleh komunitas Amma Toa lebih berat dari sanksi denda yang
diterima. Sanksi sosial itu berupa pengucilan. Dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan
ini akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh (tujuh turunan)[17].
Namun sanksi ini merupakan bagian dari Poko’ Ba’bala’.
Hutan di kawasan adat Amma Toa diakui oleh masyarakatnya sebagai hutan adat karena
adanya kepercayaan bahwa keberadaan mereka bersamaan dengan keberadaan hutan. Selain
itu juga kehidupan mereka sangat erat dengan hutan, seperti pelaksanaan upacara adat yang

dilakukan dalam hutan. Masyarakat juga percaya bahwa hutan mereka adalah sebagai tempat
turunnya To mariolo (manusia terdahulu) yang diyakini sebagai Amma Toa I (Amma’
Mariolo) dan kemudian lenyap di tempat tersebut. Dan mereka juga meyakini bahwa hutan
adalah tempat turun-naiknya arwah manusia dari langit ke bumi dan sebaliknya. Keyakinan
atau kepercayaan inilah yang menyebabkan kuatnya keterikatan antara komunitas ini dengan
hutan, sehingga tidak mengherankan jika hutan mereka relatif stabil dan lestari hingga hari
ini.
Ajaran Pasang yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari komunitas Amma Toa
ternyata dinilai ampuh dalam usaha melestarikan hutan mereka. Selain ajaran Pasang itu, juga
terdapat aturan adat yang disebut Patuntung. Patuntung adalah sebuah aturan adat yang
berhubungan dengan upaya-upaya untuk mempertahankan pengelolaan hutan yang lestari.
[18]
Patuntung dalam bahasa Makassar diartikan sebagai penahan; terbentur.[19] Hal ini berarti
bahwa ada sesuatu yang menghalangi seseorang untuk melakukan sesuatu. Jika ia tetap
bersikeras melakukannya, maka ia akan terbentur sehingga berhenti. Kalau coba dianalisis,
maka Patuntung ini adalah ajaran yang mengikat masyarakat adat Kajang, sehingga mereka
akan berhati-hati untuk melakukan sesuatu.
Patuntung ini, seperti disebutkan di atas, mengikat masyarakat adat Kajang. Artinya ini hanya
berlaku bagi masyarakatnya saja. Patuntung ini diasumsikan mengatur bagaimana cara
masyarakatnya menjalin interaksi dengan lingkungan luar adat. Hal ini dapat dimengerti
bahwa kondisi luar kawasan adat ini telah terinfeksi dengan berbagai paham dunia, salah
satunya adalah kapitalisme. Jika paham ini sampai merasuki kawasan adat Amma Toa, maka
kelestarian hutan tidak akan berlangsung lama. Olehnya itu, perlu ada aturan yang mengatur
masyarakatnya dalam berinteraksi dengan masyarakat luar agar pengaruh masyarakat luar
yang bersifat negatif, tidak diterapkan dalam kawasan adat.
PENUTUP
Penjelasan mengenai aturan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat Kajang yang hingga hari
ini masih eksis di nusantara Indonesia beserta dengan prinsip hidup bersahajanya (tallasa’
kamase-masea), ternyata menjadi jawaban terhadap pertanyaan mengapa hutan di Kajang
masih tetap lestari hingga hari ini. Kearifan lokal yang dimiliki, yang merupakan
implementasi ajaran-ajaran Pasang, telah membuka mata dunia akan eksistensi hutan yang
lestari.
Teori “Keserakahan Manusia”[20] tidak berlaku di kawasan Amma Toa ini. Meskipun teori
itu ada, tapi adat mereka sebagai benteng yang kokoh menjadi penghalang utama. Sulit untuk
dirobohkan karena ia dibangun oleh kesadaran masyarakatnya. Komunitas adat ini lebih
memilih untuk hidup terbelakang dan jauh dari peradaban modern dibanding hidup dengan
kelimpahan, tapi menafikan keberadaan lingkungan.
Hutan yang lestari itu ada, meskipun di dalamnya ada manusia. Hal ini dibuktikan oleh
kawasan adat Amma Toa. Ada sekitar 40 ribu jiwa manusia di dalam kawasan ini, dengan
sekitar 330 ha hutan yang masih utuh sampai sekarang. Cukup mengesankan. Namun yang
lebih mengesankan adalah fakta bahwa manusia yang mengelola hutan ini adalah manusiamanusia yang hampir tidak pernah merasakan bangku sekolah. Mereka tidak memiliki
pengetahuan formal mengenai tata cara pengelolaan hutan yang baik, bahkan mereka tidak

tahu baca-tulis. Satu-satunya yang mengajari mereka berinteraksi dengan lingkungan,
memperlakukan hutannya secara bijak dan mengekang nafsu “kapitalisme”-nya adalah adat.
Adat bagi mereka adalah sesuatu yang mereka junjung tinggi. Sesuatu yang mereka letakkan
di atas kebutuhan hidup dan sesuatu yang mengajarkan mereka melangkah dengan baik
dalam menjalani kehidupan dunia.
“Jangan lihat ayamny