Realitas dan Idealitas Politik Muhammadi
Realitas dan Idealitas Politik Muhammadiyah
Ahmad Sholikin
Akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat dan banyak diperbincangkan oleh berbagai
awak media baik media televisi maupun media cetak adalah terkait pembentukan
kabinet pemerintahan Jokowi-JK. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa pembicaraan
itu juga terjadi dalam tubuh organisasi Muhammadiyah, berbagai perbincangan pun
menjadi perbincangan yang menarik perhatian banyak dari kader Muhammadiyah.
Perbincangan itu sama hangatnya dengan wacana dalam pemilihan presiden kemarin
yang hanya memiliki dua kandidat. Bahkan bukan hanya wacana tetapi muncul dalam
tindakan, sehingga Muhammadiyah menjadi terbelah dalam dua kubu antara RMI dan
SMI. Pembelahan menjadi dua kubu tersebut dalam Muhammadiyah terjadi pada RMI
(Relawan Matahari Indonesia) dan SMI (Surya Madani Indonesia), walaupun mereka
secara kelembagaan tidak membawa nama Muhammadiyah, tetapi secara individu
mereka merupakan kader-kader terbaik dari muhammadiyah yang konsen terhadap
dunia Politik. RMI merupakan bentukan dari Izzul Muslimin (Mantan Ketua Umum
Pemuda Muhammadiyah) dan Abd. Rohim Ghazali (Mantan SEKJEN Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah) yang mendeklarasikan mendukung pasangan JKW-JK. Sedangakan SMI
mendapat dukungan dari tokoh Muhammadiyah sekaliber Amin Rais dan oleh Saleh
Daulay menegaskan kepada publik tentang dukungannya kepada pasangan PrabowoHatta. Bahkan jika kita lihat bukan hanya Muhammadiyah saja, tetapi seluruh Indonesia
masyarakatnya menjadi terbelah dalam dua kubu. Tingkat kedewasaan politik
masyarakat Indonesia dalam sistem pemerintahan demokrasi benar-benar di uji,
apakah setelah keputusan MK akan terjadi konflik, ataukah akan menjadi ajang budaya
politik yang baru bagi Indonesia dalam menunjukkan kedewasaan politiknya.
Ketika kita menelisik tentang bagaimana sikap politik Muhammadiyah dalam PEMILU
2014, secara tertulis dapat kita lihat dalam pidato milad Muhammadiyah ke-101,
tertulis, "Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin
meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai dengan
sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak
partisan, bermitra dengan seluruh komponen bangsa, dan mampu menunjukkan jiwa
kenegarawanan yang utama." Pidato diatas menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa
posisi dan peran Muhammadiyah dalam menyambut event besar pergantian
kepemimpinan Bangsa Indonesia. Muhammadiyah, sebagai bagian dari civil society,
memberi petuah kepada para calon presiden yang akan menahkodai Indonesia 5 tahun
kedepan. Bahwasanya ketika mereka dipilih untuk menjadi pemimpin negara, maka
pemimpin itu adalah mereka yang senantiasa merasa gelisah jika tidak mampu bekerja
secara optimal dan senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna memakmurkan
bangsa, dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Dinamika perpolitikan bangsa yang selalu mengalami perubahan, di ikuti pula dengan
watak dasar Muhammadiyah dalam merespons realitas politik yang ada. Dalam
menyikapi realitas politik Muhammadiyah relatif lebih mengedepankan sikap yang
moderat, kooperatif, dan tidak menjadi oposan. Menurut Maarif (1987: 66) dalam
menghadapi setiap gelombang perubahan politik, Muhammadiyah selalu berhati-hati
dan bersikap lentur. Fenomena inilah yang menyelamatkan Muhammadiyah dari sikap
konfrontatif dengan kekuasaan manapun, baik pada masa kolonial (penjajahan Belanda
dan pendudukan Jepang) hingga masa Orde Baru yang otoritarian. Hal ini berarti
perilaku politik Muhammadiyah lebih mengedepankan sikap yang moderat, meskipun
tidak meninggalkan sikap kritis.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa di pungkiri bahwa Muhammadiyah ikut
berperan serta dalam menentukan dasar Negara Indonesia melalui Ki Bagus
Hadikusumo. Tidak berlebihan jika menurut Taufik Abdullah (2001:17) sejarah
Muhammadiyah hanya mungkin dapat dipahami kalau ditempatkan dalam dinamika
hubungannya dengan masyarakat dan negara di Indonesia ini. Hal itu dapat kita lihat
dalam setiap periode kepemimpinan negeri ini selalu ada tokoh dari Muhammadiyah
yang menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan. Pos mentri pendidikan selalu
menjadi jatah yang selalu diberikan untuk di kelola oleh kader terbaik Muhammadiyah,
hanya pada pemerintahan SBY-Boediono saja mentri pendidikan menjadi jatah bukan
kader Muhammadiyah. Dapat dikatakan bahwa selama berjalannya pemerintahan
Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, periode SBY-Boediono lah yang
paling buruk dalam pola hubungan Muhammadiyah dan pemerintahan. Padahal jika kita
melihat tokoh tokoh seperti Prof. Dr. Yahya Muhaimin, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, dan
Prof. Dr. Malik Fajar yang masing-masingnya pernah menjabat sebagai menteri dibidang
pendidikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keselarasan antara Muhammadiyah dengan Negara akan
membuat organisasi ini bisa melakukan akselerasi dalam segala hal yang terkait dengan
tujuan utama Muhammdiyah dalam menciptakan masyarakat Madani. Tetapi di sisi lain
keselarasan tersebut tidak bisa didapat dengan begitu mudahnya tanpa ikut dalam
keruhnya dunia politik yang selama ini dalam tanda kutip Muhammadiyah main aman
ketika di hadapkan dengan kerasnya dunia politik praktis/politik kekuasaan. Terkait hal
ini pernyataan Pak A.R. Fakrudin dalam menggambarkan hubungan antara
Muhammadiyah dan Negara akan menjadi relevan dengan sikap politik Muhammadiyah.
“Muhammadiyah harus memiliki sifat yang moderat, tidak menjadi oposisi dan juga
tidak meminta-minta jabatan dalam pemerintahan”. Selama ini Muhammadiyah selalu
memproduksi orang-orang yang memiliki kapasitas untuk mengisi pos-pos tertentu
dalam pemerintahan. Dan bukan menjadi hal yang tabu lagi ketika pembagian antara
pos kementrian pendidikan dan kementrian agama selalu menjadi jatah atau givenuntuk
kedua Ormas Islam terbesar di Indonesia ini yaitu Nahdhatul Ulama dan
Muhammadiyah.
IndoStrategi dalam penelitiannya mensurvei dari 50 PD Muhammadiyah, 30 PW
Muhammadiyah dan 20 PP Muhammadiyah menyatakan bahwa 95 persen orang
Muhammadiyah setuju bahwa kementrian pendidikan di pegang oleh kader
Muhammadiyah. Sedangkan hanya 3 persen yang tidak setuju dan 2 persennya abstain,
dari data ini menunjukkan bahwa elite-elite Muhammadiyah baik di PP, PW dan PD
menghendaki adanya kader terbaik Muhammadiyah yang menjadi wakil atau
representasi dalam pemerintahan. Berdasarkan rekomendasi dari Kabinet alternatif
Usulan Rakyat (KAUR) Jokowi Center dan Relawan Matahari Indonesia (RMI) Prof. Dr.
Abdul Munir Mulkhan di sebut sebagai tokoh dari Muhammadiyah yang mempunyai
kapabilitas untuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dari usulan tersebut
IndoStrategi menanyakan hal tersebut kepada para responden dan 79 persen
mengatakan setuju jika Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan menjadi menteri pendidikan,
hanya 19 persen yang tidak setuju serta 2 persen yang abstain. Dan ketika para elite
Muhammadiyah tersebut di tanya tentang tokoh alternatif dalam Muhammadiyah yang
mampu menduduki pos Kementrian pendidikan muncul nama Muhadjir Effendi pada
urutan kedua setelah Abdul Munir Mulkhan, diurutan ketiga ada Bambang Setiadji dan
keempat ada Suyanto. Namun apakah dalam pemerintahan kedepan pos Kementrian
pendidikan akan menjadi milik kader Muhammadiyah, hal itu dapat kita lihat dalam
sebulan kedepan, dan ketika pos tersebut tidak menjadi milik Muhammadiyah akan
menarik untuk kita amati apa yang akan di lakukan oleh Muhammadiyah ?
Dari data diatas menunjukkan bahwa elite-elite Muhammadiyah baik di PP, PW dan PD
memiliki keinginan yang mendalam bahwa pentingnya seorang kader dari
Muhammadiyah untuk dapat mengisi POS kementrian pendidikan yang selama ini
sudah, atau bisa di bilang selalu menjadi pos nya Muhammadiyah. Dalam kaitannya ini
penulis ingin mengatakan bahwa antara idealitas dan realitas politik Muhammadiyah
mengalami dilematis, disatu sisi mereka menginginkan kader-kader terbaik mereka
menduduki posisi strategis dalam pemerintahan guna melakukan akselerasi tujuan
tujuannya, tetapi di sisi lain Muhammadiyah masih enggan untuk secara terangterangan dan secara kelembagaan mendukung salah satu partai atau bahkan ikut
bertarung dalam perebutan kekuasaan politik. Politik dilematis Muhammadiyah juga
dapat
terlihat
ketika
dalam
Pencalonan
DPD
(Dewan
Perwakilan
Daerah)
Muhammadiyah secara terang-terangan mendukung secara kelembagaan, tetapi
mengapa ketika ada Kader Muhammadiyah yang mencalonkan anggota DPR tidak
mendapatkan dukungan penuh dari Muhammadiyah. Padahal kita ketahui bahwa posisi
DPD dalam Parlemen kita tidak mempunyai kekuatan politis yang bisa di dengar
suaranya dalam sidang Paripurna.
Berbagai realitas diatas lah yang menjadikan penulis merasa bahwa antara idealitas
Muhammadiyah
sebagai
gerakan
sosial
keagamaan
yang
membatasi
secara
kelembagaan untuk tidak ikut-ikut dalam politik praktis, tetapi jika kita lihat secara
kelembagaan Muhammadiyah juga selalu bersinggungan dengan negara dalam
mengurus semua amal usaha Muhammadiyah. Jika dalam idealitas Muhammadiyah
tidak ikut-ikut dalam politik kekuasaan tetapi dalam realitas Muhammadiyah
menginginkan Kader terbaiknya menjadi menteri, padahal seperti kita ketahui pos pos
menteri akan bisa di dapat dengan dukungan politik secara riel dengan angka-angka
suara dalam pemilu. Jika dalam idealitas Muhammadiyah menjaga jarak dengan partai
politik, tetapi mengapa ketika ada kader nya yang menjadi anggota DPR, banyak
cemoohan bagi para anggota DPR yang keder Muhammadiyah tersebut ketika seolah
terlalu sibuk dengan keangotaannya sebagai dewan dan kendur dalam mengurusi
Muhammadiyah. Dari kenyataan diatas penulis merekomendasikan bahwa pengkaderan
Politik dalam Muhammadiyah harus menjadi hal yang perlu di prioritaskan, mengingat
banyak dari kader Muhammadiyah yang memiliki ketertarikan yang kuat untuk terjun
dalam dunia politik praktis. Dan jika kita melihat realitas sekarang ketika sudah banyak
kader Muhammadiyah yang menjadi anggota DPR, DPRD, DPD maka perlu ada kesatuan
misi dan visi yang kuat untuk menunjukkan kepribadian Muhammadiyahnya hingga di
level pemerintahan dan politik kekuasaan. Teringat dengan kata-kata Ustadz Feri Yudi
Antonis “Hidup ini antara diwarnai dan mewarnai, jika engkau tidak mewarnai maka
akan diwarnai, choose and take a risk”. Mungkin ini lah yang dapat di lakukan oleh para
kader Muhammadiyah baik yang ada di luar pemerintahan ataupun yang ada dalam
pemerintahan, mengingat Amal Usaha Muhammadiyah saat ini sudah semakin
menggurita seantero Indonesia. Sebagai Kader Muhammadiyah banyak yang dapat kita
lakukan baik dari dalam tubuh Muhammadiyah atau berada di luar tubuh
Muhammadiyah, dalam mengimplementasikan petuah Ahmad Dahlan “Hidup-hidupilah
Muhammadiyah dan jangan mencari Hidup di Muhammadiyah”.
Ahmad Sholikin
Akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat dan banyak diperbincangkan oleh berbagai
awak media baik media televisi maupun media cetak adalah terkait pembentukan
kabinet pemerintahan Jokowi-JK. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa pembicaraan
itu juga terjadi dalam tubuh organisasi Muhammadiyah, berbagai perbincangan pun
menjadi perbincangan yang menarik perhatian banyak dari kader Muhammadiyah.
Perbincangan itu sama hangatnya dengan wacana dalam pemilihan presiden kemarin
yang hanya memiliki dua kandidat. Bahkan bukan hanya wacana tetapi muncul dalam
tindakan, sehingga Muhammadiyah menjadi terbelah dalam dua kubu antara RMI dan
SMI. Pembelahan menjadi dua kubu tersebut dalam Muhammadiyah terjadi pada RMI
(Relawan Matahari Indonesia) dan SMI (Surya Madani Indonesia), walaupun mereka
secara kelembagaan tidak membawa nama Muhammadiyah, tetapi secara individu
mereka merupakan kader-kader terbaik dari muhammadiyah yang konsen terhadap
dunia Politik. RMI merupakan bentukan dari Izzul Muslimin (Mantan Ketua Umum
Pemuda Muhammadiyah) dan Abd. Rohim Ghazali (Mantan SEKJEN Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah) yang mendeklarasikan mendukung pasangan JKW-JK. Sedangakan SMI
mendapat dukungan dari tokoh Muhammadiyah sekaliber Amin Rais dan oleh Saleh
Daulay menegaskan kepada publik tentang dukungannya kepada pasangan PrabowoHatta. Bahkan jika kita lihat bukan hanya Muhammadiyah saja, tetapi seluruh Indonesia
masyarakatnya menjadi terbelah dalam dua kubu. Tingkat kedewasaan politik
masyarakat Indonesia dalam sistem pemerintahan demokrasi benar-benar di uji,
apakah setelah keputusan MK akan terjadi konflik, ataukah akan menjadi ajang budaya
politik yang baru bagi Indonesia dalam menunjukkan kedewasaan politiknya.
Ketika kita menelisik tentang bagaimana sikap politik Muhammadiyah dalam PEMILU
2014, secara tertulis dapat kita lihat dalam pidato milad Muhammadiyah ke-101,
tertulis, "Muhammadiyah mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin
meningkatkan komitmen dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai dengan
sikap mengedepankan keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak
partisan, bermitra dengan seluruh komponen bangsa, dan mampu menunjukkan jiwa
kenegarawanan yang utama." Pidato diatas menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa
posisi dan peran Muhammadiyah dalam menyambut event besar pergantian
kepemimpinan Bangsa Indonesia. Muhammadiyah, sebagai bagian dari civil society,
memberi petuah kepada para calon presiden yang akan menahkodai Indonesia 5 tahun
kedepan. Bahwasanya ketika mereka dipilih untuk menjadi pemimpin negara, maka
pemimpin itu adalah mereka yang senantiasa merasa gelisah jika tidak mampu bekerja
secara optimal dan senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna memakmurkan
bangsa, dan senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Dinamika perpolitikan bangsa yang selalu mengalami perubahan, di ikuti pula dengan
watak dasar Muhammadiyah dalam merespons realitas politik yang ada. Dalam
menyikapi realitas politik Muhammadiyah relatif lebih mengedepankan sikap yang
moderat, kooperatif, dan tidak menjadi oposan. Menurut Maarif (1987: 66) dalam
menghadapi setiap gelombang perubahan politik, Muhammadiyah selalu berhati-hati
dan bersikap lentur. Fenomena inilah yang menyelamatkan Muhammadiyah dari sikap
konfrontatif dengan kekuasaan manapun, baik pada masa kolonial (penjajahan Belanda
dan pendudukan Jepang) hingga masa Orde Baru yang otoritarian. Hal ini berarti
perilaku politik Muhammadiyah lebih mengedepankan sikap yang moderat, meskipun
tidak meninggalkan sikap kritis.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa di pungkiri bahwa Muhammadiyah ikut
berperan serta dalam menentukan dasar Negara Indonesia melalui Ki Bagus
Hadikusumo. Tidak berlebihan jika menurut Taufik Abdullah (2001:17) sejarah
Muhammadiyah hanya mungkin dapat dipahami kalau ditempatkan dalam dinamika
hubungannya dengan masyarakat dan negara di Indonesia ini. Hal itu dapat kita lihat
dalam setiap periode kepemimpinan negeri ini selalu ada tokoh dari Muhammadiyah
yang menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan. Pos mentri pendidikan selalu
menjadi jatah yang selalu diberikan untuk di kelola oleh kader terbaik Muhammadiyah,
hanya pada pemerintahan SBY-Boediono saja mentri pendidikan menjadi jatah bukan
kader Muhammadiyah. Dapat dikatakan bahwa selama berjalannya pemerintahan
Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, periode SBY-Boediono lah yang
paling buruk dalam pola hubungan Muhammadiyah dan pemerintahan. Padahal jika kita
melihat tokoh tokoh seperti Prof. Dr. Yahya Muhaimin, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, dan
Prof. Dr. Malik Fajar yang masing-masingnya pernah menjabat sebagai menteri dibidang
pendidikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keselarasan antara Muhammadiyah dengan Negara akan
membuat organisasi ini bisa melakukan akselerasi dalam segala hal yang terkait dengan
tujuan utama Muhammdiyah dalam menciptakan masyarakat Madani. Tetapi di sisi lain
keselarasan tersebut tidak bisa didapat dengan begitu mudahnya tanpa ikut dalam
keruhnya dunia politik yang selama ini dalam tanda kutip Muhammadiyah main aman
ketika di hadapkan dengan kerasnya dunia politik praktis/politik kekuasaan. Terkait hal
ini pernyataan Pak A.R. Fakrudin dalam menggambarkan hubungan antara
Muhammadiyah dan Negara akan menjadi relevan dengan sikap politik Muhammadiyah.
“Muhammadiyah harus memiliki sifat yang moderat, tidak menjadi oposisi dan juga
tidak meminta-minta jabatan dalam pemerintahan”. Selama ini Muhammadiyah selalu
memproduksi orang-orang yang memiliki kapasitas untuk mengisi pos-pos tertentu
dalam pemerintahan. Dan bukan menjadi hal yang tabu lagi ketika pembagian antara
pos kementrian pendidikan dan kementrian agama selalu menjadi jatah atau givenuntuk
kedua Ormas Islam terbesar di Indonesia ini yaitu Nahdhatul Ulama dan
Muhammadiyah.
IndoStrategi dalam penelitiannya mensurvei dari 50 PD Muhammadiyah, 30 PW
Muhammadiyah dan 20 PP Muhammadiyah menyatakan bahwa 95 persen orang
Muhammadiyah setuju bahwa kementrian pendidikan di pegang oleh kader
Muhammadiyah. Sedangkan hanya 3 persen yang tidak setuju dan 2 persennya abstain,
dari data ini menunjukkan bahwa elite-elite Muhammadiyah baik di PP, PW dan PD
menghendaki adanya kader terbaik Muhammadiyah yang menjadi wakil atau
representasi dalam pemerintahan. Berdasarkan rekomendasi dari Kabinet alternatif
Usulan Rakyat (KAUR) Jokowi Center dan Relawan Matahari Indonesia (RMI) Prof. Dr.
Abdul Munir Mulkhan di sebut sebagai tokoh dari Muhammadiyah yang mempunyai
kapabilitas untuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dari usulan tersebut
IndoStrategi menanyakan hal tersebut kepada para responden dan 79 persen
mengatakan setuju jika Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan menjadi menteri pendidikan,
hanya 19 persen yang tidak setuju serta 2 persen yang abstain. Dan ketika para elite
Muhammadiyah tersebut di tanya tentang tokoh alternatif dalam Muhammadiyah yang
mampu menduduki pos Kementrian pendidikan muncul nama Muhadjir Effendi pada
urutan kedua setelah Abdul Munir Mulkhan, diurutan ketiga ada Bambang Setiadji dan
keempat ada Suyanto. Namun apakah dalam pemerintahan kedepan pos Kementrian
pendidikan akan menjadi milik kader Muhammadiyah, hal itu dapat kita lihat dalam
sebulan kedepan, dan ketika pos tersebut tidak menjadi milik Muhammadiyah akan
menarik untuk kita amati apa yang akan di lakukan oleh Muhammadiyah ?
Dari data diatas menunjukkan bahwa elite-elite Muhammadiyah baik di PP, PW dan PD
memiliki keinginan yang mendalam bahwa pentingnya seorang kader dari
Muhammadiyah untuk dapat mengisi POS kementrian pendidikan yang selama ini
sudah, atau bisa di bilang selalu menjadi pos nya Muhammadiyah. Dalam kaitannya ini
penulis ingin mengatakan bahwa antara idealitas dan realitas politik Muhammadiyah
mengalami dilematis, disatu sisi mereka menginginkan kader-kader terbaik mereka
menduduki posisi strategis dalam pemerintahan guna melakukan akselerasi tujuan
tujuannya, tetapi di sisi lain Muhammadiyah masih enggan untuk secara terangterangan dan secara kelembagaan mendukung salah satu partai atau bahkan ikut
bertarung dalam perebutan kekuasaan politik. Politik dilematis Muhammadiyah juga
dapat
terlihat
ketika
dalam
Pencalonan
DPD
(Dewan
Perwakilan
Daerah)
Muhammadiyah secara terang-terangan mendukung secara kelembagaan, tetapi
mengapa ketika ada Kader Muhammadiyah yang mencalonkan anggota DPR tidak
mendapatkan dukungan penuh dari Muhammadiyah. Padahal kita ketahui bahwa posisi
DPD dalam Parlemen kita tidak mempunyai kekuatan politis yang bisa di dengar
suaranya dalam sidang Paripurna.
Berbagai realitas diatas lah yang menjadikan penulis merasa bahwa antara idealitas
Muhammadiyah
sebagai
gerakan
sosial
keagamaan
yang
membatasi
secara
kelembagaan untuk tidak ikut-ikut dalam politik praktis, tetapi jika kita lihat secara
kelembagaan Muhammadiyah juga selalu bersinggungan dengan negara dalam
mengurus semua amal usaha Muhammadiyah. Jika dalam idealitas Muhammadiyah
tidak ikut-ikut dalam politik kekuasaan tetapi dalam realitas Muhammadiyah
menginginkan Kader terbaiknya menjadi menteri, padahal seperti kita ketahui pos pos
menteri akan bisa di dapat dengan dukungan politik secara riel dengan angka-angka
suara dalam pemilu. Jika dalam idealitas Muhammadiyah menjaga jarak dengan partai
politik, tetapi mengapa ketika ada kader nya yang menjadi anggota DPR, banyak
cemoohan bagi para anggota DPR yang keder Muhammadiyah tersebut ketika seolah
terlalu sibuk dengan keangotaannya sebagai dewan dan kendur dalam mengurusi
Muhammadiyah. Dari kenyataan diatas penulis merekomendasikan bahwa pengkaderan
Politik dalam Muhammadiyah harus menjadi hal yang perlu di prioritaskan, mengingat
banyak dari kader Muhammadiyah yang memiliki ketertarikan yang kuat untuk terjun
dalam dunia politik praktis. Dan jika kita melihat realitas sekarang ketika sudah banyak
kader Muhammadiyah yang menjadi anggota DPR, DPRD, DPD maka perlu ada kesatuan
misi dan visi yang kuat untuk menunjukkan kepribadian Muhammadiyahnya hingga di
level pemerintahan dan politik kekuasaan. Teringat dengan kata-kata Ustadz Feri Yudi
Antonis “Hidup ini antara diwarnai dan mewarnai, jika engkau tidak mewarnai maka
akan diwarnai, choose and take a risk”. Mungkin ini lah yang dapat di lakukan oleh para
kader Muhammadiyah baik yang ada di luar pemerintahan ataupun yang ada dalam
pemerintahan, mengingat Amal Usaha Muhammadiyah saat ini sudah semakin
menggurita seantero Indonesia. Sebagai Kader Muhammadiyah banyak yang dapat kita
lakukan baik dari dalam tubuh Muhammadiyah atau berada di luar tubuh
Muhammadiyah, dalam mengimplementasikan petuah Ahmad Dahlan “Hidup-hidupilah
Muhammadiyah dan jangan mencari Hidup di Muhammadiyah”.