GAM GAM MAKALAH PANCASILA INDONESIA

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

TEMA : MEMBUMIKAN SILA KE 3 ” PERSATUAN INDONESIA”
(KONFLIK GERAKAN ACEH MERDEKA)

DISUSUN OLEH :
Torinah Suhaetin

0217103101

Reza Prasetia

0217103079

Nadia Oktavianiny

0217103099

Alex Arjuna

0217103092


PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS BISNIS MANEJEMEN UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG

2017

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Pancasila, sila ketiga “Persatuan
Indonesia” yang berjudul Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini tentang sejarah Gerakan Aceh

Merdeka. dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan
dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang
bersifat sistematis. Sila Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Kesatuan
Yang Maha Esa dan Kemanusian Yang Adil dan Beradab serta mendasari dan
dijiwai sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan

dalam

Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Persatuan dalam sila ketiga ini meliputi makna persatuan dan kesatuan dalam
arti idiologis, ekonomi, politik, sosial budaya dan keamanan. Nilai persatuan ini
dikembangakan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang senasib. Nilai
persatuan itu didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam

wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Perwujudan Persatuan Indonesia
adalah manifestasi paham kebangsaan yang memberi tempat bagi keberagaman
budaya atau etnis yang bukannya ditunjukkan untuk perpecahan namun semakin
eratnya persatuan, solidaritas tinggi, serta rasa bangga dan kecintaan kepada
bangsa dan kebudayaan.
1.2 RUMUSAN MASALAH

a.

Apa bentuk penyimpangan terhadap sila ketiga?

b. Apa yang menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap sila ketiga?
1.3 TUJUAN

Secara umum makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
bagaimana saja bentuk penyimpangan terhadap sila ketiga pancasila dan memberi
informasi kepada semua orang agar menghindari hal yang bertentangan dengan sila
ke 3 pancasila.
.


BAB II
PEMBAHASAN

A.

Pengrtian GAM
Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang dianggap
separatis) yang memiliki tujuan supaya Aceh, yang merupakan daerah yang sempat
berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan
perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan
jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh
Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro
selama hampir tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia.
Pada tanggal 2 Juni 2010, ia memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, tepat
sehari sebelum ia meninggal dunia di Banda Aceh.

B.

Asal Mula Terbentuknya GAM

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu bagian sejarah yang
mewarnai dinamika sejarah di Indonesia. GAM diproklamirkan pada tanggal 4
Desember 1976 oleh Hasan Tiro. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana
pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri memilih hari
lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan
proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit
Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana,
dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya,
gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam.
Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan, Hasan Tiro juga mengumumkan
struktur pemerintahan Negara Aceh Sumatera. Akan tetapi, kabinet tersebut belum
berfungsi hingga pertengahan 1977, persoalannya adalah karena para anggota
kabinet pada umumnya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye
dan persiapan perang gerilya. Kabinet Negara Aceh Sumatera baru dapat
melaksanakan sidang pertamanya pada 15 Agustus 1977. Sedangkan upacara
pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada 30 Oktober 1977
di camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie. Kabinetnya sendiri pada waktu itu,
hanyalah terdiri dari beberapa orang saja, yaitu: Presiden (Hasan Muhammad Tiro),
Perdana Menteri (Dr.Muchtar Hasbi), Wakil Perdana Menteri (Teungku Ilyas Leube),
Menteri Keuangan (Muhammad Usman), Menteri Pekerjaan Umum (Ir.Asnawi Ali),

Menteri Perhubungan (Amir Ishak BA), Menteri Sosial (Dr.Zubir Mahmud) dan
Menteri Penerangan (M. Tahir Husin).

Latar belakang kelahiran dan motif-motif yang melahirkan GAM tidaklah sama
dengan kelahiran manusia yang bisa dipastikan dari satu sebab tunggal, yakni
proses prokreasi, maka kelahiran GAM sebagai sebuah peristiwa tidak disebabkan
faktor yang tunggal namun multifaktor. Terdapat berbagai pendapat yang telah
menjelaskan beberapa hal yang menjadi kausa peristiwa ini, diantaranya:
4.
GAM merupakan lanjutan perjuangan—atau setidaknya terkait—Darul Islam (DI)
Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Tesis ini, didukung oleh Isa
Sulaiman yang menilai keterkaitan GAM dangan DI, karena persoalan DI tidak
diselesaikan secara tuntas. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM
memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang
dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII Daud Beureueh.
Dalam hal ini GAM mewarisi atas ideologi DI/TII sehingga isu utama dari adanya
pemberontakan ini yakni dalam rangka menjunjung tinggi hak dan kewajiban
warganya (tujuan negara menurut Imanuel Kant) yang notabennya berbudaya islam
sehingga perlulah adanya suatu wadah islam di wilayah Aceh khususnya. Hal ini
bisa terlihat dengan fakta bahwa meskipun Aceh belum terbentuk dalam tanah

kenegaraan namun Aceh diberikan hak khusus untuk membentuk sistem syariat
islam dalam wilayahnya oleh NKRI.
5.
Faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara
pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan
kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh
menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi
14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang
menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap
oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang
dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak
memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh.
6.
Meskipun faktor ekonomi memang berpengaruh terhadap lahirnya GAM. Tetapi
hal ersebut hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kromosom yang
dikandung sel sperma yang akan membuahi sel telur, hingga akhirnya melahirkan
GAM. Kalau permasalahannya hanya faktor ekonomi, maka tuntutannya tidak akan
kemerdekaan. Faktor ekonomi pasti akan diselesaikan dengan tuntutan yang bisa
menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pihak Aceh. Sel sperma yang
sesungguhnya dalam kelahiran GAM adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh

pihak Aceh. Sel ketidakadilan ini berisi kromosom yang berupa ketidakadilan di
bidang ekonomi, politik, dan berbagai ketidakadilan lainnya. Faktor ketidakadilan
inilah yang merupakan faktor ketiga dari sebab kelahiran GAM.
Sel telur yang siap dibuahi dalam kelahiran GAM adalah identitas keAcehan
yang dimiliki secara kuat dan mendalam oleh bangsa Aceh. Hasan Tiro meyakni
bahwa Aceh merupakan identitas tersendiri, yang memiliki sejarah dan jati diri yang
kuat. Oleh karenanya, kedaulatan Aceh yang sudah dimiliki ratusan tahun yang lalu
harus dikembalikan. Telah nyata bahwa bangsa Aceh memiliki kebanggaan atas
dirinya sebagai bangsa yang tidak mudah tunduk, atau mempunyai harga diri yang
tinggi. Memiliki keyakinan bahwa bangsanya adalah bangsa pejuang, yang tidak

boleh direndahkan oleh pihak luar. Bangsa yang memiliki pahlawan-pahlawan yang
pantang menyerah dan siap berkorban untuk kepentingan negerinya. Bangsa yang
memiliki cita-cita mati mulia dalam keadaan syahid. Semua gambaran atas dirinya
yang bisa terrefleksikan dalam hikayat perang sabil. Identitas ini semakin diperkuat
dengan berbagai ketidakadilan yang ada dan sikap meng-kaphe-kan orang non
Aceh, terutama orang Jawa, sebagai kolaborator penguasa Indonesia atas tanah
Aceh.
Bertemunya sel sperma dan sel telur ini, menghasilkan janin nasionalisme
dalam rahim sejarah. Nasionalisme Aceh akhirnya mencuat ke permukaan, baik

dalam bentuk paling moderat ke arah referendum penentuan nasib sendiri (yang
kemungkinan besar memilih opsi kemerdekaan) hingga jalan radikal berupa
separatisme. Nasionalisme Aceh sangat terhubung dengan kekecewaan luar biasa
atas Jakarta. Nasionalisme ini sendiri sebenarnya dimunculkan oleh kegagalan
Indonesia dalam menguraikan konsepsi kebangsaannya. Ditambah dengan
penguasaan atas sumber daya politik dan ekonomi Aceh, terlebih kelak ketika
diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) yang represif. Nasionalisme Aceh
menguat menjadi satu pikiran sederhana: Indonesia adalah common enemy bagi
rakyat Aceh.
Analisis tentang faktor kelahiran GAM yang disebabkan oleh munculnya
Nasionalisme Aceh ini bisa dilihat dari kesaksian Hasan Saleh. Ia merupakan
mantan Menteri Pertahanan/Panglima Tentara Islam Indonesia era perlawanan
DI/TII, namun menolak untuk berjuang dan mendukung GAM. Setelah terdengar
desas-desus pemberontakan kembali terdengar, ia dibujuk oleh Jalil Amin untuk
turut serta dalam gerakan ini. Hasan Salah bertanya kepada Jalil Amin mengenai
tujuan gerakan ini.
Organisasi politik adalah organisasi atau kelompok yang bergerak atau
berkepentingan atau terlibat dalam proses politik dan dalam ilmu kenegaraan,
secara aktif berperan dalam menentukan nasib bangsa tersebut. Organisasi politik
dapat mencakup berbagai jenis organisasi seperti kelompok advokasi yang melobi

perubahan kepada politisi, lembaga think tank yang mengajukan alternatif kebijakan,
partai politik yang mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris
yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian
yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai suatu sistem
politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap.
Berbagai harapan itu dilakukan menurut aturan dan norma yang sudah ada,
Dan untuk menganalisa “Peran Crisis Management Initiative (CMI) dalam
Menangani Konflik GAM di Nanggroe Aceh Darusalam” teori peran juga harus
memperhatikan diantara ketiganya yang ada harapan tersebut.
Dalam kaitannya dengan konflik GAM yang terjadi di Aceh, seperti Crisis
Management Initiative (CMI) merupakan sebuah organisasi Internasional yang
berperan dalam penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka. Peranan CMI dalam
penyelesaian konflik tersebut merupakan perilaku politik yang diharapkan dari pihak
lain. Peran tersebut merupakan yang didapat karena permintaan kedua belah pihak,
Yaitu GAM-RI. Dengan kata lain peranan di dapat karena di undang oleh pihak lain

bukan inisiatif sendiri. CMI menyepakati permintaan GAM-RI untuk datang ke
Indonesia dan berusaha membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di
indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pokok dari lembaga non-goverment ini, yaitu
membantu masyarakat Internasional keluar dari krisis Internasional mulai dari isu

kemanusiaan sampai dengan soal keamanan dan pembangunan .
Berdasarkan dari tujuan pokok itulah, CMI membantu pemerintah Republik
Indonesia untuk menangani konflik Gerakan Aceh Merdeka yang terjadi di Nanggroe
Aceh Darussalam yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia.
Konflik GAM yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu
interaksi yang terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan, gagasan, serta
kebijaksanaan diantara NAD dan GAM. Perbedaan kebijakan pengalokasian
Sumber Daya Alam antara daerah dan pusat mengakibatkan GAM menginginkan
lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konflik GAM, fasilitator di pegang oleh pihak CMI yang memfasilitatori
terwujudnya perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam dengan di tanda tangani
MoU Helsinki antara GAM dan RI . Dan CMI memberikan bantuan melalui diskusi
atau perundingan damai yang menghasilkan solusi berupa kesepakatan bersama
antara kedua belah pihak , dalam hal ini adalah antara RI atau NAD dengan GAM.

C. TOKOH YANG BERPERAN DALAM GAM
Tahap pertama
Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan
keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk
membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan
mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap melatar
belakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat Aceh,
budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan meningkatnya
jumlah migran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan yang tidak
adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan perdebatan.
Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia
yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, perusahaan yang
mengoperasikan ladang gas Arun.
Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat terbatas.
Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang mungkin
pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang partisipasi aktif massa. Dalam
pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan
mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri,
yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara yang
lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat .

Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang
merupakan anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh. Kabinet
pertama GAM, yang dibentuk oleh di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979,
terdiri dari tokoh pemberontakan Darul Islam berikut ini.
Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima
Agung

Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri




Teungku Usman Lampoh Awe: Menteri Keuangan



Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman



Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi



Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan



Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial



Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri



Amir Ishak: Menteri Komunikasi



Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan



Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri

Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM sendiri
telah berjuang pada tahun 1953-1959 dalam pemberontakan Darul Islam. Banyak
dari mereka adalah laki-laki tua yang tetap setia kepada mantan gubernur militer
Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh, Daud Beureueh. Orang
yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama
terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam. Beberapa
orang anggota Darul Islam juga kemungkinan terkait dengan di Tiro melalui keluarga
atau ikatan regional, namun kesetiaan mereka terutama adalah untuk Beureueh.
Orang-orang inilah yang menyediakan pengetahuan militer, pertempuran,
pengetahuan lokal dan keterampilan logistik yang tidak memiliki pemimpin muda
GAM yang berpendidikan.
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah
menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan,
dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri dan bersembunyi.
[10]
Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik
Mahmud (menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan
GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli berhenti
berfungs

Tahap kedua
Teungku Muhammad Daud Beureueh

Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan mengambil
keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan
nasionalis
melalui
"Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme" Tidak
jelas
apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah
tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer
yang sangat dibutuhkan. Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama
periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang berbedabeda Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai
2.000 sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia
menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800. Di antara para pemimpin GAM yang
bergabung selama fase ini adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi
komandan GAM Pasè, Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM
di Peureulak, Aceh Timur).
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta
pelatihan GAM dari Libya. Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi
merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan
pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan
pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.
Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang
lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan tindakan
represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi dikenal sebagai
era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan
operasi kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah ini, meskipun secara taktik berhasil
menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan
penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari Republik Indonesia
setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan
dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia
hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir era
1998 setelah kejatuhan Soeharto. Komandan penting GAM telah entah dibunuh
(komandan GAM Pasè Yusuf Ali dan panglima senior GAM Keuchik Umar),
ditangkap (Ligadinsyah) atau lari (Robert, Arjuna dan Ahmad Kandang)]
Tahap ketiga
Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM Abdullah Syafi'i,
1999
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif
karena
jatuhnya Soeharto memberikan
keuntungan
bagi Gerakan
Aceh
Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan
yang besar dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan,
namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan
pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat

menjadi
sekitar
15.000
selama
masa
jabatan
Presiden Megawati
Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70
persen pedesaan di seluruh Aceh.
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda
Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA)
("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara
Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika
pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan
bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya .
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan,
GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi
pro-referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan
dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan
ke ibukota provinsi. Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga mengeluarkan Deklarasi
Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese Representatives Meeting"
di Stavanger, Norwegia Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara
Aceh mempraktikkan sistem demokrasi." Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi
manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis
perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang
lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan
keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada
tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk
selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November
2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum
terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch, militer Indonesia kembali
melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini seperti operasi
sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama
darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih
berlangsung
ketika
tiba-tiba bencana
Tsunami
bulan
Desember
2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di
tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.

D. SIKAP PEMERINTAH TERHADAP GAM
Upaya untuk menumpas pemberontakan GAM, baik di masa Presiden
Abdurrahman Wahid maupun Megawati, tampaknya kurang membuahkan hasil.
Sejumlah faktor menjadi kendala, pertama infrastruktur pembangunan tidak berjalan
dan pemerintah daerah tidak bekerja secara maksimal. Pemerintah daerah tidak
berkerja karena situasi keamanan yang tidak memungkinkan bagi mereka. Hal ini
berlangsung hingga tahun 2003, salah seorang pejabat di Pemerintahan Daerah
Kabupaten Aceh timur mengatakan bahwa pemerintah bekerja dengan cara yang

tidak sewajarnya, karena takut diteror dan dibunuh oleh kelompok pemberontakan.
Kedua, masih kentalnya pendekatan operasi-operasi keamanan dalam
menyelesaikan konflik Aceh. Ketiga, kebijakan yang sifatnya untuk membangun
ekonomi sulit dilaksanakan karena pemerintahan daerah lumpuh, akibat konflik yang
berlarut-larut. Keempat, walaupun telah ada gencatan senjata pada maa Megawati
Soekarnoputeri melalui CoHA antara Pemerintah RI dengan GAM, Namun butirbutirnya sulit diimplemtasikan di lapangan. Kegagalan pendekatan penyelesaian
separatisme di Aceh sejak Orde Baru hingga Presiden Megawati Soekarnoputeri.

E. Solusi yang Diberikan Pancasila dalam Mengatasi Konflik
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan tuntunan dan
pegangan dalam mengatur sikap dan perilaku manusia Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia yang menjadi sumber moral dan menjelma dalam wujud yang
beraneka

ragam

kebudayaan

daerah

dapat

dikembangkan

dalam

rangka

memperkaya nilai-nilai pancasila, yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa. Nilai-nilai
tersebut adalah nilai baru yang tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia yang
sedang membangun, yang sedang teruji sebagai nilai luhur yang perlu
dikembangkan. Dalam konteks pengembangan nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam pancasila, perlu diperhatikan perubahan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai
yang ada sebagai akibat dinamika yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Pancasila yang digali dan dirumuskan para pendiri bangsa ini adalah sebuah
rasionalitas kita sebagai bangsa majemuk, multi agama, multi bahasa, multi budaya,
dan multi ras, yang bergambar dalam Bhineka Tunggal Ika. Kebinekaan Indonesia
harus dijaga sebaik mungkin. Kebhinekaan yang kita inginkan adalah kebhinekaan
yang bermartabat. Untuk menjaga kebhinekaan yang bermartabat itulah, maka
berbagai hal yang mengancam kebinekaan harus ditolak. Namun dengan
kebhinekaan tersebut hingga saat ini bangsa Indonesia belum memiliki identitas
kebudayaan yang jelas. Selama ini Indonesia hanya memiliki identitas semu yang
belum mantap tetapi dipaksakan seolah-olah menjadi ciri khas kebudayaan. Hal
inilah yang mengakibatkan peselisihan dan menimbulkan konflik.
Didalam pancasila terdapat nilai-nilai yang digunakan bangsa Indonesia
sebagai landasan serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan

sehari-hari maupun dalam kehidupan kenegaraan. Nilai-nilai tersebut selalu dapat
memberikan solusi atas masalah yang terjadi dalam negara Indonesia kususnya
masalah kemajemukan. Nilai-nilai luhur pancasila tersebut tertuang dalam setiap
butir-butir pancasila