DINAMIKA TATA KELOLA KEBIJAKAN INDUSTRI (1)

DINAMIKA TATA KELOLA KEBIJAKAN INDUSTRI PENYIARAN DAN TELEKOMUNIKASI INDONESIA MENUJU KONVERGENSI THE DYNAMIC OF THE BROADCASTING AND TELECOMMUNICATION POLICY AND GOVERNANCE IN INDONESIA TOWARDS CONVERGENCE

Vience Mutiara Rumata

Puslitbang Aplikasi Informatika dan Informasi Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo Jl. Medan Merdeka No.9, Jakarta,10110, Indonesia vien001@kominfo.go.id

Naskah diterima : 20 Juli 2015; Direvisi : 3 Agustus 2015; Disetujui : 5 Agustus 2015

Abstrak

Konvergensi antara penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia tidak terhindarkan seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta ketatnya persaingan dalam industri keduanya. Kedua industri telah mengintegrasi TIK sebagai nilai tambah dari layanan ataupun produk yang ditawarkannya. Meski demikian, tata kelola kedua industri ini masih terpisah yakni melalui UU Penyiaran tahun 2002 dan UU Telekomunikasi tahun 1999. Di saat RUU konvergensi telematika belum menemukan titik terang, regulator berupaya merevisi kedua UU tersebut. Studi ini bertujuan untuk memahami relasi kekuasaan serta pandangan para pemangku kebijakan dalam mengatur industri penyiaran dan telekomunikasi di era konvergensi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam kepada narasumber yang dipilih secara purposif yakni Kemkominfo, KPI, BRTI, dan DPR, selama Januari- Februari 2015. Setiap institusi memiliki path dependence yang berbeda antar satu dengan yang lain, sehingga membentuk pola distribusi kekuasan berbeda dalam prosedur pembuatan kebijakan. Proposal revisi UU baik dari Kemkominfo dan KPI tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan konvergensi. Akan tetapi, perebutan otoritas antar kedua institusi tersebut justru menjadi fokus dalam proposal tersebut. Kemkominfo, sebagai inisiator UU Telekomunikasi, berencana untuk mengubah revisi UU tersebut menjadi UU konvergensi.

Kata Kunci : Kebijakan, Pemerintahan, Penyiaran, Telekomunikasi, Konvergensi

Abstract

The convergence between broadcasting and telecommunication in Indonesia is inevitable as the growing information and communication technology and competition within both industries. Nevertheless, the policy governance of these industries remains distinctively separated under the 2002 Broadcasting Law and the 1999 Telecommunication Law. Whilst the regulators failed to enact the convergence bill, the only way is to synergize the revision of both laws.. This study aims to understand the point of views a s well as power relation among regulators in regulating the broadcasting and telecommunication towards convergence. The primary data tool is in-depth interview with respondents who are officials of four institutions: the Kemkominfo, KPI, BRTI, and DPR, within January-February 2015. The path dependence of these institutions is differ one to another which determine the power contribution in the policy processes. The emerging proposals of the Broadcasting Law revision are not regulating convergence in detail. Instead, the KPI and Kemkominfo dispute over the authority of broadcasting industry. Kemkominfo is planning to turn the revision of the Telecommunication law into convergence law.

Keywords : Policy, Governance, Broadcasting, Telecommunication, Convergence

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

PENDAHULUAN

setidaknya terdapat 88,1 juta penduduk Indonesia atau sekitar 34,9 persen dari total populasi

Pesatnya pertumbuhan teknologi informasi terkoneksi internet. Dari jumlah tersebut, kelompok dan komunikasi berdampak terhadap konvergensi usia 18-25 tahun masih mendominasi. Penelitian ini antara industri penyiaran dan telekomunikasi atau memberikan perhatian yang lebih kepada penyiaran dikenal sebagai “konvergensi media” ( media khususnya televisi (TV) karena media ini masih convergence ). Di industri penyiaran, para menjadi media utama masyarakat Indonesia. pengusaha media menyediakan konten-konten Berdasarkan riset Nielsen 2014, penetrasi TV di penyiaran ke dalam format digital atau aplikasi Indonesia mencapai 95 persen di pulau Jawa dan 97

berbasis mobile seperti e-paper dan online persen di luar pulau Jawa. Kementerian Komunikasi streaming . Tapsell (2014) berpendapat bahwa dan

(Kemkominfo) tengah konvergensi dapat memberikan kesempatan bagi mengupayakan migrasi TV terestrial tak berbayar pengusaha media mengekspansi layanan konten di analog menuju digital dengan target 2018 berbagai platform, baik dalam media tradisional mendatang. Migrasi ini penting karena memiliki maupun media baru atau yang dikenal dengan dampak pada pengembangan teknologi 4G untuk

Informatika

istilah “multiplatform oligopolies”. Konvergensi ini akses broadband , khususnya efisiensi spektrum. terjadi karena internet tidak saja memberikan

Pemerintah Indonesia telah menerapkan saluran bagi pendistribusian konten, tetapi juga sistem deregulasi terhadap industri media

membuka peluang bagi konsumen untuk khususnya penyiaran dan telekomunikasi sejak menciptakan dan mendistribusikan konten atau akhir 1990an. Sejak reformasi, pola kebijakan dikenal dengan istilah “ prosumer ” (Lin, 2013).

pemerintah berubah dari sebelumnya state authority Di Indonesia, para pengusaha media dan control menjadi public control . Di tahun 1999,

36 tentang bertahan di tengah ketatnya persaingan bisnis. Telekomunikasi disahkan, yang kemudian dibentuk

telekomunikasi mengadopsi konvergensi agar tetap Undang-Undang

(UU)

No.

Mengangkat studi kasus Pikiran Rakyat , Resmadi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). dan Yuliar (2014) menemukan bahwa motif bisnis Di tahun 2002, UU Penyiaran No.32 tentang media menjadi basis transisi ke arah konvergensi, Penyiaran disahkan sebagai pengganti UU “ada kecenderungan jika suatu media massa tidak Penyiaran tahun 1997. Deregulasi ini turut memasuki ranah teknologi digital akan digilas oleh menyumbang pesatnya pertumbuhan baik di persaingan media massa yang kian cepat” (p.112).

industri media 1 maupun di industri telekomunikasi Dalam studinya, Tapsell (2014:3) juga menemukan itu sendiri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik

faktor penggerak utama konvergensi pada industri 2014,

sektor telekomunikasi media di Indonesia adalah teknologi serta menyumbang sekitar Rp. 292 miliar terhadap GDP

pertumbuhan

pertumbuhan konsumsi media oleh kaum muda nasional tahun 2013. Penetrasi sektor telepon yang tinggal di kota-kota besar. Berdasarkan buku

1 profil pengguna internet keluaran APJII (Asosiasi Setidaknya, terdapat 12 TV swasta jangkauan siaran Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) 2014, nasional; 516 media cetak; dan lebih dari 900 radio

memiliki ijin siaran di Indonesia (Haryanto, 2011:105)

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata)

seluler bergerak mendominasi bahkan jumlahnya regulasi penyiaran dan telekomunikasi di era hampir dua kali lipat dari jumlah populasi.

studi ini juga Internet telah mengubah bisnis industri di mendeskripsikan pola interelasi serta distribusi Indonesia. Selain pengusaha media yang kekuasaan antar regulator dalam pembuatan menyediakan format digital untuk produk- kebijakan. Rumusan masalah penelitian ini adalah produknya, perusahaan

konvergensi. Selain

itu,

telekomunikasi pun sebagai berikut:

mengekspansi bisnisnya dalam layanan penyiaran. Bagaimana tata kelola kebijakan industri

penyiaran dan Sebagai contoh, Telkom meluncurkan produk telekomunikasi di Indonesia menuju

Groovia sebagai televisi protokol internet (IPTV)

konvergensi?

pertama di Indonesia pada 4 Juni 2011. Memasuki Tujuan dari studi ini adalah untuk mendeskripsikan

tahun 2008, pemerintah memulai program migrasi secara garis besar perkembangan tata kelola

TV analog ke digital, dengan tujuan untuk kebijakan industri penyiaran dan telekomunikasi

mengefisiensikan penggunaan spektrum yang saat ini serta mendeskripsikan pola interalasi antar

nantinya digunakan

untuk

kepentingan

regulator terkait yang mempengaruhi outcome dari pengembangan pita lebar ( broadband) . Tata kelola

kebijakan baik saat ini maupun konvegrensi yang industri penyiaran di era konvergensi saat ini masih

akan datang. Harapan penulis dari penelitian ini mengacu pada Undang-Undang (UU) No.32 tahun

agar pelaku pembuat kebijakan menjadikan hasil 2002 tentang Penyiaran. Akan tetapi, UU ini belum

penelitian ini sebagai bahan pertimbangan tata memadai untuk mengatur konvergensi. Pada tahun

kelola industri penyiaran di era konvergensi. Selain 2012, Dewan Perwakilan

Rakyat

(DPR)

itu, dapat mendorong penelitian-penelitian yang mengajukan revisi Undang-Undang Penyiaran

berkaitan dengan analisis model tata kelola dengan tujuan untuk restruktrusiasi sistem

konvergensi yang dapat diterapkan di Indonesia. penyiaran dan migrasi TV analog – digital

(Fahriyadi, 2012). Hanya saja, diskusi antara DPR

Tinjauan Pustaka

dan pemerintah terkait revisi ini sangat alot sehingga revisi tersebut belum rampung hingga

Dalam literatur, studi mengenai “konvergensi memasuki tahun 2015.

media” lebih memfokuskan pada perubahan struktur baik dari sisi bisnis industri

Berdasarkan deskripsi di atas, studi ini – telekomunikasi dan

memfokuskan pada 1) tata kelola dan kebijakan – serta peraturan ataupun kebijakan. Flew

penyiaran

(2002:5) berargumen bahwa isu pokok dari bidang penyiaran dan telekomunikasi saat ini serta

konvergensi mengarah pada perubahan - baik dari memberikan deskripsi isu-isu terkemuka di era

segi peraturan kebijakan maupun industri transisi konvergensi; serta 2) skenario regulator

– dari integrasi secara verikal (silos) menuju integrasi

dalam revisi UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi secara horisontal dari lapisan infrastruktur, akses,

untuk menghadapi konvergensi. Signifikansi dari applikasi, maupun konten. Secara teoretis, kata

penelitian ini adalah memfokuskan pada regulatory point of views , skenario serta ekspektasi regulator ‘konvergensi’ dipopulerkan oleh Ithiel de Sola Pool

(Kemkominfo, KPI, BRTI dan DPR) terhadap –‘convergence of modes’ – yang

pada tahun 1983

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

merujuk pada kemampuan digital elektronik dalam 4 Jaringan) (ACMA , 2011). Dasar pemikiran dari mendekatkan (atau mengaburkan) moda-moda kerangka model ini adalah internet tidak sekadar

komunikasi yang secara historis terpisah (Gordon, sebagai alat atau medium semata, melainkan 2003). Dari paradigma teori, Menon (2006:62) membawa dampak sosial dan ekonomi secara mengungkapkan bahwa terdapat dua teori: fundamental

penggunanya (p.18). Technological Determinism dan Social Shaping Sehingga, peraturan dengan pendekatan vertikal Theory , yaitu merujuk pada proses pembuatan terpisah (antara industri telekomunikasi dan kebijakan konvergensi dipicu oleh perkembangan penyiaran) tidak cukup mengatur layanan berbasis teknologi dan/atau konstruktivitas kerangka sosial. internet protokol. Thierer (2005:280) berargumen Kedua paradigma, menurut penulis, tercermin bahwa Network Layers model adalah sebuah teknik dalam proses pembuatan kebijakan industri analisis untuk mengkritisi perkembangan model

terhadap

telekomunikasi dan penyiaran di Indonesia. bisnis tradisional ( vertical-silo paradigm ) yang Telekomunikasi, yang diprakarsai oleh pemerintah tidak serta-merta berkembang menjadi paradigma (kemkominfo)

pada regulasi baru. Justru model ini mampu memastikan paradigma technological determinism , kebijakan perkembangan broadband serta membuka peluang disesuaikan dengan perkembangan teknologi. layanan baru sehingga pada akhirnya industripun Sementara penyiaran, diprakarsai oleh parlemen, tumbuh. Argumen Thierer merujuk pada ‘ Net cenderung social shaping theory , bahwa kebijakan Neutrality’ di mana pemilik infrastruktur jaringan harus memperhatikan dampak sosial kepada (perusahaan telko) tidak bersikap diskriminatif masyarakat.

cenderung

berpengang

terhadap penyedia konten dan termasuk juga Beberapa negara telah menerapkan tata kelola pelanggan. konvergensi media, ‘ legislative convergence ’,

sebuah kerangka peraturan yang mengakomodir METODE

peraturan – yang sebelumnya terpisah – bidang Studi ini merupakan studi kualitatif-deskriptif

telekomunikasi, media dan internet ke dalam

kerangka paradigma kerangka peraturan tunggal. Malaysia, sebagai

dengan

berdasarkan

interpertatif, yang contohnya,

seringkali dipersepsikan sama dengan paradigma Telecommunications Act 1950 dan Broadcasting

konstruktivis, memiliki asumsi ontologi yakni Act 1988 ke dalam Communications and

realitas terbentuk dari interaksi sosial manusia. Oleh Multimedia Act tahun 1998 (CMA). Salah satu

2 sebab itu, penelitian dengan paradigma ini sangat pokok penting dari kerangka Converged

bergantung pada persepsi manusia terhadap realitas Legislative ini adalah Network Layers Regulatory

dunia ataupun realitas studi yang diteliti (Creswell, Model (Model Peraturan Berbasis Lapisan

2003). Peneliti terarik untuk menggambarkan

2 Pokok penting Converged Legislative, berdasarkan

studi yang dilakukan ACMA pada 2011, adalah: (transmission control layers, IP, network, link interface); 3 Terdapat empat lapisan (layers) dalam kerangka ini dan Physical (transmission, DSL, WiFi, Satelit, dsb). yaitu: Application (programs, apps protocols); Content 4 ACMA : Australian Communication and Media

(images, text, voice, music, videos); Logical

Authority

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata)

interpretasi regulator terhadap realita konvergensi fiksi, melainkan fakta-fakta yang membentuk realita media saat ini di Indonesia. Makna atau persepsi ini (praktik, nilai, konsep) saat ini (Willis, 2007:112). tentu akan mempengaruhi bagaimana kerangka Unsur historis tidak diabaikan dalam studi ini regulasi konvergensi media di masa yang akan seperti proses judicial review terhadap institusi datang. Sementara itu, pendekatan kritis merupakan maupun

tertentu yang dapat upaya untuk mengekspos kekuasaan dominan dalam mempengaruhi keberlangsungan kebijakan industri sebuah interelasi sosial baik individu-individu penyiaran di Indonesia. Dengan demikian, validasi maupun individu dengan kelompok tertentu. studi ini tidak bergantung seberapa objektifnya hasil Dengan pendekatan ini, peneliti dapat memberi temuan. Sebaliknya, bagaimana data yang disajikan kritikan terhadap ideologi, asumsi, atau nilai-nilai mampu menggambarkan realitas majemuk serta yang berkembang. Lebih lanjut, penelitian dengan makna yang terbangun dalam konteks studi dengan pendekatan kritik juga harus memperhatikan cara jelas dan detail ( detailed explications of the kerangka historis yang mempengaruhi sistem saat context ) (Denzin, 1994) ini (Kilgore, 1998 dalam Willis, 2007:82).

peraturan

Metode penelitian yang sejalan dengan Dalam

paradigma paradigma ini adalah kualitatif, di mana menurut interpretatif dengan pendekatan kritis – mulai Merriam (2014) dan Barbour (2008), bertujuan pemilihan topik hingga analisis data – bukanlah untuk memahami bagaimana manusia membentuk proses yang bebas dari nilai serta kepercayaan dari atau memberi makna terhadap berbagai hal. peneliti (Willis, 2007:86). Proses analisis data Setidaknya ada empat karakteristik dari penelitian penelitian interpretatif bukanlah proses yang kualitatif, yaitu: 1) fokus penelitian pada bersifat teknikal atau aplikatif terhadap suatu pre- pemahaman dan makna; 2) peneliti merupakan konsep tertentu, melainkan melalui analisis yang instrumen pengumpulan data dan analisis utama; 3) mendalam serta refleksi sehingga cenderung proses penelitian bersifat induktif; serta 4) hasil subjektif (p.113). Validasi penelitian dengan akhir penelitian bersifat deskriptif (Merriam, paradigma konstruktivis-kritis ini menekankan

proses

penelitian

2014:14). Metode pengumpulan data digunakan “… would emphasize socially

secara wawancara mendalam. Jiwani dan constructed

realities,

local

menilai wawancara generalisations,

Krawchenko (2014:57)

interpretive

resources, stock of knowledge, mendalam merupakan teknik yang terbaik dalam intersubjectivity,

practical

penelitian kebijakan publik serta reasoning and ordinary talk” mampu (Denzin, 1994:502)

mengaplikasikan pendekatan paradigma kritis

dalam studi kepemerintahan. Unit analisis penelitian Sementara untuk pendekatan kritis memandang

ini dipilih secara purposive , yakni para pemangku pentingnya kekuasaan, budaya, stuktur, dan aksi

kebijakan di bidang penyiaran yaitu Kementerian yang berkembang di masyarakat. Paradigma

Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Komisi konstruktivis-kritis menekankan pada historisitas

Penyiaran Indonesia (KPI) serta Dewan Perwakilan sebagi aspek penting dalam memahami data.

Rakyat (DPR). Teknik sampling purposif dianggap Historisitas dimaksud bukanlah mitos, legenda, atau

memiliki keuntungan untuk mendapatkan informan

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

yang memiliki informasi ataupun pengalaman yang in Indonesia”, menemukan bahwa kunci untuk relevan dengan studi yang dikerjakan (Merriam, menganalisa proses pembuatan kebijakan di 2009:77). Setidaknya ada empat narasumber dari Indonesia adalah mengidentifikasikan ‘para pemain’ ketiga institusi tersebut di mana tiga diantaranya yang memiliki pengaruhi cukup kuat untuk dilakukan wawancara tatap muka, sementara satu mengendalikan proses pengambilan keputusan. wawancara via surat elektronik (e-mail). Keempat Sebagaimana para akademisi menilai bahwa narasumber tersebut yaitu:

kekuasan merupakan sentral dalam studi kebijakan

1. Dr. Judhariksawan, S.H., M.H, Ketua public, Hal Colebatch (2002) berpendapat bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

prosedur pembuatan kebijakan publik jarang dicapai

2. Ir. Anang Achmad Latif, M.Sc, Kasubdit. Pengembangan

Dit. melalui proses yang linear dan runut serta oleh aktor Telekomunikasi Khusus, Penyiaran Publik

Infrastruktur,

tunggal. Melainkan, formulasi kebijakan serta dan Kewajiban Universal, Kementerian

Informatika pengambilan keputusan ditentukan oleh koneksi dan (Kemkominfo)

Komunikasi

dan

jaringan si pembuat kebijakan (dikutip dalam Duric,

3. Syaharuddin, S.T, M.T, Kasubdit Televisi, Dit. Penyiaran, Ditjen Penyelenggaraan Pos 2012:86). dan Informatika, Kemkominfo.

Studi ini menggunakan kerangka teori New

4. Gunawan Hutagalung, Kasubdit Kelayakan Sistem

Telekomunikasi, Ditjen Institutionalism (neo-institusionalisme) untuk Penyelenggaraan Pos dan Informatika,

melihat pola interalasi antar institusi yang terlibat Kemkominfo.

5. Dr. Riant Nugroho, anggota Komissioner dalam pembuatan kebijakan baik penyiaran maupun Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia

Indonesia. Teori neo- (BRTI)

telekomunikasi di

6. Tantowi Yahya, anggota Komisi 1 Dewan institusionalisme di dalam teori organisasi dan Perwakilan Rakyat (DPR)

sosiologi, memiliki asumsi dasar bahwa institusi

merupakan variabel yang independen. Lecours Selain wawancara, data sekunder juga digunakan

(2005 yang dikutip dalam Duric (2012:88)), dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut berupa:

berpendapat bahwa institusi memiliki kekuatan dokumen pemerintah (Peraturan Menteri, Surat

politik yang otonom serta dapat mempengaruhi Keputusan, dan sebagainya), siaran pers, berita,

hasil akhir kebijakan. Politik di sini tidak serta dokumen pendukung yang didapat dari narasumber

merta merujuk pada partai politik di parlemen, yang berfungsi untuk memverifikasi ataupun

melainkan praktik kekuasaan dan pengaruh. memperluas

Bahkan, Kingdon (2003) menekankan bahwa memberikan gambaran dinamika tata kelola dan

sebuah institusi juga independen terhadap faktor kebijakan industri penyiaran dan telekomunikasi di

ekonomi dan sosial lingkungan eksternalnya. Indonesia.

Teori

Neo-Institusionalisme memiliki

berbagai pendekatan di mana salah satunya adalah Kerangka Teori: New Institutionalism

historis ( historical Interelasi antar regulator menjadi penentu

institusionalisme

dalam proses pembuatan kebijakan. Nugroho dkk (2012:70), dalam studi nya “mapping media policy

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata)

institutionalism) 5 dan menjadi fokus perhatian studi adalah menjelaskan asumsi bahwa perbedaan ini. Institusionalisme historis secara garis besar kekuasaan dan pengaruh tiap-tiap regulator dalam

menjelaskan bagaimana perkembangan historis sebuah proses kebijakan karena diperngaruhi oleh sebuah institusi dapat membentuk sebuah trajektori historis pembentukan institusi tersebut. atau lintasan yang dependen ( path dependency ).

Trajektori ini tidak saja menjelaskan perkembangan HASIL DAN PEMBAHASAN

institusi secara

Interelasi antar Regulator: dari kerangka menggambarkan kekuatan pengaruh institusi yang historis

dimaksud dalam sebuah proses pembuatan

Di dalam sistem pemerintahan Indonesia, kebijakan. Hall dan Taylor (1996) berpendapat

terdapat tiga elemen utama regulator yakni: bahwa

Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Ketiga elemen mengkombinasikan dua pandangan yang berbeda: negara ini memiliki dua pola yakni: “terpisah satu kalkulus dan kultur artinya bahwa institusi memiliki

sama lain, terkait satu sama lain, atau salah satu maknanya sendiri baik berupa tata prosedur formal

menjadi bagian dari yang lain baik secara formal dan informal, rutinitas, norma-norma dan perjanjian maupun dalam arti terkooptasi” (Nugroho, yang melekat pada struktur kepemerintahan, politik

2014:26). Di dalam perumusan kebijakan industri dan ekonomi dari institusi tersebut (yang dikutip

penyiaran dan telekomunikasi, ketiga elemen ini dalam

memiliki andil yang sangat besar untuk meloloskan menyarankan

ataupun menggagalkan sebuah kebijakan. Baik UU institusionalisme

UU Telekomunikasi mengidentifikasikan

mencerminkan interalasi antar elemen regulator kondisi yang membentuk pilihan-pilihan yang

yang berbeda, terutama antara pemerintah dan mengawali trajektori dependensi tersebut baik

parlemen. Tidak hanya itu, kedua UU ini juga berupa awal terbentuknya lembaga, ataupun proses

mempengaruhi kekuatan pengaruh badan indepenen formulasi kebijakan. Dalam studinya, Greener regulator – yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) (2005:64) mengemukakan kritik terhadap prinsip

dan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia path dependence yang dikemukakan oleh beberapa (BRTI) – dalam proses pembuatan kebijakan. Hal akademis, diantaranya: pertanyaan mengenai

ini dapat terlihat dalam diagraf 1, bahwa KPI bagaimana sebuah institusi dapat membebaskan

cenderung berlaku seperti oposisi Kemkominfo dirinya dari path dependence yang telah terbentuk

dalam merumuskan kebijakan penyiaran, sebaliknya secara historis. Penggunaan teori ini untuk studi ini

BRTI menjadi mitra Kemkominfo dalam

5 Lecours (2005a) menemukan tiga pendekatan: merumuskan kebijakan telekomunikasi. historical , rational , dan sociological institutionalism.

Sementara, Parsons (1995) menyebutkan tiga pendekatan: economical, sociological, dan political institutionalism . Beda halnya, dengan Peters (2000) yang

menyebutkan tujuh pendekatan: normative, empirical,

institutionalism of interest representation, international institutionalism , historical institutionalism , rational institutionalism , dan sociological institutionalism .

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

Gambar.1 Interelasi antar elemen regulator dalam kebijakan penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia

Sumber: wawancara Riant Nugroho, BRTI

” BRTI adalah half part dari Kominfo, seperti pertahanan, hubungan luar negeri, dan jadi sifatnya lebih kepada partnership .

komunikasi dan informatika. Komisi ini memiliki Sementara KPI itu oposisi. Hubungan

Kominfo dan KPI itu Diametral. Kalo ke setidaknya 15 mitra kerja yang terdiri dari BRTI dan Kominfo itu lebih kepada

pemerintah, elemen kongruen, nah hubungan diametral ini

kementerian,

badan

menyebabkan Kominfo dan KPI itu tidak masyarakat. Sejak awal tahun ini, Komisi I DPR pernah sinergi. Kalo Kominfo dan BRTI

dan Kemkominfo menyepakati tiga RUU untuk itu

kok.”(wawancara

dibahas dalam program legislasi nasional Nugroho, komisioner BRTI)

dengan

Riant

(prolegnas) 2015-2019, diantaranya: RUU Revisi

Elemen Legislatif dan Yudikatif UU Penyiaran, RUU TVRI dan RRI, serta RUU revisi UU Telekomunikasi (Komisi I DPR, 2015).

Kedua elemen, baik Legislatif (Dewan Perlu diketahui bahwa Komisi I DPR memprakarsai Perwakilan Rakyat/ DPR) dan Yudikatif revisi UU Penyiaran 2002 dan masuk dalam (Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah prolegnas pada periode sebelumnya, 2010-2014. Konstitusi (MK)), sangat berpengaruh pada

Sementara itu, MK dan MA merupakan keberlangsungan sebuah kebijakan baik secara elemen regulator yang bertugas untuk menegakkan hukum maupun secara politik. DPR memiliki tiga sistem hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan fungsi: legislasi, penyusunan anggaran, dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). pengawasan. Dengan fungsi legislasi, DPR Berdasarkan amandemen UUD 1945 (1999-2002), memiliki otoritas untuk menyusun dan membahas MK dan MA memiliki wewenang untuk melakukan rancangan Undang-Undang (RUU) baik yang judicial review (uji material) terhadap UU dan diajukan oleh pihaknya, Presiden (melalui menteri peraturan Per-UU, apabila bertentangan dengan terkait) ataupun dari DPD, serta menetapkan UU itu UU. Setidaknya ada dua alasan kebutuhan uji sendiri

Dalam material, yaitu: 1)bagi masyarakat, uji material mengembankan tugasnya, anggota DPR terbagi ke berfungsi untuk memberikan jaminan perlindungan dalam beberapa komisi yang menangani isu hukum dari tindakan badan pemerintah, sementara nasional yang berbeda. Komisi I menangani isu bagi badan pemerintah, uji material tersebut

(DPR website,

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata)

berfungsi sebagai batasan sekaligus jaminan untuk kedua badan regulator independen ini dipengaruhi mengeluarkan peraturan kebijakan; 2) setiap oleh historis pembuatan UU Penyiaran dan UU keputusan dalam uji materil dapat menyumbang Telekomunikasi yang asal muasalnya diprakarsai perkembangan ilmu hukum administrasi dan oleh dua instansi berbeda yakni DPR dan menjadi instrument baru dalam penyelenggaraan Kemkominfo

berturut-turut. KPI dibentuk tata pemerintahan (Latief,2005 dalam Nalle,2013:3) berdasarkan amandemen UU Penyiaran 2002. Elemen Eksekutif

Dalam UU tersebut, bahkan, mengatur wewenang Regulasi

dan KPI untuk bekerja sama dengan pemerintah (dalam telekomunikasi di Indonesia mengalami perubahan hal ini Kemkominfo) untuk mengatur jumlah dari kontrol penuh menuju deregulasi. Demikian lembaga penyiaran baik skala lokal, regional, pula, institusi pemerintah mengalami perubahan maupun nasional; membatasi kepemilikan media; baik secara struktur organisasi maupun orotritas mengeluarkan ijin penyiaran; dan mengatur

bidang

penyiaran

yang didelegasikan. Secara historis, kebijakan 6 implementasi Sistem Siaran Jaringan bagi Televisi . penyiaran pada masa Orde Baru sangat Meski demikian, peran KPI sebagai badan regulator

dikendalikan oleh pemerintah melalui Departemen di luar pemerintah dilemahkan. Sejak awal Penerangan. Semenjak Reformasi diteggakkan, 7 pembentukannya, komunitas Pers menilai KPI

departemen ini dibubarkan pada tahun 1999 dan berpotensi menyerupai Departemen Penerangan kemudian berganti struktur (seperti berbentuk seperti jaman Orde Baru yang dapat memberedel lembaga ataupun kementerian negara) sebelum surat kabar karena tidak pro pemerintah. Beberapa akhirnya dibentuk Kementerian Komunikasi dan materi pokok judicial review yang diajukan Informatika (Kemkominfo) pada tahun 2001 oleh pemohon, diantaranya: 1) ihwal KPI sebagai Presiden

bidang Lembaga Negara (pasal 7(2) dan Pasal 62 (1)&(2) telekomunikasi dan penyiaran dipegang oleh UUD Penyiaran No.32/2002); 2) wewenang Direktorat Jenderal Pemberdayaan Pos dan judiciary yang dimiliki KPI (Pasal 55 (1-3) dan Informatika (Ditjen PPI). Secara historis, Ditjen PPI Pasal 34 (5)) dinilai bersifat represif dan bersama dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya mengancam kebebasan ekspresi dan bertentangan Perangkat Pos dan Informatika (Ditjen SDPPI) dengan pasal 28 (1)&(2) UUD 1945 amandemen; 3) merupakan pecahan dari Direktorat Jenderal Pos Pasal diskriminatif terhadap jangkauan siaran (Pasal dan Telekomunikasi (Postel) berdasarkan penetapan

Megawati.

Kebijakan

14 (1), pasal 15 (1), Pasal 31 (2) dan Pasal 16 (1)) struktur baru Kemkominfo berdasarkan Peraturan (dokumen Putusan MK No 005, p.4-5). Terkait Menteri Kominfo No. 17/2010 (SDPPI, 2015).

Badan Regulator Indepeden Hal ini diamanatkan dalam Pasal 18 (3) & (4), Pasal 29 (2), dan Pasal 31 UU No.32/2002 tentang Penyiaran.

Temuan menarik dalam studi ini adalah 7 Komunitas Pers yang mengajukan permohonan judicial review KPI diantaranya: Ikatan Jurnalis Televisi

kekuatan pengaruh badan regulator independen - Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta KPI dan BRTI - dalam menyusun kebijakan Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan

Perikalanan Indonesia (PPPI), Asosiasi Televisi Siaran penyiaran dan telekomunikasi di Indonesia. Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara Indonesia (PERSUSI), Komunitas Televisi Indonesia

Perbedaan distribusi pengaruh dan kekuatan dari (KOMTEVE).

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

eksistensinya sebagai lembaga negara, MK industri telekomunikasi yang sehat. Karenanya, memutuskan bahwa status lembaga negara yang BRTI tidak saja membantu Kemkominfo untuk diatur tidak bertentangan dengan UUD 1945. Arti membuat kebijakan, tetapi juga menangani kata ‘lembaga negara’ (dengan huruf kecil) manajemen bisnis perusahaan telekomunikasi

memiliki makna bahwa KPI dibiayai dan dimiliki seperti

dua perusahaan oleh negara (p.22). Pada tahun 2006, KPI telekomunikasi. mengajukan

merger

antar

Meski independen, kedua lembaga ini secara konstitusional kembali Pasal 62 ayat (1) dan (2), operasional dan tata kelola bergantung pada terutama terkait kepastian hukum KPI sebagai anggaran

(APBN). Hal ini lembaga independen serta penolakan KPI terhadap mempengaruhi kredibilitas keduanya di mata penyusunan regulasi industri penyiaran dalam publik. Bahkan, dalam proses perekrutan bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Lembaga negara komisioner kedua institusi ini dipengaruhi baik dari independen, menurut Jimly Asshiddiqie (2003 yang Kemkominfo maupun dari DPR. Pada proses dikutip dalam putusan MK No 031/PUU-IV/2006, seleksi anggota anggota komisioner BRTI, panitia p.8), merupakan organ negara (state organ) yang seleksi berasal dari Kemkominfo dan dilakukan didesain independen dan berada di luar cabang pengumuman secara terbuka melalui website kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, Kemkominfo. Komposisi anggota komisioner ini namun mempunyai fungsi ketiganya. Sementara, PP terdiri dari sembilan orang, yakni: tujuh anggota adalah wewenang lembaga eksekutif. Karenanya, dari publik yang merupakan praktisi dan ahli di MK memutuskan pembatasan wewenang KPI bidang telekomunikasi, TIK, hukum, ekonomi dan menjadi lembaga pengawas konten siaran kebijakan publik; serta dua lainnya merupakan sebagaimana tercatut dalam pasal 8 (2) UU pejabat eselon I di lingkungan Kemkominfo, yakni: Penyiaran tersebut.

pemerintah

Direktur Jenderal (Dirjen) PPI dan SDPPI. Anggota Tidak sama halnya dengan KPI, BRTI komisioner lolos seleksi dilantik oleh Menteri memiliki peran yang cukup berpengaruh dalam Kominfo. Sementara, perekrutan anggota KPI pembuatan

di dilakukan oleh panitia seleksi yang dipilih oleh Kemkominfo. BRTI dibentuk pada tahun 2013 Komisi I DPR berdasarkan rekomendasi KPI Pusat berdasarkan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan (KPI, 2015). DPR juga melakukan fit and proper No. 31/2003. Pasal 4 (2) UU Telekomunikasi dan test terhadap calon komisioner KPI serta melantik pasal 5 KM No.31/2003 menyebutkan BRTI anggota terpilih. memiliki fungsi pengaturan, pengawasan, dan

kebijakan

telekomunikasi

Dari deskripsi ini, tampak jelas path pengendalian penyelenggaraan jaringan dan jasa dependence dari kedua lembaga ini sangat berbeda. telekomunikasi. Di struktur organisasi BRTI, Dampak judicial review MK berpengaruh pada terdapat Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) pembatasan kekuasaan KPI dalam prosedur yang berperan sebagai agen perumus kebijakan di perumusan kebijakan bidang penyiaran, yakni dari Kemkominfo. Key Performance Index KRT ini, regulator menjadi pengawas konten siaran. Bahkan, menurut Riant Nugroho, adalah pertumbuhan pemilihan anggota KPI dipengaruhi oleh kekuatan

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata)

politik di DPR. Lain halnya dengan BRTI yang terjadinya konvergensi tersebut. Apakah IPTV memiliki pengaruh cukup kuat dalam perumusan diatur seperti konten internet pada umumnya atau kebijakan bidang telekomunikasi. Meski kredibilitas sebagai lembaga penyiaran seperti televisi pada independen sempat diragukan karena adanya dua umumnya. Kominfo mendefinisikan layanan IPTV pejabat tinggi Kemkominfo sebagai anggota KRT, sebagai teknologi layanan konvergen yang mampu akan tetapi proses seleksi anggota dilakukan secara menyalurkan siaran, audio, text, video serta transparan dan terbuka. Pola path seperti ini memberikan

interaktif kepada tampaknya akan berlanjut hingga penyusunan 8 pelanggannya . Terkait perizinan, penyedia jasa

layanan

peraturan konvergensi di masa yang akan datang. IPTV harus memiliki tiga jenis izin yang diatur

“Kalo kita konvergensi, BRTI harus 9 terpisah di UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi . paling depan. Kita punya kepentingan

Isu mengemuka lainnya dalam industri dalam RUU Konvergensi karena ke

depannya broadcast, telekomunikasi dan penyiaran saat ini adalah migrasi TV terestrial tidak ITE harus menyatu gitu. KPI itu hanya

berbayar ( free to air ). Kominfo telah mengeluarkan mengerjakan konten saja, sementara BRTI

itu seperti MCMC Malaysia.” (Riant sedikitnya 14 Peraturan Menteri untuk mencapai Nugroho, komisioner BRTI)

Analogue Switch Off yang ditargetkan pada tahun

2018. Kominfo telah menetapkan sistem

Regulasi Industri Penyiaran

multipleksing (Mux) dengan mengadopsi teknologi Pada sub bagian ini membahas isu-isu DVB-T2 10 . Satu kanal frekuensi dalam teknologi

terkemuka industri penyiaran, yaitu: IPTV dan multipleksing dapat menampung hingga 12 saluran

migrasi TV terestrial analog ke digital, serta standar digital/SDTV (Wibawa dkk, 2010:119).

kebijakan yang dikeluarkan regulator saat ini. Pasar televisi berbasis Internet Protokol (IPTV) di Indonesia terus berkembang. Selain Telkom yang meluncurkan Groovia tahun 2011, MNC media grup juga meluncurkan produk IPTVnya Play Media tahun 2014 (Gatra, 2014). Pengklasifikasian layanan IPTV, secara akademis, memicu perdebatan: apakah layanan ini termasuk ke dalam jenis distribusi konten tertutup ( wall-garden type )

8 atau jaringan terbuka bagi publik (

a free web-based

Peraturan Menteri Kominfo No. 30/2009, Bab I Pasal 1, tentang Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol

type ) (Lin, 2013:675). Pemahaman mendasar Internet (Internet Protocol Television/IPTV) di

mengenai ‘sifat alamiah’ dari teknologi itu sangat Indonesia. 9

Pasal 5 (2) Peraturan Menteri Kominfo No. 15/2010, penting karena berdampak pada regulasi. yaitu a) Izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal, Izin

Sebagaimana disampaikan oleh Shin (2005), bahwa Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler, atau Izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap Tertutup; b) Izin tantangan pemerintah dalam tata kelola konvergensi Penyelnggaraan Jasa Akses Internet (ISP); c) Izin Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran adalah

mengkonseptualisasikan atau Berlangganan Jasa Penyiaran Televisi. 10 Diatur dalam Permen Kominfo No.5/2012 tentang mengklasifikasikan hal-hal teknis yang mendukung Standar Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan

Tetap tidak Berbayar ( Free to Air )

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

Gambar 1. Pembagian Zona Layanan Multipleksing

Sumber: Peraturan Menteri No.6/2013, p.12

Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen)

seperti

dari Jerman, serta ada pemancar back up untuk stand by,

Kominfo No. 7/2009, pemerintah telah menetapkan maka itu akan membuat harga sewa

15 zona layanan Mux dalam wilayah kepulauan Mux itu menjadi mahal. Sewa Mux untuk operator itu berbeda -beda. TV-

Indonesia dengan jumlah wilayah layanan serta TV lokal yang analog sekarang

jumlah saluran Mux

kecil-kecil mungkin hanya 500 watt, kalau TV nasional

zonaPemerintah telah menetapkan formula tarif

besar-besar bisa sewa saluran Mux melalui Permen Kominfo No.

pemancarnya

menca pai 60 hingga 80 ribu watt 18/2012, yaitu berdasarkan Forwa rd-Looking Run

dengan harga miliaran.” (Buyung Syaharuddin, interview 9 Februari

Incremental Cost Plus (FL-LRIC+). Formula ini

Sebagai ilustrasi, PT. Visi Media Tbk (VIVA), memperhitungkan beban investasi pengembangan

sebuah media grup yang memiliki dua TV swasta teknologi multipleksing baik secara langsung nasional – TV One dan ANTV – harus maupun tidak langsung serta perhitungan margin

menginventasikan sedikitnya 300 miliar rupiah yang dapat diperoleh oleh perusahaan berbasis a

untuk memangun infrastruktur multipleksing di fair cost . Kominfo tidak menetapkan biaya sewa

enam propinsi (Riska, 2014). Berdasarkan analisis maksimum. Meski demikian, setiap pemegang

cost-benefit , sebuah penyelenggara multipleksing lisensi Mux wajib melaporkan perhitungan biaya

sedikitnya harus menyewakan satu saluran sewa saluran Mux kepada pemerintah untuk

multiplesingnya dengan tarif dasar minimal sebesar dievaluasi. Pemerintah mengakui adanya resistensi

Rp. 33.497.766 per Mbyte per bulan kepada khususnya dari TV-TV siaran lokal terhadap

penyelenggara konten siaran. Satu penyelenggara formula ini.

“Kekhawatiran pada TV Lokal adalah konten siaran harus menyewa minimal 4 Mbyte keharusan untuk menyewa saluran Mux

sehingga biaya yang dikeluarkan setidaknya Rp. yang dirasa mahal. Itu semua kembali

120 juta per bulan untuk menyelenggarakan siaran tergantung pada si [penyelenggara]

Mux ini membuat konfigurasi jaringan digital (Azmi, 2013:273). Anang Latif, kepala sub dia. Jika dia membeli pemancar mahal

direktorat pembangunan infrastruktur Kominfo,

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata)

mengungkapkan adanya alasan non teknis yang mahal dan hanya bisa dijangkau oleh penyelenggara membuat TV-TV siaran lokal enggan untuk konten siaran padat modal saja. Hal ini dapat bermigrasi ke digital. Diantaranya hilangnya mengancam upaya untuk mencapai keberagaman kemampuan untuk mendistribusi konten siarannya konten. Sementara dari segi layanan, model bisnis secara mandiri karena harus diserahkan kepada ini tidak memperhatikan komponen bisnis di luar pihak ketiga yakni pemegang lisensi infrastruktur penyelenggara konten dan multiplekser semisal Mux.

pihak penyedia layanan tambahan seperti electronic Dengan penerapan sistem multipleksing ini, programme guide ataupun yang mendukung model bisnis industri penyiaran digital terestrial pun layanan interaktif (p.274). berubah dari struktur vertikal menuju struktur

Absennya peraturan dengan kekuatan legal horisontal. Dalam siaran analog, sebuah perusahaan yang tinggi seperti UU diyakini menjadi televisi menguasai mata rantai bisnis dan aset- penghambat migrasi tersebut. Regulasi berbentuk asetnya termasuk hak siar. Sementara dalam siaran peraturan Menteri tidak cukup kuat untuk mengatur digital, struktur horisontal yakni berbasis layanan industri TV digital kelak, bahkan rawan dibatalkan dimana penyelenggara siaran terbagi menjadi dua oleh yudikatif. Hal ini terjadi pada Peraturan yaitu lembaga penyiaran penyelenggara program Menteri No. 22/2011 yang dijudicial review dan multipleksing (LPPPM) dan lembaga penyiaran dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2013. penyelenggara

(LPPPS) Meskipun demikian di tahun yang sama, Kominfo (berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) No. 11 mengeluarkan Permen No.32/2013 . Pembatalan

program

siaran

22/2011 Bab III pasal 3). LPPPM merupakan tersebut diakibatkan karena istilah LPPPM dan penyedia infrastruktur multipleksing termasuk alat LPPPS bertentangan dengan UU Penyiaran 2002. pemancar, menara dan teknologi multiplexer. Dalam peraturan terbaru, kedua istilah tersebut Sementara, LPPPS merupakan penyedia konten dihilangkan serta ditegaskan kembali bahwa siaran. Keuntungan dari pemisahan antara lembaga penyiaran televisi swasta dan lembaga penyelenggara konten dan infrastruktur adalah: 1) penyiaran publik (TVRI) dapat menyelenggarakan penyelenggara konten dapat memfokuskan pada penyiaran multipleksing (pasal 3). Dalam Permen

peningkatan 12 kualitas konten siaran tanpa Kominfo No. 28/2013 , setiap lembaga penyiaran memikirkan sarana dan prasarana pemancar dan pemegang ijin siaran program diwajibkan untuk

jaringan transmisi; 2) efisiensi biaya operasional menyewa saluran siaran multipleksing dan diantaranya mendorong penggunaan menara pemegang lisensi penyelenggara multipleksing bersama, pengurangan biaya manajemen dan SDM diwajibkan menyewakan enam dari sembilan (Hutabarat, 2014:492). Meski demikian, model saluran Mux-nya untuk penyelenggara program bisnis digital saat ini masih memiliki titik kritis

11 terutama dari sisi finansial, layanan dan regulasi

Permen No. 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan sehingga memerlukan peraturan yang rinci dan Penyiaran Televisi secara Digital dan Penyiaran

Multipleksing melalui Sistem Terestrial. detail (Azmi, 2013:276). Dari sisi finansial, 12 Permen No.28/2013 tentang tata cara dan persyaratan perizinan penyelengaraan penyiaran jasa penyiaran

misalnya, tarif dasar sewa saluran Mux cenderung televisi secara digital melalui sistem terestrial.

Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.5 No 1 September 2015 : 87 - 108

siaran 13 . Permen No. 32/2013 kembali digugat oleh masyarakat …” Lebih lanjut, dalam batang tubuh kalangan komunitas jurnalistik dan penyiaran UU tersebut pasal 13, tidak dikenal istilah lembaga

karena dianggap tidak mendukung demokratisasi penyiaran multipleksing, melainkan hanya empat penyiaran 14 .

KPI, tipe lembaga penyiaran yakni: lembaga penyiaran berpendapat bahwa sistem multipleksing tidak publik, swasta, komunitas dan berlangganan. dikenal dalam UU Penyiaran 2002.

Judhariksawan,

Ketua

“Migrasi terrestrial dari analog ke

Skenario Revisi UU Penyiaran

digital, itu tidak ada dasar hukumnya. Terdapat perbedaan pendapat yang signifikan Karena sebenarnya dia tidak masalah

dalam UU jika sekadar mengubah, antara DPR, Kominfo dan KPI terkait Rancangan maksudnya, jika RCTI ada di frekuensi

Undang-Undang (RUU) revisi UU Penyiaran 20 MHz, ketika digital RCTI tinggal

No.32/2002, terutama terkait otoritas KPI dan masalahnya kementerian yang kemarin

ganti pemancarnya.

Tetapi,

Kominfo dalam regulasi industri penyiaran. Dalam menyusun konsep multiplekser, satu

entitas baru yang tidak dikenal dengan draf RUU revisi UU Penyiaran usulan pemerintah, UU

Kominfo memiliki otoritas dalam membina industri Penyiaran itu tidak visioner terhadap

perkembangan teknologi yang cepat, penyiaran yaitu: menetapkan kebijakan (perumusan walaupun dalam definisi penyiaran ada

strategis dan perencanaan dasar teknis penyiaran kata- kata

‘gelombang

alat

elektromagnetik lainnya’, tetapi di nasional), pengaturan (pengeluaran ijin lembaga dalam batang tubuh UU sendiri sulit

penyiaran), pengawasan dan pengendalian. Lebih kita menggunakan pasal-pasal yang

ada untuk menjangkau perkembangan jauh, Kominfo meniadakan lembaga KPI dan teknologi yang ada seperti IPTV,

men ggantikannya dengan ‘Komisi Pengawas Isi OTT,Konvergensi, sekarang digital terrestrial. Itu sulit.” (Judhariksawan,

Siaran’ (KPIS) dengan struktur kelembagaan yang ketua KPI, interview pada tanggal 28

sama dengan sebelumnya 15 . KPIS, dalam pasal 101 Januari 2015) Definsi ‘Penyiaran’, Bab 1 Pasal 1 (2) UU draf RUU revisi UU Penyiaran versi pemerintah,

Penyiaran 2002, adalah “kegiatan pemancarluasan memiliki wewenang diantaranya: Menyusun dan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana menetapkan Standar Program Siaran (SPS); transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan keleluasan untuk memberi sanki administrasi

menggunakan spektrum frekuensi radio … untuk terhadap pelanggaran SPS, serta merekomendasi dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh pencabutan Izin Penyelenggara Penyiaran kepada

13 Menteri atas pelanggaran SPS yang dilakukan oleh

Berdasarkan Permen No.32/2013 Bab III bagian ketiga pasal V (2), setiap penyelenggara Mux tidak

lembaga penyiaran.

diperbolehkan untuk menggunakan seluruh jumlah saluran Mux untuk kepentingan sendiri dan afiliasinya,

Draf RUU revisi UU Penyiaran versi melainkan hanya tiga saluran Mux yang dapat

pemerintah berbanding terbalik dengan draf versi dipergunakan. Lebih lanjut, pemegang lisensi penyelenggara Mux harus menerapkan prinsip “open

KPI. Dalam draf RUU versi KPI, peran KPI access” dan “non-discriminatory” terhadap TV-TV lain untuk dapat menyewa saluran Mux tersebut.

dipulihkan sebagai lembaga independen berskala 14 Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam siaran

persnya, menyebutkan bahwa Permen Kominfo Mo. 32/2013 emmiliki substansi dengan Permen No. 22/2011

15 Secara struktural, KPI terdiri dari satu KPI pusat yang

dan hanya menghilangkan istilah-istilah teknis yangt idak berkantor di Jakarta serta 33 KPI daerah di masing- terdapat dalam UU penyiaran.

masing propinsi.

Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia Menuji Konvergensi (Vience Mutiara Rumata)

mengatur menampung aspirasi masyarakat dan mewakili penyelenggaraan

nasional yang

berwenang

mewakili kepentingan publik dalam hal penyiaran” (p.48). kepentingan dan kebutuhan masyarakat akan Lebih lanjut, penyiaran. Hal ini berarti KPI memiliki otoritas

penyiaran

dan

Terkait konvergensi, baik draf RUU revisi untuk

penyelenggaraan UU Penyiaran versi pemerintah maupun versi KPI penyiaran. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak tidak secara tegas mengatur konvergensi di industri menjadi wewenang KPI yaitu pembagian alokasi penyiaran seperti model bisnis atau mengadopsi frekuensi untuk kebutuhan penyiaran, yang model regulasi dari negara lain. Draf versi KPI merupakan domain wewenang Kominfo.

mengeluarkan

izin

mengusulkan perubahan definisi penyiaran dengan “Neg ara ini sesungguhnya tidak

penggunaan kata “kegiatan menjalankan UU Penyiaran. Kenapa?

menambahkan

menggunakan multimedia Karena KPI tidak diletakkan pada

pemancarluasan