Ekonomi Islam dan Keadilan Sosial
Ekonomi Islam dan Keadilan Sosial
Bayu Taufiq Possumah
Kandidat Phd dan Peneliti Ekonomi Islam
Research Center for Islamic Economic and Finance (EKONIS)
Universitas Kebangsaan Malaysia
Keadilan Sosial dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, saat kita merujuk pada Qur’an maka kita dapati konsep keadilan sangat
eksplisit. Hal itu terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalam al- Qur’an mencapai lebih dari
seribu kali, yang berarti; kata urutan ketiga yang banyak disebut al-Qur’an setelah kata Allah dan
‘ ilm. Term-term adil yang digunakan dalam al-Quran terdapat tiga bentuk, yaitu al-mizan,
al-‘adl, dan al-qisth. Keadilan biasa dimaknakan dengan memberikan hak kepada yang berhak
(yu’thi alhaqq haqqahu) atau meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadh’u assyai ‘ala
maudhi’ihi). Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1992), secara bahasa keadilan pada
umumnya adalah tentang; (i) pengetahuan dan kemampuan untuk menempatkan yang betul dan
wajar bagi sesuatu benda atau manusia, (ii) kebenaran yang menentang kesalahan, (iii) cara atau
batasan, (iv) keuntungan kerohanian terhadap kerugian, dan (v) kebenaran terhadap kepalsuan.
Secara ekonomi, keadilan mesti ditegakkan dalam dua ranah sekaligus: Keadilan secara
umum (Adl ’am) bermakna perwujudan sistem dan struktur politik maupun ekonomi yang adil.
Ranah ini merupakan tanggungjawab penguasa dan pemerintah. Keadilan secara khusus (Adl
khas) bermakna pelaksanaan keadilan dalam kehidupan muamalah antar kaum muslim dan
sesama manusia. Adl khas meliputi bidang yang luas seperti larangan melanggar hak orang lain.
Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya.
Oleh karenanya salah satu keistimewaan penting dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan
perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua dimensi materi dan spiritual sekaligus.
Sebab dalam Islam, tujuan utama adalah mengantarkan manusia kepada kesempurnaan ruhani
dan spiritual. Karena itu dalam sistem ekonomi Islam mekanisme yang dijalankan adalah untuk
mendukung terwujudnya tujuan itu. Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak jelas dalam
ajaran Islam yang melarang monopoli, penimbunan harta (Al Ihtikar) dan perintah mengeluarkan
zakat dan sedekah. Larangan demikian ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa
saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya di antara kalian saja. (QS.59: 7). Nabi Muhammad Saw juga bersabda: Tidak
menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu
diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang
menyembunyikan/al ihtikar (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi
takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.
Prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Ekonomi Islam
Berbasis Tauhid.
Keadilan sosial dalam Islam merupakan implikasi dari prinsip fundamental yang
mendasari seluruh ajaran Islam, yakni tauhid. Tauhid bukanlah ajaran abstrak dan ‘melangit’
semata, akan tetapi berhubungan langsung dengan persoalan kehidupan individual dan sosial,
serta mengilhami rasa tanggung jawab sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan atau
berkekurangan. Jika Allah sebagai satu-satunya pencipta, maka seluruh ciptaannya adalah sama
(egaliter) memiliki hak karunia-Nya. Semua pernyataan tadi diperkuat dengan keharusan
mengimani akan Hari Pengadilan (yaumul hisab) sebagai pertanggungjawaban setiap individu
terhadap-Nya. Sebab implikasi penolakan terhadap Hari kiamat adalah melemah bahkan
hilangnya rasa tanggung jawab dan tidak peduli terhadap seruan berbuat baik kepada kaum yang
lemah (dhu’afa). Oleh karenanya, sejak awal sekali al-Quran menuduh politeisme (syirk)
masyarakat Mekkah yang menjadi gejala segmentasi masyarakat dan ketimpangan sosial adalah
sebab utama kebangkrutan sosial dan hilangnya rasa solidaritas antar sesama. Karenanya
keprihatinan Islam di Mekkah pada masa awalnya adalah politeisme dan kezaliman sistem
ekonominya. Perilaku syirk (politeisme) dipandang sebagai dosa tak terampuni (QS 4:48,116)
dan sebagai kejahatan manusia terbesar terhadap dirinya sendiri (QS.31:13). Implikasi
politeisme, tidak adanya iman Hari kepada Hari Kiamat ini bukan saja menimbulkan
kepincangan sosial tetapi juga menumpuk sikap individualistis dan menimbun kekayaan
sebanyak mungkin, penindasan terhadap kaum lemah, bahkan berakibat terhadap pandangan
bahwa dengan kekayaan seseorang dapat hidup secara abadi tanpa sangsi keagamaan apa pun,
“Dan mereka berkata: ‘kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak dan sekali-kali kami
tidak akan diazab” (QS. 34:35).
Distribusi kesejahteraan yang merata (Justified Distribution of Welfare)
Di antara masalah terpenting yang mendapat perhatian Islam adalah pembagian kekayaan
secara adil di tengah masyarakat. Al-Qur’an dengan tegas mengatakan, “ Supaya harta itu tidak
beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS.59: 7), “Di antara harta mereka
terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun orang yang tak meminta-minta” (QS. 70:
24). Pembagian kekayaan ini dilakukan dalam tiga tahap, pra produksi, saat produksi dan pasca
produksi. Dalam hal pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan,
penyusunan kebijakan dan campur tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena
itu, dalam sistem ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan negara dan
kepemilikan umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan dimanfaatkan untuk
kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara. Ada pula kekayaan milik umum seperti
hutan, laut, danau, gunung dan lainnya yang menurut Islam adalah milik umum. Hal-hal tadi
tidak berada dalam kepemilikan negara. Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengatur
pemanfaatannya, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Dengan demikian,
kekayaan ini tidak jatuh dalam monopoli segelintir orang tertentu
Dalam praktiknya, seringkali timbul konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif
ini dengan konsep “charity‟. Konsep “charity‟ menyangkut ide “bagi semua sesuai
kebutuhannya” (to each according to his needs), sedangkan dalam prinsip distributive justice,
ideanya adalah “bagi semua sesuai dengan kontribusinya” (to each according to his
contribution). Kesalahpahaman mengenai kedua pengertian ini sering menimbulkan dua cara
pandangan ekstrim pada masing-masing posisi, sehingga menimbulkan perdebatan dan bahkan
konflik yang tidak berkesudahan. Yang satu terlalu menekankan doktrin kesucian hak milik dan
kesucian kontrak (the sanctity of property and the sanctity of contract), sedangkan yang lain
menekankan pentingnya intervensi pemerintahan Negara untuk mempertahankan atau
memaksakan tegaknya tata sosial yang berkeadilan.
Perlu diketahui, pada tataran konsep distribusi kekayaan inilah, salah satu prinsip yang
menempatkan sistem ekonomi Islam berada ditengah antara sistim kapitalisme dan sistim
sosialisme. Ekonomi Islam memfokuskan perhatiannya pada distribusi sebelum membahas sektor
produksi. Siapakah yang memilikinya? Dengan cara bagaimana produk distribusikan, dan apa saja
kewajibannya? Karenanya dalam rangka sistem distribusi kekayaan yang berkeadilan, Ekonomi
Islam menganggap perlunya harmonitas antara tiga ranah kekuasaan ekonomi, yaitu negara
(state), kekuatan masyarakat (civil society), dan kekuatan pasar (market) sekaligus. Bagaimana
pun, dalam mekanismenya hubungan sinergis di antara ketiga cabang kekuasaan negara, pasar,
dan masyarakat selalu diperlukan peran pengendali utama, yang berfungsi sebagai “dirigent‟
atau supervise. Peran demikian tidak lain harus dan hanya dapat dimainkan oleh negara yang
mendapat mandat dari seluruh rakyat untuk memegang dan menyelenggarakan kekuasaan secara
umum.
Prinsip Jaminan sosial (Social Security)
Dalam sistim ekonomi Islam, keadilan sosial dipandang tidak akan mungkin tercapai
tanpa adanya prinsip ini. Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal
ini adalah keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin dan menanggung
beban kemaslahatan sesama. Prinsip ini banyak disebutkan dalam al Qur’an maupun Hadits Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya, “Tidakkah Kamu melihat orang yang mendustakan
agama ? Mereka adalah orang-orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak
member makan orang-orang miskin” (QS. Al-Ma’un:1-3). Rasulullah juga bersabda,
“perumpamaan orang-orang beriman itu dalam kasih sayang, sebagaimana batang tubuh, jika
salah satu anggota tubuh itu sakit, maka anggota tubuh yang lain juga merasakan demam”
(HR.Bukhori dan Muslim). Namun begitu, Menurut Chapra (2001) mengutip pendapat Imam
Ghazali, sekalipun ilmu ekonomi Islam tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi
sumber-sumber daya, seperti halnya pada ilmu ekonomi konvensional, namun tujuan utama
ekonomi Islam adalah harus tetap merealisasikan maqashid, sebab tujuan utama syari’ah adalah
mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka
(diin), diri (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja yang menjamin
terlindungnya lima perkara tersebut berarti melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum.
Tentang kaitan antara hukum-hukum syariah dengan kemaslahatan manusia banyak dibahas oleh
para ulama diantaranya Imam Al-Izz bin Abdul Salam, dalam kitab beliau Qawaid al-Ahkam fi
Masalih al-Anam. Sebagai kesimpulan, setidaknya ada empat nilai utama yang bisa ditarik dari
sistem ekonomi Islam dalam membentuk keadilan sosial yaitu:
-
Tauhid dan Maslahah Syari’yyah sebagai landasan pemikiran dan tujuan aplikasi dari
ekonomi Islam untuk mewujudkan keadilan sosial dari semua aspek kehidupan.
Moralitas menjadi pembatas atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu
dalam melakukan aktivitasnya selalu mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
Kesetaraan (equality) kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak
yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan
ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh
pihak lain.
berusaha untuk selalu bermusyawarah , bekerja sama, dan saling menyokong sebab
hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.
Terakhir hal yang tak boleh dilupakan dalam membangun sistim ekonomi yang berkeadilan
sosial, adalah bahwa ekonomi Islam atau ekonomi syariah tidak boleh direduksi hanya dengan
memusatkan pada upaya membangun bank-bank syariah an sich, tetapi yang lebih penting dari
itu ekonomi Islam harus dapat menangkal sistem ekonomi yang exploitatory secara luas, yang
memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, yang membiarkan terjadinya trade off
secara sistemik, yang subordinatif dan diskriminatori, yang membiarkan berkembangnya laissez
faire dalam arti luas melalui usaha dan ekonomi yang real dan menyentuh hajat hidup seluruh
lapisan dan strata ekonomi dalam masyarakat kita. Sehingga pada gilirannya ekonomi Islam
tidak lagi hanya bersifat “langitan” sebagaimana yang disindir oleh Hassan Hanafi (penulis buku
Minal Aqidah Ila Al-Tsaurah) bahwa keagamaan kita terkadang lebih berorientasi kepada Tuhan
daripada berorientasi kepada makhluk (tidak seimbang). Lebih senang melongok ke langit
daripada menekuri bumi. Sehingga keadilan di bumi tak kunjung menjadi kesadaran keagamaan.
Akibatnya, keadilan pun tak kunjung muncul dalam putaran arus kehidupan.
Bayu Taufiq Possumah
Kandidat Phd dan Peneliti Ekonomi Islam
Research Center for Islamic Economic and Finance (EKONIS)
Universitas Kebangsaan Malaysia
Keadilan Sosial dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, saat kita merujuk pada Qur’an maka kita dapati konsep keadilan sangat
eksplisit. Hal itu terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalam al- Qur’an mencapai lebih dari
seribu kali, yang berarti; kata urutan ketiga yang banyak disebut al-Qur’an setelah kata Allah dan
‘ ilm. Term-term adil yang digunakan dalam al-Quran terdapat tiga bentuk, yaitu al-mizan,
al-‘adl, dan al-qisth. Keadilan biasa dimaknakan dengan memberikan hak kepada yang berhak
(yu’thi alhaqq haqqahu) atau meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadh’u assyai ‘ala
maudhi’ihi). Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1992), secara bahasa keadilan pada
umumnya adalah tentang; (i) pengetahuan dan kemampuan untuk menempatkan yang betul dan
wajar bagi sesuatu benda atau manusia, (ii) kebenaran yang menentang kesalahan, (iii) cara atau
batasan, (iv) keuntungan kerohanian terhadap kerugian, dan (v) kebenaran terhadap kepalsuan.
Secara ekonomi, keadilan mesti ditegakkan dalam dua ranah sekaligus: Keadilan secara
umum (Adl ’am) bermakna perwujudan sistem dan struktur politik maupun ekonomi yang adil.
Ranah ini merupakan tanggungjawab penguasa dan pemerintah. Keadilan secara khusus (Adl
khas) bermakna pelaksanaan keadilan dalam kehidupan muamalah antar kaum muslim dan
sesama manusia. Adl khas meliputi bidang yang luas seperti larangan melanggar hak orang lain.
Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya.
Oleh karenanya salah satu keistimewaan penting dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan
perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua dimensi materi dan spiritual sekaligus.
Sebab dalam Islam, tujuan utama adalah mengantarkan manusia kepada kesempurnaan ruhani
dan spiritual. Karena itu dalam sistem ekonomi Islam mekanisme yang dijalankan adalah untuk
mendukung terwujudnya tujuan itu. Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak jelas dalam
ajaran Islam yang melarang monopoli, penimbunan harta (Al Ihtikar) dan perintah mengeluarkan
zakat dan sedekah. Larangan demikian ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa
saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya di antara kalian saja. (QS.59: 7). Nabi Muhammad Saw juga bersabda: Tidak
menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu
diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang
menyembunyikan/al ihtikar (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi
takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.
Prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Ekonomi Islam
Berbasis Tauhid.
Keadilan sosial dalam Islam merupakan implikasi dari prinsip fundamental yang
mendasari seluruh ajaran Islam, yakni tauhid. Tauhid bukanlah ajaran abstrak dan ‘melangit’
semata, akan tetapi berhubungan langsung dengan persoalan kehidupan individual dan sosial,
serta mengilhami rasa tanggung jawab sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan atau
berkekurangan. Jika Allah sebagai satu-satunya pencipta, maka seluruh ciptaannya adalah sama
(egaliter) memiliki hak karunia-Nya. Semua pernyataan tadi diperkuat dengan keharusan
mengimani akan Hari Pengadilan (yaumul hisab) sebagai pertanggungjawaban setiap individu
terhadap-Nya. Sebab implikasi penolakan terhadap Hari kiamat adalah melemah bahkan
hilangnya rasa tanggung jawab dan tidak peduli terhadap seruan berbuat baik kepada kaum yang
lemah (dhu’afa). Oleh karenanya, sejak awal sekali al-Quran menuduh politeisme (syirk)
masyarakat Mekkah yang menjadi gejala segmentasi masyarakat dan ketimpangan sosial adalah
sebab utama kebangkrutan sosial dan hilangnya rasa solidaritas antar sesama. Karenanya
keprihatinan Islam di Mekkah pada masa awalnya adalah politeisme dan kezaliman sistem
ekonominya. Perilaku syirk (politeisme) dipandang sebagai dosa tak terampuni (QS 4:48,116)
dan sebagai kejahatan manusia terbesar terhadap dirinya sendiri (QS.31:13). Implikasi
politeisme, tidak adanya iman Hari kepada Hari Kiamat ini bukan saja menimbulkan
kepincangan sosial tetapi juga menumpuk sikap individualistis dan menimbun kekayaan
sebanyak mungkin, penindasan terhadap kaum lemah, bahkan berakibat terhadap pandangan
bahwa dengan kekayaan seseorang dapat hidup secara abadi tanpa sangsi keagamaan apa pun,
“Dan mereka berkata: ‘kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak dan sekali-kali kami
tidak akan diazab” (QS. 34:35).
Distribusi kesejahteraan yang merata (Justified Distribution of Welfare)
Di antara masalah terpenting yang mendapat perhatian Islam adalah pembagian kekayaan
secara adil di tengah masyarakat. Al-Qur’an dengan tegas mengatakan, “ Supaya harta itu tidak
beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS.59: 7), “Di antara harta mereka
terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun orang yang tak meminta-minta” (QS. 70:
24). Pembagian kekayaan ini dilakukan dalam tiga tahap, pra produksi, saat produksi dan pasca
produksi. Dalam hal pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan,
penyusunan kebijakan dan campur tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena
itu, dalam sistem ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan negara dan
kepemilikan umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan dimanfaatkan untuk
kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara. Ada pula kekayaan milik umum seperti
hutan, laut, danau, gunung dan lainnya yang menurut Islam adalah milik umum. Hal-hal tadi
tidak berada dalam kepemilikan negara. Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengatur
pemanfaatannya, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Dengan demikian,
kekayaan ini tidak jatuh dalam monopoli segelintir orang tertentu
Dalam praktiknya, seringkali timbul konflik pengertian antara prinsip keadilan distributif
ini dengan konsep “charity‟. Konsep “charity‟ menyangkut ide “bagi semua sesuai
kebutuhannya” (to each according to his needs), sedangkan dalam prinsip distributive justice,
ideanya adalah “bagi semua sesuai dengan kontribusinya” (to each according to his
contribution). Kesalahpahaman mengenai kedua pengertian ini sering menimbulkan dua cara
pandangan ekstrim pada masing-masing posisi, sehingga menimbulkan perdebatan dan bahkan
konflik yang tidak berkesudahan. Yang satu terlalu menekankan doktrin kesucian hak milik dan
kesucian kontrak (the sanctity of property and the sanctity of contract), sedangkan yang lain
menekankan pentingnya intervensi pemerintahan Negara untuk mempertahankan atau
memaksakan tegaknya tata sosial yang berkeadilan.
Perlu diketahui, pada tataran konsep distribusi kekayaan inilah, salah satu prinsip yang
menempatkan sistem ekonomi Islam berada ditengah antara sistim kapitalisme dan sistim
sosialisme. Ekonomi Islam memfokuskan perhatiannya pada distribusi sebelum membahas sektor
produksi. Siapakah yang memilikinya? Dengan cara bagaimana produk distribusikan, dan apa saja
kewajibannya? Karenanya dalam rangka sistem distribusi kekayaan yang berkeadilan, Ekonomi
Islam menganggap perlunya harmonitas antara tiga ranah kekuasaan ekonomi, yaitu negara
(state), kekuatan masyarakat (civil society), dan kekuatan pasar (market) sekaligus. Bagaimana
pun, dalam mekanismenya hubungan sinergis di antara ketiga cabang kekuasaan negara, pasar,
dan masyarakat selalu diperlukan peran pengendali utama, yang berfungsi sebagai “dirigent‟
atau supervise. Peran demikian tidak lain harus dan hanya dapat dimainkan oleh negara yang
mendapat mandat dari seluruh rakyat untuk memegang dan menyelenggarakan kekuasaan secara
umum.
Prinsip Jaminan sosial (Social Security)
Dalam sistim ekonomi Islam, keadilan sosial dipandang tidak akan mungkin tercapai
tanpa adanya prinsip ini. Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal
ini adalah keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin dan menanggung
beban kemaslahatan sesama. Prinsip ini banyak disebutkan dalam al Qur’an maupun Hadits Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya, “Tidakkah Kamu melihat orang yang mendustakan
agama ? Mereka adalah orang-orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak
member makan orang-orang miskin” (QS. Al-Ma’un:1-3). Rasulullah juga bersabda,
“perumpamaan orang-orang beriman itu dalam kasih sayang, sebagaimana batang tubuh, jika
salah satu anggota tubuh itu sakit, maka anggota tubuh yang lain juga merasakan demam”
(HR.Bukhori dan Muslim). Namun begitu, Menurut Chapra (2001) mengutip pendapat Imam
Ghazali, sekalipun ilmu ekonomi Islam tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi
sumber-sumber daya, seperti halnya pada ilmu ekonomi konvensional, namun tujuan utama
ekonomi Islam adalah harus tetap merealisasikan maqashid, sebab tujuan utama syari’ah adalah
mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka
(diin), diri (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja yang menjamin
terlindungnya lima perkara tersebut berarti melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum.
Tentang kaitan antara hukum-hukum syariah dengan kemaslahatan manusia banyak dibahas oleh
para ulama diantaranya Imam Al-Izz bin Abdul Salam, dalam kitab beliau Qawaid al-Ahkam fi
Masalih al-Anam. Sebagai kesimpulan, setidaknya ada empat nilai utama yang bisa ditarik dari
sistem ekonomi Islam dalam membentuk keadilan sosial yaitu:
-
Tauhid dan Maslahah Syari’yyah sebagai landasan pemikiran dan tujuan aplikasi dari
ekonomi Islam untuk mewujudkan keadilan sosial dari semua aspek kehidupan.
Moralitas menjadi pembatas atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu
dalam melakukan aktivitasnya selalu mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
Kesetaraan (equality) kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak
yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan
ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh
pihak lain.
berusaha untuk selalu bermusyawarah , bekerja sama, dan saling menyokong sebab
hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.
Terakhir hal yang tak boleh dilupakan dalam membangun sistim ekonomi yang berkeadilan
sosial, adalah bahwa ekonomi Islam atau ekonomi syariah tidak boleh direduksi hanya dengan
memusatkan pada upaya membangun bank-bank syariah an sich, tetapi yang lebih penting dari
itu ekonomi Islam harus dapat menangkal sistem ekonomi yang exploitatory secara luas, yang
memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, yang membiarkan terjadinya trade off
secara sistemik, yang subordinatif dan diskriminatori, yang membiarkan berkembangnya laissez
faire dalam arti luas melalui usaha dan ekonomi yang real dan menyentuh hajat hidup seluruh
lapisan dan strata ekonomi dalam masyarakat kita. Sehingga pada gilirannya ekonomi Islam
tidak lagi hanya bersifat “langitan” sebagaimana yang disindir oleh Hassan Hanafi (penulis buku
Minal Aqidah Ila Al-Tsaurah) bahwa keagamaan kita terkadang lebih berorientasi kepada Tuhan
daripada berorientasi kepada makhluk (tidak seimbang). Lebih senang melongok ke langit
daripada menekuri bumi. Sehingga keadilan di bumi tak kunjung menjadi kesadaran keagamaan.
Akibatnya, keadilan pun tak kunjung muncul dalam putaran arus kehidupan.