Ingage dan Agenda Mengelola Keragaman.pd
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1.
Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1.
Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal
49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memaerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang
hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidan penjara paling
lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jabat Erat Dari Ambon, Manado, dan Medan
Sehimpun Cerita Dari Titik Temu Lintasiman
© Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved
Cetakan Pertama, Januari 2017
Tim Penyunting
Tata Letak
Pewajah Sampul
: Alviani Permata & Ida Fitri
: Dwi Pengkik
: M. Rizal Abdi
Diterbitkan oleh:
Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)
Bekerjasama dengan
Ifada Press
Jl. Turen No. 240 KKN-54
Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman - Yogyakarta 55581
Telp. (0274) 625843
Mobile: 081359150899 (Fajar Saputro)
Email: [email protected]
Website: www.ifadabooks.com
Cet. 1–Sleman: Ifada Press, 2017
viii, 272 hlm. 14 x 20,5 CM
ISBN: 978-602-73558-3-5
D A F TA R I S I
Daftar Isi ...................................................................................
v
Prolog
INGAGERS, damaimu terkonfirmasi! .......................................
1
Leonard C. Epafras
I.
Suara-suara yang Liris .......................................................
11
Program Tujuh Hari Training
dan Live-in Bersama INGAGE .........................................
13
Bona Ronny Pati Butar Butar, INGAGE Medan
Pengalaman Luar Biasa Bersama INGAGE ......................
25
Rasita Sarante, INGAGE Manado
Perjalanan Manja Tetapi Kritis,
ke Tempat Eksotis Hingga Mistis .....................................
41
Edison F. Swandika Butar Butar, INGAGE Medan
Karena Dia, Insan Bersatu dalam Perbedaan ..................
49
Asri Rasjid, INGAGE Manado
Kesetaraan .........................................................................
67
Surikno Manoka, INGAGE Manado
v
Mengenal, Memahami dan
Menghargai Keragaman Lintasiman .................................
71
Pateki Sounawe, INGAGE Ambon
Perbedaan adalah Kekayaan ............................................
75
Wilhelmus Mance Salmon, INGAGE Ambon
II. Mereka yang Mendengar ..................................................
83
Sahata Saoloan (Seiya Sekata)
Merangkul Perbedaan ......................................................
85
Doharma Parulian Purba, INGAGE Medan
Tujuh Hari (Belajar) Mengenal Agama Lain .................... 101
Sri Wahyuni Fatmawati Pulungan, INGAGE Medan
Nilai-nilai Universal dalam Agama-agama ....................... 113
Tauiq Lovonita, INGAGE Manado
Tuhanku adalah Tuhan Lintasagama ............................... 121
Ardiman Kelihu, INGAGE Ambon
INGAGE: Pesantren Keberagaman .................................. 127
Ridhwan Ibnu Luqman, INGAGE Ambon
III. Para Pelintas Batas ............................................................ 143
Komunikasi dalam Harmoni ............................................ 145
Anton Sahputro Hutauruk, INGAGE Medan
Kerukunan Umat Beragama di Medan ............................ 151
Bhikkhu Dhirapunno, INGAGE Medan
Agamaku Agamaku, Agamamu Agamamu ...................... 155
Desi Ratna Hutajulu, INGAGE Medan
Menerima Keberagaman Sebagai Dasar
Persatuan Negara Indonesia ............................................ 161
C.Pdt. Pahala Sihotang, INGAGE Medan
Embrace Your Diversity! ................................................... 167
TiarastellaAmanda Kangiras, INGAGE Manado
vi
Melihat Yesus Di Dalam Masjid ....................................... 181
Devia Rumangu, INGAGE Manado
INGAGE: Pengalaman Bersama Teman
yang Berbeda Keyakinan ................................................. 191
Dessi N. Wentuk, INGAGE Manado
Tulisan Refleksi Saat Mengikuti Kegiatan INGAGE ........ 205
Febrina Mato, INGAGE Manado
SemakinBanyak Warna,
Maka Akan Semakin Menarik .......................................... 215
Indri Moniaga, INGAGE Manado
INGAGE dan Agenda Mengelola Keragaman ................. 229
Tauiq Bilfaqih, INGAGE Manado
Ketika Hantu Jadi Tuhan .................................................. 241
Eklin A. de Fretes, INGAGE Ambon
Berbeda-beda Tak Mesti Dibeda-bedakan ...................... 247
Wirda Salong, INGAGE Ambon
Jurnal Harian bersama Inang Siahaan ............................. 261
Indah Fikria Aristy, INGAGE Medan
Epilog
INGAGE, Lentera dalam Kegelapan Toleransi Berbangsa ..... 269
Mataharitimoer, Program Coordinator ICT Watch
– Penulis Jihad Terlarang
vii
Bagian III: Para Pelintas Batas
Praktik kesetaraan hak
Foto oleh Zulirman Rahyantel, INGAGE Ambon
INGAGE
dan Agenda Mengelola Keragaman1
Taufiq Bilfaqih, INGAGE M anado
T
IBA-TIBA grup Whatsapp (WA) ramai dengan pembahasan
kegiatan INGAGE. Kali ini bukan grup peserta atau panitia
yang mengikuti kegiatan tersebut. Ini grup jamaah NU se-Sulawesi
Utara. Ada Kyai, Ustaz, Tokoh, Santri dan Jamiyah. Grup menjadi
“berisik” karena merespons beberapa agenda INGAGE berkaitan
dengan beredarnya foto peserta yang berada di rumah ibadah
pemeluk agama lain. Utamanya foto seorang wanita berhijab
sedang berdoa di hadapan patung Bunda Maria dengan cara khas
umat Kristiani.
1
Tulisan ini merupakan jurnal yang menjadi tugas peserta INGAGE Manado, 2016.
229
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Seorang Kyai mengomentari foto tersebut, “Mahasiswa itu
harus segera bertaubat. Taubatan Nasuha.”
Anggota grup yang lain merespon, “Ini pluralisme kebablasan”.
Disambung lagi oleh seorang Ustaz, “Mohon catat namanama peserta muslim yang ikut kegiatan itu. Serahkan ke saya!”
Ada pula yang menyambung, “Ini pluralisme atau liberalisme?”
Bla… bla… bla…
Tak henti anggota grup mengomentari foto kontroversial
itu. Sebagai ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia
(Lesbumi) NU, Sulawesi Utara yang ikut mendukung program
INGAGE, serta sekaligus sebagai peserta kegiatan, saya pun
akhirnya ikut merespons. “Tidak perlu berlebihan menanggapi
kegiatan INGAGE. Ini kegiatan positif yang didukung oleh
Ketua PWNU dan Lesbumi secara kelembagaan. Tidak ada
acara pendangkalan iman. Mengenai foto, itu adalah aksi alay
peserta. Tentang kegiatan di rumah ibadah agama lain bukanlah
ajang mengikuti ibadah melainkan sebagai momentum untuk
mengetahui tentang struktur bangunan dan tradisi di dalamnya.
Intinya mereka belajar bersama. Bukan sembahyang bersama.”
Hasilnya, saya di-bully habis-habisan. Dikritik bahkan dituduh
yang bukan-bukan.
Apakah INGAGE Itu?
Untuk menjawab kontroversi sebagaimana di atas, ada
baiknya kita mengetahui kronologi acara demi acara. Karena
sesungguhnya tanggapan miring oleh sebagian orang terhadap
program INGAGE harus diluruskan. Jika tidak, justru maksud
agenda yang mengkampanyekan perdamaian justru menjadi alasan
terjadinya pertikaian. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan
mampu mengubah prasangka menjadi simpati, sehingga kegiatan
seperti INGAGE semakin diminati dan membudaya di tengah
masyarakat yang multikultural.
Interfaith New Generation Initiative and Engagement
(INGAGE) merupakan program yang memberi ruang bagi
230
Bagian III: Para Pelintas Batas
kaum muda melibatkan diri dalam keragaman iman dan
tradisi keagamaan, serta bersikap kritis terhadap hubungan
antarkomunitas. Dalam program ini kaum muda membekali diri
dengan pemahaman tentang perbedaan iman dan kesetaraan,
mengeksplorasinya melalui teknologi digital secara kreatif dan
inovatif untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih
baik.
Kegiatan ini diprakarsai oleh Indonesia Consortium for
Religious Studies (ICRS) Yogyakarta. Di Sulawesi Utara, INGAGE
juga mendapat dukungan oleh beragam instansi perguruan
tinggi dan beberapa lembaga sosial keagamaan. Di antaranya,
STAKN, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Manado,
Muhammadiyah, Lesbumi NU, UKIT Tomohon, FKUB Sulut,
Vihara Dhammadipa Manado, RRI Manado, RAL 102,8 FM Manado,
Tribun Manado, Bukit Doa Kelong Tomohon, dan Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Antaragama.
Rangkaian kegiatan INGAGE, sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya, mengkombinasikan Training dan Live-in.
Dari program Training, peserta belajar bersama berdasarkan studi
kasus. Selanjutnya melakukan diskusi kelompok dengan terbuka,
terarah, dan dilandasi rasa saling menghormati. Kemudian juga
ada sesi presentasi dan ceramah dari fasilitator yang diakhiri
dengan refleksi harian peserta. Sementara itu, untuk program Livein, yakni momen ketika semua peserta tinggal bersama orang lain
yang berbeda keyakinan.
Dari Live-in tersebut, peserta menjalin persahabatan dengan
tuan rumah dan keluarganya sembari mengamati aktivitas
keseharian yang dilakukan oleh tuan rumah. Pengamatan yang
dimaksud adalah apa saja yang berbeda dan apa yang sama
antara keyakinan peserta dan tuan rumah. Dengan ini kemudian
peserta berdiskusi soal perbedaan dan persamaan tersebut,
serta mencari titik temu. Pada akhirnya, peserta akan membuat
jurnal berdasarkan pengalaman Live-in tersebut dan memelihara
hubungan dengan tuan rumah setelah kegiatan berakhir.
231
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Catatan Kegiatan
Ketika membuka kegiatan ini, sambutan dari Kementerian
Agama Sulawesi Utara, Mochtar Bonde adalah bahwa indeks
kerukunan antarumat beragama di daerah ini pernah menjadi yang
teratas. Ia merefleksikan ketika daerah-daerah sekitar, seperti Poso,
Maluku, Ambon dan lainnya sedang memanas dengan peristiwa
konflik SARA, Sulawesi Utara justru melanjutkan tradisi dialog
antaragama. Namun, dalam keluhnya, Mochtar mengkhawatirkan
ketika indeks kerukunan tersebut menurun akhir-akhir ini,
“Sesungguhnya Sulawesi Utara ini pernah peringkat pertama
sebagai daerah yang tingkat kerukunannya berjalan harmonis.
Tapi belakangan turun ke peringkat kelima. Ini menjadi evaluasi
semua pihak. Maka kegiatan INGAGE bagian dari proses untuk
kembali menjadikan Sulawesi Utara berada pada fase terbaiknya.”
Bagi saya, ungkapan di atas sangat realistis. Jauh sebelum isuisu SARA yang menghiasi media, Sulawesi Utara mempertontonkan
kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan semangat saling
menghargai, toleran, dan bergotong-royong. Tidak ditemukan
tendensi kelompok tertentu. Mayoritas mengayomi minoritas,
sebaliknya minoritas menyadari keberadaan mereka. Namun,
pemandangan ini sedikit tercoreng sejak arus transformasi yang
semakin terbuka lebar.
Mulai terdengar kabar adanya penolakan pembangunan
rumah ibadah, tawuran antarkampung yang notabene memiliki
identitas keyakinan berbeda, kebijakan politik penguasa yang
tidak berpihak pada kelompok minoritas, serta peristiwaperistiwa yang menyulut prasangka antargolongan lainnya.
Sekali lagi, media sangat berperan mempengaruhi psikologi dan
perspektif warga Sulawesi Utara. Namun, kepiawaian seluruh
lapisan masyarakat hingga pemerintah mampu menjaga stabilitas
kehidupan sosial, sehingga Sulawesi Utara tetap kondusif dan tidak
mengalami konflik horisontal yang berlebihan. Bisa dibayangkan
jika peristiwa-peristiwa sensitif terjadi di daerah lain, hampir
kebanyakan berakhir dengan konflik besar.
232
Bagian III: Para Pelintas Batas
Atas dasar itu, Sya’ban Mauludin, Ketua PWNU Sulawesi
Utara, turut memberikan dukungan untuk kegiatan INGAGE.
Dalam sambutannya pada pembukaan kegiatan, ia menegaskan
bahwa semua lapisan masyarakat di Sulawesi Utara telah sepakat
bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang mesti dirayakan dan
dikelola dengan baik. Peristiwa yang bernuansa SARA di daerah
lain harus menjadi pelajaran penting, sehingga dapat mendidik
masyarakat Sulawesi Utara dalam menjaga keharmonisan. “Maka
kegiatan INGAGE sudah sepantasnya menjadi tradisi di daerah ini.
Kita harus mendukung dan turut berperan demi capaian program
seperti ini,” ujar Sya’ban menutup sambutannya.
Dari pernyataan kedua tokoh di atas, dapat dipastikan bahwa
begitu banyak kalangan berharap untuk menjadikan daerah
Sulawesi Utara kembali kondusif dan berada pada peringkat
pertama dalam hal kerukunan, bahkan harapan tersebut tertuju
pada program INGAGE dan sejenisnya. Tentunya, keinginan untuk
membuat daerah ini menjadi aman dan tentram bukan sekadar
kerinduan atas prestasi belaka, melainkan sebagai wujud dari
kebutuhan akan hidup harmonis karena ia adalah keniscayaan
yang mesti digapai. Tak heran, pemerintah dan masyarakat
setempat selalu sejalan dalam mengelola keragaman yang ada.
Materi Training
Harapan melalui program INGAGE benar-benar realistis.
Melalui kegiatan ini peserta mendalami materi-materi pokok
yang mampu menggugah hingga membuka cakrawala berpikir.
Materi tentang Hak Asasi Manusia (HAM), misalnya, peserta
diajak untuk menjelaskan tentang definisi HAM sesuai dengan
perspektifnya selama ini. Peserta pun dikenalkan tentang HAM
yang telah tercantum pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM). Pada penjelasan materi HAM, fasilitator Alviani Permata
dari Universitas Kristen Duta Wacana, mengajak peserta untuk
mendiskusikan ruang lingkup HAM. Materi ini tentunya menjadi
modal bagi peserta untuk secara subtansial memahami keberadaan
233
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
manusia dengan segala hak-haknya. Alviani menjelaskan bahwa
ciri-ciri HAM dapat dibagi dalam beberapa kategori, di antaranya
adalah inherent to each individual (melekat pada setiap individu),
universal, inalienable (tidak dapat dicabut), dan indivisible (tidak
bisa dipisahkan).
HAM memiliki norma-norma yang pasti dan menunjukkan
prioritas tinggi terhadap penegakannya. Negara berkewajiban
untuk mengelola HAM bagi setiap warganya. Kendati demikian,
tidak seluruh persoalan di setiap negara digolongkan dalam
persoalan HAM. Dalam konteks Indonesia, definisi HAM termuat
dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia Pasal (1) yang menyebutkan bahwa, “Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Dari penjelasan tentang HAM inilah kemudian peserta disodorkan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seputarnya, seperti, di
mana pelaksanaan hak manusia dilaksanakan? Pernahkan melihat
seseorang (secara langsung) diperlakukan tidak menyenangkan?
Apa yang terjadi jika HAM diingkari? Apa yang dapat dipelajari dari
orang-orang yang bekerja untuk HAM, seperti Munir, Elanto, Gandhi,
Mandela? Apa yang terjadi bila setiap orang tahu hak-haknya?
Materi lain yang dibawakan Alviani Permata adalah
Kemerdekaan dan Kesetaraan. Melalui kajian tentang materi
ini, peserta diharapkan mampu mengembangkan sikap untuk
menerima keberagaman, karena setiap orang setara dan merdeka,
serta menciptakan situasi yang demokratis. Merdeka dimaknai
sebagai berpikir dan bertindak sesuai kehendak hati, tidak dalam
kendali yang tidak diinginkan dari pihak lain. Sedang setara,
dalam kajian kali ini dipahami sebagai memiliki status, hak atau
kesempatan yang sama seperti yang dimiliki pihak lain.
Untuk menyederhanakan pemahaman peserta terhadap materi
ini, Alviani kemudian mengundang beberapa peserta untuk berdiri
234
Bagian III: Para Pelintas Batas
dan memerintahkan mereka agar menulis sesuatu. Begitu pun
mereka yang duduk, mendapat tugas yang sama. Setelah beberapa
saat, Alviani bertanya kepada peserta yang berdiri; “Apakah kalian
merasa adil, diperlakukan sama dengan mereka yang duduk?”
Spontan peserta menjawab, “Tidak, kami merasa diperlakukan
beda. Kenapa yang lain menulis dengan nyaman di saat duduk,
sementara kami kelelahan menulis dengan gaya berdiri. Apa
salah kami?” Simulasi sederhana ini, nampaknya berhasil memberi
gambaran tentang apa itu merdeka dan setara.
Melengkapi kedua materi sebelumnya, Materi HAM, Kemerdekaan dan Kesetaraan, peserta kemudian kembali disuguhkan
materi tentang Kovenan. Penjabaran materi ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman kepada peserta terkait hak-hak sipil
dan politik, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kovenan
merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu
perjanjian internasional yang membentuk dan mengatur Liga Bangsabangsa. Dirumuskan pada 1948, disusun pada 1952, dirumuskan
pada 16 Desember 1966 dan mulai berlaku efektif pada 1976.
Dengan materi ini pula, peserta dikelompokkan guna membahas
tentang permasalahan hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial
dan budaya yang berada di daerah masing-masing. Melalui metode
tersebut, secara tidak langsung, peserta dapat mengetahui apa yang
menjadi hak warga dan apa kewajiban negara terhadap warganya.
Leonard dan Materi Dunia Mayanya
Fasilitator lain yang turut berpartisipasi pada proses Training
INGAGE adalah Leonard C. Epafras (ICRS). Selama tiga hari
pelatihan, ia membawakan beberapa materi yang berkaitan dengan
dunia maya. Materi-materi tersebut antara lain, Dunia Digital
dan Media Sosial, Internet Sehat, dan Membangun Komunitas
Digital. Dari ketiga materi yang ia bawakan, saya secara pribadi
sangat terbantu dengan pembahasan pada materi Dunia Digital
dan Media sosial. Bagi saya, materi ini sangat penting untuk
merefleksikan keberadaan dunia digital dan media sosial terkini.
235
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Secara keseluruhan, peserta diajak untuk membaca secara
kritis terhadap dampak dari dunia ini bagi dinamika kelompok
dan antar iman. Bahkan lebih jauh, kita pun diperkenalkan dengan
hyper-media world, yakni sebuah istilah untuk menjelaskan
kondisi ketika batasan antara ruang privat dengan ruang publik
semakin halus dan kabur. Di dunia maya, netizen disodorkan
dengan beragam pilihan atas keberadaan media (polymedia).
Kondisi ini membuat aktivitas penggunanya yang dinamis sehingga
mempengaruhi relasi, otoritas, dan struktur sosial.
Dalam konteks Indonesia, dari jumlah penduduk yang
mencapai 252.4 juta jiwa, sedikitnya 88.1 juta penduduknya adalah
pengguna internet. Dari hasil pantauan Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2014, pengguna
internet terbesar di Indonesia adalah wilayah Jawa dan Bali (52.0
juta), disusul Sumatera (18.6 Juta), Sulawesi (7.3 juta), Kalimantan
(4.2 Juta), dan Nusa Tenggara, Papua dan Maluku (5.9 juta). Dari
data APJII tersebut juga diketahui bahwa pengguna terbanyak
adalah kaum perempuan dengan angka 51%, sedangkan lakilaki sebanyak 49%. Data lain menyebutkan, penggunaan
internet di Indonesia lebih didominasi dengan menggunakan
perangkat seperti telepon seluler. Atas dasar itulah, pentingnya
mengkampanyekan penggunaan internet secara sehat dan bijak.2
Membangun perilaku ber-internet sehat merupakan keharusan.
Pada kegiatan INGAGE ini peserta diajak untuk mengetahui
beragam kejahatan di dunia maya serta menghargai dan melindungi
privasi dalam berinternet. Cyberbully dikhawatirkan akan merusak
tatanan kehidupan masyarakat yang beragam. Namun, perlu
juga memahami lebih jauh tentang hak mengeluarkan pendapat
melalui internet agar tidak terjadi kriminalisasi secara berlebihan,
sebab, dalam catatan sejarah, dengan UU ITE, negara dianggap
gagal melindungi hak-hak setiap warganya. Akhirnya, tidak sedikit
“korban” dari efek pemanfaatan regulasi tersebut.
Sementara itu, Al Makin (UIN Sunan Kalijaga), juga sebagai
fasilitator, memberikan materi inti pada kegiatan Training
2
Sumber data berasal dari materi pelatihan
236
Bagian III: Para Pelintas Batas
INGAGE ini. Ia membawakan materi tentang Sejarah Agamaagama Dunia, Agama di Indonesia serta materi Keragaman dan
Perbedaan. Mengawali presentasinya, Al Makin memberikan tugas
kepada kami untuk saling mewawancarai. Setiap peserta mencari
tahu tentang ajaran agama dari peserta yang berbeda keyakinan.
Metode tersebut akhirnya secara tidak langsung membantu peserta
untuk belajar agama-agama yang terdapat di Indonesia.
Al Makin, mengajak peserta untuk mengetahui prinsip keragaman dan perbedaan. Kita diharapkan menyadari betapa
pentingnya keragaman dan perbedaan dalam beragama. Apalagi,
ia menjelaskan bahwa dalam catatan sejarah, agama begitu
beragam baik dalam konteks dunia hingga ke Indonesia, maka
sudah sepantasnya setiap orang tidak hanya terjebak pada klaim
kebenaran agama yang ia peluk.
Program Live-in
Setelah tiga hari mengikuti Training, peserta INGAGE
melaksanakan kegiatan Live-in, yaitu program untuk berinteraksi
secara langsung dengan pemeluk agama lain selama tiga hari
pula. Pada fase Live-in, peserta belajar lebih jauh tentang agama
dan keyakinan tuan rumah. Saling berdialog, tukar pendapat,
bahkan saling mempelajari tradisi masing-masing. Dengan pola
ini, peserta mewujud-nyatakan materi-materi yang sebelumnya
diterima selama Training.
Pada program Live-in, Saya ditempatkan di rumah seorang
Pendeta Kristen. Selama bermukim di kediamannya, saya banyak
belajar tentang kekristenan, baik dari segi tradisi hingga pandanganpandangan teologis. Bagusnya, Pendeta yang “melayani” saya
selama Live-in di rumahnya merupakan sosok agamawan yang
inklusif, santun, bahkan memiliki pemikiran yang progresif.
Gagasan tentang ajaran kasih sayang Kristen, seolah membungkus
kepribadian Sang Pendeta.
Ronny Dajau, adalah nama Sang Pendeta. Di rumah, ia
tinggal bersama Istri dan tiga orang anaknya. Saya menjalin
237
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
kebersamaan dengan mereka. Sesekali kami bercanda, namun di
saat-saat tertentu kami berdialog serius, bahkan ada hal-hal yang
sensitif sekali pun menjadi bahan diskusi kami. Pada kesempatan
lain pula, Pendeta mengajak saya melihat tradisi ibadah jemaat
yang dipimpinnya langsung. Melihat bangunan dan mempelajari
manajemen pengelolaan gereja, hingga mengikuti kegiatan olah
raga Sang Pendeta dengan komunitas Pendeta lainnya.
Semua aktivitas yang kami lakukan, tidak sama sekali
membuat saya merasa asing. Justru yang dirasa adalah semangat
kebersamaan. Kami hanyut dalam suasana kekeluargaan, kendati
pun beda keyakinan. “Inti ajaran Kristen itu adalah kasih kepada
semua orang,” ujar Pendeta.
Pernyataan inilah yang kemudian menimbulkan spirit solidaritas
sesama manusia muncul dalam keseharian kami. Ditambah,
keyakinan saya atas ajaran Islam sebagai rahmat bagi semua alam,
menjadi modal untuk hidup bersama semakin harmonis.
Sewaktu tinggal bersama Pendeta, terlintas dalam benak saya,
apakah kegiatan Live-in ini dapat menjadi kontroversi? Mengingat,
sebelumnya kami direpotkan dengan anggapan miring oleh
kelompok tertentu atas aktivitas muslim di dalam gereja. Melemahkah
iman kami, peserta INGAGE, selama berada di kediaman pemuka
agama lain? Apakah Pendeta akan menjalankan misinya untuk
mengubah keyakinan saya? Bagaimana dengan makanan, halalkah?
Pertanyaan-pertanyaan ini terjawab dengan sendirinya. Sangkaan
berlebihan, ternyata menjadi penyebab lahirnya pertanyaan tersebut.
Kita sering mendengar informasi sepihak dan gagasan ekslusif dari
pemuka agama. Bagi saya, program Live-in ini menjadi momentum
untuk mempelajari secara baik tentang agama dan keyakinan orang
lain langsung kepada pemeluknya.
Selama ini, kita mengetahui ajaran agama lain bukan dari
pemeluk apalagi tokohnya langsung, sehingga hal tersebut
menyebabkan munculnya prasangka yang berlebihan. Bahwa
kemudian terdapat perbedaan pandangan dan keyakinan yang
mencolok, tidak serta merta menjadikan semangat kemanusiaan
238
Bagian III: Para Pelintas Batas
kita tertutup. Oleh karena itu, saya berprinsip, jangan belajar Islam
kepada Pendeta dan jangan pula belajar Kristen kepada Ustaz.
Modal Sosial Masyarakat Sulawesi Utara
Tampilan kebersamaan yang terjadi selama Live-in merupakan
wujud dari kesadaran saya, Pendeta, dan seluruh masyarakat
di Sulawesi Utara tentang pentingnya menjaga kerukunan
dan harmonisasi hidup dalam keragaman. Sebagaimana yang
disampaikan Noudy R. P. Tendean, Kepala Badan Pendidikan dan
Pelatihan Sulawesi Utara, pada kegiatan Training INGAGE bahwa
hal mendasar yang dimiliki masyarakat Sulawesi Utara dalam
pengalaman kehidupan sehari-hari adalah modal sosial mereka.
Kisah Live-in yang telah ditulis sebelumnya merupakan bagian
dari kebesaran modal sosial masyarakat. Modal sosial bersandar
pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, ia juga menunjuk
pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain.
Modal sosial sendiri tidak akan pernah habis jika
dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Justru rusaknya
modal sosial bukan karena seringnya ia dipakai, namun karena
ia tidak dipergunakan. Untuk mengetahui parameter modal sosial,
hemat saya, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilihat. Pertama,
kepercayaan, yakni sebuah harapan yang tumbuh, sehingga
berperilaku jujur, teratur, dan bekerja sama. Kedua adalah norma,
nilai-nilai, harapan, dan tujuan. Yang ketiga berupa jaringan atau
kerja sama antarmanusia, membangun interrelasi formal dan
informal. Parameter modal sosial ini terimplementasikan melalui
gerakan sosial dengan sebutan-sebutan lokal yang membumi.
Semisal, Mapalus di Minahasa, Mapaluse di Sangihe, dan Moposad
di Bolaang, Mongondow. Hal inilah yang menjadi hiasan kehidupan
masyarakat Sulawesi Utara dalam membangun peradaban.
Penutup
Program INGAGE sudah semestinya dilanjutkan. Kendati
dalam konteks Sulawesi Utara relatif aman, namun kita tidak
239
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
menutup mata dengan riak-riak konflik yang belakangan bermunculan. Kasus Basaan, peristiwa penolakan pembangunan
rumah ibadah, pelarangan azan, bahkan intimidasi kelompok
mayoritas terhadap minoritas telah menjadi isu hangat di Sulawesi
Utara. Maka tak heran posisi teratas sebagai daerah yang rukun
kini tergeser menjadi yang kelima.
INGAGE, salah satu cara terbaik untuk mempertemukan yang
beda dalam satu kesamaan visi pembangunan hidup berdampingan.
Pendalaman materi, serta interaksi selama kegiatan menjadi
modal positif agar dapat membina kebersamaan. Program ini pula
menjadi lokomotif perjuangan menolak gagasan-gagasanekslusif
terkait keragaman. Menyadari hak-hak sebagai warga, memahami
posisi yang sama di hadapan negara, bijak dalam menggunakan
internet, serta mengetahui sejarah agama dan keragamannya
turut membentuk semangat bagi kaum muda khususnya untuk
mengelola perbedaan di tengah kehidupan masyarakat.
Saya sangat bersyukur telah ikut berpartisipasi pada kegiatan
ini, baik secara kelembagaan Lesbumi NU Sulut maupun sebagai
pribadi yang menjadi peserta. Follow up dari kegiatan INGAGE
di Manado ini telah kami lakukan dengan mengadakan diskusi
agama dan budaya di markas Lesbumi, membentuk organisasi
komunitas Pemuda LintasAgama (PELITA), hingga program sejenis
INGAGE yang akan dilakukan di tingkat pelajar.
Harapan saya, INGAGE harus diterima oleh semua kalangan,
karena untuk hidup harmonis, dibutuhkan dialog antarumat
beragama. Dialog ini menitikberatkan pada keinginan dan
kebutuhan untuk saling memahami dan tukar menukar pengalaman
keagamaan yang telah dimiliki. Dengan demikian, tidak ada
lagi usaha-usaha untuk secara sepihak menyalahkan,mengolokolok, atau mengkafirkan. Bahkan menganggap tidak selamat
kepada sistem kepercayaan dan keimanan yang dimiliki orang
dan kelompok lain, sehingga jadilah Indonesia yang Bhinneka
Tunggal Ika.
240
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1.
Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1.
Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal
49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memaerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang
hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidan penjara paling
lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jabat Erat Dari Ambon, Manado, dan Medan
Sehimpun Cerita Dari Titik Temu Lintasiman
© Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved
Cetakan Pertama, Januari 2017
Tim Penyunting
Tata Letak
Pewajah Sampul
: Alviani Permata & Ida Fitri
: Dwi Pengkik
: M. Rizal Abdi
Diterbitkan oleh:
Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)
Bekerjasama dengan
Ifada Press
Jl. Turen No. 240 KKN-54
Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman - Yogyakarta 55581
Telp. (0274) 625843
Mobile: 081359150899 (Fajar Saputro)
Email: [email protected]
Website: www.ifadabooks.com
Cet. 1–Sleman: Ifada Press, 2017
viii, 272 hlm. 14 x 20,5 CM
ISBN: 978-602-73558-3-5
D A F TA R I S I
Daftar Isi ...................................................................................
v
Prolog
INGAGERS, damaimu terkonfirmasi! .......................................
1
Leonard C. Epafras
I.
Suara-suara yang Liris .......................................................
11
Program Tujuh Hari Training
dan Live-in Bersama INGAGE .........................................
13
Bona Ronny Pati Butar Butar, INGAGE Medan
Pengalaman Luar Biasa Bersama INGAGE ......................
25
Rasita Sarante, INGAGE Manado
Perjalanan Manja Tetapi Kritis,
ke Tempat Eksotis Hingga Mistis .....................................
41
Edison F. Swandika Butar Butar, INGAGE Medan
Karena Dia, Insan Bersatu dalam Perbedaan ..................
49
Asri Rasjid, INGAGE Manado
Kesetaraan .........................................................................
67
Surikno Manoka, INGAGE Manado
v
Mengenal, Memahami dan
Menghargai Keragaman Lintasiman .................................
71
Pateki Sounawe, INGAGE Ambon
Perbedaan adalah Kekayaan ............................................
75
Wilhelmus Mance Salmon, INGAGE Ambon
II. Mereka yang Mendengar ..................................................
83
Sahata Saoloan (Seiya Sekata)
Merangkul Perbedaan ......................................................
85
Doharma Parulian Purba, INGAGE Medan
Tujuh Hari (Belajar) Mengenal Agama Lain .................... 101
Sri Wahyuni Fatmawati Pulungan, INGAGE Medan
Nilai-nilai Universal dalam Agama-agama ....................... 113
Tauiq Lovonita, INGAGE Manado
Tuhanku adalah Tuhan Lintasagama ............................... 121
Ardiman Kelihu, INGAGE Ambon
INGAGE: Pesantren Keberagaman .................................. 127
Ridhwan Ibnu Luqman, INGAGE Ambon
III. Para Pelintas Batas ............................................................ 143
Komunikasi dalam Harmoni ............................................ 145
Anton Sahputro Hutauruk, INGAGE Medan
Kerukunan Umat Beragama di Medan ............................ 151
Bhikkhu Dhirapunno, INGAGE Medan
Agamaku Agamaku, Agamamu Agamamu ...................... 155
Desi Ratna Hutajulu, INGAGE Medan
Menerima Keberagaman Sebagai Dasar
Persatuan Negara Indonesia ............................................ 161
C.Pdt. Pahala Sihotang, INGAGE Medan
Embrace Your Diversity! ................................................... 167
TiarastellaAmanda Kangiras, INGAGE Manado
vi
Melihat Yesus Di Dalam Masjid ....................................... 181
Devia Rumangu, INGAGE Manado
INGAGE: Pengalaman Bersama Teman
yang Berbeda Keyakinan ................................................. 191
Dessi N. Wentuk, INGAGE Manado
Tulisan Refleksi Saat Mengikuti Kegiatan INGAGE ........ 205
Febrina Mato, INGAGE Manado
SemakinBanyak Warna,
Maka Akan Semakin Menarik .......................................... 215
Indri Moniaga, INGAGE Manado
INGAGE dan Agenda Mengelola Keragaman ................. 229
Tauiq Bilfaqih, INGAGE Manado
Ketika Hantu Jadi Tuhan .................................................. 241
Eklin A. de Fretes, INGAGE Ambon
Berbeda-beda Tak Mesti Dibeda-bedakan ...................... 247
Wirda Salong, INGAGE Ambon
Jurnal Harian bersama Inang Siahaan ............................. 261
Indah Fikria Aristy, INGAGE Medan
Epilog
INGAGE, Lentera dalam Kegelapan Toleransi Berbangsa ..... 269
Mataharitimoer, Program Coordinator ICT Watch
– Penulis Jihad Terlarang
vii
Bagian III: Para Pelintas Batas
Praktik kesetaraan hak
Foto oleh Zulirman Rahyantel, INGAGE Ambon
INGAGE
dan Agenda Mengelola Keragaman1
Taufiq Bilfaqih, INGAGE M anado
T
IBA-TIBA grup Whatsapp (WA) ramai dengan pembahasan
kegiatan INGAGE. Kali ini bukan grup peserta atau panitia
yang mengikuti kegiatan tersebut. Ini grup jamaah NU se-Sulawesi
Utara. Ada Kyai, Ustaz, Tokoh, Santri dan Jamiyah. Grup menjadi
“berisik” karena merespons beberapa agenda INGAGE berkaitan
dengan beredarnya foto peserta yang berada di rumah ibadah
pemeluk agama lain. Utamanya foto seorang wanita berhijab
sedang berdoa di hadapan patung Bunda Maria dengan cara khas
umat Kristiani.
1
Tulisan ini merupakan jurnal yang menjadi tugas peserta INGAGE Manado, 2016.
229
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Seorang Kyai mengomentari foto tersebut, “Mahasiswa itu
harus segera bertaubat. Taubatan Nasuha.”
Anggota grup yang lain merespon, “Ini pluralisme kebablasan”.
Disambung lagi oleh seorang Ustaz, “Mohon catat namanama peserta muslim yang ikut kegiatan itu. Serahkan ke saya!”
Ada pula yang menyambung, “Ini pluralisme atau liberalisme?”
Bla… bla… bla…
Tak henti anggota grup mengomentari foto kontroversial
itu. Sebagai ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia
(Lesbumi) NU, Sulawesi Utara yang ikut mendukung program
INGAGE, serta sekaligus sebagai peserta kegiatan, saya pun
akhirnya ikut merespons. “Tidak perlu berlebihan menanggapi
kegiatan INGAGE. Ini kegiatan positif yang didukung oleh
Ketua PWNU dan Lesbumi secara kelembagaan. Tidak ada
acara pendangkalan iman. Mengenai foto, itu adalah aksi alay
peserta. Tentang kegiatan di rumah ibadah agama lain bukanlah
ajang mengikuti ibadah melainkan sebagai momentum untuk
mengetahui tentang struktur bangunan dan tradisi di dalamnya.
Intinya mereka belajar bersama. Bukan sembahyang bersama.”
Hasilnya, saya di-bully habis-habisan. Dikritik bahkan dituduh
yang bukan-bukan.
Apakah INGAGE Itu?
Untuk menjawab kontroversi sebagaimana di atas, ada
baiknya kita mengetahui kronologi acara demi acara. Karena
sesungguhnya tanggapan miring oleh sebagian orang terhadap
program INGAGE harus diluruskan. Jika tidak, justru maksud
agenda yang mengkampanyekan perdamaian justru menjadi alasan
terjadinya pertikaian. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan
mampu mengubah prasangka menjadi simpati, sehingga kegiatan
seperti INGAGE semakin diminati dan membudaya di tengah
masyarakat yang multikultural.
Interfaith New Generation Initiative and Engagement
(INGAGE) merupakan program yang memberi ruang bagi
230
Bagian III: Para Pelintas Batas
kaum muda melibatkan diri dalam keragaman iman dan
tradisi keagamaan, serta bersikap kritis terhadap hubungan
antarkomunitas. Dalam program ini kaum muda membekali diri
dengan pemahaman tentang perbedaan iman dan kesetaraan,
mengeksplorasinya melalui teknologi digital secara kreatif dan
inovatif untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih
baik.
Kegiatan ini diprakarsai oleh Indonesia Consortium for
Religious Studies (ICRS) Yogyakarta. Di Sulawesi Utara, INGAGE
juga mendapat dukungan oleh beragam instansi perguruan
tinggi dan beberapa lembaga sosial keagamaan. Di antaranya,
STAKN, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Manado,
Muhammadiyah, Lesbumi NU, UKIT Tomohon, FKUB Sulut,
Vihara Dhammadipa Manado, RRI Manado, RAL 102,8 FM Manado,
Tribun Manado, Bukit Doa Kelong Tomohon, dan Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Antaragama.
Rangkaian kegiatan INGAGE, sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya, mengkombinasikan Training dan Live-in.
Dari program Training, peserta belajar bersama berdasarkan studi
kasus. Selanjutnya melakukan diskusi kelompok dengan terbuka,
terarah, dan dilandasi rasa saling menghormati. Kemudian juga
ada sesi presentasi dan ceramah dari fasilitator yang diakhiri
dengan refleksi harian peserta. Sementara itu, untuk program Livein, yakni momen ketika semua peserta tinggal bersama orang lain
yang berbeda keyakinan.
Dari Live-in tersebut, peserta menjalin persahabatan dengan
tuan rumah dan keluarganya sembari mengamati aktivitas
keseharian yang dilakukan oleh tuan rumah. Pengamatan yang
dimaksud adalah apa saja yang berbeda dan apa yang sama
antara keyakinan peserta dan tuan rumah. Dengan ini kemudian
peserta berdiskusi soal perbedaan dan persamaan tersebut,
serta mencari titik temu. Pada akhirnya, peserta akan membuat
jurnal berdasarkan pengalaman Live-in tersebut dan memelihara
hubungan dengan tuan rumah setelah kegiatan berakhir.
231
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Catatan Kegiatan
Ketika membuka kegiatan ini, sambutan dari Kementerian
Agama Sulawesi Utara, Mochtar Bonde adalah bahwa indeks
kerukunan antarumat beragama di daerah ini pernah menjadi yang
teratas. Ia merefleksikan ketika daerah-daerah sekitar, seperti Poso,
Maluku, Ambon dan lainnya sedang memanas dengan peristiwa
konflik SARA, Sulawesi Utara justru melanjutkan tradisi dialog
antaragama. Namun, dalam keluhnya, Mochtar mengkhawatirkan
ketika indeks kerukunan tersebut menurun akhir-akhir ini,
“Sesungguhnya Sulawesi Utara ini pernah peringkat pertama
sebagai daerah yang tingkat kerukunannya berjalan harmonis.
Tapi belakangan turun ke peringkat kelima. Ini menjadi evaluasi
semua pihak. Maka kegiatan INGAGE bagian dari proses untuk
kembali menjadikan Sulawesi Utara berada pada fase terbaiknya.”
Bagi saya, ungkapan di atas sangat realistis. Jauh sebelum isuisu SARA yang menghiasi media, Sulawesi Utara mempertontonkan
kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan semangat saling
menghargai, toleran, dan bergotong-royong. Tidak ditemukan
tendensi kelompok tertentu. Mayoritas mengayomi minoritas,
sebaliknya minoritas menyadari keberadaan mereka. Namun,
pemandangan ini sedikit tercoreng sejak arus transformasi yang
semakin terbuka lebar.
Mulai terdengar kabar adanya penolakan pembangunan
rumah ibadah, tawuran antarkampung yang notabene memiliki
identitas keyakinan berbeda, kebijakan politik penguasa yang
tidak berpihak pada kelompok minoritas, serta peristiwaperistiwa yang menyulut prasangka antargolongan lainnya.
Sekali lagi, media sangat berperan mempengaruhi psikologi dan
perspektif warga Sulawesi Utara. Namun, kepiawaian seluruh
lapisan masyarakat hingga pemerintah mampu menjaga stabilitas
kehidupan sosial, sehingga Sulawesi Utara tetap kondusif dan tidak
mengalami konflik horisontal yang berlebihan. Bisa dibayangkan
jika peristiwa-peristiwa sensitif terjadi di daerah lain, hampir
kebanyakan berakhir dengan konflik besar.
232
Bagian III: Para Pelintas Batas
Atas dasar itu, Sya’ban Mauludin, Ketua PWNU Sulawesi
Utara, turut memberikan dukungan untuk kegiatan INGAGE.
Dalam sambutannya pada pembukaan kegiatan, ia menegaskan
bahwa semua lapisan masyarakat di Sulawesi Utara telah sepakat
bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang mesti dirayakan dan
dikelola dengan baik. Peristiwa yang bernuansa SARA di daerah
lain harus menjadi pelajaran penting, sehingga dapat mendidik
masyarakat Sulawesi Utara dalam menjaga keharmonisan. “Maka
kegiatan INGAGE sudah sepantasnya menjadi tradisi di daerah ini.
Kita harus mendukung dan turut berperan demi capaian program
seperti ini,” ujar Sya’ban menutup sambutannya.
Dari pernyataan kedua tokoh di atas, dapat dipastikan bahwa
begitu banyak kalangan berharap untuk menjadikan daerah
Sulawesi Utara kembali kondusif dan berada pada peringkat
pertama dalam hal kerukunan, bahkan harapan tersebut tertuju
pada program INGAGE dan sejenisnya. Tentunya, keinginan untuk
membuat daerah ini menjadi aman dan tentram bukan sekadar
kerinduan atas prestasi belaka, melainkan sebagai wujud dari
kebutuhan akan hidup harmonis karena ia adalah keniscayaan
yang mesti digapai. Tak heran, pemerintah dan masyarakat
setempat selalu sejalan dalam mengelola keragaman yang ada.
Materi Training
Harapan melalui program INGAGE benar-benar realistis.
Melalui kegiatan ini peserta mendalami materi-materi pokok
yang mampu menggugah hingga membuka cakrawala berpikir.
Materi tentang Hak Asasi Manusia (HAM), misalnya, peserta
diajak untuk menjelaskan tentang definisi HAM sesuai dengan
perspektifnya selama ini. Peserta pun dikenalkan tentang HAM
yang telah tercantum pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM). Pada penjelasan materi HAM, fasilitator Alviani Permata
dari Universitas Kristen Duta Wacana, mengajak peserta untuk
mendiskusikan ruang lingkup HAM. Materi ini tentunya menjadi
modal bagi peserta untuk secara subtansial memahami keberadaan
233
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
manusia dengan segala hak-haknya. Alviani menjelaskan bahwa
ciri-ciri HAM dapat dibagi dalam beberapa kategori, di antaranya
adalah inherent to each individual (melekat pada setiap individu),
universal, inalienable (tidak dapat dicabut), dan indivisible (tidak
bisa dipisahkan).
HAM memiliki norma-norma yang pasti dan menunjukkan
prioritas tinggi terhadap penegakannya. Negara berkewajiban
untuk mengelola HAM bagi setiap warganya. Kendati demikian,
tidak seluruh persoalan di setiap negara digolongkan dalam
persoalan HAM. Dalam konteks Indonesia, definisi HAM termuat
dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia Pasal (1) yang menyebutkan bahwa, “Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Dari penjelasan tentang HAM inilah kemudian peserta disodorkan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seputarnya, seperti, di
mana pelaksanaan hak manusia dilaksanakan? Pernahkan melihat
seseorang (secara langsung) diperlakukan tidak menyenangkan?
Apa yang terjadi jika HAM diingkari? Apa yang dapat dipelajari dari
orang-orang yang bekerja untuk HAM, seperti Munir, Elanto, Gandhi,
Mandela? Apa yang terjadi bila setiap orang tahu hak-haknya?
Materi lain yang dibawakan Alviani Permata adalah
Kemerdekaan dan Kesetaraan. Melalui kajian tentang materi
ini, peserta diharapkan mampu mengembangkan sikap untuk
menerima keberagaman, karena setiap orang setara dan merdeka,
serta menciptakan situasi yang demokratis. Merdeka dimaknai
sebagai berpikir dan bertindak sesuai kehendak hati, tidak dalam
kendali yang tidak diinginkan dari pihak lain. Sedang setara,
dalam kajian kali ini dipahami sebagai memiliki status, hak atau
kesempatan yang sama seperti yang dimiliki pihak lain.
Untuk menyederhanakan pemahaman peserta terhadap materi
ini, Alviani kemudian mengundang beberapa peserta untuk berdiri
234
Bagian III: Para Pelintas Batas
dan memerintahkan mereka agar menulis sesuatu. Begitu pun
mereka yang duduk, mendapat tugas yang sama. Setelah beberapa
saat, Alviani bertanya kepada peserta yang berdiri; “Apakah kalian
merasa adil, diperlakukan sama dengan mereka yang duduk?”
Spontan peserta menjawab, “Tidak, kami merasa diperlakukan
beda. Kenapa yang lain menulis dengan nyaman di saat duduk,
sementara kami kelelahan menulis dengan gaya berdiri. Apa
salah kami?” Simulasi sederhana ini, nampaknya berhasil memberi
gambaran tentang apa itu merdeka dan setara.
Melengkapi kedua materi sebelumnya, Materi HAM, Kemerdekaan dan Kesetaraan, peserta kemudian kembali disuguhkan
materi tentang Kovenan. Penjabaran materi ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman kepada peserta terkait hak-hak sipil
dan politik, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kovenan
merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu
perjanjian internasional yang membentuk dan mengatur Liga Bangsabangsa. Dirumuskan pada 1948, disusun pada 1952, dirumuskan
pada 16 Desember 1966 dan mulai berlaku efektif pada 1976.
Dengan materi ini pula, peserta dikelompokkan guna membahas
tentang permasalahan hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial
dan budaya yang berada di daerah masing-masing. Melalui metode
tersebut, secara tidak langsung, peserta dapat mengetahui apa yang
menjadi hak warga dan apa kewajiban negara terhadap warganya.
Leonard dan Materi Dunia Mayanya
Fasilitator lain yang turut berpartisipasi pada proses Training
INGAGE adalah Leonard C. Epafras (ICRS). Selama tiga hari
pelatihan, ia membawakan beberapa materi yang berkaitan dengan
dunia maya. Materi-materi tersebut antara lain, Dunia Digital
dan Media Sosial, Internet Sehat, dan Membangun Komunitas
Digital. Dari ketiga materi yang ia bawakan, saya secara pribadi
sangat terbantu dengan pembahasan pada materi Dunia Digital
dan Media sosial. Bagi saya, materi ini sangat penting untuk
merefleksikan keberadaan dunia digital dan media sosial terkini.
235
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
Secara keseluruhan, peserta diajak untuk membaca secara
kritis terhadap dampak dari dunia ini bagi dinamika kelompok
dan antar iman. Bahkan lebih jauh, kita pun diperkenalkan dengan
hyper-media world, yakni sebuah istilah untuk menjelaskan
kondisi ketika batasan antara ruang privat dengan ruang publik
semakin halus dan kabur. Di dunia maya, netizen disodorkan
dengan beragam pilihan atas keberadaan media (polymedia).
Kondisi ini membuat aktivitas penggunanya yang dinamis sehingga
mempengaruhi relasi, otoritas, dan struktur sosial.
Dalam konteks Indonesia, dari jumlah penduduk yang
mencapai 252.4 juta jiwa, sedikitnya 88.1 juta penduduknya adalah
pengguna internet. Dari hasil pantauan Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2014, pengguna
internet terbesar di Indonesia adalah wilayah Jawa dan Bali (52.0
juta), disusul Sumatera (18.6 Juta), Sulawesi (7.3 juta), Kalimantan
(4.2 Juta), dan Nusa Tenggara, Papua dan Maluku (5.9 juta). Dari
data APJII tersebut juga diketahui bahwa pengguna terbanyak
adalah kaum perempuan dengan angka 51%, sedangkan lakilaki sebanyak 49%. Data lain menyebutkan, penggunaan
internet di Indonesia lebih didominasi dengan menggunakan
perangkat seperti telepon seluler. Atas dasar itulah, pentingnya
mengkampanyekan penggunaan internet secara sehat dan bijak.2
Membangun perilaku ber-internet sehat merupakan keharusan.
Pada kegiatan INGAGE ini peserta diajak untuk mengetahui
beragam kejahatan di dunia maya serta menghargai dan melindungi
privasi dalam berinternet. Cyberbully dikhawatirkan akan merusak
tatanan kehidupan masyarakat yang beragam. Namun, perlu
juga memahami lebih jauh tentang hak mengeluarkan pendapat
melalui internet agar tidak terjadi kriminalisasi secara berlebihan,
sebab, dalam catatan sejarah, dengan UU ITE, negara dianggap
gagal melindungi hak-hak setiap warganya. Akhirnya, tidak sedikit
“korban” dari efek pemanfaatan regulasi tersebut.
Sementara itu, Al Makin (UIN Sunan Kalijaga), juga sebagai
fasilitator, memberikan materi inti pada kegiatan Training
2
Sumber data berasal dari materi pelatihan
236
Bagian III: Para Pelintas Batas
INGAGE ini. Ia membawakan materi tentang Sejarah Agamaagama Dunia, Agama di Indonesia serta materi Keragaman dan
Perbedaan. Mengawali presentasinya, Al Makin memberikan tugas
kepada kami untuk saling mewawancarai. Setiap peserta mencari
tahu tentang ajaran agama dari peserta yang berbeda keyakinan.
Metode tersebut akhirnya secara tidak langsung membantu peserta
untuk belajar agama-agama yang terdapat di Indonesia.
Al Makin, mengajak peserta untuk mengetahui prinsip keragaman dan perbedaan. Kita diharapkan menyadari betapa
pentingnya keragaman dan perbedaan dalam beragama. Apalagi,
ia menjelaskan bahwa dalam catatan sejarah, agama begitu
beragam baik dalam konteks dunia hingga ke Indonesia, maka
sudah sepantasnya setiap orang tidak hanya terjebak pada klaim
kebenaran agama yang ia peluk.
Program Live-in
Setelah tiga hari mengikuti Training, peserta INGAGE
melaksanakan kegiatan Live-in, yaitu program untuk berinteraksi
secara langsung dengan pemeluk agama lain selama tiga hari
pula. Pada fase Live-in, peserta belajar lebih jauh tentang agama
dan keyakinan tuan rumah. Saling berdialog, tukar pendapat,
bahkan saling mempelajari tradisi masing-masing. Dengan pola
ini, peserta mewujud-nyatakan materi-materi yang sebelumnya
diterima selama Training.
Pada program Live-in, Saya ditempatkan di rumah seorang
Pendeta Kristen. Selama bermukim di kediamannya, saya banyak
belajar tentang kekristenan, baik dari segi tradisi hingga pandanganpandangan teologis. Bagusnya, Pendeta yang “melayani” saya
selama Live-in di rumahnya merupakan sosok agamawan yang
inklusif, santun, bahkan memiliki pemikiran yang progresif.
Gagasan tentang ajaran kasih sayang Kristen, seolah membungkus
kepribadian Sang Pendeta.
Ronny Dajau, adalah nama Sang Pendeta. Di rumah, ia
tinggal bersama Istri dan tiga orang anaknya. Saya menjalin
237
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
kebersamaan dengan mereka. Sesekali kami bercanda, namun di
saat-saat tertentu kami berdialog serius, bahkan ada hal-hal yang
sensitif sekali pun menjadi bahan diskusi kami. Pada kesempatan
lain pula, Pendeta mengajak saya melihat tradisi ibadah jemaat
yang dipimpinnya langsung. Melihat bangunan dan mempelajari
manajemen pengelolaan gereja, hingga mengikuti kegiatan olah
raga Sang Pendeta dengan komunitas Pendeta lainnya.
Semua aktivitas yang kami lakukan, tidak sama sekali
membuat saya merasa asing. Justru yang dirasa adalah semangat
kebersamaan. Kami hanyut dalam suasana kekeluargaan, kendati
pun beda keyakinan. “Inti ajaran Kristen itu adalah kasih kepada
semua orang,” ujar Pendeta.
Pernyataan inilah yang kemudian menimbulkan spirit solidaritas
sesama manusia muncul dalam keseharian kami. Ditambah,
keyakinan saya atas ajaran Islam sebagai rahmat bagi semua alam,
menjadi modal untuk hidup bersama semakin harmonis.
Sewaktu tinggal bersama Pendeta, terlintas dalam benak saya,
apakah kegiatan Live-in ini dapat menjadi kontroversi? Mengingat,
sebelumnya kami direpotkan dengan anggapan miring oleh
kelompok tertentu atas aktivitas muslim di dalam gereja. Melemahkah
iman kami, peserta INGAGE, selama berada di kediaman pemuka
agama lain? Apakah Pendeta akan menjalankan misinya untuk
mengubah keyakinan saya? Bagaimana dengan makanan, halalkah?
Pertanyaan-pertanyaan ini terjawab dengan sendirinya. Sangkaan
berlebihan, ternyata menjadi penyebab lahirnya pertanyaan tersebut.
Kita sering mendengar informasi sepihak dan gagasan ekslusif dari
pemuka agama. Bagi saya, program Live-in ini menjadi momentum
untuk mempelajari secara baik tentang agama dan keyakinan orang
lain langsung kepada pemeluknya.
Selama ini, kita mengetahui ajaran agama lain bukan dari
pemeluk apalagi tokohnya langsung, sehingga hal tersebut
menyebabkan munculnya prasangka yang berlebihan. Bahwa
kemudian terdapat perbedaan pandangan dan keyakinan yang
mencolok, tidak serta merta menjadikan semangat kemanusiaan
238
Bagian III: Para Pelintas Batas
kita tertutup. Oleh karena itu, saya berprinsip, jangan belajar Islam
kepada Pendeta dan jangan pula belajar Kristen kepada Ustaz.
Modal Sosial Masyarakat Sulawesi Utara
Tampilan kebersamaan yang terjadi selama Live-in merupakan
wujud dari kesadaran saya, Pendeta, dan seluruh masyarakat
di Sulawesi Utara tentang pentingnya menjaga kerukunan
dan harmonisasi hidup dalam keragaman. Sebagaimana yang
disampaikan Noudy R. P. Tendean, Kepala Badan Pendidikan dan
Pelatihan Sulawesi Utara, pada kegiatan Training INGAGE bahwa
hal mendasar yang dimiliki masyarakat Sulawesi Utara dalam
pengalaman kehidupan sehari-hari adalah modal sosial mereka.
Kisah Live-in yang telah ditulis sebelumnya merupakan bagian
dari kebesaran modal sosial masyarakat. Modal sosial bersandar
pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, ia juga menunjuk
pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain.
Modal sosial sendiri tidak akan pernah habis jika
dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Justru rusaknya
modal sosial bukan karena seringnya ia dipakai, namun karena
ia tidak dipergunakan. Untuk mengetahui parameter modal sosial,
hemat saya, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilihat. Pertama,
kepercayaan, yakni sebuah harapan yang tumbuh, sehingga
berperilaku jujur, teratur, dan bekerja sama. Kedua adalah norma,
nilai-nilai, harapan, dan tujuan. Yang ketiga berupa jaringan atau
kerja sama antarmanusia, membangun interrelasi formal dan
informal. Parameter modal sosial ini terimplementasikan melalui
gerakan sosial dengan sebutan-sebutan lokal yang membumi.
Semisal, Mapalus di Minahasa, Mapaluse di Sangihe, dan Moposad
di Bolaang, Mongondow. Hal inilah yang menjadi hiasan kehidupan
masyarakat Sulawesi Utara dalam membangun peradaban.
Penutup
Program INGAGE sudah semestinya dilanjutkan. Kendati
dalam konteks Sulawesi Utara relatif aman, namun kita tidak
239
Jabat Erat Dari Ambon, Manado dan Medan
menutup mata dengan riak-riak konflik yang belakangan bermunculan. Kasus Basaan, peristiwa penolakan pembangunan
rumah ibadah, pelarangan azan, bahkan intimidasi kelompok
mayoritas terhadap minoritas telah menjadi isu hangat di Sulawesi
Utara. Maka tak heran posisi teratas sebagai daerah yang rukun
kini tergeser menjadi yang kelima.
INGAGE, salah satu cara terbaik untuk mempertemukan yang
beda dalam satu kesamaan visi pembangunan hidup berdampingan.
Pendalaman materi, serta interaksi selama kegiatan menjadi
modal positif agar dapat membina kebersamaan. Program ini pula
menjadi lokomotif perjuangan menolak gagasan-gagasanekslusif
terkait keragaman. Menyadari hak-hak sebagai warga, memahami
posisi yang sama di hadapan negara, bijak dalam menggunakan
internet, serta mengetahui sejarah agama dan keragamannya
turut membentuk semangat bagi kaum muda khususnya untuk
mengelola perbedaan di tengah kehidupan masyarakat.
Saya sangat bersyukur telah ikut berpartisipasi pada kegiatan
ini, baik secara kelembagaan Lesbumi NU Sulut maupun sebagai
pribadi yang menjadi peserta. Follow up dari kegiatan INGAGE
di Manado ini telah kami lakukan dengan mengadakan diskusi
agama dan budaya di markas Lesbumi, membentuk organisasi
komunitas Pemuda LintasAgama (PELITA), hingga program sejenis
INGAGE yang akan dilakukan di tingkat pelajar.
Harapan saya, INGAGE harus diterima oleh semua kalangan,
karena untuk hidup harmonis, dibutuhkan dialog antarumat
beragama. Dialog ini menitikberatkan pada keinginan dan
kebutuhan untuk saling memahami dan tukar menukar pengalaman
keagamaan yang telah dimiliki. Dengan demikian, tidak ada
lagi usaha-usaha untuk secara sepihak menyalahkan,mengolokolok, atau mengkafirkan. Bahkan menganggap tidak selamat
kepada sistem kepercayaan dan keimanan yang dimiliki orang
dan kelompok lain, sehingga jadilah Indonesia yang Bhinneka
Tunggal Ika.
240