Masalah Minoritas dan Integrasi Nasional

Masalah Minoritas dan Integrasi Nasional

Intoleransi Agama dalam Negara Demokrasi:
Marginalisasi Terhadap Kaum Syi’ah

Oleh:
Ni Made Resita Yuana1221105005

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL / SEMESTER III
UNIVERSITAS UDAYANA
2014

Latar Belakang
Pemerintah Indonesia dikatakan gagal alam melindungi kaum minoritas dari kekerasan
dan intoleransi atas nama agama. Identitas masyarakat Indonesia yang beragam telah tercederai.
Hal ini disebabkan oleh maraknya gerakan fundamentalisme pasca terjadinya reformasi.
Reformasi memberikan keterbukaan yang seluas-luasnya kepada publik untuk menyampaikan
pendapat secara terbuka. Namun hal ini tidak diimbangi dengan kebebasan yang bertanggung
jawab. Toleransi pun menjadi hal yang langka. Kebebasan membuat orang-orang buta dan
berlaku seenak mereka. Intoleransi menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Mengaku paling baik

diantara semuanya menjadikan beberapa gerakan fundamental mehalalkan segala cara dalam
menghapuskan siapa dan apapun yang menurut mereka salah. Meski harus mengatasnamakan
agama dalam aksinya.
Dalam salah satu laporan dari Human Right Watch yang berjudul “Atas Nama Agama:
Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia,” merekam kegagalan pemerintah Indonesia
dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang lakukan intimidasi dan serang rumahrumah ibadah serta anggota-anggota minoritas agama. Mereka makin hari makin agresif. Sasaran
mereka termasuk Ahmadiyah, Kristen maupun Muslim Syiah.
Sayangnya, pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan justru
menyalahkan korban minoritas. Para pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tak
dihukum. Dalam beberapa kasus, pejabat daerah menolak menjalankan keputusan Mahkamah
Agung yang memberikan hak kepada jemaat minoritas untuk membangun rumah ibadah mereka.
Pejabat pusat sering membela kebebasan beragama namun ada juga —termasuk Menteri Agama
Suryadharma Ali— yang justru mengeluarkan pernyataan diskriminatif.
Organisasi militan Islamis, termasuk Forum Umat Islam dan Front Pembela Islam, sering
dilaporkan terlibat dalam penyerangan dan penutupan rumah ibadah maupun rumah pribadi.
Mereka memberikan pembenaran terhadap penggunaan kekerasan dengan memakai tafsir Islam
Sunni, yang memberi label “kafir” kepada kalangan non-Muslim, serta “sesat” kepada kalangan
Muslim yang tak sama dengan mereka. Salah satunya kaum Islam Syi’ah.

Pembahasan

Di tengah-tengah kondisi masyarakat yang plural di Indonesia, ternyata segelintir orang
telah mencederai kedamaian dengan melakukan kekerasan atas nama agama. Sikap diskriminatif
ini bahkan dilayangkan oleh sekelompok orang pada kelompok lainnya. Padahal realitasnya,
mereka ada di dalam satu kepercayaan yang sama, yaitu Islam. Kelompok Syi’ah adalah
kelompok Islam yang minoritas di Indonesia. Keberadaan mereka saat ini tengah dikecam,
dikatakan sebagai kelompok dengan kepercayaan yang sesat. Kepercayaan mereka yang agaknya
berbeda dengan Islam pada umumnya disinyalir sebagai dasar kuat untuk menyebut mereka
sesat.
Syi’ah sendiri berasal dari etimologi bahasa arab yang bermakna pembela dan pengikut
seseorang. Keberadaan kaum minoritas Islam ini bermula sejak 632 M, saat Rasulullah Nabi
Muhammad Saw (Tuhan umat Islam), wafat. Disaat keadaanya sedang sekarat, Nabi sempat
melakukan khotbah terakhirnya, dalam khotbah tersebut, beliau mengalungkan sorbannya
kepada salah seorang sahabatnya, Ali bin Abi Thalib. Hal ini kemudian memunculkan spekulasi
bagi sebagian kaum, khususnya pengikut Ali bin Abi Thalib (yang kemudian menyebut diri
mereka sebagai Syi’ah Ali bin Abi Thalib), bahwa Nabi telah mewariskan kepemimpinanya
kepada Ali bin Abi Thalib. Sedangkan disaat melaksanakan sholat terakhirnya, Nabi menunjuk
Abu Bakar sebagai imam sholat pada saat itu. Spekulasi bagi kaum lainnya pun muncul bahwa
Abu Bakarlah yang dipercayai Nabi untuk memegang kepemimpinan selanjutnya. Keraguan
akan maksud Nabi tersebut memunculkan masing-masing spekulasi bagi masing – masing
sahabat dan para pengikut Nabi.

Para pengikut Ali bin Abi Thalib yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut memilih
diam dan memilih untuk tidak ikut menandatangani sumpah bersama dengan umat lainnya. Sejak
saat itu, para pengikut Ali bin Abi Thalib cenderung pasif dan sebagian yang cukup
fundamentalis merasa keputusan dinaikkannya Abu Bakar sebagai pemimpin sangatlah salah.
Bagi Syi’ah Ali, Ali bin Abi Thalib lah yang sepantasnya menjadi pengganti Nabi. Dengan
melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam Ali, para pengikutnya meyakini
bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan Nabi setelah

ia wafat. Maka timbullah kepercayaan yang berbeda dan memulai perpecahan di dalam kaum
Islam.
Abu Bakar yang beberapa tahun kemudian meninggal, meninggalkan wasiat bahwa yang
akan ditunjuk sebagai penggantinya adalah Umar. Hal ini kemudian dipandang tidak adil lagi
bagi pengikut Syi’ah yang fundamentalis.
Anggapan bahwa Syi’ah menganggap murtad kafir Sayidina Abu Bakar, S. Umar bin
Khattab, S. Utsman bin Affan, karena dianggap merebut “hak” kekhalifahan dari S. Ali bin Abi
Thalib menjadi alasan mengapa kepercayaan ini di anggap sesat. Umat Syi’ah yang dikatakan
suka melaknat tiga khalifah pertama tersebut, dari cintanya yang berlebihan kepada S. Ali
dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam yang diturunkan oleh Nabi.
Protes Syi’ah Ali sebagai kaum minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan
diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua

golongan di dalam tubuh masyarakat Islam yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi,
pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka
mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang
pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Alasan – alasan di atas yang kemudian membuat umat Islam memiliki keyakinan masingmasing lalu menciptakan perbedaan di antara mereka. Bagi kaum Islam pada umumnya, Syi’ah
adalah ajaran Islam yang melenceng, yang melakukan ibadah dengan cara yang salah. Tidak
seperti di Iran dimana Syi’ah Ali merupakan mayoritas namun Syi’ah di Indonesia sendiri adalah
mayoritas yang bahkan di anggap tidak benar dan sesat. Perbedaan keyakinan membuat kaum ini
kemudian menutup diri, meski tetap menjaga dan berpegang teguh pada keyakinan yang telah
mereka miliki.
Keberadaan Syi’ah di Indonesia kian lama kian terancam. Kelompok – kelompok
fundamentalis yang dengan mudah menganggap mereka sebagai penganut aliran sesat
melontarkan banyak kecaman bahkan tidak segan untuk melakukan kekerasan. Tragedi
Sampang, adalah salah satu tragedi mengerikan yang menimpa umat Syi’ah. Lebih dari 300
warga Syi’ah yang hampir setiap hari melalui mimbar-mimbar mesjid mendapatkan teror dan
ancaman di kabupaten Sampang akhirnya harus diungsikan akibat penyerangan desa mereka

yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan agama. ustadz
Tajul Muluk selaku pemuka Syi’ah di Sampang tidak hanya difitnah namun juga disiksa secara
fisik dan mentalnya. Perjuangan kaum Syi’ah di Sampang terus berlangsung hingga saat ini. Hak

– hak dasar mereka terasa dirampas oleh oknum – oknum tidak bertanggung jawab. Bahkan ada
beberapa kepala keluarga yang dilarang memiliki surat-surat berharga (KTP, ijazah, kartu
keluarga, dan yang lain) bahkan hingga sekarang tidak pernah diproses oleh pemerintah daerah.
Tidak hanya di Sampang, di hampir seluruh daerah dimana kaum Syi’ah bermukim,
kekerasan dan ancaman akan terus mereka hadapi. Satu satunya cara adalah dengan
bersembunyi. Dalam Syi’ah, mereka kerap kali melakukan taqiyah, yaitu menyembunyikan
identitas kepercayaan mereka ketika di depan umum. Hal ini dilakukan bukan semata-mata untuk
melindungi diri sendiri namun untuk menjaga kepercayaan yang mereka miliki dan untuk
menjaga perdamaian disekitar mereka.
Stigma dan diskriminasi yang didapat kaum Syi’ah sebenarnya tidak akan menjadi
berlarut ketika tidak ada oknum yang memprovokasi keadaan. Sebagian orang percaya, kaum ini
memiliki hak mutlak untuk memilih keyakinan mereka sendiri (pasal 28E Ayat (2) dalam UUD
1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya). Namun ada juga sebagian orang
yang merasa kaum ini tidak pantas menjalankan kepercayaan mereka.
Sebagaimana isu-isu keagamaan lainnya, tentu isu Syi’ah tak lepas dari pantauan dan
tanggung jawab Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang berwenang
mengeluarkan fatwa keagamaan Islam. Dan MUI telah mengeluarkan fatwa tentang Syi’ah. MUI
Pusat sejak tahun 1984 telah memfatwakan bahwa ajaran Syi’ah berbeda dengan Sunni dan agar
umat mewaspadai ajaran Syi’ah. Kemudian pada tahun 2012, MUI Jawa Timur telah

mengeluarkan fatwa tentang kesesatan ajaran Syi’ah (Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Jawa Timur dengan No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/201). Fatwa ini juga dipercaya
sebagai salah satu pemicu maraknya pemberontakan di Sampang terhadap kaum Syi’ah.
Keadaan minoritas kaum Syi’ah ini dapat dianalisa dengan teori national minority. Teori
ini membahas mengenai keadaan minoritas yang menjadi bagian suatu negara tetapi memiliki
identitas yang berbeda dengan kelompok lain (mayoritas) di negara tersebut. disini terlihat jelas

teori ini mampu menggambarkan kondisi kaum Syi’ah. Syi’ah sebenarnya adalah juga samasama pemeluk islam yang realitasnya adalah agama mayoritas di Indonesia. Namun kepercayaan
yang berbeda mengakibatkan mereka sendiri di kucilkan dan terdiskriminasi oleh kaum Islam
pada umumnya. Sebagai pemeluk kepercayaan Syi’ah, banyak pihak yang meyakini bahwa
Syi’ah memiliki identitas yang berbeda dengan Islam pada umumnya.
Sikap pemerintah dalam mengatasi kasus dan tragedi yang melibatkan bahkan menyakiti
kaum Syi’ah agaknya dapat dikatakan lemah. Pemerintah saat ini terkesan hanya mau
mendengarkan mereka yang mayoritas dan mengenyampingkan minoritas. Menurut kelompok
ethnopolitical di dunia, yang salah satunya adalah aktif dalam politik agama minoritas, penting
untuk menyadari bahwa banyak konflik agama kontemporer di dalam dan sekitar pinggiran dunia
Islam timbul dari penegasan kembali nilai-nilai Islam tradisional yang dirasa bertentangan
dengan nilai-nilai dan praktik-praktik pemerintahan. Hal ini menimbulkan prinsip umum bahwa
perbedaan agama membuat intensitas khusus dalam konflik antara masyarakat ketika sebuah
kelompok dominan ada untuk memaksakan aturan berdasarkan keyakinan agama pada orang

lain.
Kaum Syi’ah tentu saja menuntut akses untuk kehidupan yang lebih baik. Hal ini tentu
saja wajar untuk dilakukan. Ketika banyak kaum Syi’ah yang takut dan menutup diri, ada juga
yang vocal menyuarakan hak mereka. Salah satu penyalur nya adalah melalui organisasi yang
mereka bangun, IJABI. IJABI adalah organisasi massa (ormas) berhaluan Syi’ah yang dipimpin
Jalaluddin Rahmat, berpusat di Bandung. Melalui IJABI, kaum Syi’ah selalu berupaya untuk
mendapatka kebebasan atas keyakinan mereka. Hal ini dapat digolongkan sebagai bentuk ethno
classes. Dimana kelompok yang menjadi minoritas di suatu wilayah yang juga terdiskriminasi
kesulitan dalam memperoleh akses sosial mereka. Contohnya adalah ketika Syi’ah di Sampang
di serang, bahkan untuk surat berharga pribadi pun akan dipersulit kepemilikannya oleh
pemerintah setempat. Hal ini menunjukkan adanya pembentukan strata sosial yang berbeda yang
diberlakukan pada kaum Syi’ah. Padahal pada hakikatnya, semua orang memiliki hak dan
kewajiban yang sama meski terdapat perbedaan identitas.

Kesimpulan
Perbedaan yang seharusnya menyatukan bangsa ini malah jatuhnya menjadi senjata
intoleransi yang siap pakai. Mereka yang merasa benar akan melakukan apa saja untuk kemudian
menghentikan kepercayaan orang lain yang mereka anggap salah. Entah dengan cara yang halus
bahkan hingga kekerasan. Secara verbal maupun non verbal.Dibalik itu semua, ada kaum yang
tersiksa yang menjadi minoritas di negeri mereka sendiri hanya karena kepercayaan dan identitas

berbeda yang mereka yakini. Letak kesalahan yang tidak jelas selalu menjadi senjata untuk
menyakiti bahkan menyingkirkan mereka. Diam tidak menyelesaikan masalah, namun bersuara
pun akan menjadi boomerang bagi diri mereka sendiri.
Realitas bahwa negara yang ‘membebaskan keyakinan’ warganya ini agaknya gagal
dalam menerapkan demokrasi yang dijunjung dan didewakan selama ini. Bagaimana tidak?
Hanya untuk beribadah saja sudah di anggap sebagai suatu kesalahan yang bahkan sesat dimata
orang. Maka, masih ada ketakutan untuk berbicara. Masih ada ketakutan untuk menunjukkan
identitas diri. Meski kemudian akses untuk kehidupan yang layak menjadi sulit didapatkan,
bahkan untuk melakukan hak dan kewajiban menjadi hal yang sulit ketika penerimaan untuk
kaum minoritas saja sangat mustahil untuk dilakukan.

Saran
Intoleransi bukanlah budaya. Intoleransi adalah bom waktu yang akan meledak jika sudah
tidak mungkin lagi untuk ditahan. Untuk kemudian melindungi diri sendiri akan sulit jika hanya
mereka yang mayoritas saja yang diutamakan, yang diberikan hak dan kewajibannya. Pluralitas
yang dikandung bangsa ini seharusnya menjadi warna yang tidak dapat dihapuskan begitu saja.
Maka tentu saja, toleran adalah satu-satunya alat yang bisa melawan intoleransi tersebut.
Pandangan sebelah mata pada kaum Syi’ah seharusnya mengkaji ulang dan memperluas
perspektif mereka terhadap salah satu sekte di agama Islam tersebut. Jika hanya menilik dari satu


sejarah yang bahkan tidak dimiliki dan hidup di negara ini (sejarah Syi’ah yang selama ini
berkembang di Indonesia adalah berdasarkan sejarah dari Saudi Arabia), maka konflik agama ini
tidak akan pernah ada habisnya.
Daftar Pustaka
http://edukasi.kompasiana.com/2013/08/11/benarkah-syiah-sesat-ini-dia-fatwa-mui-tentangsyiah-580281.html
http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/18/mempelajari-rahasia-ajaran-syiah-dari-sumberaslinya-547879.html
http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/2.htm
http://muslim.or.id/manhaj/sejarah-kemunculan-syi.html
http://www.hrw.org/es/node/113931
http://hankam.kompasiana.com/2013/05/22/benarkah-indonesia-sangat-intoleran-pada-kaumminoritas-562253.html
http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2014/02/07/16164/ijabi-bertanyalah-kepadaulama-syiah.html#.U52wAHZcRYM
http://www.satuislam.org/humaniora/kronologi-tragedi-kemanusiaan-syiah-sampang/
Gurr, Tedd Robert. 1994. Ethnic Conflict in World Politics, Oxford-United Kingdom, Westview
Press.