Perkembangan Pola Pikir dan Sikap Masyar

Nasionalisme dan Lingkungan:
Perkembangan Pola Pikir dan Sikap Masyarakat Malang pada Sendang1

Daya Negri Wijaya
Dayawijaya15@yahoo.com
Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang

Abstrak
Tulisan ini terangkat oleh skeptisisme penulis terhadap tulisan singkat berjudul
“Kondisi 577 Sumber Air Terancam” dalam salah satu kolom Radar Malang tanggal 23
Januari 2014. Artikel tersebut menguraikan bagaimana sumber air yang ada di Malang Raya
tidak diketahui kejelasannya apakah masih ada debit air yang dikeluarkan oleh sendang (mata
air atau sumber air) serta satu hal yang mengundang rasa prihatin adalah kesimpang-siuran
pemilik sendang apakah menjadi milik pemerintah atau warga. Kenyataan ini tentu saja
menggambarkan kepedulian orang pada lingkungan yakni sendang yang didasarkan pada
kepentingan dan cenderung melupakan upaya pelestarian sendang padahal dalam pengalaman
historis pemerintah dan masyarakat bekerjasama dalam melestarikannya.
Pergeseran bentuk dan tata ruang lingkungan dalam hal ini sendang ternyata begitu
banyak dipengaruhi oleh pola pikir dan sikap masyarakat. Dalam perjalanan masa lalu
Malang, sebuah kerajaan akan terlegitimasi kekuasaannya bila telah melewati berbagai
rangkaian ritual dan air serta sumber air yang menjadi salah satu komponen ritual yang

tentunya dianggap sebagai simbol kehidupan bagi sebuah kerajaan. Disini air memiliki fungsi
yang sakral dalam masyarakat sehingga mereka cenderung menjaga keberadaan sumber air
untuk berbagai aktivitas keseharian. Namun, pergeseran begitu banyak terjadi ketika
pemerintah kolonial Belanda mencengkeram Malang hingga kini. Pemerintah menjaga
dengan baik seluruh mata air yang ada di penjuru malang. Hal ini sangat bermanfaat dengan
kebijakan politik ethis yang memerlukan banyak air untuk pertanian dan perkebunan. Air
terlihat sebagai hal yang profan bagi masyarakat saat itu. Sehingga proses pelestarian
sendang ini sangat terkait pada kepentingan sang pemilik tanah yang terdapat sendang di
dalamnya.
Terlihat menarik untuk mengelaborasikan bagaimana keterkaitan antara sumber air
dan masyarakat disekitarnya secara historis. Penulis akan menggunakan metode sejarah untuk
memahami sikap dan pola pikir masyarakat terhadap sendang dalam pengalaman historis
masyarakat Malang.
Kata-Kata Kunci: Sejarah Kota, Sumber Air, Sakral, Profan, Budaya Air

Sendang merupakan sebuah kata yang tentunya tidak terlalu asing di telinga

masyarakat Jawa. Sendang dipahami sebagai kolam yang biasanya terletak di pegunungan
yang mata airnya muncul dalam kolam tersebut. Namun, istilah sendang akan semakin
membingungkan jika dipahami oleh masyarakat luar Jawa, sebagai contoh jika kata sendang

terucap di daerah Lampung pasti kata tersebut akan dipahami bukan sebagai sumber air tetapi
1

Disampaikan pada Second National Graduate Seminar on Urban History yang
diselenggarakan oleh Program Pascasarjana S2 Sejarah Universitas Gadjah Mada pada
tanggal 19 Juni 2014 di Aula Perpustakaan UGM

Daya Wijaya

Page 1

sebagai sebuah kampung atau kompleks pemukiman karena nama kampung disana memiliki
kata sendang seperti Sendangmulyo, Sendangdadi, Sendangagung, atau Sendangsari. Lebih
lanjut, kata sendang juga berbeda dengan mbelik, patirtan, dan segaran. Mbelik adalah mata
air yang sering dijumpai di tengah ladang dan umumnya berada di dekat sungai maupun
pohon besar. Sedangkan sendang adalah mata air yang lebih besar dan menggenang. Patirtan
atau petirtaan adalah tempat pemandian suci yang sering digunakan oleh kalangan istana
kerajaan dan segaran merupakan kolam besar yang difungsikan sebagai tempat rekreasi raja
atau tempat perjamuan tamu kerajaan.
Malang secara geografis berada di dataran tinggi Jawa Timur yang dikelilingi oleh

beberapa gunung: di utara terdapat gunung Penanggungan, di timur terdapat gunung Semeru
dan Bromo, di barat terdapat gunung Kelud dan gunung Kawi, serta di selatan terdapat
Samudera Hindia. Menjadi wajar apabila terdapat banyak sendang yang muncul di Malang.
Salah satu kolom dalam radar Malang tertanggal 23 Januari 2014 merekam setidaknya
terdapat 577 sumber air yang masih eksis hingga kini namun berada dalam ancaman. Namun
mengapa dalam keadaan terancam? Bukankah pergantian musim di Indonesia selalu berputar
dengan stabil dan apabila terdapat gangguan dalam siklus hidrologi maka hal ini terjadi
karena pola pikir serta sikap manusia terhadap lingkungan yang telah berubah.
Diamond (2014:4-5) menjelaskan lima faktor yang bisa mempengaruhi kelestarian
dan keruntuhan peradaban yakni kerusakan lingkungan; perubahan iklim; pengaruh
peradaban musuh; pengaruh peradaban sahabat; dan yang terpenting adalah tanggapan
masyarakat pada masalah lingkungan. Lingkungan menjadi aspek penting bagi kelangsungan
kehidupan manusia. hal ini dapat dijadikan pelajaran bagaimana masyarakat baik perorangan,
badan usaha, atau negara dapat menemukan cara mencegah peradaban ambruk karena dunia
tak kuat menanggungnya. Lebih lanjut diungkapkan bahwa keruntuhan misterius berbagai
peradaban dipicu oleh berbagai masalah ekologis dimana manusia secara tidak sengaja
menghancurkan sumber daya lingkungan yang diandalkan masyarakat mereka. Proses-proses
perusakan lingkungan ini terbagi dalam berbagai kasus seperti penggundulan hutan dan
penghancuran habitat, masalah tanah, masalah pengelolaan air, perburuan berlebihan, dan
pertumbuhan populasi penduduk. Memang dampak kerusakan ini tidak bersifat langsung

namun jika rusaknya ekologis terjadi di masa kini maka masyarakat di masa depan akan
merasakan dampaknya.
Terlihat bahwa manusia dan lingkungan memiliki hubungan timbal balik dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Jika manusia merawat lingkungan maka lingkungan akan
memberikan tempat yang nyaman sebagai panggung hidup manusia. Manusia melalui pola
Daya Wijaya

Page 2

pikir dan sikapnya berpengaruh pada lestari atau rusaknya lingkungan. Susilo (2008:48)
mengilustrasikan kisah menarik tentang hubungan timbal balik antara masyarakat dan
lingkungan dengan pola pikir maju masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang belum banyak
mengetahui relasi antara kelestarian hutan dan lingkungan laut termasuk biota didalamnya.
Kemudian para nelayan Jepang banyak yang menebangi pohon di hutan dan di daerah aliran
sungai. Perusakan ini tidak lepas dari kepentingan industri yang sedang maju pesat dalam
tahun 1970-an dan dampaknya banyak biota laut yang punah serta semakin sedikitnya
tangkapan ikan nelayan. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa watak alam yang sering kali
kejam pada kita tidak lepas dari perbuatan manusia yang semena-mena diatasnya.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Diamond (2014:478) bahwa rusaknya lingkungan di
Cina karena merupakan dampak langsung dari industrialisasi disana. Berbagai kelebihan dan

pencapaian

Cina

dalam

perekonomian

dan

industri

menimbulkan

permasalahan-

permasalahan lingkungan diantaranya seperti pencemaran udara, hilangnya lahan pertanian,
lenyapnya lahan basah, kerusakan padang rumput, berhentinya aliran sungai, salinisasi, erosi
tanah, penumpukan sampah, dan kekurangan air. Hal ini tentu saja berdampak pada
timbulnya bencana alam, kerugian ekonomi yang besar karena terhambatnya proses industri,

dan masalah kesehatan. Sikap manusia pada lingkungan diatas tidak dapat dipungkiri sangat
terkait dengan faktor kepentingan manusia itu sendiri. Suwarno (2012:27) menjelaskan
bahwa kepentingan dapat dimaknai sebagai tujuan-tujuan yang diinginkan untuk dicapai.
Setiap individu, pemerintahan, atau rezim yang berkuasa jelas memiliki kepentingan.
Kepentingan mereka sebagai pihak yang memiliki kekuasaan (penguasa atau pejabat)
umumnya adalah untuk mempertahankan kekuasaannya selama mungkin. Kecenderungan
yang semacam ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kekuasaan merupakan sumber daya dari
berbagai macam nilai yang diperebutkan dalam politik misalnya kehormatan, penghargaan,
kekayaan, atau kenikmatan.
Bagi seseorang atau instansi yang memiliki sebidang tanah dan terdapat sendang di
dalamnya maka mereka memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan sendang tersebut untuk
kepentingan mereka sendiri. Mereka juga sangat mungkin untuk mengerahkan segala cara
untuk mencapai kepentingannya dan disisi lain melupakan tugasnya untuk melestarikan
sendang. Seringkali sumber daya air termasuk sendang dicemari oleh bahan-bahan kimia dan

biologis hasil dari limbah pabrik. Hal ini juga ditambah oleh kesadaran warga kota Malang
yang rendah dalam menjaga kelestarian air dengan membuang sampah dan dampaknya
bermunculan wabah penyakit-penyakit yang berbasis air (Kurniawan, 2012:1). Seharusnya
jika berkaca pada pengalaman historis masyarakat dapat menempatkan air sebagai unsur yang
Daya Wijaya


Page 3

penting sebagai sumber kehidupan masyarakat sehingga secara tidak langsung mereka akan
menjaga air seperti merawat hal yang bernyawa.
Walaupun banyak pola dari gerak sejarah mulai dari yang berbentuk siklus, regresi,
ataupun progresif namun khalayak umum tentunya berharap bahwa sejarah dapat membantu
sejarawan untuk menuliskan masa lalu sebagai cermin dan pelajaran untuk berubah ke masa
depan yang baik. Pada dasarnya manusia diberikan akal untuk berpikir dan kemampuan
untuk mencegah sesuatu yang buruk yang akan terjadi di masa depan melalui pola-pola masa
lalu. Masa lalu menjadi kajian yang sangat luas bagi seorang sejarawan. Masa lalu setidaknya
memiliki tiga dimensi yakni manusia, tempat, dan waktu. Manusia dalam perjalanan waktu
tersebut berpikir dan beraktivitas di sebuah tempat tertentu. Tentunya manusia berpikir untuk
memenuhi setiap kebutuhan dan keinginannya. Kebutuhan dan keinginan tersebut dipenuhi
manusia dengan menjalankan berbagai macam aktivitasnya. Ketika seorang manusia
membutuhkan tempat untuk berteduh, berarti manusia akan berpikir tentang bagaimana
caranya dia dapat memperoleh dan membuat tempat berteduh, kemudian dia akan membuat
tempat berteduh tersebut bersama orang-orang disekitarnya. Pada saat manusia berpikir
tersebut tentunya dia berdiskusi dengan orang lain dan ada kalanya dia menuliskannya
disebuah media atau diberitakan pada orang lain dan mungkin juga pada generasi setelahnya

tersebut (Wijaya, 2013:22).
Dalam konteks ini setidaknya salah satu gagasan yang dapat dijadikan penggerak
roda-roda sejarah adalah nasionalisme. Nasionalisme dapat dipahami sebagai pengetahuan
atau wawasan kebangsaan yang menyadarkan masyarakat bahwa lingkungan atau aspek
geografis memiliki arti penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Rasa nasionalis
atau memiliki bangsa ini dapat mendorong setiap warga untuk mengubah sikap dan perilaku
mereka pada lingkungan. Dengan mengubah pola pikir warga maka akan mengubah pula
sikap warga negara pada lingkungan seperti yang dicita-citakan Mokoginta (2009:123) dalam
karyanya yang berjudul “Bumi bukan Milik Kapitalis”. Dengan pola pikir nasionalis mereka
akan menjaga lingkungan yang mereka cintai dan bersikap praktis untuk melestarikan
lingkungan sekitar mereka seperti menanam pohon di halaman rumah mereka; memilah
sampah dan menempatkannya di tempat yang tepat; dan membersihkan MCK atau saluran air
di rumah (Mokoginta, 2009:126).
Di era dewasa inipun kiranya air dan sumber air juga menjadi faktor penting dalam
membangun sebuah bangsa. Secara filosofis, ternyata keberadaan sumber air bagi manusia
tidak terlepas dari nasionalisme. Nasionalisme dalam makna yang luas bukan hanya
berhubungan dengan rasa cinta pada bangsanya namun juga segala peran warga negara dalam
Daya Wijaya

Page 4


membangun bangsanya melalui pelestarian sumber-sumber air tersebut. Tulisan ini
dimaksudkan sebagai penelitian awal dalam proses penggalian informasi tentang
perkembangan pola pikir dan sikap masyarakat Malang terhadap sendang sehingga uraian ini
dapat dijadikan model untuk berpikir dan bertindak dalam menjaga serta melestarikan
sendang dan lingkungan secara umum.

Metode Penelitian
Sejarah kota merupakan seluruh perkembangan kebijakan pemerintah dan aktivitas
masyarakat kota beserta pengaruhnya pada masyarakat maupun pada tata ruang kota
termasuk unsur ekologisnya. Kuntowijoyo (2003:64) menjelaskan bahwa ekologi merupakan
interaksi antara manusia dan alam sekitarnya serta perubahan ekologi terjadi bila salah satu
dari komponen itu mengalami perubahan. Dalam konteks ini bagaimana perkembangan pola
pikir dan sikap masyarakat berpengaruh pada kelestarian atau punahnya sendang di Malang
menjadi fokus penelitian awal ini. Penelitian ini mencerminkan nasionalisme masyarakat
dalam membangun kota dan bangsanya. Secara sederhana, peneliti memulai penelitian
dengan menentukan topik penelitian yakni perkembangan pola pikir dan sikap masyarakat
Malang pada Sendang. Hal ini dipilih karena rasa keprihatinan penulis pada terancamnya
sendang yang penulis duga karena faktor sikap manusia pada lingkungan.


Kedua, peneliti megumpulkan berbagai sumber yang terkait dengan tema atau topik
ini terutama artikel-artikel dalam koran sezaman serta literatur penunjang yang menjelaskan
keterkaitan manusia dengan lingkungan. Ketiga, peneliti menguji validitas data yang ada
dengan mengobservasi beberapa sendang yang berada di Malang Raya dan mewawancarai
beberapa warga terkait dengan pandangan mereka pada aktivitas warga di sekitar sendang.
Keempat, peneliti menginterpretasikan data yang didapat dengan melakukan analisis dan
analogi serta mengaitkannya dengan rasa nasionalisme. Terakhir, peneliti menulis dengan
gaya deskriptif-naratif sehingga dapat dikemukakan perkembangan yang jelas dari pola pikir
dan sikap masyarakat pada sendang tersebut.
Pola Pikir dan Sikap terhadap Sendang pada masa Kerajaan
Malang masuk dalam arus sejarah dimulai ketika ditemukan prasasti Dinaya
tertanggal 760 yang menjelaskan terdapat sebuah kerajaan bernama Kanjuruhan yang berada
di dekat Kota Malang kini. Secara eksplisit, dapat disimpulkan setidaknya sejak saat itulah
masyarakat Malang mendapat pengaruh Hinduisme namun Hinduisme di Jawa Timur tidak
berkembang dengan baik karena kerajaan pendukungnya tidak berumur panjang. Pada
Daya Wijaya

Page 5

pertengahan abad kesepuluh barulah Hinduisme berakar kuat di Jawa Timur termasuk

Malang dengan berpindahnya Mataram Kuno dari Jawa Tengah. Pada mulanya Hinduisme
hanya dikenal di lingkungan keraton tetapi lambat laun masuk juga ke desa-desa, bertemu
dengan masyarakat Jawa asli, yang memuja arwah leluhur. Pertemuan ini mengakibatkan
proses akulturasi budaya Hindu dengan kebudayaan Jawa asli di pedesaan. Sebaliknya
masyarakat ibu kota hampir seluruhnya dipengaruhi oleh Hinduisme karena budaya asli
sangat lemah disana. Hal ini kemudian terus mengakar ketika Malang berada dalam
kekuasaan Kahuripan, Janggala, Daha, Singhasari serta Majapahit yang berwatak Hindu.
Walaupun pada masa Majapahit terdapat empat agama besar mulai dari agama Siwa, Brahma,
Wisnu, dan Budha namun Hinduisme memiliki pengaruh besar pada mayoritas masyarakat
Malang dalam spektrum kerajaan (Muljana, 2006:233-234).
Bukti lain bahwa mayoritas masyarakat kerajaan berbasis pada Hinduisme adalah
banyak candi yang difungsikan sebagai makam dan didharmakan sebagai Siwa serta banyak
prasasti yang dikeluarkan oleh kerajaan dimulai dengan kata-kata pemujaan pada dewa-dewa
dalam Hinduisme. Setidaknya pola pikir dan sikap umat Hindu pada masa itu dapat ditelusuri
dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali karena masyarakat Hindu Bali dipercaya berasal
dari Jawa. Disaat masyarakat Hindu Majapahit terdesak oleh Islam maka mereka bergerak
untuk menjauh baik yang menyingkir ke pedalaman atau pegunungan (Tengger) serta ke Bali.
Titib (2001:77) menjelaskan beberapa pandangan masyarakat Hindu pada mata air yang
berlandaskan pada ajaran agama.Salah satu tempat yang dianggap suci oleh umat Hindu
adalah mata air. Umat Hindu sangat pantang untuk melakukan hal yang bertentangan dengan
ajaran agama di kawasan suci tersebut. Setiap hulu sungai yang diyakini suci karena ada mata
air pasti terdapat bangunan suci sebagai sarana pemujaan. Bangunan ini disebut orang Hindu
Bali sebagai Tirtha sehingga seringkali ditemui beberapa situs dengan menggunakan Tirtha
seperti Tirtha Empul atau Tirthanganga. Kata Tirtha dapat dipahami sebagai air, sungai,
danau, air suci, tempat untuk mendapatkan atau memperoleh air suci, kesucian, atau kesucian
diri (Titib, 2001:79).
Air dalam Hinduisme adalah sarana menyucikan, unsur yang memberikan
kemakmuran, arus kehidupan yang dapat diseberangi di dalam realisasi diri dan perjalanan
Tirthayatra dapat menyeberangkan seseorang menju pantai (kebahagiaan yang sejati).
Tirthayatra dipahami sebagai melakukan perjalanan mengunjungi tempat-tempat suci untuk

melakukan sembahyang, mohon air suci, dan melaksanakan meditasi. Pandangan ini
mengarahkan pada makna Tirthayatra yang sesungguhnya yakni mencari diri ke dalam diri.
Setiap tempat suci untuk melaksanakan Tirthayatra mengarahkan orang yang bersuci untuk
Daya Wijaya

Page 6

berpikir secara jernih dan masyarakat Hindu percaya mereka yang mandi di tempat suci ini
melihat kebenaran dari segala sesuatunya. Klostermaeir (dalam Titib, 2001:83) menyatakan
bahwa Tirthayatra adalah salah satu bentuk pelaksanaan tapa (pertapaan) dan penyucian diri
dengan jalan ziarah ke tempat-tempat suci. Tirthayatra memiliki kedudukan yang amat
penting dalam ajaran agama Hindu sehingga bagi orang kaya yang tidak pernah bersuci maka
mereka disebut orang miskin secara rohaniah.
Dengan demikian, sebuah kerajaan akan terlegitimasi kekuasaannya bila telah
melewati berbagai rangkaian ritual dan air serta sumber air yang menjadi salah satu
komponen ritual tentunya dianggap sebagai simbol kehidupan bagi sebuah kerajaan. Mereka
cenderung menjaga keberadaan sumber air untuk berbagai aktivitas keseharian, termasuk
mandi, minum, bersuci dan sebagainya. Walaupun tampak masih terlihat memiliki makna
magis religius, dapatlah dipahami bahwa sebenarnya air adalah komponen utama bagi
manusia dengan segala aktivitasnya. Mereka selalu memperebutkan wilayah yang dekat
dengan air karena dipandang daerah yang subur dan mereka cenderung mengembangkan
budaya mereka dalam suasana spasial yang agraris. Daldjoeni (1984:85) menjelaskan bahwa
air yakni sungai Brantas yang mengalir melewati Malang adalah sumbu kekuatan politik saat
itu karena hampir semua aktivitas perekonomian melalui jalur tersebut. Jika sebuah kerajaan
menguasai seluruh aliran sungai brantas dari hulu hingga hilir maka mereka akan mejadi
kerajaan agraris-maritim yang sejahtera.
Mata air atau sumber air atau sendang begitu disakralkan oleh masyarakat pendukung
kebudayaan tersebut. Sakral merupakan suatu kondisi dimana masyarakat memiliki suatu
aturan yang ditaati oleh anggota masyarakat itu. Durkheim (dalam Ritzer & Goodman,
2008:104) menjelaskan sesuatu yang sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah
kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam
suatu kelompok. Ikatan moral inilah menjadi ikatan kognitif atau pengetahuan dalam
masyarakat dari satu generasi ke generasi yang lain. Kesakralan ini akan memunculkan sikap
hormat, kagum, dan bertanggung jawab. Dengan demikian dalam konteks pola pikir
masyarakat pada sendang, mereka akan cenderung menjaga dan melestarikan sendang serta
menentang seseorang yang merusak kawasan suci tersebut.
Susilo (2008:97-98) memandang kondisi tersebut sebagai zaman ekologis dimana
manusia berperan sebagai bagian dari alam dan penjaga alam. Hubungan manusia dan alam
lebih bersifat biodiversitas dan melindungi keutuhan ekosistem. Lebih lanjut, manusia
cenderung beranggapan bahwa alam termasuk mata air sebagai benda yang bernyawa dan
alam dijadikan panggung yang sakral. Bagaimanapun juga pada itu masyarakat Jawa pada
Daya Wijaya

Page 7

umumnya dan Malang pada khususnya masih berkeyakinan kuat pada unsur-unsur animisme
dan dinamisme. Jika kawasan suci begitu dijaga karena proses sakralisasi maka banyak dari
raja-raja Hindu yang kemudian melegitimasikan dirinya sebagai titisan dari dewa sehingga
membuatnya dipuja rakyat atau umat seperti memuja dewa itu sendiri. Pengetahuan akan
kawasan yang dijaga dalam konteks kerajaan inilah yang kiranya memunculkan nasionalisme
yang religius. Nasionalisme religius ini berkaitan erat dengan pengetahuan kebangsaan rakyat
yang berlandaskan nilai-nilai agama (Hinduisme).
Pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Malang mulai memudar ketika Majapahit
runtuh yang dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan diantara para penguasa lokal (bhre) di
Malang. Banyak kemudian masyarakat Majapahit yang berpindah ke selatan yakni ke daerah
Malang Selatan yang kini dikenal sebagai daerah Jenggala atau Sengguruh Kecamatan
Kepanjen (di wilayah ini terdapat mata air Sumber Songo). Namun, eksistensi mereka tidak
berlangsung lama sebab kesultanan Demak dibawah pimpinan Arya Blitar berhasil
menyingkirkan orang-orang pelarian Majapahit di Malang. Hal ini kiranya juga didukung
oleh banyaknya masyarakat Jawa termasuk Malang yang cenderung untuk beralih pada
agama Islam (Vlekke, 2008:xix). Uraian sub-bab ini hanya membahas pola pikir dan sikap
masyarakat pada lingkungan dan air pada masa kerajaan yang berbasis pada agama Hindu
dan tidak membahas masyarakat Islam karena kesultanan Islam secara historis datang dan
berpengaruh bersamaan dengan pengaruh barat di Malang.
Pola Pikir dan Sikap terhadap Sendang masa Kolonial
Seperti apa yang dikemukakan dimuka bahwa Islam masuk dan menyebar bersamaan
dengan mulai mencengkeramnya kekuasaan barat di Indonesia yang dimulai dari Portugis
hingga Belanda maka terdapat dua sumbu budaya yang mulai menyebar ke seluruh nusantara
yakni Islam serta Liberalisme Barat. Walaupun Islam mulai masuk dan menyebar di
Nusantara mulai abad ke-7 melalui selat Malaka namun ketika Islam menyebar di Jawa
mereka menemui perbenturan dengan penetrasi barat di Jawa (Poesponegoro, 2008:335).
Islam dengan masyarakat pendukungnya seringkali menggunakan tanah pesisir sebagai
daerah utama kesultanan seperti Demak, Banten, Cirebon, atau Tuban. Mereka mencoba
untuk menguasai seluruh pesisir utara Jawa untuk menangkal penetrasi barat walaupun
nantinya juga mendapat tentangan dari Mataram Islam di satu sisi dan VOC di sisi yang lain.
Sedangkan, Malang berada dalam kekuasaan Mataram Islam setelah mereka berhasil
menguasai Pajang yang merupakan kelanjutan dari kesultanan Demak yang menguasai
Malang setelah runtuhnya Majapahit.
Daya Wijaya

Page 8

Mataram Islam kemudian mulai terpecah karena intrik politik di dalamnya yang kini
dikenal menjadi empat kesultanan yakni Ngayogyakarta, Kasunanan, Mangkunegaran, dan
Pakualaman dalam perjanjian Giyanti. VOC melihat celah intrik politik perebutan kekuasaan
ini kemudian diundang dan melakukan kerjasama dengan menggulingkan raja yang berkuasa.
Sebagai balasannya VOC diperbolehkan untuk mengelola beberapa bidang tanah dan
diijinkan untuk berdagang dengan masyarakat Jawa khususnya yang bermukin di kekuasaan
Mataram. Soekiman (2011:2) menjelaskan bahwa pada awalnya masyarakat Eropa tinggal di
kota-kota yang berada di hilir sungai yang berarti di daerah pesisir seperti Batavia, Surabaya,
dan Semarang. Namun, orang Belanda menganggap rumah-rumah itu kurang sehat karena
dibangun di atas bekas rawa-rawa. Kemudian mereka memindahkan tempat tinggal mereka
ke permukiman baru ke daeerah pedalaman Jawa termasuk Malang. Kini jejak-jejak mereka
masih tersisa pada perumahan di jalan Ijen. Mereka beranggapan bahwa ke daerah pedalaman
lebih baik dan sehat.
Ketika Mataram mulai melemah seperti yang diungkap dimuka serta hancurnya VOC
karena banyak anggotanya yang memilih untuk mementingkan diri mereka sendiri, kemudian
pemerintah kolonial Belanda yang pada waktu itu menjadi negara boneka Napoleon
mengambil alih Nusantara. Mereka mendapat tugas untuk menghalau Inggris di Jawa
walaupun pada akhirnya Inggris berhasil menguasai Jawa. Namun, ketika Belanda merdeka
serta berhasil mengadakan perundingan dengan Inggris maka Nusantara berada dalam
cengkeraman Belanda. Di Jawa sendiri sedang berkecamuk gerakan menentang kolonialisme
di bawah Pangeran Diponegoro. Pemerintah kolonial Belanda menghabiskan banyak dana
untuk memadamkan gerakan tersebut kemudian mereka membuat kebijakan untuk menutup
semua defisit negara. Kebijakan tersebut dikenal sebagai Tanam Paksa yang dilanjutkan
dengan Politik Pintu Terbuka dan Politik Ethis.
Malang sendiri mulai diperhatikan pemerintah ketika tanah disana cocok untuk
pengembangan perkebunan kopi sejak 1827 serta pengembangan industri Gula yang
beroperasi sejak 1870 (Hudiyanto, 2011:43-45). Dalam ketiga kebijakan diatas sumber daya
air termasuk mata air atau sendang digunakan untuk mengairi kepentingan ekonomi mereka
bukan hanya pertanian dan perkebunan namun juga industrialisasi. Disinilah air serta mata air
yang sebelumnya dipandang sakral mengalami proses profanisasi. Profanisasi atau
sekularisasi adalah suatu pemisahan antara agama dengan politik atau antara aspek rohani
dengan aspek duniawi. Aspek rohani adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan dan halhal diluar hubungan tersebut tidak seharusnya dikaitkan dengan agama. Sehingga semua hal
yang ada dalam dunia sudah sepantasnya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia
Daya Wijaya

Page 9

termasuk air serta mata air. Ironisnya dalam masa kolonial tersebut para pegawai pemerintah
tidak hanya berasal dari barat namun juga berasal dari pribumi yang meliputi pengawas
perkebunan, para pengontrol pekerja, hingga bupati.
Nampak kehadiran orang Belanda di Indonesia yang kemudian menjadi penguasa
mempengaruhui gaya hidup, bentuk rumah tradisional serta fungsi ruangannya dan lebih jauh
mempengaruhi tujuh unsur-unsur dalam kebudayaan Indonesia (Soekiman, 2011:2). Mata air
yang kini telah menjadi hal yang bersifat profan membuat manusia sebagai penakluk alam
dan cenderung mendominasi serta mengatur alam seisinya. Dengan kata lain, alam dianggap
hal yang menakutkan dan harus dieksploitasi agar berguna bagi pembangunan ekonomi
walaupun tidak memperhitungkan dampak negatifnya pada alam. Susilo (2008:97-98)
menyebut kondisi ini sebagai zaman industrial yang membuat manusia merasa lebih tinggi
posisi dibanding alam. Rasa nasionalisme yang nampak pada masyarakat Malang dan
Indonesia saat itu berbasis pada tujuan yang sama yakni sejahtera dengan memiliki basis
ekonomi yang cukup. Inilah yang kemudian menjadi embrio pragmatisme masyarakat
Indonesia yang tentunya terpengaruhi oleh Barat.
Pola Pikir dan Sikap terhadap Sendang masa Republik
Pada awal abad ke-20, industrialisasi barat telah mencapai puncaknya dengan
kapitalisme modern, mereka membutuhkan daerah pasar yang menjadi konsumen dari
barang-barang produksinya. Barang-barang yang murah dan berkualitas inilah yang masuk
pada masyarakat Indonesia. Barang murah dan berkualitas selalu menjadi buruan masyarakat
yang nantinya membuat usaha dalam negeri mati dan pemerintah tidak memiliki kekuasaan
apapun

didalamnya.

Walaupun

Soekarno

dengan

kekuasaan

terpusat

mencoba

menasionalisasikan begitu banyak perusahaan asing namun hal ini tidak berjalan lama karena
kran ekonomi liberal yang menjadi embrio pasar bebas terbuka. Hal ini terus terjalin dengan
berkuasanya Orde Baru walaupun terus mengampayekan ekonomi pancasila namun dalam
prakteknya masih menggunakan ekonomi liberal.
Kini pasar bebas menggunakan media teknologi dalam proses penyebarluasaan
barang dan jasa. Online shopping dan copyright industries adalah beberapa contoh dari
bentuk kapitalisme kontemporer sekaligus pasar bebas modern yang nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini terbukti bahwa di Amerika Serikat, industri yang mengekspor dan meraih
devisa terbesar tahun 1997 adalah copyright industries (Haryanto, 2006:65). Sebagai contoh,
jika sebagai penggemar Manchester United maka akan ditahui bahwa di sekitar stadion
terdapat toko resmi klub yang menjual berbagai atribut termasuk kostum klub (jersey), syal,
Daya Wijaya

Page 10

dan berbagai pernak-pernik lainnya. Saat mendekat dan mengamati kostum klub tanpa diduga
kostum tersebut made in Indonesia atau dibuat di Indonesia. Nampaknya telah terjadi
industrialisasi global disini dimana untuk menekan biaya produksi suatu barang dan menekan
upah pekerja yang murah maka diputuskan untuk membuat pabrik di negara berkembang
yang kiranya dipandang lebih murah dan hasil produksinya didistribusikan dengan harga
yang berkali-kali lipat dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia.
Hal ini juga didukung dengan berbagai kenyataan di lapangan yang menggunakan air
untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Setidaknya terlihat dalam praktek dari UndangUndang Republik Indonesia No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air juga memberikan
peluang merusak lingkungan, terutama ketika privatisasi akan disalahgunakan pemeruntah
sebagai policy untuk mencerabut hak-hak kolektif atas air yang merupakan milik masyarakat
karena undang-undang ini secara fundamental merekonstruksi prinsip penggunaan dan
penguasaan air di masyarakat. Penerapan UU tersebut akan memiliki konsekuensi yang
berpihak pada kepentingan segilintir orang. Air yang merupakan milik umum dan diperoleh
secara bebas akan dikuasai oleh negara dengan mensyaratkan perizinan. Penguasaan oleh
negara ini bisa didelegasikan pada pihak swasta dengan motif-motif komersial (Susilo,
2008:96).
Di malang kepemilikan sendang masih banyak yang belum jelas apakah dimiliki oleh
warga atau pemerintah seperti yang diulas dalam artikel Radar Malang “kondisi 577 sumber
air terancam”. Dinas pengairan belum dapat memastikan mana sendang yang dimiliki
perhutani dan warga bahkan terdapat penawaran tanah dan mata air di daerah Batu yang
dijual di situs rumahdijual.com. Sumber air yang seharusnya dijaga pemerintah dan
masyarakat malah diperjualbelikan. lebih lanjut, Pemerintah Kota Malang melalui Dinas
Pengairan tidak terlau menaruh perhatian pada keadaan sendang. Hal ini nampak dari
ketidakadaan data tentang mana sendang yang masih mengeluarkan air dan mana yang tidak.
Walaupun dalam uraian tersebut dijelaskan akan ada sebuah pemetaan serta tindak lanjut
konservasi sendang berupa penghijauan dan penjagaan lingkungan, namun hal ini tentunya
tidak akan menjadi optimal apabilatidak didukung oleh masyarakat sekitar. Hal ini
menggambarkan bagaimana karakter masyarakat yang sangat pragmatis.
Pragmatis disini bukanlah bertujuan pada kebermanfaatan secara umum namun pada
kepentingan secara ekonomis dan bersifat rekreatif. Hal ini nampak dari beberapa sendang
yang dimiliki pemerintah dalam Perhutani dan PDAM dialihfungsikan bukan sebagai cagar
budaya namun menjadi pemandian seperti apa yang terjadi pada sendang di Wendit milik
PDAM dijadikan pemandian; sendang Ken Dedes milik PDAM juga dijadikan pemandian
Daya Wijaya

Page 11

serta demikian pula yang terjadi pada sendang di Sumber Awan. Kini nampaknya makna
pelestarian sendang mengalami penyempitan makna dari yang hanya dijaga menjadi
dimanfaatkan.

Penutup
Pola pikir dan sikap manusia selalu berkembang sesuai dengan keadaan masyarakat
dan bisa jadi dipengaruhi oleh keadaan politik suatu pemerintahan. Begitu pula pola pikir
masyarakat Malang berubah dari masa kerajaan, masa kolonial, hingga masa republik pada
sendang dan lingkungan. Pola pikir yang seharusnya dimiliki yakni nasionalisme dalam

upaya membangun Malang dan bangsanya juga mengalami pergerakan yang fluktuatif.
Nasionalisme sebagai pengetahuan, strategi, dan tujuan dalam menjaga lingkungan dan
membangun bangsanya. Masyarakat Malang yang berjiwa nasionalis sewajarnya menjadi
perancang keberlanjutan lingkungan sendang serta yang terpenting adalah mengubah pola
pikir dan sikap untuk mencegah pencemaran lingkungan pada sendang.

Daya Wijaya

Page 12

Daftar Pustaka

Anshory, Nasruddin. Bangsa Inlander: Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara. Yogyakarta:
LkiS, 2008
Berger, Peter L & T. Luckmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990
Daldjoeni, N. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni, 1984
Diamond, Jared. Collapse: Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia. Jakarta: KPG, 2014
Grosby, Steven. Nasionalisme: Makna Bangsa dan Tanah Air di Antara Konflik dan Bangsa.
Surabaya: Portico Publishing, 2010
Haryanto, Ignatius. Menimbang Kembali Imperialisme Kultural dalam Konteks Globalisasi
Kebudayaan Awal Abad 21. Dalam Mudji Sutrisno. Cultural Studies: Tantangan Bagi
Teori-Teori Besar Kebudayaan. Depok: Koekoesan, 2006
Hudiyanto, Reza. Menciptakan Masyarakat Kota: Malang di Bawah Tiga Penguasa 19141950. Yogyakarta: Lilin, 2011
Hudiyanto, Reza. Mengungkap Unsur Air dalam Sejarah Kota Malang: Pengelolaan
Asenering, dan Gorong-Gorong Kota 1914-1949. Makalah disampaikan pada
Seminar Sejarah Kota Malang tanggal 29 April 2012 di Aula Utama A3 Lt.2
Universitas Negeri Malang
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
Kurniawan, Hery. Ancaman Bahaya Air yang Tercemar. Makalah disampaikan pada Seminar
Sejarah Kota Malang tanggal 29 April 2012 di Aula Utama A3 Lt.2 Universitas
Negeri Malang
Mokoginta, Lukman. Bumi Bukan Milik Kapitalis.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2009
Muljana, Slamet. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LkiS, 2006
Poesponegoro, MD & N. Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan
dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
2008
Radar Malang. Kondisi 577 Sumber Air Terancam. 23 Januari 2014
Ritzer, George & Douglas Goodman. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosiologi Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2008
Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta:
Komunitas Bambu, 2011
Suprapta, Blasius. “Kilas Balik Lintasan Sejarah di Kawasan Dataran Tinggi Malang: Masa
Prasejarah hingga Akhir Masa Kerajaan Singhasari”. Nur Hadi & Dewa Agung (Eds).
Seabad Kebangkitan Nasional: Perubahan dan Kesinambungan dalam Sejarah
Indonesia.Malang: Penerbit Cakrawala, 2008
Susilo, Rachmad. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008
Suwarno. Sejarah Politik Indonesia Modern.Yogyakarta: Ombak, 2012
Titib, I Made. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita, 2001
Vlekke, Bernard. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Freedom Institute, 2008
Wibisono, Gunawan. Sejarah Sanitasi Kota Malang. Makalah disampaikan pada Seminar
Sejarah Kota Malang tanggal 29 April 2012 di Aula Utama A3 Lt.2 Universitas
Negeri Malang
Wijaya, Daya. Teori dan Praksis Sejarah Gagasan. Yogyakarta: Kanisius, 2013
Daya Wijaya

Page 13

Daya Wijaya

Page 14