analisis pengaruh pengaihan BPHTB dan PB

Policy Paper

ANALISIS PENGARUH PENGALIHAN BPHTB
DAN PBB-P2 KE DAERAH TERHADAP
INVESTASI DI INDONESIA
Disusun Oleh : Tatu Cholisoh
1106022736

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
2014

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI .............................................................................................................

2

I.Ringkasan Eksekutif ..............................................................................................

3


II.Latar Belakang......................................................................................................

4

III.Analisis .................................................................................................................

5

3.1

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) .............................

5

3.2

Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) ....................

6


3.3

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ...................................................................

6

3.4

Pengaruh Pengalihan BPHTB dan PBB-P2 terhadap Investasi.....................

6

3.5

Penetapan NJOP dan NPOP ........................................................................

8

IV.Kesimpulan .........................................................................................................


8

V.Saran ......................................................................................................................

9

Apendix .....................................................................................................................

10

Daftar Pustaka ..........................................................................................................

11

2

I.

Ringkasan Eksekutif
Berangkat dari upaya pemerintah dalam memperbaiki jenis dan struktur pajak daerah,

meningkatkan pendapatan daerah maka dibentuklah Undang – Undang Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam undang – undang ini ditetapkan bahwa
pemungutan dan pengelolaan BPHTB dan PBB-P2 dialihkan dari pusat ke daerah. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan pendapatan pemerintah lewat kemandirian pemerintah daerah
dalam mengelola pajak daerah serta menindak lanjut tujuan desentralisasi fiskal dan penataan
sistem perpajakan nasional.
Pelaksanaan peralihan pungutan kedua jenis pajak ini tidak dilakukan secara
bersamaan. Peralihan BPHTB telah lebih dulu dilakukan pada awal tahun 2011, namun dirjen
pajak masih memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mempersiapkan diri hingga 31
desember 2013. Sehingga, di awaltahu 2014 seluruh daerah sudah harus mengelola BPHTB
sendiri sekaligus mengelola PBB-P2.
Dengan adanya pengalihan wewenang ini, masih terdapat perdebatan mengenai tata
cara pelaksanaan dan penentuan NJOP dan NPOP bagi setiap daerah yang pastinya akan
berbeda – beda di setiap daerah. Telah jelas dalam undang – undang bahwa pemerintah
daerah diberi kebebasan dalam menentukan NJOP maupun NPOP. Dimana NPOP dicatat
minimal 60 juta. Nilai ini tentu dirasa berat bagi daera yang memiliki prospek investasi
propeti yang kecil.
Dengan adanya permasalahan ini, tentu perlu dilakukan pengkajian mengenai
peraturan daerah dan pelaksanaan yang perlu dilakukan. Hal yang perlu dilakukan dalam
mengatasi permasalahan ini adalah :

1. Meningkatkan sumber daya manusia dalam melakukan pelayanan pajak di daerah;
2. Menggunakan seseorang yang ahli dalam menentukan NJOP dan NPOP untuk suatu
daerah;
3. Melakukan pembicaraan yang mendalam antara pemda dan DPRD dalam menentukan
NJOP dan NPOP;
4. Pemutakhiran NJOP dengan mempertimbangkan nilai “Zona Nilai Tanah” untuk
menghasilkan NJOP yang mendekati nilai transaksi sekaligus menghindari transaksi
diam – diam.
3

5. Melakukan sosialisasi terlebih dahulu ketika akan melakukan dan menetapkan
kebijakan, karena, biasanya para pembisnis tidak menginginkan sesuatu yang
dilakukan secara mendadak karena akan memicu adanya spekulasi pendapat.
6. Meningkatkan sarana dan prasarana untuk mempermudah dalam melakukan
pendataan, penagihan, dan pneghitungan besaran pajak yang terutang.

II.

Latar Belakang
Berawal dari beberapa kebijakan fiskal pemerintah dalam melaksanakan fungsinya


untuk menjaga stabilitas ekonomi dan pendistribusian pendapatan yang merata, pemerintah
selalu melakukan evaluasi dan pembaran – pembaruan kebijakan dan peraturan terkait
dengan pendapatan – pendapatan yang selama ini diterima dari pajak. Saat ini, berita yang
tengah gencar diperbincangkan di public adalah adanya kegiatan pemerintah dalam hal
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam menacapai tujuan kebijakan ini,
saat ini yang sedang hangat adalah adanya pengalihan pemungutan PBB-P2 dan BPHTB,
dimana pada awalnya pajak ini dikelola oleh pemerintah pusat namun sekarang pemerintah
daerah harus mengelola sendiri pajak tersebut. Kebijakan ini dimuat dalam Undang – Undang
Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan pengalihan atas
BPHTB sudah dimulai sejakawal tahun 2011 namun masih hanya sebagian hingga 1 januari
2014 seluruh daerah sudah harus mengelola BPHTB, serta PBB-P2 baru dilaksanakan pada
awal 2014.
Dalam pengalihan wewenang ini, diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan dari
desentralisasi fiskal, diantaranya yaitu:
1)

Mengurangi kesenjangan fiskal antara Pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance), dan
antar daerah (horizontal fiscal imbalance).


2)

Memperkecil kesenjangan pelayanan publik antar Daerah (Public Service Provision
Gap).

3)

Mendukung kesinambungan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam kebijakan ekonomi
makro.

4)

Meningkatkan kapasitas Daerah di dalam menggali potensi Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
4

5)

Meningkatkan efisiensi sumber daya nasional


6)

Memberikan kewenangan kepada daerah dalam menentukan tariff pajak

7)

Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrument penganggaran dan pengaturan daerah
Dengan adanya pengalihan ini, banyak yang mengatakan bahwa kebijakan ini sudah

benar dilakukan, namun implementasi dari kebijakan ini tidak kalah penting bagaimana
kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tujuannya dalam desentralisasi
fiskal yang merupakan bagian dari agenda kebijakan fiskal. Selain itu, dengan adanya
kebijakan ini, setiap daerah berhak dalam menentukan tariff pajak yang berlaku sehingga
mempengaruhi intensitas investor dalam melakukan investasi. Terutama dalam penentuan
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) di sebagian daerah dirasa terlalu
tinggi yaitu paling rendah sebesar 60 juta rupiah dan 10 juta untuk PBB-P2, jika daerah
tersebut memiliki prospek investasi yang kecil. Serta penetapan tariff dasarnya yaitu
maksimal 5% untuk BPHTB dan 0,3% untuk PBB.
Dari berbagai masalah tersebut, dapat kita analisa bagaimana peraturan baru ini dapat
mempengaruhi intensitas investor dalam berinvestasi di daerah – daerah yang ada di

Indonesia.
III.

Analisis
Analisis mendalam terkait nilai BPHTB, PBB-P2 dan tariff – tariff dasarnya sangatlah
penting untuk mengetahui secara keseluruhan. Nilai dan tariff tersebut lah menjelaskan dan
mempengaruhi intensitas investor dalam melakukan investasi. Berikut pemaparan secara
jelasnya:
3.1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak (UU No. 20
tahun 2000). Perolehan hak atas tanah dan bangunan ini meliputi 2 cara, yaitu :
1. Pemindahan hak karena, jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris,
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan

5

hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan
usaha, pemekaran usaha, dan hadiah.

2. Pemberian hak baru, karena kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak
Sedangkan, hak atas tanah yang dimaksud meliputi, hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.
3.2. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.

3.3. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek
Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai
perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti. Jika Nilai Perolehan Objek Pajak
sebagaimana tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang
dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
NJOP untuk BPHTB maupun PBB-P2 tersebut ditetapkan oleh masing – masing kepala
daerah. Dalam penentuan NJOP ini lah yang akan menentukan intensitas investor dalam
melakukan investasi pada setiap daerah yang berbeda – beda maka berbeda pula NJOPnya..

3.4.Pengaruh Pengalihan BPHTB dan PBB-P2 terhadap Investasi
Seperti yang telah diakui bahwa setiap tahunnya nilai dari suatu tanah dan bangunan
selalu mengalami peningkatan dalam hal NJOP maupun NPOP nya yang disebabkan semakin
meningkatnya harga pasar, permintaan, dan kepadatan penduduk suatu daerah terutama pada
daerah – daerah yang selalu mengalami kemajuan nilai tanah atau bangunan. Antara BPHTB
dan PBB-P2 , keduanya ini sangat berkaitan erat dalam perolehan hak atas tanah dan
bangunan serta adanya jual beli, sewa, atau transaksi lainnya dalam hal perpajakan.
Jika dilihat dari tren yang ada pada tahun – tahun sebelumnya, terlihat sekali bahwa
industri property di tahun 2004 sampai 2013 selalu mengalami kenaikan. Dapat dilihat dari
6

perkembangan dari konstruksi, pembangunan hotel, dan real estate yang selalu mengalami
kenaikan. Selain itu, dapat dilihat juga dari Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
(PMTDB) yang berasal dari bangunan menunjukkan tren yangs selalu meningkat setiap
tahunnya. Namun, di awal 2014 PMTBD dari bangunan tersebut mengalami penurunan
sebesar 25% dan efek dari ini terhadap industri property diperkirakan akan mengalami
kemerosotan ditahun – tahun berikutnya.
Peraturan atas pengalihan BPHTB ke daerah telah berlangsung sejak tahun 2011, namun
dri 492 daerah hanya terdapat sekitar 160 daerah yang siap memungut pajak ini. Sisanya
sebanyak 108 daerah masih dalam proses penyiapan perda dan 224 daerah masih belum siap.
Dengan belum adanya kesiapan pemerintah ini seolah olah menjadi daya tarik bagi investor
untuk mengembangkan atau melakukan investasi propertinya karena pemerintah daerah tidak
boleh memungut BPHTB sebelum adanya perda yang jelas.
Namun, dengan adanya peraturan yang baru ini yang mengatakan bahwa tariff yang ada
dapat ditentukan oleh masing – masing daerah, tentu akan adanya kurangnya pengawasan
dari pemerintah pusat mengenai penerimaan pajak daerah. Dengan adanya hal semacam ini,
jika kurang adanya kontrol akan menyebabkan potensi kerugian bagi penerimaan Negara dan
kerugian bagi konsumen, terutama bagi investor Indonesia.
Tujuan dari pengalihan ini adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan
mendorong desentralisasi fiskal dengan adanya kemandirian daerah dalam mengelola
pajaknya sendiri serta meningkatkan pendapatan daerah. Namun, jika masing – masing
daerah belum siap dalam mengelola pajak – pajak ini dan belum adanya peraturan daerah
yang jelas yang mengaturnya, investor property akan memanfaatkan keadaan ini dan akan
menimbulkan potensial loss bagi daerah. Pemberian kebebasan tariff bagi setiap daerah
terutama pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) akan menimbulkan suatu keguncangan bagi
masyarakat jika pemerintah daerah menetapkan NJOP tersebut melebihi nilai wajarnya. Jika
sudah menjadi ketetapan maka siapapun tidak dapat menolak dari hasil ketetapan tersebut.
Hal ini lah yang dapat membuat kemerosotan investasi suatu usaha property di Indonesia,
padahal selama beberapa tahun ini industri property Indonesia sudah mengalami kemajuan.
Menrut Ketua Dewan Pimpinan Pusat REI Setyo Maharso mengungkapkan bahwa iklim
investasi saat ini belum seperti yang diharapkan oleh pengembang mislanya kendala
peralihan kewenangan penarikan BPHTB yang menyebabkan terhambatnya transaksi akibat
keraguan BPN untuk memvalidasi sertifikat. Kemudian ketika pengembang baru mau
berinvestasi ke daerah sudah langsung dibebani dengan berbagai retribusi yang masuk ke
PAD sehingga meberatkan cash flow pengembang itu sendiri. Dengan keadaan seperti ini lah,
7

akan adanya tindakan semena – mena dari pelaku pemerintah daerah jika tidak dilakukannya
kontrol oleh pemerintah pusat.
Jika pemerintah daerah dapat menaikan nilai NJOP namun tidak melakukannya, tentukan
akan terdapat respon positif bagi masyarakat dan keuntungan pun akan didapatkan oleh
masyarakat, investor dan untuk pendapatan daerah yang bersangkutan juga. Oleh karena itu,
perlu ditetapkannya peraturan daerah yang menetapkan tariff dan nilai wajar pasar yang
pantas bagi setiap daerah.

3.5.Penetapan NJOP dan NPOP
Telah dijelaskan dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 bahwa penetapan Nilai
Jual Objek Pajak bagi PBB-P2 ditetapkan oleh kepala daerah masing – masing serta Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) minimal adalah 60 juta untuk BPHTB. Setiap pemerintah
daerah berwenang dalam menentukan besarnya NJOP dan NPOP untuk setiap tanah dan
bangunan yang terdapat di daerah tersebut. Pemda perlu berhati – hati dalam menentukan
kebijakan tariff ini. Diperlukan kajian yang mendalam untuk menentukan besarnya tariff
yang akan diterapkan. Perlu adanya perundingan dengan DPRD sebagai pihak legislator yang
kemudian diterapkan dalam bentuk perda.
Namun sampai saat ini, banyak daerah yang masih belum siap dalam melakukan
pemungutan dan pengelolaan BPHTB dan PBB-P2 ini karena beberapa alasan, yaitu
kurangnya Sumber Daya Manusia, infrastruktur, teknologi, dan belum dibuatnya peraturan
yang jelas pada sebagian daerah sehingga masih menimbulkan kesenjangan pendapatan antar
daerah.

IV.

Kesimpulan
Setelah menganalisa mengenai peraturan yang baru mengenai pengalihan pemungutan
BPHTB dan PBB-P2 dari pusat ke daerah yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 28
tahun 2009, ternyata masih terdapat kekurangannya jika dikaitkan dengan dampaknya
terhadap investasi pada suatu daerah. Namun walaupun begitu, peraturan tetap lah peraturan
yang harus dijalankan oleh setiap masyarakat dan pemerintah daerah berkewajiban
menjalankan

wewenang

tersebut

meskipun

masih

terdapat

daerah

yang

belum

mempersiapkan segala hal untuk mendukung kegiatan tersebut.
Dalam Undang – Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, disebutkan bahwa mengenai tariff dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) serta Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) bebas ditentukan oleh masing – masing pemerintah daerah.
8

Hal ini lah yang masih menjadi perdebatan dalam menentuka NJOP dan NPOP yang layak
dan sesuai dengan nilai pasar. Karena, harus dilakukan analisis yang mendalam dan
pembicaraan yang intensif dengan DPRD untuk menentukan kedua nilai tersebut. Serta
memerlukan seseorang yang ahli dalam menilai NJOP yang sesuai dengan suatu daerah dan
tidak merugikan banyak pihak.
Dengan NPOP minimal 60 juta bagi BPHTB dirasa terlalu besar bagi daerah yang
memiliki prospek kurang baik dalam investasi property. Nilai ini tentu merupakan angka
yang harus diwaspadai oleh masyarakat, tidak hanya investor tapi juga warga Indonesia yang
memerlukan tempat tinggal di suatu daerah. Karena nilai ini bisa menjadi lebih besar lagi
sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah.

V.

Saran
Setelah memahami bahwa peraturan yang baru mengenai pengalihan PBB-P2 dan
BPHTB ke daerah memiliki dampak besar terhadap jalannya industri investasi property di
Indonesia, maka penulis memberikan rekomendasi kepada pemerintah khususnya pemerintah
daerah sebagai berikut.
1. Meningkatkan sumber daya manusia dalam melakukan pelayanan pajak di daerah;
2. Menggunakan seseorang yang ahli dalam menentukan NJOP dan NPOP untuk
suatu daerah;
3. Melakukan pembicaraan yang mendalam antara pemda dan DPRD dalam
menentukan NJOP dan NPOP;
4. Pemutakhiran NJOP dengan mempertimbangkan nilai “Zona Nilai Tanah” untuk
menghasilkan NJOP yang mendekati nilai transaksi sekaligus menghindari
transaksi diam – diam.
5. Melakukan sosialisasi terlebih dahulu ketika akan melakukan dan menetapkan
kebijakan, karena, biasanya para pembisnis tidak menginginkan sesuatu yang
dilakukan secara mendadak karena akan memicu adanya spekulasi pendapat.
6. Meningkatkan sarana dan prasarana untuk mempermudah dalam melakukan
pendataan, penagihan, dan pneghitungan besaran pajak yang terutang.

9

Appendix
Tren peningkatan investasi property tahun 2004 sampai 2013
300000.00
250000.00
200000.00
d. Real Estat
150000.00

b. Hotel
5. Konstruksi

100000.00
50000.00
0.00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

PMTDB tahun 2010 sampai kuartal 1 2014

PMTDB
600000
500000
400000
300000

PMTDB

200000
100000
0
1

2

3

4

5

10

Daftar Pustaka
Jurnal Acuan :
Slamet, Budiman. “Evaluasi Kesiapan Pemerintah Daerah Dalam Mengelola PBB-P2”, 2013.

Jurnal Pendukung :


Sunyoto, dan Eri Hidayanti. “Pelimpahan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan
dan Perkotaan (PBB-PP) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)



Menjadi Pajak Daerah, Antara Peluang dan Tantangan”,2011.

Tim Asistensi KemenKeu. “Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB ke daerah
terhadap Kondisi Fiskal Daerah”, Kementrian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal,



2012.



Retribusi Daerah





Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

http://www.mirror.unpad.ac.id/koran/bisnis/2011-01-22/bisnis_2011-01-22_020
http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan
http://www.pajak.go.id/content/article/harga-pasar-wajar-atau-njop
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=11¬ab=3

11