project ilmu Negara memahami negara

Selasa, 201216.09:00

“Negara”
Oleh: Rio Heykhal Belvage

Dilihat dari perspektif hegelian, peristiwa yang menguras akal sehat hari2 ini mulai
dari tindakan intoleransi sampai tren pengantin bom bukanlah sebuah kenyataan sosial
yang final. Ia hanyalah bagian kecil dari proses panjang sejarah. Ibarat tunas dari buah
kelapa, bom dan intoleransi adalah tunas yang sedang tumbuh menjadi pohon. Tujuan
akhirnya, tentu saja bukan menjadi tembok, tapi pohon.
Yang dimaksud dengan hegelian di atas adalah “cara memandang sebuah dunia”
yang identik dengan pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Kekhasan dari sudut
pandang ini adalah pembayangan tentang adanya “yang ideal”, kesempurnaan (sebuah
negara paripurna), yang tidak lain adalah cerminan dari ketidaksempurnaan tatanan
sosial yang ada pada saat ini, di detik ini.
Mengapa bisa seperti itu? Mudah jawabnya. Yakni dengan menengok kembali cita2
mendirikan negara Indonesia yang termaktub di dalam UUD 1945, dan kemudian
membandingkan dengan aksi-aksi kekerasan dan penggusuran yang terjadi dewasa ini.
Setelah setengah abad lebih, apakah cita2 itu sudah dicapai? Tentu belum (kalau tidak
ingin menyebutnya semakin jauh panggang dari api). Salah satu penyebabnya, tidak
semua kelompok sosial punya idealitas seragam tentang bagaimana mestinya sebuah

negara dijalankan. Artinya, sudut pandang hegelian yang mengasumsikan terdapat
idealitas seragam tentang “negara paripurna” itu gagal melihat kedalaman realitas
sosial. Karena yang dibayangkan sebagai “yang ideal” itu rupanya tidak hanya satu,
melainkan jamak. Masing-masing kelompok memiliki idealitasnya sendiri-sendiri,
sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Bila pandangan hegelian ini dipaksa-terapkan
dengan standar operasional yang kasar oleh pihak-pihak yang memiliki akses
kekuasaan, maka sejarah akan memperlihatkan kepada zaman ini bahwa sudah
menjadi kepastian akan tumbuh bibit-bibit fasisme yang mengacaukan tatanan sosial.
Sebagaimana yang terjadi di Jerman pada jaman Nazi atau Mussolini di Italia.
Tapi itu baru satu perspektif saja, tentang bagaimana penampakan negara saat
dipandang dari sudut tertentu.

1

Akan lain tampilannya kalau menggunakan perspektif hobbesian. Pemikiran ini
identik dengan filsafat Thomas Hobbes yang terkenal dengan diktumnya: “Bellum
Ominium Contra Omnes” (perang semua melawan semua). Dalam sudut pandang
tersebut, kekacauan sosial seperti hari2 ini itulah yang justru dibutuhkan oleh negara
untuk membuat masyarakat sipil berharap akan kehadiran negara. Tujuannya supaya
negara meredam kekacauan itu. Istilah lain biasa menyebutnya “Leviathan”. Dengan

itu, maka terbukalah peluang bagi kekuasaan untuk hadir, dan tentu saja memberikan
legitimasi kepada negara yang terbagi ke dalam lembaga2 untuk memproduksi aturan
dalam kehidupan bermasyarakat (top-down, bukan bottom-up). Pergulatan yang
berlangsung di wilayah ini adalah pergulatan antara pihak-pihak yang pro terhadap
demokrasi dengan kekuatan warga sipilnya dan otoritarianisme yang melambangkan
kekuatan negara/penguasa atas rakyat sipil.
Fenomena semacam itu dapat ditemui misalnya, di dalam penelitian Robert Hefner
berjudul “Civil Islam”. Teknik pemerintahan hobessian ini digambarkan oleh Hefner
berlaku pada saat situasi negara sedang berada di titik lemah. Seperti ketika turunnya
presiden Orde Baru di tahun 98. Kekacauan terjadi di banyak daerah di Indonesia
dengan beragam motif, dari isu ras, agama, ninja sampai dukun santet. Dengan kajian
historisnya, Hefner menunjukkan bahwa kekacauan sosial ini tidaklah terjadi secara
alami, melainkan merupakan bagian dari desain yang memang sengaja dibuat oleh
pihak-pihak tertentu agar saat kondisi sosial sudah kacau-balau, masyarakat sipil akan
mendambakan kembali peran rezim Orde Baru. Gejala ini dapat ditemukan misalnya,
melalui guyonan stiker atau poster yang menggambarkan wajah presiden Orde Baru
sedang tersenyum dengan tulisan: “Piye le, sek penak jamanku tho?”.
Tetapi yang jadi masalah saat menggunakan perspektif hobessian ini, adalah reduksi
mentah-mentah “para aktor” dengan pengandaian bahwa hanya terdapat dua agensi
saja: yaitu negara dan rakyat, yang keduanya saling diperlawankan. Padahal di dalam

apa yang diidentifikasi sebagai rakyat itu sendiri, terdapat afiliasi-afiliasi politik yang
beragam. Begitu halnya dengan para penyelenggara negara yang meliputi eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Karena pelaksana pemerintahan adalah juga manusia, maka
menjadi keniscayaan bila ia juga punya idealitas beragam tentang negara ideal itu.
Pandangan semacam ini menjadi semakin pelik bila penyelenggara negara di dalam
prosesnya sampai bisa punya akses dan kedudukan menyelenggarakan negara lantaran
mendapat dukungan massa dari kelompok sosial tertentu. Artinya, ia tidak berdiri di
2

atas semua golongan. Dan inilah lobang hitam bagi negara yang dideterminasi politik
aliran dan oligarki kapitalistik. Titik ini sekaligus menunjukkan adanya kelemahan
dari sistem demokrasi bilamana ia diterapkan pada masyarakat dengan budaya feodal
yang masih kuat. Karena penunjukan seorang pemimpin yang dihitung dari jumlah
suara terbanyak, dengan sendirinya memperkecil kemungkinan pemimpin untuk dapat
berdiri di atas semua golongan.
Bila di atas telah dibahas perspektif hegelian dan hobessian, maka lain lagi dengan
konsep negara berdasarkan pandangan marxian. Perspektif ini identik dengan metode
berpikir Karl Marx yang disalahgunakan untuk tujuan politik praktis. Mengandaikan
bahwa negara adalah alat produksi bagi kaum borjuis yang menguasai kaum proletar.
Kata kuncinya adalah dominasi. Tetapi pandangan ini juga bukanlah pandangan yang

bebas dari masalah, karena kenyataan sejarah menunjukkan bahwa tatanan sosial yang
berusaha mewujudkan negara berdasarkan pandangan marxian pun nyatanya juga
menyisakan trauma tersendiri. Sementara sekian dulu. Nanti dilanjut lagi. Dan untuk
jeda tulisan ini, ada baiknya kalau memutar lagu Iwan Fals yang berjudul "Negara".

3