Problematika Pelaksanaan Putusan Pengadi. docx

UNIVERSITAS INDONESIA
Problematika Pelaksanaan Putusan Pengadilan Administrasi Negara Yang Berkekuatan
Hukum Tetap Dalam Sengketa Kepegawaian

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradilan Administrasi Negara
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H.

Fazari Zul Hasmi Kanggas
NPM : 1706084424
KELAS HTN PAGI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Negara Hukum
2. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
3. Bentuk-Bentuk Putusan
B. Rumusan Masalah


1
1
3
5
7

BAB II PEMBAHASAN
A. Kendala-kendala dalam menjalankan putusan pengadilan
A.1. Pelaksanaan Putusan Bersifat Sukarela
A.2. Lembaga Eksekutorial Khusus
B. Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor:

7
9
12

152/G/2009/PTUN.SBY Tentang Pemberhentian Sekretaris Daerah 12
BAB III PENUTUP (SIMPULAN DAN SARAN)
A. Simpulan

B. Saran

16
16

0

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah seharusnya Badan/Pejabat Tata Usaha Negara mematuhi putusan
pengadilan jika gugatan dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara,
karena putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap. Jika gugatan
dikabulkan, tentunya mengandung unsur kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan
oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Tetapi yang terjadi justru
berbagai kesulitan timbul dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
tersebut. Bagaimana jika Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tersebut enggan untuk
menjalankan putusan? Apa yang dapat dilakukan pihak pengadilan untuk memaksa
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk menjalankan putusan?
Kesulitan tersebut serasa semakin kompleks khususnya dalam sengketa kepegawaian,
karena dalam sengketa tersebut ada kewajiban rehabilisasi. Faktor yang paling

mempengaruhi terhadap tidak terlaksananya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
karena pengadilan tidak memiliki lembaga eksekotorial secara khusus.
1. Negara Hukum
Dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu
konsekuensi negara yang mengakui dirinya sebagai negara hukum1. Berdasarkan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara indonesia
adalah negara hukum. Beberapa sarjana hukum memberikan penjelasan secara
mendalam akan unsur-unsur negara hukum di dalam teori-teorinya. Menurut
Freidrich Julius Stahl dalam konsep negara hukum (rechtsstaat) memiliki beberapa
unsur-unsur, yaitu (1) perlindungan akan hak asasi manusia, (2) adanya pemisahan
atau pembagian kekuasan untuk menjamin hak-hak tersebut, (3) pemerintahan
1 Walaupun ada berbedaan antara konsep negara hukum reshsstaat dan rule of law. Dalam
pandangan rule of law tidak menghendaki adanya peradilan administrasi, karena lebih menonjolkan
prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Tapi dalam pandangan reshsstaat,
peradilan administrasi diperlukan sebagai bentuk perlindungan akan hak asasi manusia terhadap
tindakan pemerintah yang sewenang-wenang. Penjelasn lebih lanjut dapat dilihat S.F. Marbun,
Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, hal. 10-11

1


berdasarkan peraturan perundang-undangan, (4) adanya peradilan administrasi dalam
menyelsaikan perselisihan. Adapun negara hukum (rule of law) menurut A.V Dicey
memiliki unsusr-unsur; (1) supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law),
(2) kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law), (3)
terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang atau undang-undang dasar, serta
dalam putusan-putusan pengadilan.2
Ada persamaan dan perbedaan unsur-unsur negara hukum dalam konsep
rechtsstaat milik Stahl dengan konsep rule of law milik Dicey. Diantara persamaanya
adalah unsur pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (dalam
rechtsstaat) dengan unsur supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law)
yang berangkat dari persamaan keinginan untuk memberikan perlindungan dan
peghormatan terhadap hak asasi manusia.3 Itu artinya segala bentuk tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah yang mencangkup tindakan pemerintah dalam lapangan
pengontrolan dan lapangan pelayanan harus berlandaskan dengan hukum (asas
legalitas) atau harus memilki dasar hukum, pemerintah tidak akan dapat melakukan
tindakan pemerintahan tanpa adanya kewenangan.
Asas legalitas dalam menjalankan pemerintahan terkadang tidak dapat
dijalankan sepenuhnya dalam negara yang menganut negara kesejahteraan (walfare
state). Secara alamiah, terdapat perbedaan pergerakan dalam negara hukum dan
negara kesejahteraan. Dalam negara hukum segala bentuk tindakan pemerintah harus

berlandaskan pada undang-undang atau peraturan yang ada, tetapi dalam negara
kesejahteraan pemerintah dituntut untuk melakukan pelayanan publik dalam
menyelsaikan berbagai persoalan di masyarakat. Pembuatan undang-undang atau
peraturan membutuhkan waktu yang relatif lama dan berjalan lambat, sedangkan
persoalan yang ada di masyarakat terus berkembang dan berjalan sangat pesat.

2 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik ,(Jakarta: Gramedia, 1982), hal 57-58
3 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia,
(Yogyakarta: FH UII Press, 2015, cetakan ke-4), hal. 10

2

Maka di dalam negara kesejahteraan (walfare state), pemerintah terkadang
melakukan tindakan freies emessen, yaitu kewenangan pemerintah yang bebas dan
sah untuk ikut campur dalam kegaitan sosial guna menjalankan tugas-tugasnya
menyelenggarakan kepentingan umum. Adanya freies emessen atau kewenangan
bebas (discresionare power) merupakan bentuk yang wajar dalam konsekuensi negara
kesejahteraan, tetapi hal tersebut juga akan menimbulkan permasalah baru,
Kewenangan bebas jika tidak adanya batasan-batasan yang jelas akan menimbulkan
penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan

pemerintah, sehingga akan merugikan warga negara. Guna membatsi akan freies
emessen tersebut, dalam konsep negara hukum, membutuhkan pengawasan yang
dijalankan oleh lembaga peradilan. Lembaga peradilan tesebut haruslah bebas dan
mandiri, dalam artian benar-benar tidak memihak dan tidak dibawah pengaruh
eksekutif. 4
2. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
Dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara merupakan perwujudan dari
konsep negara hukum.5 Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai peranan yang
menonjol yaitu sebagai lembaga kontrol (pengawas) terhadap jalannya fungsi
eksekutif, lebih khususnya terhadap tindakan Pejabat Tata Usaha Negara agar tetap
berada dalam koridor aturan hukum, di lain sisi, Peradilan Tata Usaha Negara juga
sebagai wadah untuk melindungi hak individu dan warga masyarakat dari perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh para Pejabat Tata Usaha Negara.6 Sehingga
tercapainya keserasian, selarasan, keseimbangan, serta dinamisasi dan harmonisasi
hubungan warga negara dengan negara dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara.
Harmonisasi yang mencangkup anatara negara dan warga negara akan adanya

4 Ismail Rumadan, “Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara,” Jurnal
Hukum dan Pembangunan 1 (November 2012): 442
5 Lihat kondiserran butir (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara
6 Lihat Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara, hal 184-194 mengenai
pembagian fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dan prinsip penyelenggaraan hukum.

3

jaminanan nilai-nilai keadilan dalam sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh pejabat publik terhadap warga negara.
Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi yudisial (judicial control),
Peradilan TUN memiliki ciri-ciri pengawasan sebagai berikut:7
1) Pengawasan yang dilakukan bersifat “extra control” karena Peradilan
TUN merupakan lembaga yang berada di luar kekuasaan pemerintahan.
2) Pengawasan yang dilakukan lebih menekankan pada tindakan represif atau
yang lazim disebut dengan “control a posteriori”, karena selalu dilakukan
sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol.
3) Pengawasan itu bertitik tolak pada segi legalitas, karena hanya menilai
dari segi hukum (rechmatigheid)-nya saja.
Landasan akan adanya Peradilan Tata Usaha Negara adalah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, selanjutnya dilakukan perubahan ke dua
melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. PTUN merpukan salah satu
pelaksana kekuasaan peradilan bagi masyarakat pencari keadilan terhadap sengketa
tata usaha negara. Para masyarakat yang mencari keadilan ini dapat berupa
perseorangan atau badan hukum perdada yang merasa telah dirugikan
kepentinggannya oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut
KTUN). Para pencari keadilan tersebut akan secara resmi membuat gugatan tertulis
kepada PTUN yang mengharapkan agar keputusan yang disengketakan tesebut
dinyatakan tidak sah atau dibatalkan melalui putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Gugatan tertulis yang diajukan oleh para pencari keadilan di PTUN harus
berdasarkan pada alasan; (1) KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan
7 Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap
Pemerintah, (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 1986) hal. xvii

4

perundang-undangan yang berlaku, (2) Badan atau Pejabat TUN pada waktu
mengeluarkan keputusan tersebut, telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan

lain dari maksud diberikannya wewenangn tersebut, (3) Badan atau Pejabat TUN
tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang
bersangkutan dengan keputusan itu sebenarnya tidak sampai pada pengambilan atau
tidak pengambilan keputusan tesebut.8 Karena jika dilihat dari segi ruang lingkup
kompetensi mengadilinya, Pengadilan TUN hanya melakukan penilaian (toetsing)
terhadap surat KTUN saja, yang harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 butir ke-3
dan Pasal 2 serta Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
3. Bentuk-Bentuk Putusan
Putusan hakim terhadap suatu perkara merukapan hal yang diharapkan oleh
orang yang bersengkata untuk menyelesaikan perkaranya. Ada dua macam bentuk
putusan di PTUN yakni: putusan akhir dan putusan bukan akhir.
Putusan bukan akhir (sela/schorsing), meskipun diucapkan dalam sidang
namun tidak dibuat sebagai putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam
Berita Acara persidangan dan jika para pihak memerlukannya, pengadilan dapat
memberikan salinan resminya. Dalam salinan putusan tersebut harus dibubuhi
keterangan bahwa putusan tesebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.9 Hal
tersebut harus dicantumkan, sebab hanya putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetaplah yang dapat dilaksanakan.10 Putusan bukan akhir tidak dapat diajukan
permintaan pemeriksaan banding secara tersendiri, melainkan hanya dapat

dimohonkan pemeriksaan bandingnya bersama-sama putusan akhir.11
Putusan yang dapat dikeluarkan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara antara
lain:
8 Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 5 Tahun 1986,
LN No. 77 Tahun 1986, TLN No. 3344, Pasal 53, ayat (2).
9 Pasal 113 beserta Penjelasannya UU Nomor 5 Tahun 1986
10 Pasal 115 UU Nomor 5 Tahun 1986
11 Pasal 124 UU UU Nomor 5 Tahun 1986

5

1) Putusan atau Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara sebelum pokok sengketa diperiksa. Putusan atau Penetapan
tersebut diputuskan dalam acara Rapat Permusyawaratan yang berisi suatu
gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.12
2) Putusan atau Penetapan yang dikeluarkan oleh Hakim PTUN sebelum
pokok sengketa diperiksa. Putusan atau Penetapan diputuskan dalam acara
Pemeriksaan Persiapan.13
3) Putusan yang dikeluarkan pada saat pemeriksaan pokok sengketa
dilakukan dan merupakan putusan akhir. Putusan tersebut dapat berisi

menyatakan gugatan gugur, gugutan tidak diterima, gugutan ditolak, atau
gugutan dikabulkan.14
Jika gugatan gugur, tidak diterima atau gugatan ditolak, maka tidak ada
kewajiban yang harus dijalankan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Tetapi Jika
gugatan dikabulkan, maka putusan pengadilan tersebut merupakan sebuah kewajiban
yang harus dipatuhi oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Kewajiban tersebut dapat berupa; (1)
pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, (2) pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara dan mengeluarkan Keputusan Tata Usaha yang baru,
(3) kewajiban tersebut dapat juga berupa pembebanan ganti rugi, (4) adapun jika
putusan tersebut dalam sengketa kepegawaian, maka kewajiban tersebut dapat berupa
rehabilisasi.15
Jika permohonan dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara,
maka sudah semestinya Badan/Pejabat Tata Usaha Negara mematuhi putusan
pengadilan tersebut dengan menjalankan kewajiban yang telah dijelaskan
sebelumnya, karena putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika
12 Untuk alasan-alasan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2, 3, 49, 55, 62 UU Nomor 5
Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
13 Dapat dilihat pada Pasal 63 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha
Negara
14 Dapat dilihat lebih lanjut pada Pasal 97 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara
15 Pasal 97 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara

6

secara sengaja dan sukarela tidak bersedia menjalankan putusan tersebut, maka
diambillah tindakan secara paksa, tindakan inilah yang disebut dengan pelaksanaan
putusan atau eksekusi. Tetapi walaupun telah ada pelaksanaan putusan atau eksekusi,
tetap saja timbul berbagai kesulitan dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara tersebut. Kesulitan tersebut serasa semakin kompleks dalam sengketa
kepegawaian, karena dalam sengketa tersebut ada kewajiban rehabilisasi. Faktor yang
paling mempengaruhi terhadap tidak terlaksananya Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara karena pengadilan tidak memiliki lembaga eksekotorial secara khusus. Dalam
tulisan ini akan menjalaskan berbagai Problematika Pelaksanaan Putusan
Pengadilan Administrasi Negara Yang Berkekuatan Hukum Tetap Dalam
Sengketa Kepegawaian.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa kerap terjadi putusan hakim pengadilan tata usaha yang
memiliki kekuatan hukum tetap tidak dilajankan?
2. Bagaimana seharusnya sistem hukum yang diberlakukan agar pelaksanaan
putusan hakim pengadilan tata usaha negara dapat berjalan efektif?
BAB II PEMBAHASAN
A. Kendala-kendala dalam menjalankan putusan pengadilan
Pelaksanaan putusan/eksekusi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara telah diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, selanjutnya Pasal 116 tersebut telah mengalami
perubahan dua kali perubahan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan
Pasal 116 yang telah mengalami dua kali perubahan mengatur mekanisme
pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara, adapun mekanisme tersebut:

7

1) Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dikirimkan kepada
kedua pihak atas perintah ketua pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu
14 hari kerja.16
2) Apabila tergugat tidak melaksanakan putusan (tidak melaksanakan
kewajibannya yang berupa mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang
dipersengketakan) setelah 60 hari kerja, maka keputusan tata usaha negara
yang disengketakan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.17
3) Apabila putusan pengadilan berupa kewajiban pencabutan Keputusan Tata
Usaha Negara dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha yang baru tapi
keputusan tersebut tidak dilaksanakan, penggugat dapat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan, agar pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.18
4) Pejabat yang bersangkutan akan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa atau sanksi administratif, jika tidak bersedia
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.19
5) Jika pejabat tersebut masih tidak melaksanakan putusan pengadilan, maka
akan diumumkan pada media masa cetak setempat oleh panitera.20
6) Selain diumumkan di media masa, ketua pengadilan harus mengajukan hal
tersebut kepada Presiden untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan
putusan pengadilan, dan mengajukan juga kepada lembaga perwakilan rakyat
untuk menjalankan fungsi pengawasan.21
A.1. Pelaksanaan Bersifat Sukarela
Sulitnya eksekusi terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah
berkekuatan hukum tetap dikarenakan eksekusi putusan tersebut bersifat sukarela.
Sudah seharunya Pejabat/Badan Tata Usaha Negara yang dihukum untuk mencabut
surat keputusannya, ataupun kewajiban menerbitkan surat keputusan yang baru, tetapi
16 Pasal 116 ayat (1)
17 Pasal 116 ayat (2)
18 Pasal 116 ayat (3)
19 Pasal 116 ayat (4)
20 Pasal 116 ayat (5)
21 Pasal 116 ayat (6)

8

dalam prakteknya (dalam beberapa kasus) hal tersebut tidak dilakukan, karena hanya
bersifat sukarela. Putusan Pengadilan Tata Usaha menyerahkan kepada Pejabat Tata
Usaha Negara untuk menjalankan putusan secara sukarela inilah yang menjadi
penyebab tidak berjalannya secara efektif pelaksanaan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara. Dalam dunia Peradilan Tata Usaha Negara, memang telah ada
Jurusita, tetapi peran dan fungsi Jurusita pada Pengadilan Tata Usaha Negara
hanyalah sebatas menyampaikan pemberitahuan isi putusan pengadilan kepada
Pejabat/Badan Tata Usaha Negara, dan tidak mempunyai unsur pemaksaan dalam
menjalankan eksekusi putusan tersebut, sebab objek yang dieksekusi tersebut berbeda
dengan eksekusi putusan perdata atau eksekusi riel yang dapat dijalankan secara
paksa oleh jurusita atas perintah Ketua Pengadilan.22
Menjalankan putusan pengadilan secara sukarela (eksekusi sukarela) yang
berisi pencabutan terhadap keputusan yang disengketakan dilakukan oleh pejabat Tata
Usaha Negara selambat-lambatnya 60 hari. Jika pencabutan itu tidak dilakukan, maka
keputusan yang disengketakan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Tetapi jika
putusan pengadilan mengandung kewajiban akan pencabutan dan/atau penerbitan
keputusan baru tidak dijalankan setelah 90 hari oleh pejabat tergugat, maka
penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar
memerintahkan badan/pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan
Hakim PTUN. Jika badan/pejabat administrasi tersebut tidak juga melaksanakannya,
maka pejabat tergugat tersebut dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang
paksa dan/atau sanksi administratif. Dan jika upaya paksa tersebut tidak dijalankan,
maka akan di umumkan di media masa setempat dan juga ketua pengadilan
mengajukan hal tersebut kepada presiden. Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara.23 Tetapi jika ternyata Presiden tidak berkenan
melaksanakan putusan Pengadilan untuk memberikan perintah kepada Pejabat/Badan
22 Ismail Rumadan, Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal
Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 3 (November 2012) Hal.438
23 Pasal 116 ayat (6) UU Nomor 5 Tahun 1986

9

Tata Usaha Negara yang bersangkutan, secara yuridis tidak ada konsekuensi, resiko
atau sanksi bagi Presiden, hanya saja Presiden dibayangi sanksi moral sesuai dengan
semangat dan keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa.24
Dalam sengketa kepegawaian, akan berkaitan dengan kompensasi dan
rehabilitasi bagi pegawai. Rehabilitasi merupakan pemulihan hak bagi seorang
pegawai negeri dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai
pegawai negeri seperti semula, sebelum ada keputusan yang disengketakan. Dalam
pemulihan hak tersebut termasuk juga hak-haknya yang ditimbulkan oleh
kemampuan keududukan dan harkatnya sebagai pegawi negeri. Dalam hal haknya
menyangkut suatu jabatan dan pada waktu putusan pengadilan jabatan tersebut
ternyata telah diisi pejabat lain, maka yang bersangkutan dapat diangkat dalam
jabatan lain yang setingkat dengan jabatan semula. Akan tetapi apabila hal itu tidak
mungkin maka yang bersangkutan akan diangkat kembali pada kesempatan pertama
setelah ada formasi dalam jabatan yang setingkat atau dapat ditempuh dengan cara
memberikan kompensasi.25
Kompensasi dilakukan jika rehabilitasi tidak dapat dilaksanakan atau tidak
dapat dengan sempurna dilaksanakan, maka Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan harus memberitahukan hal tersebut kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara dengan tembusan kepada penggugat dalam tenggang waktu tiga puluh hari
sejak diterimanya putusan Pengadilan.26
Seluruh pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tetaplah bersifat
sukarela, walaupun telah ada upaya paksa berupa pembayaran uang paksa atau sanksi
administratif. Karena uang paksa dan sanksi administratif bukanlah substansi yang
diinginkan dari adanya gugatan. Substansi yang diinginkan penggugat adalah
batalnya Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau diterbitkannya Keputusan Tata
24 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi ...,Op.Cit, hal. 362
25 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi Dan Tata
Cara Pelaksanaanya Pada Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 9 dan 10.
26 Ibid.

10

Usaha Yang Baru. Ditambah, uang paksa yang dimaksud diambil dari APBN/APBD,
bukan dari uang pribadi Pejabat yang tergugat. Adapun upaya paksa yang berupa
sanksi administratif jugalah bersifat sukarela. Bedasarkan Pasal 72 ayat (1) UndangUndang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa pejabat yang tidak
melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum
tetap dapat dikenai sanksi administratif sedang, yang berupa 1) pembayaran uang
paksa dan/atau ganti rugi; 2) pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak
jabatan; atau 3) pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.27
Penjatuhan sanksi administratif tersebut dilakukan oleh pejabat atasan.28 Mekanisme
penjatuhan sanksi administratif tetaplah bersifat sukarela, karena tidak ada paksaan
bagi pejabat atasannya untuk melaksanaakan putusan pengadilan dalam memberikan
sanksi administratif kepada pejabat bawahaannya.
Pelaksanaan yang sukarela ini berhubungan dengan benda-benda publik yang
secara teoritis merupakan kekayaan negara yang tidak dapat diletakkan sita jaminan
di atasnya. Alasan selanjutnya, telah dianut asas bahwa seorang pejabat tidak
mungkin dikenai tahanan karena tidak melaksanbakan putusan PTUN, sesuai dengan
asas bahwa kebebasan yang dimiliki pejabat pemerintah tidak diperkenankan
dirampas. 29
Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak lagi bersifat
sukarela, seandainya perbuatan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau
tunduk dan tidak mau melaksanakan putusan pengadilan dapat dikatgorikan sebagai
delik atau perbuatan melanggar hukum, sehingga Badan/Pejabat yang tidak
melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dinyatakan sebagai
perbuatan melanggar hukum.30
A.2. Tidak Adanya Lembaga Eksekutorial Khusus
27 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan
Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan, Pasal 9 ayat (2)
28 Ibid., Pasal 12
29 Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, hal. 375
30 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara ..., Op.Cit., hal. 364

11

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 telah dibentuk Komisi
Aperatur Sipil Negara (KASN) yang salah satu kewenangannya mengawasi setiap
tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia
seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama
calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi31. Tapi sayangnya, KASN
tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang tidak dijalankan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, khsusnya dalam
sengketa kepegawaian yang berkaitan dengan rehabilitasi dan kompensasi. Jika
sandainya kewenangan KASN ditambah untuk mengawasi atau menerima aduan dari
Pengadilan Tata Usaha Negara tentang putusan yang tidak mau dijalankan oleh
Pejabat/Badan Tata Usaha Negara. Diperkirakan akan mengurangi putusan
pengadilan yang tidak dijalankan, karena KASN mempunyai kewenangan untuk
merekomendasikan kepada Presiden atau Menteri untuk menjatuhi sanksi tegas.
B. Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor:
52/G/2009/PTUN.SBY Tentang Pemberhentian Sekretaris Daerah
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dengan nomor perkara
52/G/2009/PTUN.SBY merupakan putusan tentang sengketa kepegawaian di Pemda
Pamekasan. Sengketa ini dilatarbelakangi oleh tindakan Bupati Pamekasan yang telah
mengeluarkan SK pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Pamekasan dan
mengalihtugaskan menjadi staf ahli bidang Kemasyarakatan dan SDM tanpa adanya
persetujuan dari Gubenur Jawa Timur. Dalam sengketa tersebut, Pengadilan Tata
Usaha Negara Jawa Timur telah memutuskan untuk mengabulkan seluruh gugatan
penggugat (mantan Sekda Kabupaten Pamekasan) dan membatalkan serta mencabut
SK Bupati Pamekasan. Tetapi sampai saat ini putusan Pengadilan Tatat Usaha Negara
Surabaya belum dapat dilaksanakana oleh pejabat yang berwenang.
Objek sengketa dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Tergugat Nomor :
821.2/292/441.409/2009 tanggal 02 November 2009 tentang Pengangkatan Dalam
Jabatan atas nama DR. A. DJAMALUDIN KARIM, M. Si. Di dalam surat tersebut,
31 Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

12

Tergugat memberhentikan sementara Penggugat dari jabatan Sekretaris Daerah
Kabupaten Pamekasan. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 122 ayat (3) UndangUndang Nomor : 8 tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang
Nomor: 12 tahun 2008, yang berbunyi:
Ayat (1) Sekretaris Daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi
persyaratan”
Ayat (2) Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”
Ayat (3) “Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
kabupaten / kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul
Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundangundangan
Dari ketentuan Pasal 122 ayat (3) tersebut di atas, tampak jelas bahwa Surat
Keputusan Bupati Pamekasan (Tergugat) Nomor : 821.2/292/441.409/2009 tanggal
02 Nopember 2009 tentang Pengangkatan Dalam Jabatan atas nama Dr. A.
Djamaludin Karim, M.Si, yang substansinya adalah memberhentikan Penggugat dari
jabatan Sekretaris Daerah Pamekasan adalah cacat yuridis (cacat wewenang) karena
yang berwenang memberhentikan Penggugat sebagai Sekretaris Daerah adalah
Gubernur Jawa Timur, sedangkan Bupati hanya berwenang mengusulkan saja.
Surat Keputusan Bupati Pamekasan tersebut jelas merugikan hak
kepegawainya penggugat. Dalam surat tersebut, memindah tugaskan Dr. A.
Djamaludin Karim, M.Si yang semula sebagai Sekretaris Daerah menjadi Staf Ahli
Bupati Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia. Karena “Sekretaris
Daerah merupakan jabatan struktural eselon II a”32 sedangkan “... Staf ahli
bupati/walikota merupakan jabatan structural eselon II b”33
Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Surabaya dengan Nomor
Perkara 152/G/2009/PTUN.SBY, mengadili;
32 Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor : 41 tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah
33 Ibid, Pasal 37 ayat (1)

13

1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2) Menyatakan batal Surat Keputusan Bupati Pamekasan (Tergugat) Nomor :
821.2/292/441.409/2009 tanggal 2 Nopember 2009 tentang Pengangkatan
Dalam Jabatan atas nama Dr. A. Djamaludin Karim, M.Si
3) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Bupati Pamekasan
(Tergugat) Nomor : 821.2/292/441.409/2009 tanggal 2 Nopember 2009
tentang Pengangkatan Dalam Jabatan atas nama Dr. A. Djamaludin Karim,
M.Si
4) Mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara
yang baru tentang rehabilitasi Penggugat, yaitu memulihkan hak
Penggugat.
5) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar
Rp.171.000,- (Seratus Tujuh Puluh Satu Ribu Rupiah)
Dikarenan Bupati Pamekasan tidak menjalankan putusan pengadilan tersebut,
kasus tersebut telah termuat oleh media atas permohonan dari Penggugat. Adapun
muatan media adalah sebagai berikut
Bupati Tolak Putusan PTUN34
Sabtu, 03/09/2011 | 10:49 WIB
PTUN meminta bantuan Presiden RI agar Bupati mengangkat kembali
Djamaludin sebagai Sekdakab
PAMEKASAN - Pemecatan Djamaludin Karim dari jabatan Sekretaris Daerah
Kabupaten (Sekdakab) Pamekasan oleh Bupati Kholilurrahman berlanjut.
Proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya memang
dimenangkan oleh Djamaludin. Namun, hingga sekarang Bupati masih
mengabaikan putusan itu.Karena itu, PTUN Surabaya meminta Presiden RI
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi untuk memerintahkan Bupati
Pamekasan melaksanakan putusan PTUN itu. Permintaan PTUN itu
dituangkan dalam surat PTUN Surabaya bernomor
W3.TUN1/1780/K.Per.01.06/VIII/2001 tanggal 2 Agustus 2011. Surat ini
merupakan petunjuk dari PTUN Surabaya tentang tindak lanjut pelaksanaan
putusan perkara nomor 152/G2009/PTUN.SBY. Selain akan meminta bantuan
Presiden, sesuai dengan Pasal 116 ayat 5 dan 6 Undang- Undang (UU) Nomor
51 Tahun 2009, maka pengadilan juga dapat menindaklanjuti dengan
mengumumkan di media massa bahwa Bupati Pamekasan tidak bersedia
melaksanakan putusan Nomor 152/G2009/PTUN.SBY yang telah berkekuatan
hukum tetap itu. Namun, M Suli Faris, Ketua Komisi A DPRD Kabupaten
Pamekasan menilai keputusan PTUN itu sulit untuk dilaksanakan secara
hukum, utamanya perintah pengembalian lagi Djamaludin Karim kepada
kedudukannya sebagai Sekdakab Pamekasan. Karena yang digugat oleh
34 Surabaya Post Online, Bupati tolak putusan PTUN, http://www.surabayapost.co.id
diakses tanggal 12 April 2018

14

Djamaludin Karim adalah soal SK Bupati Pamekasan tentang pemberhentian
sementara Djamaludin Karim.
“Saat ini posisi Sekdakab Pamekasan sudah berubah.Sesuai dengan
kewenangannya Gubernur Jatim juga sudah mengeluarkan keputusan tata
usaha negara baru, yakni mengangkat Hadisuwarso sebagai Sekdakab
Pamekasan.Makanya kami katakan keputusan PTUN itu sulit untuk
dilaksanakan. Sebab yang digugat SK pemberhentian sementara oleh Bupati
bukan SK pengangkatan Sekdakab oleh Gubernur,” katanya, Sabtu (3/9).
Bupati Pamekasan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Pamekasan Nomor
821.2/292/441.409/2009 tangal 2 Januari 2009 memberhentikan sementara
Djamaludin Karim dari jabatannya sebagai Sekdakab Pamekasan. Karena
merasa tidak prosedural dan tidak dilandasi alasan yang tepat maka
Djamaludin Karim menggugat Bupati Pamekasan ke PTUN Surabaya.Dalam
putusannya, PTUN mengabulkan gugatan Djamaludin Karim.PTUN juga
menyatakan batal SK Bupati Pamekasan tentang tentang pemberhentian
sementara Djamaludin Karim. Selain itu PTUN juga mewajibkan Bupati
untuk menerbitkan keputusan tata usaha negara yang baru tentang rehabilitasi
penggugat, yaitu memulihkan hak penggugat dalam kemampuan, kedudukan,
harkat dan martabatnya sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Pamekasan.
PTUN juga menghukum Bupati untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
171.000.Tapi, Bupati tidak mau melaksanakan eksekusi seperti yang
diperintahkan oleh PTUN Surabaya. Dalam suratnya ke PTUN Surabaya yang
bernomor 181/1013/441.131/2011 tanggal 16 Juni 2011 Bupati Pamekasan
menyatakan tidak dapat melaksanakan putusan PTUN karena telah terbit SK
Gubernur Jatim Nomor 821/86/212/2010 tanggal 18 Januari 2010 tentang
permberhentian Djamaludin Karim sebagai Sekdakab Pamekasan.
Setelah diterbitkan penetepan permohonan pelaksanaan putusan ternyata
Tergugat juga tidak mau melaksanakan putusan dan Tergugat menanggapi Penetapan
itu pada tanggal 16 Juni 2011 dengan alasan dikarenakan telah diangkatnya Sekretaris
Daerah Kabupaten Pamekasan yang baru serta bukan merupakan kewenangan Bupati
Pamekasan untuk melaksanakan putusan tersebut melainkan kewenangan Gubernur
yang dapat menerbitkan surat keputusan tentang pengangkatan atau pemberhentian
sekretaris daerah Kabupaten Pamekasan.
BAB III PENUTUP (SIMPULAN DAN SARAN)
A. Simpulan

15

Kerap terjadi hambatan dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara dikarenakan 1) pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat
dikatakan masih berbersifat sukarela. Walaupun telah ada pembaharuan mekanisme
pelaksanaan pututsan dengan menggunakan upaya paksa yang berupa uang paksa dan
sanksi administratif, tapi tetap, upaya-upaya tersebut masih bersifat sukarela dan
kurang tegas. 2) Tidak adanya lembaga eksekutorial khusus. Dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 memang telah dibentuk Komisi Aperatur Sipil Negara (KASN)
yang mempunyai berbagai kewenangan, diantarnya pengawasan terhadap pengisian
jabatan ASN. Tapi sayangnya, kewenangan yang diberikan KASN tersebut tidak
diintegrasikan dengan pengawasan pejabat ASN dalam menjalankan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara.
B. SARAN
Dengan melihat alasan-alasan dalam tulisan ini, yang menyebabkan hambatan
dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Tulisan ini memberikan
beberapa saran untuk mengurangi hambatan-hambatan tersebut, diantaraya: 1)
diberlakukan sanksi yang lebih tegas lagi dan yang tidak bersifat sukarela dalam
menjalankan putusan, seperti penundaan atau pengurangan gaji atau honor, skorsing
dari jabatan, atau penundaan keniakan jabatan bagi pejabat yang tidak mau
melaksanakan putusan pengadilan. 2) dibentuknya komisi atau lembaga khusus untuk
mengawasi jalannya putusan atau yang menerima aduan dari Pengadilan Tata Usaha
Negara. Yang mana lembaga atau komisi tersebut mempunyai kewenangan untuk
memberikan sanksi admistratif bagi pejabat yang tidak menjalankan putusan
pengadilan. Sebenarnya telah dibentuk Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), tetapi
komisi tersebut tidak mempunyai fungsi pengawasan terhadap ASN yang tidak
menjalankan putusan pengadilan.

16

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1982.
Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia.
Yogyakarta: FH UII Press. Cetakan ke-4. 2015.
Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Surabaya: Bina Ilmu.
1987
Lotulung, Paulus Effendie, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap
Pemerintah. Jakarta: Buana Ilmu Populer. 1986
HR., Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2016
Jurnal

17

Rumadan, Ismail. Problematika “Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara,”
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 3 (November 2012) : 437-462
Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan
Indonesia, Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5
Tahun 1986. LN No. 77 Tahun 1986. TLN. No. 3344
Indonesia, Undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986, UU Nomor 51 Tahun 2009. LN No. 160 Tahun 2009. TLN. No.
5074
Indonesia, Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan, UU Nomor 30 Tahun
2014. LN No. 292 Tahun 2014. TLN. No. 5601
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Organisasi Perangkat Daerah, PP Nomor
41 tahun 2007
Putusan Pengadilan: 152/G/2009/PTUN.SBY
Internet
Surabaya Post Online, Bupati tolak putusan PTUN, http://www.surabayapost.co.id
diakses tanggal 12 April 2018

18

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENGHAPUSAN ATAS MEREK DAGANG "SINKO" DARI DAFTAR UMUM MEREK OLEH DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (Studi Putusan Pengadilan Niaga No. 03/Merek/2001/PN.Jkt.Pst)

0 23 75

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ADANYA HUBUNGAN NASAB (Studi Putusan No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj) STUDY JURIDICAL TO MARRIAGE ANNUALMENT CONSEQUENCE OF EXISTENCE LINEAGE (Study of Decision No. 1136/Pdt.G/2006/PA.Lmj)

1 45 18

KEABSAHAN PERMOHONAN POLIGAMI KARENA ISTRI TIDAK MAU BERTEMPAT TINGGAL BERSAMA DENGAN SUAMI (Studi Putusan Nomor :36 / Pdt.G / 2010 / PA. Bdg)

1 29 17

Gambaran Persepsi Petugas Kesehatan dan Petugas Kantor Urusan Agama (KUA) Pada Pelaksanaan Program Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Calon Pengantin Wanita di Kota Tangerang Selatan

0 24 95

Tinjauan Atas Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada KPP Pratama Sumedang

0 12 1

Tinjaun Atas Pelaksanaan Pemotongan Pajak Pertambahan Nilai Sewa Infrastruktur Tower Pada PT. Sarana Inti Persada Bandung

2 31 1

Analisis Pelaksanaan Penjualan Tatap Muka Pada PT. Melia Nature Indonesia Di Bandung

1 34 1

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA GRATIFIKASI OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL TULANG BAWANG (Studi Putusan Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK.)

0 40 59

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17