ISLAMISASI ILMU EKONOMI Suatu Kajian Met

ISLAMISASI ILMU EKONOMI
(Suatu Kajian Metodologi Pengembangan Ekonomi Islam)
Oleh: Anita Rahmawaty, M.Ag.

Pendahuluan
Islamisasi pengetahuan merupakan isu yang tidak bisa dilewatkan begitu
saja dan telah lama diperbincangkan, termasuk di Indonesia. Banyak kalangan
yang mencoba mengusung gagasan ini dan banyak pula yang mengkritiknya,
namun tidak banyak yang memahaminya secara konseptual dalam konteks
pandangan hidup dan peradaban Islam.
Di antara bidang garap gagasan Islamisasi pengetahuan, ekonomi Islam
adalah subjek kajian yang paling maju secara teoritis maupun praktis kendatipun
masih berada di tahap awal perkembangan. Namun, sebagai ilmu, ekonomi Islam
yang dewasa ini semakin banyak menarik minat orang untuk mengkajinya,
ternyata masih sering disalahtafsirkan. Sebagian ada yang menganggap bahwa
ekonomi Islam itu a historis. Dengan kata lain, ekonomi Islam yang dibangun oleh
para pencetusnya belum dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu yang
mapan, karena dipandang tidak ditemukan adanya bangunan pemikiran ekonomi
yang utuh seperti halnya dalam ilmu ekonomi modern. Sementara itu, sebagian
yang lain menganggap bahwa perkembangan studi ekonomi Islam tidak lain
hanyalah sebagai reaksi sesaat dalam merespon modernisme.

Persepsi di atas muncul disebabkan karena ilmu ekonomi Islam sekarang
ini memang masih berada dalam tahap perkembangan dan hingga kini masih terus
mencari formulasi teori yang benar-benar mapan. Beberapa masalah yang penting
adalah munculnya debat metodologis yang mengiringi konstruksi teoritis ekonomi
Islam. Namun, di sisi yang lain justru sudah banyak bermunculan institusiinstitusi (keuangan) Islam yang mengaplikasikan teori ke dalam praktek sebelum
debat metodologi itu benar-benar diselesaikan (Hoetoro, 2007: 3).
Namun demikian, tidak dapat disangkal lagi bahwa berkembangnya studi
ekonomi Islam ini dipicu oleh gerakan Islamisasi pengetahuan yang dengan
intensif diaktifkan oleh Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas,

1

dan sebagainya (Hoetoro, 2007: 13). Atau dapat dikatakan bahwa ekonomi Islam
itu sendiri tidak lain adalah merupakan produk dari gerakan Islamisasi ilmu
ekonomi. Bagaimanapun juga nalar ekonomi memang harus di-Islamkan. Tetapi
pertanyaan yang muncul sekarang adalah apa yang harus di-Islamkan dan
bagaimana proses Islamisasi ilmu ekonomi itu dilakukan ? Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini sering diajukan dan mau tidak mau memaksa sebagian orang untuk
mengupas lebih dalam masalah metodologi ekonomi Islam, sesuatu yang hingga
kini belum mencapai bentuknya yang final.

Untuk itu, tulisan ini berupaya untuk mengupas tentang pencitraan
kebangkitan Islam yang tertuang dalam gagasan Islamisasi pengetahuan,
bagaimana

konsepsi

Islamisasi

pengetahuan

dan

gagasan-gagasannya,

membincang isu-isu seputar Islamisasi ilmu ekonomi, selanjutnya menawarkan
sebuah kerangka metodologis Islamisasi ilmu ekonomi, dan diakhiri dengan
beberapa kritik pemikir Muslim terhadap Islamisasi pengetahuan.

Citra Kebangkitan Islam
Sudah menjadi coretan sejarah bahwa Islam sebagai sebuah nilai sekaligus

sistem kehidupan pernah menghantarkan manusia pada satu periode kehidupan
yang sejahtera, baik lahir maupun batin, baik materi maupun rohani. Islam
memiliki sumber hukum dan pengetahuan yang sama sejak dahulu hingga kini,
yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Sakti, 2007: 1). Namun, sejak abad XV
peradaban dan intelektualisme umat Islam mengalami keterpurukan dan
kemunduran
Memang sangat disadari bahwa kemunduran intelektualisme Islam sejak
abad XV dan bersamaan dengan itu datang abad modern membawa dampak yang
sangat serius bagi masa depan peradaban Islam. Politik kolonialisme Eropa Barat
yang dijalankan dengan begitu masifnya memukul telak corak pemikiran ekonomi
Islam kepada situasi dan kondisi yang sangat memprihatinkan. Oleh karena itu,
segera setelah negara-negara Muslim berhasil merebut kemerdekaannya dari
kekuatan kolonial Barat, aspirasi utama yang muncul di kalangan kaum Muslimin
adalah keinginan yang sangat kuat untuk meghadirkan kembali kejayaan

2

peradaban Islam masa lalu di alam modern. Aspirasi tersebut dituangkan dalam
beragam bentuk dan aktivitas yang oleh sebagian besar kalangan, terutama para
orientalis, diberi label sebagai gerakan fundamentalisme dan kebangkitan Islam

(Hoetoro, 2007: 153).
Gerakan kebangkitan Islam sebenarnya adalah sebagai usaha-usaha aktif
kaum Muslimin untuk membangun keseluruhan tatanan sosial yang sesuai dengan
visi ideologis Islam yang diilhami secara kanonik mengenai realitas. Islam, oleh
karena itu mempunyai formulasinya sendiri yang terkait dengan tatanan budaya,
sosial, politik dan ekonomi. Sementara itu, Chandra Muzaffar sebagaimana
dikutip oleh Hoetoro (2007: 154), melihat kebangkitan sebagai suatu perjuangan
untuk menyesuaikan diri dengan apa yang dipahami sebagai perilaku Islam, untuk
taat kepada sikap dan praktek-praktek tertentu, dan untuk memajukan pandangan
dunia Islam. Dengan kata lain, gerakan kebangkitan Islam merupakan upaya
untuk penegasan eksistensi diri dan aktualisasi Islam terhadap suatu keyakinan
universal di dunia temporal (Kuntowijoyo, 1994: 48).
Pencitraan kebangkitan Islam seharusnya didasarkan pada pemahaman
seperti di atas, sebab jika tidak, maka informasi berharga tentang sisi lain dari
kebangkitan Islam yang sangat penting, yaitu kebangkitan intelektualitas akan
hilang. Kebangkitan Islam ini dimotori oleh para cendekiawan Muslim terutama
mereka yang tergabung di lembaga-lembaga riset, seperti IIIT (the International
Institute of Islamic Thought), ISTAC (International Institute of Islamic Thought
and Civilization) dan lembaga-lembaga sejenis lainnya yang menandai sebuah
apresiasi yang positif terhadap perjalanan sejarah kebudayaan dan peradaban

universal umat manusia. Kebangkitan itu juga dipandang sebagai yang paling
esensial karena sebenarnya masalah kemunduran intelektualitas di dunia Islam
telah lama menjadi keprihatinan uatama para sarjana dan cendekiawan Muslim.
Gagasan kebangkitan Islam tersebut dituangkan ke dalam suatu proyek prestisius
yang

dikenal

luas

sebagai

Islamisasi

pengetahuan

(Islamization

of


Knowledge/IOK) (Hoetoro, 2007: 155).

3

Konsepsi Islamisasi Pengetahuan
Terdapat

banyak

kerancuan

dalam

memaknai

istilah

Islamisasi

pengetahuan (Islamization of Knowlegde). Sebagian menekankan perlunya

definisi yang baku tentang istilah tersebut, sebagian lainnya hanya perlu definisi
operasional dan sebagian lagi lebih mementingkan isi daripada redaksi teknis.
Namun demikian, rupanya sebuah definisi yang jelas tetap diperlukan agar
persepsi terhadap istilah ini tidak menjadi rancu.
Istilah Islamisasi dapat diacu dari al-Attas (1993: 44), yaitu pembebasan
manusia dari pikiran-pikiran magis, mitologis, animastis dan tradisi nasional yang
bertentangan dengan Islam serta penguasaan pikiran sekuler atas ide dan bahasa.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa makna Islamisasi pengetahuan adalah
usaha pembebasan pengetahuan dan cabang-cabang keilmuannya dari interpretasi
yang sekuler menjadi selaras dengan worldview dan idealita Islam. Pada arah ini
tampak jelas bahwa dalam proses Islamisasi, setiap pengembangan ilmu
pengetahuan seharusnya merefleksikan worldview Islam (Hoetoro, 2007: 165).
Kelemahan dalam memahami worldview Islam ini sudah pasti akan menghasilkan
produk-produk pengetahuan yang parsial.
Definisi yang lebih praktis dikemukakan oleh Ismail Raji al-Faruqi (1982:
14) bahwa Islamisasi pengetahuan adalah sebuah proses untuk menuang kembali
pengetahuan modern dan cabang-cabang keilmuannya ke dalam tata nilai Islam.
Istilah ini diantaranya untuk menjembatani dikotomi yang ada antara sistem
pendidikan modern sekuler dengan sistem pendidikan tradisional Islam.
Selanjutnya, hasil dari proses ini harus diikuti oleh proses integrasi pengetahuan

yang baru ke dalam khazanah intelektualitas Islam yang menyelaraskannya
dengan pandangan dunia (worldview) dan tata nilai Islam. Untuk merealisasikan
hal ini, proses Islamisasi pengetahuan memerlukan tiga langkah utama, yaitu
(Ahmadiono, 2003: 204):
a.

Penguasaan disiplin ilmu-ilmu modern yang diikuti oleh penilaian kritis atas
metodologi, temuan ilmiah dan teori yang selaras dengan visi Islam.

4

b.

Penguasaan tradisi ilmiah Islam disertai dengan evaluasi kritis pandangan
tentang doktrin-doktrin agama, kebutuhan umat saat ini, dan kemajuan ilmu
pengetahuan modern.

c.

Sintesis kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern sebagai

lompatan kreatif untuk menjembatani kesenjangan ilmiah yang terjadi
selama masa-masa panjang kevakuman pengembangan ilmu pengetahuan
Islam.
Berangkat dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa

Islamisasi pengetahuan, sepertinya lebih terfokus pada persoalan-persoalan
epistemologi dan metodologi dalam membangun ilmu pengetahuan berdasarkan
pada sumber-sumber Islam dan metode ilmu pengetahuan modern. Islamisasi
adalah sebuah usaha pengembangan teori untuk merestorasi kegiatan-kegiatan
ilmiah, terutama untuk ilmu-ilmu sosial ke arah penyatuan wahyu dan observasi
dunia empiris. Kegiatan ini tidak sekedar melakukan penambahan atau
pengurangan terhadap struktur ilmu pengetahuan, melainkan perlu adanya
pengelolaan yang kreatif dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial modern sesuai
dengan visi, pandangan dunia dan tradisi keilmuan Islam.
Dengan demikian, hakikat Islamisasi pengetahuan adalah aktivitasaktivitas kecendekiaan yang sistematik dari ontologi dan epistemologi non Islam
ke dalam Islam yang menjadi dasar perubahan metodologi pengembangan ilmu
pengetahuan (Hoetoro, 2007: 167). Oleh karena itu, obyek utama Islamisasi
adalah bagaimana membangun metodologi atau cara-cara "meng-Islamkan" ilmuilmu

sosial


modern

karena

disiplin

ilmu

pengetahuan

ini

dipandang

mempengaruhi langsung cara pandang, pola pikir, dan gaya hidup kaum
Muslimin.

Gagasan Islamisasi Pengetahuan
Ismail Raji al-Faruqi, Ziauddin Sardar dan Syed Muhammad Naquib alAttas dipandang sebagai garda depan pengusung dan pengembang gagasan

Islamisasi,

meskipun

mereka

berbeda

dalam

metode

dan

strategi

implementasinya. al-Attas menyebut gagasan awalnya sebagai "dewesternisasi

5

ilmu"; al-Faruqi berbicara tentang "Islamisasi ilmu"; sedangkan Sardar tentang
penciptaan suatu "sains Islam kontemporer" (Bagir, 2005: 24).
Gagasan para pemikir di atas tentu berbeda-beda, dan terkadang bahkan
berseberangan, meskipun terkadang secara kurang cermat dilabeli sama dengan
istilah "Islamisasi ilmu". Meski demikian, satu hal yang barangkali merupakan
kelemahan bersama gagasan ini adalah bahwa ia tampaknya terutama digagas
sebagai gagasan filosofis mengenai sains, dan hingga waktu cukup lama tak jelas
benar bagaimana gagasan filosofis itu bisa dijadikan relevan dengan aktivitas
ilmiah praktis. Kelemahan ini juga telah menyebabkan ia mudah, dan telah,
disalahpahami.
Al-Faruqi, sebenarnya hanya memformalkan gagasan yang sudah lama
muncul sejak tahun 1960-an atau bahkan sejak 1930-an ketika al-Maududi, Sayyid
Qutb, dan lain-lainnya berbicara tentang aspek-aspek Islam dalam ekonomi.
Namun jika dirunut sejak akhir periode tersebut, maka inilah respon yang paling
kredibel sebagai jawaban Islam terhadap modernitas, meskipun sampai sekarang
ini belum berhasil mencapai bentuknya yang final.
Al-Faruqi dalam "work-plan"nya menyebutkan sebab-sebab kemunduran
kaum Muslimin di hampir semua lapangan kehidupan, baik di bidang politik,
ekonomi dan religio-cultural yang disebutnya sebagai "malaise of the ummah".
Hal ini disebabkan karena mereka telah kehilangan visi dan kesalahan dalam
sistem pendidikan yang dikembangkan. Meskipun tidak dielaborasi lebih jauh, alFaruqi menyinggung kelemahan visi ini sebagai sebab yang penting mengapa
kaum Muslimin sekarang tidak lagi mampu menggali dan mengapresiasi warisan
kekayaan intelektualitas para pendahulu mereka yang sebenarnya berperan
strategis sebagai pijakan dasar alam modern. Sasaran al-Faruqi adalah reformasi
sistem pendidikan yang mendua. Di satu sisi, tradisional, dan di sisi yang lain,
modern (sekuler) telah menjadi gabungan sebuah sistem pendidikan yang mampu
mengintegrasikan pandangan dunia Islam dan capaian-capaian modernitas (alFaruqi, 1982: 1-5).
Namun demikian, al-Faruqi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang
saat ini tengah berkembang tidak semuanya bertentangan dengan nilai-nilai

6

syari'ah. Dengan demikian, al-Faruqi menyarankan proses Islamisasi adalah
melakukan penyaringan dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Jika semua aspek
ilmu tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka otomatis ilmu tersebut
tidak dapat dipakai dan dikembangkan lebih lanjut. Namun jika tidak ada unsur
dalam suatu ilmu tersebut yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sebaiknya
dilakukan proses perpaduan dengan nilai-nilai Islam. Metode ini adalah oleh
Louay Safi dianggap sebagai pendekatan terpadu penyimpulan syari'ah dan sosial
(a unified approach to Shari'ah dan Social Inference) (Safi, 1996: 171).
Oleh karena itu, dalam karya awalnya tentang Islamisasi pengetahuan, ia
menuangkan tahap-tahap pencapaian yang dikenal sebagai dua belas langkah
dalam sebuah kerangka kerja (work-plan) (al-Faruqi, 1982: 39-46) yang berisikan
tentang usaha penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan modern dengan dibarengi
penguasaan segenap warisan intelektualitas Islam sebagai proyek percontohannya.
Terlepas dari banyaknya kritik yang diarahkan kepada work-plan tersebut jelas
bahwa sasaran al-Faruqi adalah bagaimana menjembatani konfrontasi antara
tradisi Islam dan kemajuan Barat.
Karya al-Faruqi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan yang banyak menjadi
referensi para pemikir adalah Islamization of Knowlwdge: General Principles and
Work-plan, yang diterbitkan oleh The International Institute of Islamic Thought.
Karya al-Faruqi ini banyak menjadi rujukan pakar lain dalam memahami dan
mengembangkan Islamisasi ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena konsep
al-Faruqi dinilai sangat aplikatif dibandingkan dengan konsep al-Attas dan Sardar.
Konsep al-Faruqi secara teknis tidak menafikan ilmu pengetahuan yang saat ini
sedang eksis yaitu keilmuan sekuler, yang dilakukan hanyalah pemilihan dan
pemilahan apa yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Implementasi dari pemikiran
al-Faruqi ini terwujud dengan berdirinya International Islamic University (IIU) di
Kuala Lumpur Malaysia dan Islamabad.
Di tempat lain, al-Attas, tanpa menafikan faktor eksternal yang ada lebih
menekankan pada kelemahan internal kaum Muslimin yang telah kehilangan
"adab". Istilah ini mengacu pada efek sinergi antara tubuh, pikiran dan jiwa yang
tidak seimbang karena kerancuan dalam memahami pengetahuan yang sejati (true

7

knowledge) terhadap pengetahuan yang telah dirasuki oleh visi-visi Barat
(westernized). Tak pelak lagi bahwa tekanan al-Attas di sini adalah menyoroti
persoalan apakah pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu netral atau tidak. Dan
memang, dalam karya-karyanya sepanjang periode 1978-1999, Naquib al-Attas
secara intensif menekankan pentingnya koneksi antara worldview (visi) Islam
terhadap ilmu pengetahuan modern dan membuat perbandingannya dengan
filsafat Barat dan posisi teologinya. Dari sini, ia kemudian menegaskan
ketidaknetralan ilmu pengetahuan modern (Barat) dan karena itulah perlu
dilakukan usaha Islamisasi. Menurutnya, kegagalan kaum Muslimin dalam
memahami pengetahuan secara benar itulah yang menjadi sebab utama
kemunduran. Masalah terbesar yang dihadapi kaum Muslimin sekarang adalah
bukan lenyapnya kekuasaan politik tetapi karena adanya korupsi yang akut dalam
memaknai esensi pengetahuan, yang disebabkan oleh kerancuan internal dan
dominasi pengaruh filsafat, sains, dan ideologi Barat modern. Akibatnya,
masyarakat kini kehilangan adab yang berimplikasi pada munculnya para
pemimpin yang tidak cakap, tidak memiliki integritas moral dan standar
intelektual atau spiritual Islam tetapi terus-menerus mengontrol urusan kehidupan
umat Islam (Haneef, 2005: 13).
Oleh karena itu, al-Attas berpendapat bahwa proses Islamisasi haruslah
menyeluruh dari filosofi, paradigma hingga proses pembelajarannya yang
menyesuaikan dengan karateristik keilmuan Islam yang ada. Dengan mengetahui
pandangan dunia Islam dan Barat, maka proses Islamisasi akan bisa dilakukan.
Sebab Islamisasi ilmu ekonomi melibatkan dua proses yang saling terkait (Armas,
2005: 9-10):
a.

Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya
dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini,
khususnya di dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun juga,
ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasinya harus di-Islamkan juga, khususnya
dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta di dalam formulasi teori-teori.

b.

Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap
bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.

8

Pemikir-pemikir modern lainnya juga mendukung pendapat al-Attas,
seperti Brohi, melihat perlunya menyukseskan proyek Islamisasi pengetahuan ini
karena pengetahuan modern dengan berbagai macam cabang ilmunya didasarkan
pada kerangka yang tidak selaras dengan worldview Islam. Sementara itu, Ausaf
Ali menegaskan bahwa setiap sistem ilmu pengetahuan sosial (social sciences)
dan perilaku manusia sesungguhnya memerlukan sebuah kerangka konseptual
atau teori umum tentang masyarakat, dan sangat jelas bahwa tidak semua ilmu
pengetahuan modern kompatibel dengan kerangka konseptual Islam (Haneef,
2005: 14-15).
Al-Alwani mendukung pernyataan ini dengan menegaskan bahwa ilmu
pengetahuan modern kini telah menjadi pengetahuan yang sangat positivistik,
karena hanya membaca satu buku (alam semesta) sehingga tidak sesuai dengan
kerangka pengetahuan Islam yang perlu membaca dua buku, yaitu wahyu dan
alam semesta. Menurutnya bahwa ilmu sosial dan humaniora kontemporer adalah
produk dari pikiran-pikiran Barat yang memiliki filosofi, metodologi, tujuan,
penjelasan terhadap perilaku manusia, dan pandangan kehidupan sendiri yang
berseberangan dengan perspektif dan metodologi ilmiah Islam. Hanya dengan
melalui "pembacaan dua buku" itulah yang akan menyeimbangkan pemahaman
manusia terhadap realitas. Jika gagal melakukan hal itu, maka dipastikan bahwa
sistem pendidikan yang ada tidak akan dapat menghasilkan manusia-manusia
terdidik selain hanya para juru tulis dan operator teknis (Haneef, 2005: 14-15).
Meskipun sudah banyak cendekiawan Muslim yang mendukung perlunya
Islamisasi pengetahuan, namun debat dan polemik ternyata masih sering dijumpai.
Perdebatan yang sering muncul adalah seputar masalah definisi, metodologi dan
hasil-hasil yang telah dicapai oleh Islamisasi sebagaimana akan dipaparkan dalam
akhir tulisan ini.

Membincang Isu-Isu Seputar Islamisasi Ilmu Ekonomi
Setidaknya, menurut Zubair Hasan (1998: 1), terdapat 3 (tiga) isu-isu
penting dalam proses Islamisasi ilmu Ekonomi, yaitu (1) perbedaan worldview
(pandangan dunia), (2) hubungan wahyu dan akal; dan (3) persoalan metodologi.

9

1. Perbedaan Worldview
Worldview berfungsi sebagai dasar bagi keseluruhan bangunan teori
pengetahuan. Dalam worldview itulah konsep, aksioma, hukum dan teori
ekonomi dimapankan, dan setiap sistem sosial memiliki visinya sendiri.
Worldview Barat sangat dipengaruhi oleh falsafah darwinisme sosial,
materialisme dan determinisme (Ahmadiono, 2003: 208). Tolok ukur
kebenaran, kesenangan dan aspek-aspek lain dalam hidup ditentukan oleh
parameter kebendaan. Oleh karena itu, apapun yang berada di luar jangkauan
indera, sudah pasti akan ditolak. Worldview Barat ini terefleksikan oleh visi
Adam Smith, Karl Marx dan JM.Keynes. Worldview kapitalisme klasik tidak
mungkin dapat dilepaskan dari visi Adam Smith yang menurunkan postulatpostulat hukum alam dalam hukum-hukum ekonomi. Jika Tuhan menciptakan
sebuah mekanisme yang bekerja secara harmonis dan otomatis tanpa ada
intervensi apapun, maka laissez faire merupakan kebijaksanaan yang tertinggi
dalam kehidupan sosial umat manusia (al-Faruqi, 1995: 179). Smith
selanjutnya mewacanakan pemuasan self-interest dan persaingan bebas
sebagai hukum alam yang menggerakkan motif-motif ekonomi manusia yang
dipandang selaras dengan kepentingan sosial. Pengembangan visi kapitalisme
kasik ini mencapai puncaknya ketika Leon Walras mengenalkan konsep
"Tatonnement" untuk menunjukkan bahwa seluruh kekuatan pasar dalam
ekonomi laissez faire secara simultan mampu menjaga keseimbangan
(economic equilibrium). Teoretisasi Walras ini kian memperjelas abstraksi
Smith tentang peran tangan tersembunyi (invisible hands) dalam pembentukan
harga pasar sebagai paradigma utama ekonomi kapitalis. Selanjutnya,
kelahiran Karl Marx mengoreksi visi ini bahwa dominasi kapitalisme telah
menciptakan struktur ekonomi yang sangat timpang, terutama terhadap
kelompok buruh dan kaum marjinal lainnya. Kemudian, visi Keynes tentang
peran pemerintah hadir ketika kapitalisme tengah diliputi great depression.
Sampai saat ini, meskipun belakangan juga menuai banyak kritik, teori
Keynes dipandang sebagai counter argument paling valid terhadap teori
ekonomi klasik (Hoetoro, 2007: 197-200).

10

Dengan mendasarkan pada worldview di atas, ilmu ekonomi
konvensional bercorak egoistis, yaitu aktivitas ekonomi hanya bertujuan
memenuhi kepentingan diri sendiri. Ini didukung dengan beberapa konsep
yang lahir dari worldview dan menjadi pilar paradigma ekonomi konvensional,
Salah satu pilar itu adalah rasional economic man. Ilmu ekonomi
konvensional berpandangan bahwa perilaku individu adalah rasional. Aspek
rasionalitas diartikan sebagai upaya pemenuhan kepentingan "diri sendiri"
secara bebas dan kepentingan itu berwujud maximisasi kekayaan dan
kepuasan tanpa melihat dampaknya kepada kesejahteraan orang lain
(Ahmadiono, 2003: 208-209).
Selain konsep di atas, bagian lain yang tak kalah pentingnya adalah
pengaruh positivisme dalam ekonomi konvensional. Positivisme telah menjadi
bagian integral dari paradigma ilmu ekonomi konvensional. Ini berakibat pada
pengabaian peran nilai moral sebagai alat untuk memfilter alokasi dan
distribusi sumber daya dan menganggap faktor-faktor seperti cita rasa,
preferensi dan lembaga sosio-ekonomi sebagai variabel yang tak perlu
diperdebatkan. Selain itu, positivisme mendorong ilmu ekonomi harus
mempunyai jawaban benar atau salah yang dapat ditentukan secara empiris.
Dalam ekonomi konvensional, jawaban ini otomatis menekankan pada konsep
yang dapat diukur secara material atau keuangan. Sikap demikian telah
menjauhkan dari tugas menganalisis dampak nilai-nilai sosial dan institusi
pada alokasi dan distribusi sumber daya.
Pandangan lain yang menjadi pilar paradigma ekonomi konvensional
adalah konsep pasar bebas atau non intervensi pemerintah, yang sering disebut
dengan "laissez faire". Konsep ini menilai bahwa ekonomi akan berjalan
dengan baik jika ia dibiarkan berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan
pemerintah. Sistem ekonomi akan mampu memulihkan dirinya sendiri (self
adjustment) karena ada kekuatan pengatur yang disebut sebagai invisible
hands (tangan gaib) (Jusmaliani, 2005: 348).
Dengan berpijak pada worldview dan paradigma di atas, ekonomi
konvensional melahirkan beberapa asumsi teoritik yang menegaskan bahwa

11

watak dasar ekonomi konvensional memandang manusia sebagai bersifat
selfish. Ini terlihat dari teori harga yang menjadi cermin kepentingan individu,
teori persaingan sempurna yang mengabaikan adanya fakta bahwa tidak semua
individu mampu masuk dalam pasar dan teori nilai guna (utilitarianisme)
sebagai nilai yang sejalan dengan kesenangan materi dan teori keadilan
distributif yang hanya menganggap keadilan adanya kesempatan yang sama
setiap orang untuk mendapatkan barang ataupun jasa dalam mekanisme pasar.
Meski demikian, memang tidak dapat disangkal bahwa visi
kapitalisme ini kini telah mencapai aktualisasinya dalam sebuah peradaban
material yang paling spektakuler sepanjang sejarah. Namun sayangnya,
peradaban ini telah jauh mengubah kualitas dengan kuantitas, intuisi dengan
rasio, hidup untuk idealita dengan hidup untuk kesenangan, kebenaran dengan
kekuasaan, dan sebagainya.
Berbeda dengan scientific worldview, Islamic worldview adalah sebuah
visi yang menyatukan kebenaran wahyu dan ilmu pengetahuan secara
harmoni. Islamic worldview didasarkan kepada wahyu (al-Qur'an dan alHadits), bersifat fleksibel, namun tidak bisa digantikan. Islamic worldview
dibangun oleh tiga keyakinan pokok, yaitu Tauhid, khilafah dan 'adalah
(Ahmadiono, 2003: 200). Implikasi dari

Islamic worldview ini adalah

formulasi teoritis ekonomi Islam tidak hanya terfokus pada penjelasan yang
bersifat mekanistik atau positivistik terjadinya perilaku dan interaksi ekonomi,
sebagaimana terlihat dalam ekonomi modern, seperti dalam teori konsumsi,
pasar, upah, teori produksi, dan sebagainya. Namun, justru dalam ekonomi
Islam, perilaku ekonomi yang berimplikasi kepada etika, moralitas dan nilainilai normatif lainnya dipandang penting dan karena itu perlu dimasukkan
dalam pengembangan teori (Hoetoro, 2007: 207).
Tauhid merupakan konsep inti dalam worldview Islam, mendasari
keyakinan manusia atas keesaan Allah dan berperilaku sesuai dengan aturanaturan-Nya. Tawhid juga memberikan pemahaman bahwa Allah telah
menciptakan seluruh alam semesta secara sadar dan terencana. Penciptaan
alam ditundukkan Allah sebagai sumber daya ekonomis dan keindahan bagi

12

seluruh manusia. Implikasinya adalah terbukanya kesempatan yang sama bagi
manusia dalam memperoleh rezeki Allah, meskipun ketidakmerataan ekonomi
di antara manusia tak terlepas dari kekuasaan Allah. Namun, dalam kerangka
tawhid, perbedaan kemampuan secara ekonomis ini justru mendorong pada
adanya persaudaraan, saling membantu dan bekerja sama dalam kegiatan
ekonomi melalui mekanisme syirkah, qirad, dan sebagainya (Ahmadiono,
2003: 210).
Konsep khilafah dalam Islam menempatkan manusia sebagai wakil
Allah di muka bumi. Manusia mendapat sarana sumber-sumber materi yang
dapat membantunya dalam mengemban misinya secara efektif. Pemanfaatan
sumber-sumber pemberian Allah itu harus dilakukan untuk menciptakan
kesejahteraan (falah) seluruh umat manusia, bukan untuk kepentingan pribadi
sendiri sebagaimana menjadi falsafah ekonomi konvensional. Karenanya,
untuk mewujudkan tujuan ini, Islam juga menjadikan konsep 'adalah sebagai
bagian pandangan dunianya. Dalam konteks sosio-ekonomi, tujuan keadilan
mewujud pada distribusi pendapatan, dipandang sebagai bagian tak
terpisahkan dari falsafah moral Islam yang mendasarkan pada persaudaraan
kemanusiaan universal. Adanya dorongan persaudaraan universal dan keadilan
dalam al-Qur'an dan as-Sunnah tidak akan dapat direalisir tanpa adanya
pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan. Dalam ekonomi Islam,
konsepsi ini berperan penting karena membedakannya dari konsep rasionalitas
ekonomi sebagaimana yang dijumpai dalam ilmu ekonomi modern (Hoetoro,
2007: 203).
Atas dasar worldview yang demikian, sebagai upaya Islamisasi ilmu
ekonomi lahir beberapa konsep yang menjadi pilar paradigma ekonomi Islam.
Pertama, Islam memandang manusia mempunyai kewajiban moral menjaga
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Adanya konsep
persaudaraan dan kesejahteraan manusia, universal sebagai implikasi dari
paham tawhid dan khilafah menunjukkan penekanan Islam pada sifat
altruisme dalam diri manusia. Kedua, Islam menjadikan moral sebagai
mekanisme filter sebagai penyempurna bagi sistem pasar yang juga diakui

13

dalam Islam. Filter moral menekankan pada pendayagunaan sumber daya
ekonomi harus sejalan dengan konsep khilafah dan 'adalah. Ketiga,
mekanisme pasar bebas terkontrol. Islam menerima adanya campur tangan
pemerintah dalam pendistribusian secara merata sumber daya ekonomis. Peran
negara dalam mekanisme pasar dapat berupa bantuan untuk mewujudkan
kesejahteraan dengan memantapkan keseimbangan antara kepentingan pribadi
dan sosial, mempertahankan jalur ekonomi di atas ketentuan yang telah
disepakati, dan mencegah penyelewengan melalui kepentingan pribadi
(Ahmadiono, 2003: 210-211).
Ketiga pilar paradigma ekonomi Islam ini dipandang sangat strategis
dalam membangun sistem perekonomian Islami yang tidak hanya mencari
keuntungan pribadi, seperti yang menjadi watak dasar ekonomi konvensional.

2. Hubungan Wahyu dan Akal
Hubungan antara wahyu (revelation) dan akal (reason) adalah isu
metodologis lain yang sering ditemukan dalam wacana ilmiah Barat dan
Islam. Menurut Zubair Hasan, hubungan antara wahyu dan akal dapat ditinjau
dalam dua cara, yaitu (1) akal bekerja dari dalam sebagai sarana organik
ketika berbicara soal wahyu, atau (2) akal menolak wahyu dari luar. Tetapi,
secara metodologis, posisi keduanya berbeda; yang pertama mencerminkan
cara pandang Islami, sedangkan yang kedua merupakan cara pandang sekuler
(Hasan, 1998: 12).
Konseptualisasi

akal

tersebut

menunjukkan

bahwa

ekonomi

konvensional telah menolak secara tegas pelibatan wahyu sebagai sumber
pengetahuan dan berpendapat bahwa kebenaran teori ekonomi hanya dapat
dibuktikan jika sesuai dengan fakta-fakta empiris. Analogi Adam smith
tentang self interest sebagai hukum yang mengatur tindakan ekonomi manusia
sederajat dengan hukum-hukum yang mengatur mekanisme alam semesta jelas
mengindikasikan penolakan itu. Sementara di sisi lain, ekonomi Islam
meletakkan wahyu sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan bagi manusia,
sementara akal memperoleh penghormatan sebagai sarana untuk memahami

14

wahyu tersebut. Fungsi pokok wahyu adalah menjelaskan fenomena ekonomi
dalam perspektif transendental dan hal-hal yang tak terjawab oleh logika. Oleh
karena itu, analisis ekonomi Islam menjangkau spektrum yang lebih luas
daripada analisis ekonomi konvensional (Hoetoro, 2007: 258).

3. Persoalan Metodologi
Dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi, metodologi ilmu ekonomi
merupakan hal yang penting dan mendasar karena melalui metodologi inilah
kebenaran hukum atau teori diharapkan tercapai. Perumusan teori-teori
ekonomi yang didasarkan kepada paradigma atau worldview Islam mau tidak
mau harus berangkat dari sebuah metodologi yang berbeda dengan metodologi
ilmu ekonomi saat ini. Secara prinsip, keduanya berbeda sama sekali dalam
banyak hal, terutama tentang tatanan nilai, filsafat dan pandangan dunia
(worldview) yang mendasari, alur sejarah perkembangannya serta posisinya
terhadap ilmu ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, proses Islamisasi ilmu
ekonomi diharapkan dapat mengintegrasikan keduanya yang meski berbeda,
namun juga memiliki sejumlah kesamaan yang bersifat natural (Muqorobin,
2005: 1).
Metodologi dalam ekonomi memuat seperangkat kriteria, aturan dan
prosedur yang digunakan untuk menguji sifat, ruang lingkup dan kinerja ilmu
ekonomi (Hoetoro, 2007: 245). Di bidang ilmu-ilmu sosial, termasuk
ekonomi, formulasi teori adalah pekerjaan yang berat karena terkait dengan
dinamika pelakunya dan seringkali terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Oleh karena itu, tujuan utama teori-teori sosial sebenarnya tidak untuk
memprediksi dan meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi
lebih dimaksudkan untuk menjelaskan dinamika peristiwa yang sedang
berlangsung. Namun ironisnya, terutama di ekonomi, sudah lama muncul
kecenderungan untuk membuat banyak penelitian empiris yang digunakan
sebagai dasar pijak teoritis dalam memprediksi kemungkinan yang mungkin
terjadi.

15

Barangkali banyak ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi yang
mengikuti pola pikir atau penalaran yang umum dipakai dalam dunia eksakta
(kealaman), seperti fisika, kimia dam biologi, yang memiliki parameter yang
sudah baku dan pasti, seperti gaya gravitasi, yang dibuktikan dengan bendabenda yang selalu jatuh mendekati bumi. Hal inilah yang menyebabkan
banyak lontaran kritik yang dialamatkan kepada metodologi ilmu ekonomi
karena terlalu matematik, steril dan tidak realistik serta sangat terasa kering
dari wacana etik dan nilai-nilai humanis yang semestinya tidak pernah lepas
dari kemanusiaan manusia itu sendiri (Adnan, 2000: 297).
Dalam hal metodologi ilmu ekonomi Islam, diantara tokoh yang
pernah menawarkan pemikirannya adalah Ismail Raji al-Faruqi (1982: 22-33),
yang menawarkan prinsip-prinsip dasar metodologi Islami, yaitu the unity of
Allah (SWT), the unity of creation, the unity of truth and the unity of
knowledge, the unity of life dan the unity of humanity.
Dengan menelaah pandangan ini, ternyata metodologi yang ditawarkan
al-Faruqi jauh berbeda dibandingkan dengan apa yang saat ini disebut sebagai
scientific approach. Scientific approach berbasis pada sesuatu yang empiris,
secara tidak langsung menafi'kan eksistensi Tuhan. Hal ini disebabkan karena
paham ini menilai bahwa sebuah kebenaran harus diperoleh dengan a
posteriori. Safi mencatat bahwa metodologi Barat memiliki dua kelemahan,
yaitu (1) terjebak kepada bias-bias empirisme yang mencapai puncaknya
dalam pendekatan positivisme logis, dan (2) pencabutan wahyu Ilahi sebagai
sumber pengetahuan ilmiah. Akibat dari bias-bias metodologi ini adalah
bahwa kebenaran ilmiah hanya dapat dibuktikan secara empiris dan logis atau
bahkan harus sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi. Sementara itu,
metodologi tradisional Islam juga mengandung kelemahan yaitu membatasi
ijtihad kepada penjelasan legalistik formal, terlalu atomistik dan terpaku
kepada pemikiran analogis (Hoetoro, 2007: 250).
Untuk mengatasi persoalan ini, terdapat dua pendekatan yang populer
dalam metodologi ekonomi islam, yaitu (1) pendekatan radikal (all-ornothing); dan (2) pendekatan bertahap (step by step). Pendekatan pertama

16

didasarkan kepada gagasan tentang universalitas dan kesempurnaan Islam
dengan mengandaikan terbentuknya sebuah model masyarakat Islam murni
sehingga prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat terwujud sepenuhnya.
Sementara itu, pendekatan kedua tampak lebih pragmatis. Pendekatan ini lebih
menekankan pada langkah-langkah yang evalusioner untuk memodifikasi
tatanan sosial-ekonomi modern menuju idealita Islam.

Nampaknya,

pendekatan kedua ini lebih banyak diminati karena dipandang memberi ruang
yang fleksibel untuk melakukan modifikasi dan perbaruan metodologis sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam. Pada umumnya, Islamisasi ekonomi menempuh
pendekatan ini (Hoetoro, 2007: 251).

Kerangka Metodologis Islamisasi Ilmu Ekonomi : Sebuah Tawaran
Sejauh yang penulis ketahui bahwa sampai saat ini, belum ada secara baku
apa yang disebut sebagai metodologi Islami, baik yang bersifat umum untuk
keseluruhan ilmu, apalagi yang bersifat khusus, seperti ilmu ekonomi Islam.
Namun, upaya pada arah ini telah mulai dilakukan, meskipun baru pada tahap
awal dan belum mencapai suatu hasil yang memuaskan. Oleh karena itu.
Islamisasi ilmu, pada intinya bertujuan memberikan landasan metodologi
pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan visi Islam. Caranya adalah dengan
mengintegrasikan nilai-nilai etika Islam (Naqvi), wahyu Islam (Louay Safi) atau
maqashid syari'ah (Umer Chapra) ke dalam konstruksi keilmuan ilmu ekonomi.
Anas az-Zarqa memberikan analisis yang menarik mengenai hubungan
antara ajaran-ajaran Islam dan sumsi-asumsi ekonomi ketika memasukkan aspekaspek normatif dan positif tersebut dalam pengembangan teori ekonomi Islam.
Menurutnya, banyak hal yang dianggap bersifat normatif oleh syari'ah ternyata
juga memiliki padanannya dengan asumsi ekonomi modern. Demikian juga
dengan sebagian aspek-aspek positif ekonomi, tampak kedua disiplin ilmu
ekonomi itu juga mempunyai beberapa elemen yang sama. Secara ringkas analisis
Anas az-Zarqa (2003: 12) tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

17

Hubungan Dinamik Aspek Normatif dan Positif
Asumsi-asumsi Islam

Asumsi-asumsi ekonomi

Asumsi-asumsi normatif

Asumsi-asumsi positif

Asumsi-asumsi normatif
1

3

5

2

4

6
Asumsi-asumsi positif

Gambar tersebut memberikan enam kategori asumsi, yaitu (1) asumsi
normatif Islam; (2) asumsi positif Islam; (3) asumsi normatif Islam yang
dikonfirmasi oleh ilmu ekonomi; (4) asumsi positif Islam yang dikonfirmasi oleh
ilmu ekonomi; (5) asumsi normatif ilmu ekonomi; dan (6) asumsi positif ilmu
ekonomi. Berdasarkan gambar di atas memungkinkan teori-teori ekonomi Islam
dibangun lebih realistis, dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama: Asumsi Normatif Islam (kategori 1 dan 3)
Sebagian ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi adalah bersifat normatif. Ayatayat yang berbicara tentang larangan riba (QS. Al-Baqarah (2): 275-276),
kecaman pemborosan (QS. Al-Isra' (7): 26-27), dan larangan menkonsumsi
makanan haram (QS. Al-Maidah (5): 3) adalah beberapa contoh ayat yang terkait
dengan aspek normatif ekonomi Islam. Pertanyaannya, mungkinkah aspek-aspek
normatif ini dikonfirmasi oleh ilmu ekonomi (kategori 3) ? Ternyata, banyak hal
yang dapat dirujukkan ke kasus ekonomi modern. Misalnya, teori tentang efisiensi
produktif adalah pencapaian produksi maksimal dengan biaya paling rendah yang
telah lama menjadi obsesi para ekonom, secara implisit menandakan adanya
preferensi ekonomi normatif. Ternyata, masalah ini juga dapat ditemukan
padanannya dalam ekonomi Islam, yaitu anjuran untuk memanfaatkan potensi
alam tanpa diikuti oleh tindakan-tindakan pemborosan. Jadi, jelas bahwa teoriteori ekonomi Islam yang diformulasikan dengan memerhatikan nilai-nilai
normatif agama ternyata tidak berada di ruang hampa. Bahkan pada dasarnya

18

semua ilmu pengetahuan tidak dapat menghindari fakta ini meskipun ilmu
pengetahuan Barat cenderung untuk mengingkarinya (az-Zarqa, 2003: 12).
Kedua: Asumsi Positif Islam (kategori 2 dan 4)
Asumsi ini menjelaskan realitas dengan merujuk pada relasi antar variabel
atau fakta-fakta yang terhubung. Beberapa contoh dapat diperhatikan dalam QS.
Ali Imron (3):15-16 mengenai kecintaan manusia terhadap kekayaan. Berdasarkan
ayat ini ditemukan adanya 2 (dua) pernyataan positif, yaitu (1) manusia memiliki
hasrat yang tak terbatas terhadap kekayaan (unlimited wants); dan (2) keimanan
kepada Allah membatasi hasrat tersebut pada tingkat moderasi yang dianjurkan.
Dengan demikian, ayat di atas tampak mengakui adanya kecenderungan
manusiawi untuk memuaskan keinginan yang tak terbatas sebagaimana definisi
ekonomi konvensional. Tetapi ekonomi Islam juga mengakui sisi lain dari hasrat
manusia ini bahwa moderasi adalah jalan yang terbaik sehingga pemuasan
keinginan ini tidak hanya didorong oleh pemuasan nafsu melainkan diletakkan
secara seimbang antara kebutuhan fisik dan spiritual (az-Zarqa, 2003: 13).
Ketiga: Asumsi Positif Ilmu Ekonomi (kategori 6)
Para ekonom sepakat bahwa teori-teori ilmu ekonomi menjustifikasi apa
yang sedang berlaku di masyarakat. Hal ini menandakan kuatnya pengaruh
positivistik dalam pengambangan teori ekonomi. Menariknya, dalam proses
teoretisasi fakta-fakta ekonomi tersebut sering berangkat dari perspektifnya
masing-masing, menandakan bahwa sebenarnya mereka juga dipengaruhi oleh
sistem nilai tertentu. Karena itu dapat diterima jika banyak orang menilai bahwa
teori-teori ekonomi positif pada dasarnya merefleksikan norma-norma, tata nilai
dan worldview Barat, tidak hanya merupakan sebuah analisis positif fenomena
ekonomi.
Berangkat dari uraian di atas, maka formulasi teori tidak hanya berangkat
dari aspek-aspek positif saja melainkan juga memasukkan aspek-aspek normatif
yang diambilkan dari ketentuan syari'at. Dengan demikian, ketika nilai-nilai
masuk dalam teori dan kebijakan ekonomi, pemisahan secara tegas antara aspek
normatif dan positif menjadi tidak relevan lagi karena pada dasarnya keduanya
saling berhubungan. Hal ini justru semakin memperkuat justifikasi ekonomi Islam

19

sebab model atau hipotesis yang dibangun ditentukan oleh kesesuaiannya dengan
asumsi dan prinsip-prinsip syari'at (Hoetoro, 2007: 267-268).
Namun demikian, pemaduan aspek normatif dalam perumusan teori
ekonomi Islam harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh dilakukan secara
serampangan dan gegabah. Kesalahan dalam memadukan aspek normatif ke
dalam perumusan teori ekonomi akan menimbulkan dampak yang serius. Sebuah
hukum ekonomi yang sudah berlaku secara umum tidak perlu dipaksa untuk
menerima nilai normatif agama ke dalam formulasi teori. Misalnya, hukum
permintaan menjelaskan hubungan antara jumlah barang dan harga; bila
permintaan terhadap barang tertentu naik/turun, maka harga barang tersebut akan
naik/turun pula, ceteris paribus. Ini merupakan sebuah hukum ekonomi yang
berlaku bagi siapa saja, baik di Barat maupun di Timur atau fitrah yang ditemukan
dalam perilaku ekonomi manusia tanpa melihat atribut apapun yang dimilikinya.
Untuk itu, perumusan teori ekonomi Islam tidak perlu memaksa diri dengan cara
membuat inkonsistensi teori bahwa untuk konsumen Muslim hukum permintaan
tidak berlaku lagi karena adanya aspek-aspek religius yang menjadi bahan
pertimbangan dalam keputusan sehingga berdampak kepada kurva permintaan
yang berbeda antara konsumen Muslim dan non-Muslim (Hoetoro, 2007: 269).
Menurut penulis, kurva permintaan tidak akan mengalami perubahan, tetapi bisa
bergerak sesuai dengan definisi terhadap realitas yang juga senantiasa berubah.
Hal ini tergantung pada asumsi-asumsi yang dibangun, misalnya, zakat dapat
membuat pola permintaan berubah yang dengan sendirinya dapat menggeser
kurva permintaan. Namun jangan dibingungkan dengan pergeseran barang yang
diminta pada kurva permintaan yang sama.
Dalam pandangan lain, Anas az-Zarqa sebagaimana dikutip oleh
Ahmadiono (2003: 208) berpendapat konsep Islamisasi al-Faruqi juga dapat
memainkan peranan dalam proses Islamisasi ilmu ekonomi. Kedua belas langkah
dalam work-plan al-Faruqi merupakan langkah-langkah ideal dan sempurna
sebagai acuan Islamisasi ekonomi. Secara fundamental, kedua belas langkah
dalam work-plan al-Faruqi berkisar pada tiga wilayah prinsip, yaitu: penguasaan
terhadap disiplin tertentu pengetahuan modern (1, 2, 6), penguasaan dan

20

penentuan relevansi Islam yang dapat ditemukan dalam warisan Islam terkait
dengan disiplin tersebut (3,4,5,7) dan adanya upaya sintesis untuk membangun
disiplin dimaksud dalam perspektif Islam (10). Sedangkan langkah 8,9,11 dan 12
merepresentasikan komitmen moral individu terhadap pilihan persoalan dan
sumber. Secara jelas, kedua belas langkah dalam work-plan al-Faruqi adalah
sebagai berikut (Haneef, 2005: 59):

The Necessary Steps Leading to
Islamization of Knowledge
Mastery of the Modern
Discipline

Mastery of the Islamic
Legacy: the Anthology

Disciplinary Survey

Mastery of the Islamic
Legacy: Analysis

Establishment of Specific Relevance of Islam to the Discipline
Critical Assessment of the
Modern Discipline

Critical Assessment of the
Islamic Legacy

Survey of the Ummah’s Major
Problems
Survey of the Problems of
Humankind
Creative Analysis and
Synthesis
Creating Discipline under
Islamic Framework
Disseminating Islamic
Knowledge

Kritik terhadap Islamisasi Pengetahuan
Wacana Islamisasi pengetahuan ini tak lepas dari kritik dan memicu
banyak kontroversi. Beberapa pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur
Rahman, Abdus Salam, Ziauddin Sardar, Timur Kuran, Louay Safi, dan M. Arif
mengkritik Islamisasi ilmu pengetahuan. Para penentang wacana ini berpendapat
bahwa

Islamisasi

pengetahuan

sebenarnya

tidak

perlu,

mengingat

ketidakmampuannya dalam menciptakan disiplin ilmu yang kokoh sebagaimana
capaian ilmu-ilmu modern. Islamisasi dalam kenyataannya hanyalah memberikan
label Islam tanpa mengubah sedikitpun bangunan pengetahuan yang ingin diIslamkan. Bahkan dengan sengit, Kuran mengkritik bahwa nilai-nilai Islam

21

(terutama aktivitas ekonomi) sebenarnya hanya cocok diterapkan di zaman yang
masih sederhana seperti di masa awal pertumbuhan Islam sampai masa abad
pertengahan. Islam tidak sesuai untuk dunia modern yang sangat impersonal dan
karena itu usaha untuk meng-Islamkan ilmu pengetahuan modern hanya akan
memboroskan waktu, energi dan pikiran (Hoetoro, 2007: 156).
Pada dasarnya sebagian besar kritik atas Islamisasi pengetahuan diarahkan
pada tahap-tahap Islamisasi al-Faruqi yang dituangkan dalam dua belas langkah.
Sebagian mengktitisi secara menyeluruh dan sebagian lainnya memberi kritik
pada aspek-aspek tertentu dalam Islamisasi. Adalah Ziauddin Sardar yang sejak
tahun 1980 memberikan kritik paling komprehensif atas wacana Islamisasi ini.
Dalam rediscovery of Islamic Epistemology, Sardar mengkritisi gagasan al-Faruqi
yang hanya memfokuskan pada langkah-langkah mekanik Islamisasi tanpa
mempersoalkan lebih jauh nature dari epistemologi ilmu pengetahuan Barat.
Langkah-langkah tersebut sulit untuk dioperasionalkan dan batasan untuk setiap
tahapan yang dilakukan tampak kabur (Hoetoro, 2007: 175).
Kritik lainnya diberikan oleh Fazlur Rahman dalam Islamization of
Knowledge: a response, bahwa work-plan al-Faruqi sebenarnya tidaklah
mencukupi untuk Islamisasi itu sendiri sebab yang diperlukan sebenarnya bukan
penciptaan proposisi melainkan akal pikiran. Pada dasarnya, ilmu pengetahuan
adalah baik. Masalah kemudian muncul adalah disebabkan penggunaan yang
salah oleh mereka yang memiliki ilmu pengetahuan itu (Baidowi, 2002: 186).
Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas seperti 'senjata
bermata dua' yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung jawab
sekaligus dalam cara menggunakannya secara benar (Armas, 2005: 10). Oleh
karena itu, sesungguhnya yang paling diperlukan adalah melahirkan para pemikir
yang tercerahkan oleh tradisi ilmiah Islam sehingga dapat mempelajari secara
kritis bangunan ilmu pengetahuan modern.
Baik Sardar maupun Rahman memberikan kritik yang menyeluruh
terhadap Islamisasi pengetahuan al-Faruqi. Jika Ziauddin Sardar mempersoalkan
epistemologi ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi fokus utama Islamisasi,
maka Fazlur Rahman tampaknya lebih condong pada Islamisasi moralitas

22

manusianya. Menurut Sardar, yang dikenal dengan Ijmali, perlu adanya
pendekatan yang menyeluruh dan radikal untuk berkembangnya Islamisasi ilmu
pengetahuan. Pencangkokan metodologi secara parsial hanya akan melahirkan
ilmu pengetahuan yang seolah-olah Islami tetapi sebenarnya masih berpijak pada
analisis Barat. Oleh karena itu, diperlukan pendefinisian ulang kategori ilmu-ilmu
pengetahuan yang benar-benar diperlukan oleh dunia Islam modern (Hoetoro,
2007: 177).
Pada umumnya, para pengkritik Islamisasi ilmu berpendapat bahwa sains
adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan independent dari manusia, budaya atau
agama dan harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam menyatakan,"There is
only one universal science, its problems and modalities are international and
there is no such thing as Islamic science just as there is no Hindu science, no
Jewish science, nor Christian science"(Daud, 1998: 410).
Pernyataan Abdus Salam menunjukkan bahwa tidak ada yang namanya
sains Islam. Pernyataan sekuler ini menunjukkan bahwa Abdus Salam
menceraikan pandangan dunia Islam menjadi dasar metafisis kepada sains.
Padahal pandangan dunia Islam akan selalu terkait dengan pemikiran dan aktivitas
seorang saintis. Pernyataan Abdus Salam di atas menunjukkan pernyataan seorang
saintis Muslim sekuler.
Kritik lain yang tajam dikemukakan oleh Timur Kuran tentang
inkonsistensi labelisasi Islam terhadap disiplin ilmu-ilmu sosial (ekonomi)
modern. Menurutnya, Islamisasi pengetahuan (dan ekonomi Islam) sebenarnya
merupakan dampak dari kebangkitan fundamentalisme Islam yang tumbuh subur
sejak tahun 1940 di India. Hal ini disebabkan sebelum abad 20 tidak pernah
terdengar istilah-istilah ilmu pengetahuan yang diembel-embeli label Islam. Di
masa Ibn Khaldun, misalnya tidak pernah ada ilmu sosiologi, politik atau ekonomi
Islam. Akibatnya, pengembangan ilmu pengetahuan Islam tampak lebih
bermuatan jargon-jargon ideologis-fundamentalis dan diliputi kepentingan politik
jangka pendek ketimbang semangat ilmiah sebagaimana yang telah dicapai oleh
ilmu pengetahuan Barat modern (Hoetoro, 2007: 178).

23

Sementara itu, Safi sebagaimana dikutip oleh Hoetoro (2007: 178)
memberikan kritik Islamisasi pada aspek metodologi. Dalam The Quest for an
Islamic Methodology: The Islamization of Knowledge Project in Its Second
Decade, menyatakan bahwa kemunculan ilmu pengetahuan yang sudah
terislamkan (Islamized knowledge) mustahil terjadi tanpa adanya aplikasi
metodologi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan itu. Langkah pertama yang
diperlukan sesungguhnya adalah penciptaan metodologi yang memadukan tradisi
ilmiah Islam dan modern, sehingga dapat memfasilitasi pengembangan ilmu-ilmu
pengetahuan Islam modern. Sampai kini, kritik Safi tampak tetap relevan karena
memang bidang inilah yang sesungguhnya belum tergarap secara tuntas.
Penggunaan metodologi yang kurang seimbang, misalnya terlalu fiqhiyah –seperti
kini banyak dijumpai dalam pengembangan institusi keuangan dan perbankan
Islam – dirasakan tidak mencukupi untuk tumbuhnya ilmu pengetahuan Islam
modern yang kokoh.
Pentingnya aspek metodologi ini juga ditekankan oleh Arif yang
memandang bahwa metodologi Islamisasi pengetahuan bisa saja mencontoh
pengembangan metodologi yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan modern.
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah melalui proses stratifikasi sistem
ilmiah yang ditujukan untuk merepresentasikan cakupan konsep dan teorema
mendekati pengalaman yang secara logis berakar pada basis konsepsi fundamental
dan aksioma. Tujuan praktis dari proses stratifikasi ini adalah memberikan
pemahaman umum berfungsinya sistem ilmiah yang dibangun di atas dasar
filosofi dan worldview tertentu (Hoetoro, 2007: 179).
Meskipun banyak kritik yang diarahkan kepada gagasan Islamisasi
pengetahuan, namun hal ini justru menandakan bahwa sebenarnya wacana
Islamisasi pengetahuan direspon secara luas. Oleh karena itu, walaupun dalam
perjalanannya Islamisasi ini tidak semulus sebagaimana yang diharapkan, gagasan
ini ternyata masih terus dikembangkan secara spesifik pada bidang-bidang ilmu
tertentu (terutama adalah ilmu-ilmu sosial). Salah satu hasil yang dicapai dapat
dilihat dengan semakin meluasnya kajian tentang ekonomi Islam dilengkapi

24

dengan berbagai institusi Keuangan dan perbankan Islam yang semakin banyak
diminati masyarakat.

Catatan Penutup
Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dibuat
beberapa catatan akhir sebagai berikut:
1.

Islamisasi pengetahuan telah membuahkan hasil yang potensial untuk
berke