TP (Dr. Arry B)

  PENDAHULUAN

  Pasien imunokompromais adalah pasien yang respons imunnya menurun (lemah) karena pemakaian obat imunosupresan, radiasi, malnutrisi dan adanya proses penyakit misalnya keganasan, infeksi human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) dan lain sebagainya. Pada keadaan tersebut pasien mengalami gangguan berat pada imunitas selularnya, 1-4 sehingga rentan terhadap berbagai infeksi, termasuk jamur. Penyakit infeksi jamur pada pasien imunokompromais dapat digolongkan menjadi infeksi jamur lokal (superfisial) dan infeksi jamur invasif. Infeksi jamur superfisial yang sering dijumpai adalah dermatofitosis, malaseziosis dan kandidiasis superfisial. Infeksi jamur invasif meliputi kandidiasis diseminata, aspergilosis, zigomatosis, fusariosis, histoplasmosis, kriptokokosis dan sebagainya. Secara klinis infeksi jamur pada pasien imunokompromais berbeda dengan infeksi jamur pada individu imunokompeten. Pada pasien imunokompromais bersifat atipik, yaitu mempunyai gambaran klinis, perjalanan penyakit, jamur penyebab, lokasi dan distribusi yang berbeda. Selain itu sensitivitas 2-8 terhadap antijamur relatif rendah. Hal tersebut akan berakibat fatal bagi pasien. Tinjauan pustaka ini membahas diagnosis klinis infeksi jamur yang sering dijumpai pada pasien imunokompromais, pilihan terapi, serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan terapi.

INFEKSI JAMUR SUPERFISIAL (LOCALIZED MYCOSIS) DERMATOFITOSIS

  Dermatofitosis jarang dilaporkan pada imunokompromais, mungkin karena morbiditas dan mortalitas yang rendah. Bila menyebabkan infeksi, dermatofit biasanya akan bersifat oportunistik patogen. Walaupun infeksi Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes sering dilaporkan sebagai peyebab infeksi jamur pada pasien imunokompromais dan juga pada populasi umum, namun 1-4,6,7 bentuk diseminata jarang terjadi. Infeksi dermatofitosis pada kulit dibagi menjadi 3 kategori yaitu dermatofitosis superfisial, dermatofitosis deep dermal dan perifolikulitis noduler granulomatosa. Dermatofitosis superfisial dapat melibatkan permukaan kulit yang sangat luas, tidak dirasakan gatal, dan sering tidak berespon terhadap terapi standar yang diberikan. Demikian juga tinea pedis pada pasien HIV dapat mengenai dorsum pedis (tipe moccasin) bahkan dapat mengenai semua ekstremitas. Dermatofitosis deep dermal akibat T. rubrum pada populasi umum jarang terjadi, tetapi pada pasien imunokompromais dapat dijumpai. Tipe ini ditandai dengan adanya nodul ulseratif, kemerahan, berfluktuasi, multipel, terdistribusi pada ekstremitas ataupun pada predileksi dermatofitosis superfisial, dan bersifat kronis. Gambaran histopatologi menunjukkan adanya histiosit, limfosit, neutrofil pada dermis dengan reaksi radang granulomatosa. Elemen hifa tidak dijumpai di stratum korneum tetapi dijumpai pada dermis 2-4,9,10 dengan bentuk yang lebih tebal dan pendek. Dermatofitosis perifolikulitis noduler granulomatosa (Granuloma Majocchi’s) adalah contoh infeksi T. rubrum tipe dermal atipik yang sering dijumpai pada pasien imunokompromais. Infeksi ini ditandai dengan adanya papul, nodus warna keunguan pada daerah traumatik (ekstremitas bawah) yang sering disertai onikomikosis, tinea korporis, dan tinea pedis. Pada pemeriksaan histopatologik ditemukan granuloma perifolikular sebagai tanda adanya invasi jamur pada folikel rambut. Dengan pewarnaan periodic acid-schiff (PAS) ditemukan hifa bersepta yang dikelilingi reaksi radang 2-4,6,11 granulomatosa. Onikomikosis dapat timbul pada pasien imunokompromais dan letak anatomisnya sama dengan pasien imunokompeten yaitu distal lateral subungual onychomycosis (DLSO) dan proximal

  

white subungual onychomycosis (PWSO). Tetapi pada pasien imunokompromais terutama pada

  pasien infeksi HIV terdapat peningkatan frekuensi onikomikosis pada daerah predileksi tersebut; bahkan dikatakan bahwa salah satu tanda klasik pasien HIV adalah onikomikosis tipe PWSO, yang ditandai dengan adanya plak putih pada bagian proksimal kuku. Apabila pada identifikasi penyebab disamping dermatofita juga ditemukan infeksi non dermatofita seperti kandida dan kapang, maka hal ini disebut sebagai infeksi campuran walaupun penyebab utamanya tetap dermatofita sedangkan 3,5-7 organisme yang lain hanya sebagai infeksi ikutan.

  Pemeriksaan KOH dan kultur untuk mengidentifikasi jamur penyebab dilakukan pada semua pasien yang dicurigai dermatofitosis. Dermatofitosis superfisial dapat diobati dengan antifungal topikal ataupun sistemik, tetapi pada pasien imunokompromais kadang diperlukan terapi sistemik yang lebih lama (12 minggu). Antifungal pilihan pada pasien imunokompromais adalah flukonazol, itrakonazol, dan terbinafin dengan dosis yang sama seperti pada pasien imunokompeten. Beberapa laporan kasus hanya dengan terapi untuk infeksi HIV tanpa antijamur, dan ternyata memberi kesembuhan. Highly

  

active anti retroviral therapy (HAART) yang diberikan pada pasien HIV seropositif dengan jumlah

  CD4> 500/ml mencegah terjadinya infeksi oportunistik. Bila HAART diberikan pada CD4 100/ml, maka infeksi dermatofit termasuk tinea unguium dapat mengalami perbaikan maupun kesembuhan tanpa pemberian terapi spesifik antifungal. Jadi HAART secara signifikan dapat memperbaiki fungsi imun 2,7 pada pasien HIV.

FOLIKULITIS MALASSEZIA FURFUR

  Frekuensi pitiriasis versikolor tidak meningkat pada kasus infeksi HIV, tetapi penyakit yang sering dijumpai akibat malassezia furfur adalah folikulitis Malassezia, yang terutama terdapat pada pasien tranplantasi organ. Penyakit ini ditandai dengan erupsi pustul, makula, papul pruritik dengan distribusi generalisata. Pada beberapa kasus terdapat lesi menyerupai akne vulgaris pada wajah, dada, dan punggung. Pada pemeriksaan KOH dijumpai hifa pendek dan sel ragi bulat (spaghetti and

  

meat ball). Folikulitis ini sering diduga kandidiasis diseminata karena pada pemeriksaan biopsi

  dijumpai sel ragi, sehingga perlu dilakukan kultur dengan media khusus untuk Malassezia. Media yang dipakai mengandung lipid dan asam lemak seperti media Leeming-Notman. Beberapa pilihan terapi yang cukup efektif adalah klotrimazol topikal, ketokonazol 200 mg/hari dan flukonazol 100 mg/hari 2-4,6,12,13 selama 2 minggu.

KANDIDIASIS SUPERFISIAL

  Kandidiasis merupakan infeksi jamur tersering pada pasien imunokompromais. Faktor predisposisi kandidiasis yaitu pasien imunokompromais adalah adanya defek imunitas selular atau neutropenia, penggunaan obat imunosupresan, terapi antibiotik jangka panjang, hiperglikemi, 2- 4,6 pemasangan infus (intravena), pemasangan kateter dauer, dan perawatan yang lama di rumah sakit.

  Prevalensi kandidiasis mukosa pada pasien HIV sebesar 90%, yang ditandai dengan thrush (kandidiasis oral) dan kandidiasis vagina rekuren. Manifestasi kandidiasis lainnya adalah kandidiasis intertrigo dengan lesi satelit. Secara epidemiologis, kandidiasis superfisial didapatkan lebih banyak pada pasien AIDS, sedangkan infeksi kandidiasis diseminata dijumpai lebih banyak pada pasien 2-4,6 transplantasi organ

  Pada pasien imunokompromais dijumpai 4 tipe infeksi kandidiasis oral yaitu, bentuk pseudomembran, eritema (atropi), keilitis angular, dan kandidiasis hiperplastik kronis. Bentuk pseudomembran ditandai dengan adanya plak putih pada lidah, uvula, palatum dan permukaan bukal, dan merupakan bentuk yang paling sering dijumpai. Bentuk eritema (atropi) ditandai dengan makula kemerahan tanpa plak sehinnga nyaris tidak dikenali. Pada keilitis angular dapat dijumpai eritema dan skuama pada komisura mulut sedangkan kandidiasis hiperplastik kronis ditandai dengan lesi leukoplakia yang diskret. Antifungal yang dapat dipilih untuk kandidiasis superfisial adalah klotrimazol, nistatin topikal. Bila gagal dapat diberikan terapi sistemik misalnya flukonazol 100mg/hari, itrakonazol 100-200mg/hari, dan vorikonazol 200- 400 mg/hari sampai terjadi perbaikan klinis. Di samping pemberian antifungal, mengendalikan faktor predisposisi merupakan faktor penting dalam 2-4, 6,14 keberhasilan terapi kandidiasis dan juga mencegah rekurensi.

INFEKSI JAMUR INVASIF KANDIDIASIS DISEMINATA

  Lokasi infeksi kandida tersering pada pasien imunokompromais adalah di mukosa. Walaupun demikian kandidiasis diseminata sering juga dijumpai. Kandidiasis diseminata dapat diperkirakan dengan mengenali adanya trias klasik yaitu demam, mialgia, dan kulit eritematosa pada pasien sepsis yang tidak responsif terhadap pengobatan antibiotika. Jamur ini dapat menyebar ke organ lain, sehingga terjadi miositis, meningitis, endokarditis, pneumonitis, esofagitis, dan sebagainya. Prognosis 2,4 kandidiasis pada pasien imunokompromais buruk dengan tingkat kematian mencapai 75%.

  Manifestasi kutan pada kandidiasis diseminata hanya 5-10 %, dapat berupa makula eritematosa, papul, dan nodus tanpa nyeri yang kemudian menjadi purpurik, pustular, dengan nekrosis di tengah lesi. Distribusi umumnya generalisata walaupun dapat dijumpai pasien dengan beberapa lesi terbatas pada ekstremitas bagian proksimal. Secara histologis dijumpai inflamasi ringan 2,4 dan ditemukan sel ragi pada PAS.

  Galur yang sering dijumpai pada pemeriksaan kultur adalah Candida albicans, C. tropicalis,

  

C. parapsilosis, C. Kruzei, dan Torulopsis glabarata. Terapi pilihan pada kandidiasis diseminata yang

  disebabkan karena C. albicans sensitif azol adalah flukonazol sedangkan yang resisten azol dapat diberikan amfoterisin B ataupun caspofungin. Dalam pedoman terapi kandidiasis invasif oleh

  

Infectious Diseases Society of America (IDSA) disebutkan terapi pilihan untuk kandidiasis invasif

  adalah vorikonazol dengan loading dose 6 mg/kgbb/hari intravena, dua kali sehari, dan setelah 2

  

loading doses, diteruskan dengan 4mg/kgbb/hari intravena dua kali sehari. Kemudian dilanjutkan

  dengan 400 mg/hari oral, dua kali sehari, dan setelah 2 dosis, dilanjutkan dengan 200mg/hari oral dua kali sehari. Dosis amfoterisin B adalah 0,7- 1mg/kgbb/hari. Pemakaian caspofungin dimulai dengan

  

loading dose 70 mg/hari intravena dan dilanjutkan dengan 50 mg/hari intravena. Upaya mengganti

  secara rutin kateter dauer dan infus juga perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor risiko 2,4,15,16 kandidimia.

  ASPERGILOSIS Aspergillosis merupakan penyebab kedua terbanyak infeksi jamur diseminata pada pasien

  imunokompromais setelah kandida. Penyebab utama infeksi diseminata aspergilus adalah Aspergillus

  

fumigatus, sedangkan penyebab penyakit kutan primer adalah Aspergillus flavus. Infeksi umumnya

  diperoleh dari menghirup spora aspergilus. Infeksi diseminata ditandai dengan adanya demam yang berkepanjangan walaupun telah diterapi dengan antibiotik, pneumonia nekrosis, dan sinusitis. Organ- organ lain yang dapat terlibat adalah susunan saraf pusat (SSP), jantung, ginjal, dan usus. Frekuensi manifestasi kutan pada infeksi diseminata hanya 5-10 %. Lesi awal dapat terjadi di tempat insersi kateter, skar operasi, dan daerah dekubitus berupa papul eritematosa nodus dan plak, yang terasa nyeri, soliter maupun multipel, yang meluas secara cepat dan membentuk lesi hemoragik di sentral. Lesi lain berupa vesikel atau bula yang berkembang menjadi ulkus nekrotik dan selulitis. Lesi kutan, lesi paru, maupun lesi pada sinus karena aspergilus dapat menjadi diseminata dengan angka 2,4,5,16,17 kematian mencapai 90%. Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologik dengan ditemukannya hifa bersepta tanpa pigmen yang bercabang-cabang dengan sudut tajam. Hasil kultur darah kurang dapat dipercaya 2,4,5,17 karena aspergilus merupakan kontaminan umum di laboratorium. Terapi pilihan untuk aspergilosis adalah amfoterisin B intravena 1mg/kgbb/hari, dan pada beberapa kasus dapat diterapi dengan itrakonazol oral. Pada aspergilosis kutan primer terapi 2,4,5,17 ditambahkan dengan eksisi ataupun debridemen.

  MUKORMIKOSIS

  Penyakit ini merupakan infeksi jamur oportunistik ketiga tersering pada pasien imunokompromais setelah kandida dan aspergilus. Infeksi ini jarang terjadi kecuali bila ditemukan faktor predisposisi seperti pada kandidiasis termasuk di antaranya gangguan hati dan ginjal, anemia, luka bakar, dan malnutrisi berat. Jamur penyebab dikenal sebagai bread molds, yaitu filum

  

zygomycetes, ordo mucorales termasuk spesies Mucor, Rhizopus, Absidia, Mortierella dan

Cunninghamella. Infeksi primer didapat melalui inhalasi, inokulasi langsung pada kulit rusak, dan

  ingesti. Infeksi melalui inhalasi pada diabetes dan asidosis metabolik dapat mengalami rinoserebral primer dan infeksi paru sedangkan infeksi inokulasi langsung terjadi melalui perlukaan. Infeksi melalui ingesti pada pasien malnutrisi dan gangguan gastrointestinal dapat menimbulkan infeksi gastrointestinal primer. Semua tipe infeksi primer ini dapat berkembang menjadi diseminata dan 2,4,5,18 prognosisnya buruk. Rasa nyeri pada nodus, plak, dan eskar hitam disebabkan karena adanya invasi vaskular, infark iskemik, dan nekrosis. Mukormikosis rinoserebral diawali dengan edema dan eritema wajah, hidung mengeluarkan darah, ulserasi palatum dan septum nasal. Dalam beberapa hari timbul lesi kulit kehitaman (eskar), nyeri kepala, eksophtalmus, gangguan penglihatan, disertai dengan kejang, stupor, koma, dan kematian. Mukormikosis primer kulit karena perlukaan bermanifestasi sebagai ulkus nekrotik dengan bau busuk dan eksudat purulen. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya hifa tidak bersepta dan bercabang pada jaringan yang terinfeksi. Terapi pilihan pada mukormikosis adalah amfoterisin B intravena, debridemen, dan mengendalikan faktor predisposisi. Pada beberapa publikasi, mukormikosis diseminata mempunyai prognosis yang buruk dengan angka kematian 2,4,5,18 mencapai 100%.

  FUSARIOSIS

  Fusarium adalah kapang filamentosa yang terdapat pada tanah dan tanaman. Pasien imunokompromais terinfeksi melalui inhalasi spora, kulit yang rusak, maupun dari tempat pemasangan kateter dauer. Infeksi pada paru, sinus, dan kulit dapat berkembang menjadi diseminata. Lesi kutan merupakan manifestasi klinis yang tersering dijumpai (75%) dengan lesi yang menyerupai lesi pada aspergilosis. Lesi dapat berupa nodus atau plak eritematosa yang dirasakan nyeri dan berkembang menjadi ulkus dan eskar hitam. Berbeda dengan aspergilosis, fusarium dengan mudah dapat dikultur dari jaringan maupun dari darah pasien. Gambaran fusarium dalam pemeriksaan mikroskopik langsung berupa hifa bersepta dengan percabangan bersudut 45 . Terapi yang efektif untuk infeksi ini 2,4,19.20 pada pasien imunokompromais tidak ada, sehingga prognosisnya buruk.

  TRIKOSPORONOSIS

  Infeksi ini disebabkan karena Trichosporon beigelii, suatu organisme yang mirip ragi yang menjadi penyebab piedra putih di daerah tropis. Pasien yang terinfeksi tampak sakit berat seperti pada kandidiasis diseminata. Infeksi ini dapat ditandai dengan adanya demam, hipotensi, keterlibatan paru, ginjal, dan hepatosplenomegali. Frekuensi kelainan kulit sebesar 30% dengan gejala serupa dengan kandidiasis diseminata. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil kultur. Pilihan terapi adalah 2,4,5 flukonazol dan amfoterisin B intravena.

  KRIPTOKOKOSIS

  Kriptokokosis disebabkan oleh Cryotococcus neoformans, jamur mirip ragi berkapsul yang banyak didapatkan pada tanah yang mengandung feses burung dara. Infeksi primer terjadi melalui inhalasi spora. Penyakit ini umumnya tanpa gejala, tetapi pada pasien imunokompromais dapat terjadi penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi diseminata. Infeksi dapat menyebar sampai ke SSP, 2,4,5 paru, sumsum tulang, jantung, liver, empedu, ginjal, tiroid, limfonodi dan glandula adrenal. Manifestasi kutan terjadi pada 10-15% pasien kriptokokosis diseminata. Pada pasien transplantasi organ, klinis dapat berupa plak eritematosa, edema, teraba hangat dan nyeri yang tidak dapat dibedakan dengan selulitis bakteri. Bentuk kelainan kulit lainnya berupa papul umbilikasi, nodus, pustul, vesikel, dan ulkus. Pada mukosa mulut dapat berupa nodus dan ulserasi dengan rasa nyeri. 2,4,5 Predileksi tersering adalah kepala, leher, dan ekstremitas.

  Pemeriksaan penunjang berupa biopsi jaringan kulit ataupun pus. Terlihat ragi berkapsul warna merah pada pewarnaan PAS; sedangkan pada pewarnaan perak metenamin, ragi berkapsul berwarna hitam. Terapi pilihan pada infeksi tanpa keterlibatan SSP adalah flukonazol 200-400 mg/ hari, sedangkan bila terdapat keterlibatan SSP dapat diberikan amfoterisin B intravena dengan 2,4,5,8,21,22,25 flusitosin selama 2 minggu dan diteruskan dengan flukonazol selama 10 minggu.

  HISTOPLASMOSIS

  Histoplasmosis disebabkan oleh Histoplasma capsulatum jamur dimorfik yang didapatkan di tanah, terutama di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Infeksi primer didapatkan melalui inhalasi spora yang pada individu imunokompeten dapat sembuh spontan. Pada imunokompromais dapat dijumpai gejala demam, gagal ginjal, gangguan SSP, hepatosplenomegali, 2,4,5,22,23,25 limfadenopati, dan mielosupresi. Manifestasi kutan pada histoplasmosis diseminata berupa plak atau nodus nyeri yang berkembang menjadi ulkus dengan indurasi tepi. Kadang-kadang juga dijumpai papul menyerupai moluskum, papul akneiformis, pustul, dan selulitis. Predileksi tersering adalah daerah kepala dan 2,4,5,22,23,25 leher.

  Identifikasi histoplasmosis dengan menemukan sel intraselular menyerupai ragi, berukuran kecil dan dalam jumlah banyak, pada sputum, darah tepi, sumsum tulang, dan spesimen biopsi. Pada kultur jaringan, histoplasmosis tumbuh lambat, koloninya berwarna putih, dan memproduksi dua tipe spora. Spora yang besar berukuran 8-15um, dan bulat disebut makrokonidia serta spora yang lebih 2,4,5,22,23,25 kecil disebut mikrokonidia.

  Terapi pilihan adalah amfoterisin B intravena untuk infeksi yang diseminata atau infeksi 2,4,5,22,23,25 dengan keterlibatan SSP. Pada infeksi yang lebih ringan dapat dipilih itrakonazol dan flukonazol.

  KOKIDIOIDOMIKOSIS

  Kokidioidomikosis disebabkan oleh Coccidioidomycosis immitis yang terdapat pada tanah dan infeksi primer terjadi melalui inhalasi. Gejala infeksi diseminata dapat berupa panas tinggi, pneumoni, keterlibatan tulang, dan meningitis. Manifestasi kulit berupa papul merah kecoklatan, nodus, pustul, abses, atau ulkus dengan predileksi terbanyak adalah wajah. Manifestasi kulit seperti ini sering pada pasien HIV/AIDS yang disebut molluscum contagiosum-like eruption. Diagnosis pasien dengan ditemukan endosporulating spherules (250um) pada sediaan apus, biopsi, ataupun kultur. Terapi 2,4,5,22 pilihannya adalah amfoterisin B intravena dan flukonazol oral.

  BLASTOMIKOSIS

  Blastomikosis disebabkan oleh Blastomyces dermatiditis yang didapatkan di tanah. Lesi diseminata dapat melibatkan paru (80%), tulang, genital, dan kulit. Lesi berupa plak verukus atau berkrusta dengan tepi meninggi pada daerah kepala, leher, dan ekstremitas. Lesi lain berupa nodus dan ulkus juga sering dijumpai. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan pus, atau kerokan pada tepi lesi yang meninggi dengan ditemukan dinding ragi yang tebal. Pilihan terapi adalah 2,4,5,25 amfoterisin B intravena atau itrakonazol.

  SPOROTRIKOSIS

  Sporotrikosis disebabkan oleh jamur dimorfik Sporotrix schenckii (bentuk miselium pada suhu

  25 C dan bentuk ragi pada suhu 37

  C), yang diperoleh karena inokulasi trauma atau inhalasi spora jamur. Kelainan kulit akibat inokulasi, berupa papul, nodus dengan perluasan secara limfogen kutan yang disebut sebagai sporotrichoid pattern. Lesi eritematosa berwarna keunguan dengan permukaan datar atau verukus dan dapat terjadi ulserasi. Manifestasi ektrakutan berupa osteoartritis, penyakit paru kronis, dan keterlibatan SSP yang terjadi akibat penyebaran hematogen pada pasien 2,4,5,24,25 imunokompromais.

  Gambaran histopatologik adalah radang granulomatosa dengan hiperplasia pseudoepiteliomatosa. Pada perwarnaan PAS dapat ditemukan spora berbentuk cigar (cerutu) di dalam granuloma. Terapi pilihan pada sporotrikosis kutan adalah kalium yodida 4-6 ml, 3 kali sehari yang diteruskan selama 3-4 minggu setelah tercapainya kesembuhan klinis. Pengobatan alternatif adalah itrakonazol 100mg-200mg/hari atau terbinafin 250 mg/hari sedangkan pada yang diseminata ataupun dengan keterlibatan SSP diberikan amfoterisin B intravena. Terapi diteruskan sampai 1 2,4,5,24,25 minggu setelah terjadi perbaikan klinis.

  PENISILINOSIS

  Penyakit ini disebabkan oleh Penicillium marneffei yang endemis didapatkan di Asia Tenggara dan Cina Selatan. Gejalanya adalah penurunan berat badan yang drastis, demam, malaise, dan limfadenopati. Keterlibatan kulit akibat penisilinosis sering terjadi pada penisilinosis diseminata dengan adanya papul kecil dengan umbilikasi di sentral dengan atau tanpa nekrosis dengan predileksi tersering adalah wajah, kepala, badan, dan ektremitas atas . Penisilinosis mempunyai lesi dan distribusi mirip dengan lesi pada histoplasmosis, kriptokokosis, kokidioidomikosis yang disebut 2,4,5,24 sebagai molluscum contagiosum-like eruption.

  P. marneffei membentuk sel menyerupai ragi yang ditengahnya terdapat septum dan paling

  jelas bila diwarnai dengan perak metenamin. Pada kultur terlihat kapang kehijauan atau keabu-abuan 2,4,5,24 yang menghasilkan konidiospora dengan pigmen kemerahan.

  Terapi yang efektif untuk penisilinosis adalah dengan amfoterisin B (0,6 mg/kg/hari) selama 2 2,4,5,24 minggu yang dilanjutkan dengan itrakonazol 400mg/hari selama 10 minggu

  KESIMPULAN

  Infeksi jamur pada imunokompromais perlu dipahami dengan baik karena meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Infeksi jamur pada imunokompromais dapat bersifat atipikal pada gambaran klinisnya, kausa penyebab, dan lokasi/predileksi penyakit. Distribusi penyakit dapat lebih luas, berlangsung kronis dengan rekurensi yang tinggi sehingga memerlukan terapi yang lebih lama dibandingkan dengan individu imunokompeten. Dalam penatalaksanaannya, antifungal diberikan dengan durasi yang lebih lama karena terjadi penurunan sensitivitas antifungal pada pasien imunokompromais. Perlu pula dievaluasi faktor predisposisi lain, misalnya pemasangan kateter dauer atau infus, disinfeksi alat pemeriksa seperti stetoskop, cuci tangan petugas kesehatan setelah selesai memeriksa satu pasien di ICU dan lain sebagainya. Kelalaian sederhana tentang hal-hal di atas pada pasien imunokompromais dapat berperan sebagai sumber penularan infeksi jamur oportunistik .

DAFTAR PUSTAKA

  

13. Elmets CA. Management of common superficial fungal infections in patients with AIDS. J Am Acad

Dermatol.1994; 31: S60-3.

  

22. Stevens DA. Management of systemic manifestations of fungal disease in patients with AIDS. J Am Acad

Dermatol 1994; 31: S64-7.

  

21. Dimino-Emme L and Gurevitch AW. Cutaneous manifestations of disseminated cryptoccosis. J Am Acad

Dermatol 1995; 32: 844-50.

  

20. JensenTG, Gahrn-hansen B, Arendrup M and Bruun B. Fusarium fungaemia in immunocompromised

patients.Clin Microbial Infect 2004; 10: 499-501.

  

19. Bodey GP, Boktour M, Mays S, Duvic M, Kontoyiannis D, Hachem R, dkk. Skin lesions associated with

Fusarium infection. J Am Acad Dermatol 2002; 47: 659-66.

  

18. Sanchez MR, Ponge Wilson I, Moy JA, and Rosenthal S. Zygomycosis and HIV infection. J Am Acad

Dermatol 1994; 30: 904-8.

  

17. Galimberti R, Kowalczuk A, Parra IH, Ramos MG and Flores V. Cutaneous aspergillosis: a report of six

cases. Br J of Dermatol 1998; 139: 522-6.

  

16. Wu JJ, Pang KR, Huang DB dan Tyring SK.Therapy of systemic fungal infections. Dermatology therapy

2004;17: 532-8.

  

15. Slavin MA, Szer J, Grigg AP, Roberts AW, Seymour JF, Sasadeusz J, dkk. Guidelines for use of antifungal

agents int the treatment of invasive Candida and mould infections. Int Med J 2004; 34:192-200.

  

14. Greenspan D. Treatment of oropharyngeal candidiasis in HIV-positive patients. J Am Acad Dermatol 1994;

31: S51-5.

  

1. Gupta AK, Ryder J, Summerbell RC. Fungal Infections in immunocompromised patients. JEADV 2003; 17:

1-2.

  

2. Venkatesan P, Perfect JR, Myers SA. Evaluation and management of fungal infections in

immunocompromised patients. Dermatology Therapy 2005; 18: 44-57.

  

11. Sequeira M, Burdick AE, Elgart GW, Berman B. New-onset Majocchi’s granuloma in two kidney transplant

recipients under tracrolimus treatment. J Am Acad Dermatol 1998; 39 (3): 486-8

  

10. Squeo RF, Beer R, Silvers D, Weitzman I, Grossman M. Invasive Trichophyton rubrum resembling

blastomycosis infection in the immunocompromised host. J Am Acad Dermatol 1998; 39: 379-80.

  

9. Tsang P, Hopkins T, Jimenez-Lucho V. Deep dermatophytosis caused by Trichophyton rubrum in a patient

with AIDS. J Am Acad Dermatol 1996; 34: 1090-1.

  

8. Lionakis M and Kontoyiannis D. Glucocorticoids and invasive fungal infecions. Lancet 2003; 362 (29): 1828-

36.

  

7. Johnson RA. Dermatophyte infections in human immune deficiency virus (HIV) disease. J Am Acad

Dermatol 2000; 43: S135-42.

  

6. Odom RB. Common superficial fungal infection in immunosupressed patients. J Am Acad Dermatol 1994;

31: S56-9.

  

5. Randentz WH. Opportunistic fungal infections in immunocompromised hosts. J Am Acad Dermatol 1989;

20: 989-1003.

  

4. Blauvelt A. Mucocutaneous manifestations of the non-HIV infected immunosuppressed host. Dalam:

Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SL, editor. Dermatology in General Medicine; edisi ke-6. New York: McGraw-Hill, 2003: 1152-64.

  New York: McGraw-Hill, 2003: 2138-50.

  

3. Johnson RA. Cutaneous manifestations of human immunodeficiency viral disease. Dalam: Freedberg IM,

Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SL, editor. Dermatology in General Medicine; edisi ke-6.

  

12. Archer-Dubon C, Icaza-Chivez E, Orozco-Topete R, Reyes E, Baez-Martinez R, deLeon SP. An epidemic

outbreak of Malassezia folliculitis in three adult patient in an intensuive care unit: a reviously unrecognized nosocomial infection. Int J of Derm1999; 38: 453-6.

  

23. Cohen PR, Bank DR, Silvers DN and Grossman ME. Cutaneous lesions of disseminated histoplasmosis in

human immunodeficiency virus-infected patients. J Am Acad Dermatol 1990; 23: 422-8.

  

24. Lupi O, Tyring SK, Mc Ginnis. Tropical dermatology: Fungal tropical diseases. J Am Acad Dermatol 2005;

53: 931-51.

  

25. Hay RJ. Deep fungal infections. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz

SL, editor. Dermatology in General Medicine; edisi ke-6. New York: McGraw-Hill, 2003: 2018-34.