PERANAN POLIS DALAM PERJANJIAN ASURANSI

  S K R

  I P S

  I D A R M A D I D E W A N T O P E R A N A N P O L I S D A L A M P E R J A N J I A N A S U R A N S I

  M l l l K PFRi’uS I A K a A 1> " U N I V B A i i i A S A 1 R L A N G G A "

  S U R A B A Y A

  A y , 2 J f J 9 Z -

  D u o F A K U L T A S H U K U M U N I V E R S I T A S A I R L A N G G A S U R A B A Y A

  1 9 9 2

  Ya Allah limpahkanlah daku dengan iltau pengetahuan dan hiasilah daku dengan sifat lapang dada dan kesabaran serta muliakanlah daku dengan kesehatan.

  (’Aafiat) Skripsi ini ku persembahkan kehadapan Ayahanda dan Ibunda tercinta, beserta seluruh keluarga. P E R A N A N P O L I S D A L A M S K RI PSI D I AJUKAN UNTUK M ELEN GKAPI TUGA3 DAN MEMENUHI SYARAT- SYARAT UNTUK MENCAPAI GELAR S ARJAN A HUKUM

  DI SUSUN O LEH : D ARM AD I DEW ANTO 0 3 8 8 3 2 8 5 7

  FAK ULTAS H UK UM U N I V ERS I T A S AI RLAM GGA SURABAYA < n n n L W C

  D i u j i k a n p a d a h a r i Kam is, 6 Fe b r u a r i 1992

  T I H P E N 6 U J I K e t u a :

  S K I .oJHL

  S e k r e t a r i s : A n g g o t a :

  1

  5^Z«BJ-_!3QSE8XOj8«._-S..H* .

  • *
RATA PENGANTAR Setelah melewati berbagai kesulitan dan hambatan, akhirnya penyusunan skripsi yang merupakan tugas akhir dalam menempuh jenjang kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya dapat saya selesaikan dengan baik.

  Kesemuanya tidaklah akan terwujud tanpa kehendak-NYA. Karenanya sudah sepatutnyalah puji syukur saya panjatkan atas segala limpahan rakhmatnya.

  Atas bantuan berbagai pihak untuk mewujudkan penulisan skripsi ini, tidak lupa saya sampaikan terima kasih yang sebesar- besarnya khususnya kepada :

  1. Bapak Samzari Boentoro, S.H., selaku dosen pembimbing yang telah banyak membina dan mengarahkan untuk terwujudnya penulisan skripsi ini;

  2. Ibu Sri Woelan Azis, S.H., selaku Ketua tim dosen penguji skripsi ini;

  3. Ibu Dra. H. Soendari Kabat, S.H., selaku Sekretaris tim dosen penguji skripsi ini;

  4. Bapak A. Oemar Wongsodiwirjo, S.H., selaku dosen penguji skripsi ini;

  5. Bapak Djoko Slamet, S.H., selaku dosen penguji skripsi ini;

  6. Ibu Dra. Ec. Sri Endah Nurhayati Executive Supervisor Agen pada Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Kantor Rayon Manyar Kertoarjo Surabaya, yang telah banyak membantu saya dalam memperoleh informasi dan data untuk penelitian yang saya lakukan;

  7. Bapak Widodo Marjunanto, S.H. yang telah banyak memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini;

  8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah raeinberikan sumbangan pemikiran baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Akhirnya saya berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi masyarakat, walaupun masih terdapat kekurangan disana-sini. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca.

  Surabaya, 6 Februari 1992 DARMADI DEWANTO

  DAFTAR ISI halaman HALAMAN JUDUL ............................................ i HALAMAN PER3EMBAHAN ........................;............. ii HALAMAN PERSETUJUAN ...................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ........................ .............. iv KATA PENGANTAR ........................................... v DAFTAR ISI .............................................. vii BAB

  I. PENDAKL'LUAN 1. Permasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya ...

  1 2. Penjelasan Judul ......... ....................

  3 3. Alasan Perailihan Judul .......................

  4 4. Tujuan Penulisan ............ ...... .........

  6 5. Metodologi : (1) Pendekatan Masalah ..........

  6 (2) Sumber Bata ..................

  6 (3) Prosedur Pengumpuian dan Peng-, olahan D a t a .................

  7 n « n T T T i T l M f P T T i r T O T T \ A X T T * O l * H A T T <“* D r t h i i . b t i u u n , b n v i r c i ' i b u n i . h i i r v u i o 6. Pertanggungjawaban Sisteniatika............... i o l >71 7 1. Bentuk dan Isi Polis .......... .

  9 2. Pembuatan Polis .............................

  15 3. Tenggang Waktu Penandatanganan Polis .........

  18

  BAB III. AZAS KONSENSUAL DALAM PERJANJIAN ASURANSI 1. Azas Konsensual .............................

  20

  2. Polis Sebagai Syarat Mutlak Dalam Perjanjian Asuransi ................................... .

  23 BAB

  IV. POLIS SEBAGAI DASAR PERJANJIAN ASURANSI 1. Polis Sebagai Akta Perjanjian Asuransi .......

  27 2. Polis Sebagai Alat Pefubukti&n .,..............

  23 3. Terjadinya Resiko Sebelum Polis Ditandatangani,.

  32 BAB

  V. PENUTUP 1, Kesimpulan ..... ............................

  36 2 • Saran .....................*...... ..........

  37 DAFTAR BACAAN r a o h * t • D ^ n u n r t r > r v * r n * n u a m n n m n a n r \ r t \ L i A i u r i a r t i H i . r O h i ' i u L ’ i r v

  u n l n o n u v n r e ; u c v j r t n u r v j L i o / l £ i \ i A . N u u u n u Untuk Pengisian Surat Penixntaan Asuransi.

  LAMPIRAN II : POLIS STANDART KEBAKARAN INDONESIA , PT ASURANSI CENTRAL ASIA. LAMPIRAN III : TANDA TERIMA PENYERAHAN FOLIS, FT. ASURANSI CENTRAL * n t * rtOi A .

  LAMPIRAN IV : POLIS KENDARAAN BERMOTOR INDONESIA, PT ASURANSI BUMI PUTERA MUDA 1367.

  LAMPIRAN V : -POLIS ASURANSI KUMPULAN, ASURANSI JIWA BERSAMA BUMI ni impn * t n i o r u i J i a . - i U X 6 LAMPIRAN VI : KUTIPAN SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA No. 3726 K/Pdt/lS85 tanggal 30 Juni 1987.

  ~ U N I V f c k 5 i l A 5 > A m i - A P f c i i . u a , A A N M I L I K .

  ! S U R A B /> Y a

  BAB I PENDAHULUAN 1. Pejaa3aIatian.j_JLa.taj:_BelaksT^.dfta-Kumusannya. Seiring dengan perkembangan keberadaan manusia yang demikian pesat, kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan pada umumnya maupun segala bentuk tekhnologi terasa terus meningkat. Kesemuanya itu tidak lain hanyalah dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia pada umumnya.

  Pada sisi lain kita patut menyadari pula bahwa segala upaya manusia tidaklah luput dari kekurangan sebagaimana sifat kodratnya. Tidak luput pula segala bentuk kemajuan tersebut dengan segala macam pengamanan-pengamanannya masih belum cukup terjamin kesempurnaannya, sehingga belum matnpu menutup kemungkinan akan adanya resiko-resiko yang tidak dikehendaki oleh setiap manusia.

  Atas dasar pemikiran itulah, manusia merasakan perlu untuk mempertimbangkan tentang pentingnya sarana pertanggungan yang dapat menjamin kesinambungan kehidupan yang layak apabila resiko -yang tidak dikehendaki tersebut ternyata benar-benar terjadi padanya.

  Pertanggungan, yang lazim pula disebut asuransi, di Indonesia telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) khususnya pada pasal 246 KUHD sampai dengan pasal 308 KUHD dan pasal 592 KUHD sampai dengan pasal 695 KUHD.

  Berdasarkan pasal 255 KUHD, perjanjian asuransi harus dinyatakan dalam suatu akta yang disebut dengan polis. Didalam polis itulah dituangkan segala hak dan kewajiban bagi pihak-pihak dalam perjanjian asuransi tersebut. Berdasarkan polis tersebut,

  2

  pihak tertanggung atau ahli warisnya dapat mengajukan tuntutan pemenuhan kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada tertanggung atau ahli warisnya sebagaimana diperjanjikan dalam polis.

  Dari ketentuan pasal 255 KUHD tersebut di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa polis asuransi adalah merupakan akta dari perjanjian asuransi yang memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak-pihak dalam perjanjian asuransi. Untuk memahami lebih jauh sehingga dapat diperoleh garabaran yang jelas dan menyeluruh tentang polis kiranya perlu dipelajari sacara seksama tentang bentuk, isi, maupun mekanisme pembuatan polis.

  Pada sisi lain, dengan mengingat ketentuan pasal 257 KUHD yang menyatakan diterapkannya azas konsensual dalam perjanjian asuransi, maka kiranya patut dipertanyakan pula sampai sejauh mana perjanjian asuransi harus menggunakan polis.

  Sehubungan dengan pasal 257 KUHD itu pula, maka perlu untuk diketahui dengan pasti sampai sejauh manakah polis dipakai sebagai dasar dari perjanjian asuransi. Dalam hal ini, tentulah akan nienjadi persoalan yang rumit apabila dalam suatu perjanjian asuransi tidak terdapat polis dan ternyata resiko-resiko yang dipertanggungkan benar-benar terjadi. Dengan dasar apakah tertanggung atau ahli warisnya dapat mengajukan tuntutan kepada pihak penanggung.

  Dari uraian tersebut diatas, maka dalam penulisan skripsi ini dapat diambil perumusan permasalahan sebagai berikut : 1. bagaimanakah bentuk, isi, dan mekanisme pembuatan polis ?;

  2. apakah dalam setiap perjanjian asuransi harus selalu dibuat polis ?;

  3

  3. sampai sejauh manakah polis dipakai sebagai dasar perjanjian asuransi ?.

  2 . P e iu e la s a i)L _ J -]id u l

  Judul yang saya pakai dalam skripsi ini adalah "Peranan Polis Dalam Perjanjian Asuransi'1. Kata "Peranan" meneurut W.J.S. Poerwadarminta adalah yang menjadi bagian1, sedangkan dalam skripsi ini yang dimakdsudkan dengan peranan adalah bagian yang penting.

  Kata "Polis” dalam skripsi ini berarti suatu akta yang dimaksudkan untuk menuangkan isi dari perjanjian asuransi sebagaimana dimaksud dalam pasal 255 KUHD.

  Dengan demikian, yang saya maksudkan dengan "Peranan Polis" adalah akta yang berisi tentang hak-hak dan kewajiban dari tertanggung maupun penanggung.

  Kata "Dalam" yang saya maksud dalam skripsi ini adalah berkaitan dengan, sedangkan kata "perjanjian" menurut pengertian hukumnya adalah suatu perbuatan seseorang atau untuk mengakibatkan dirinya terhadap seseorang atau lebih yang lain2, atau dengan kata lain berarti suatu pengikatan diri dari seseorang atau lebih kepada seseorang atau lebih yang lainnya. iW.J.S. Poerwadarminta, Kaaufl— limuJD_&a.ha&a_IMonasia, Cet.

  VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal.735.

  2 Van Praia adya Puspa, K&flius.Hukua__ Edisi LenxjcaiL_Bahasa Indonesia Inggris, Aneka Ilmu, Semarang, 1977, hal.248

  Kata "Asuransi" yang dimaksud disini mempunyai pengertian sebagaimana dimaksud dalam pasal 246 KUHD, yaitu pada pokoknya suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati premi mengikatkan dirinya kepada tertanggung untuk menjamin dibebaskannya dari kerugian, baik yang disebabkan karena kehilangan atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang akan menimpa tertanggung akibat suatu peristiawa tidak pasti.

  Secara keseluruhan, judul skripsi ini dapat diartikan keberadaan polis sebagai bagian yang penting dalam perjanjian tentang pembebasan kerugian sebagai akibat timbulnya suatu peristiwa tidak pasti.

  Dunia perasuransian bagi masyarakat Indonesia bukanlah merupakan hal yang baru. Asuransi telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak jaman penjajahan kolonial Belanda di Indonesia. Salah satu bukti nyata telah dikenalnya asuransi oleh masyarakat

  Indonesia pada jaman penjajahan pemerintah kolonial Belanda adalah didirikannya perusahaan asuransi Jiwasraya.

  Seiring dengan bertambahnya usia kemerdekaan bangsa Indonesia, kehidupan perasuransianpun tumbuh berkembang dangan suburnya, sehingga sebagaimana kita ketahui, pada tahun 1991 ini seakan-akan telah sulit bagi kita untuk menghitung berapa jumlah yang pasti dari perusahaan asuransi di Indonesia dengan berbagai jenis (bidang) pertanggungannya.

  4

  5 Dalam kaitan dengan permasalahan asuransi ini, terdapat

  suatu elemen yang sangat esensial dari perjanjian asuransi yaitu yang disebut dengan polis.

  Sebagaimana diterangkan dalam pasal 255 KUHD, setiap perjanjian asuransi harus diadakan secara tertulis dengan sepucuk akta yang -disebut dengan polis. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa polis menpunyai perananan yang sangat penting dalam perjanjian asuransi.

  Dalam kerangka hukum asuransi, pembuat undang-undang memandang perlu untuk memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi pihak tertangggung, agar dalam hal resiko yang dipertanggungkan benar-benar terjadi, maka pihak tertanggung dapat mengharapkan terbayarnya klaim asuransi tersebut kepada penanggung, untuk itu maka tertanggunglah yang diberikan kewenangan sebagai pembuat polis.

  Namun demikian, untuk memenuhi kebutuhan tekhnis administratif, perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung tidak mungkin menyerahkan pembuatan polis tersebut kepada pihak tertanggung yang mana umunya adalah masyarakat awam. Karenanya dalam praktek sehari-hari perusahaaan asuransilah yang selalu menyediakan polis yang untuk selanjutnya ditandatangani oleh tertanggung.

  Kenyataan praktek demikian tentu akan sengat merugikan bagi masyarakat (i.e. tertanggung) apabila ketidak pahamannya tentang peranan polis dalam perjanjian asuransi diabaikan begitu saja, sehingga harapan akan terbayarnya klaim asuransi tidak dapat tercapai. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, saya memandang perlu untuk mengkaji permasalahan tentang peranan polis dalam perjanjian asuransi, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran yang jelas dan pasti tentang peranan polis dalam perjanjian asuransi, dengan harapan kajian tersebut dapat menjadi sumbangan pemikiran yang berguna bagi masyarakat luas.

  4. Tujuan..PejiuIi3an Tujuan utama dalam penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada

  Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

  Disamping itu, tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk menyumbangkan buah pikiran, khususnya tentang persoalan yang berkaitan dengan peranan polis dalam perjanjian asuransi, sehingga dapat berguna bagi masyarakat, setidak-tidaknya sebagai informasi hukum yang sangat diperlukan bagi masyarakat pada umumnya.

  5 . I 'l& .t.0 d .Q l.0 g i

  ( 1 ). Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang saya pergunakan dalam penulisan skrisi ini adalah pendekatan yuridis sosiologis, yaitu dengan membahas persoalan yang timbul dalam masyarakat dari tinjaauan hukum, khususnya hukum asuransi.

  ( 2 }. Sumber Data Data yang saya pergunakan dalam penyusunan skripsi ini saya peroleh dari berbagai literatur dan perkuliahan di Fakultas Hukum

  Universitas Airlangga Surabaya serta beberapa perusahaan asuransi.

  6

  7

  ( 3 ). Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data Perolehan data untuk penulisan skripsi ini saya lakukan dengan cara mengutip beberapa bahasan permasalahan yang terkait baik dari literatur maupun dari perkuliahan. Disamping itu, beberapa data lain saya kumpulkan untuk penulisan skripsi ini dengan cara melakukan penelitian dan survey serta wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, khususnya perusahaan Asuransi Jiwa

  Bersama Bumiputera 1912.

  Data yang saya peroleh kemudian saya kumpulkan dengan batas keterkaitan pada permasalahan yang saya bahas, dengan memepelajari literatur maupun wawancara. Keseluruhan data tersebut kemudian saya kelompokkan dalam masing-masing keperluan pada setiap bab pembahasan, agar tidak terjadi kekacauan pada pembahasan dalaa setiap bab.

  Data-data yang saya peroleh dan terkumpul menurut bata3 keterkaitan pada bab-bab permasalahan kemudian saya analisa dengan menggunakan metode deduktif yaitu berpangkal tolak dari hal umum yang bersifat teoritis (dari peraturan perundangan yang beriaku) untuk kemudian diterapkan pada permasalahan yang kasuistis. Selanjutnya hasil analisa tersebut sayauraikan secara sistematis sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

  Dalam penulisan skripsi ini, saya meletakkan Bab Pendahuluan pada Bab I dengan makdud untuk memberikan gambaran secara garis besar tentang isi keseluruhan dari skripsi ini dengan menguraikan hal-hal tentang latar belakang, dan rumusan permasalahan, penjelasan judul, alasan yang dipakai dalam pemilihan judul, tujuan

  8

  penulisan, metodeloginya serta dengan menguraikan pertanggung- jawaban sistematikanya.

  Dalam bab II, saya uraikan terlebih dahulu tentang bentuk, isi, dan pembuatan polis berikut tata cara dan tenggang waktu penandatanganan polis. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan tentang pembuatan polis serta bentuk maupun bentuknya saya bahas dalam bab II, oleh karena itu pembahasan hal tersebut perlu diperoleh lebih dulu agar dapat dipakai sebagai landasan pada pembahasan bab-bab berikutnya.

  Demikian pula halnya pada bab III yang membahas tentang azas konsensual dalam perjanjian asuransi. Permasalahan tentang azas konsensual ini pada pokoknya membahas tentang keharusan oleh undang-undang untuk adanya polis bagi perjanjian asuransi tertentu. Pemahaman mengenai hal ini perlu diperoleh terlebih dahulu untuk mendasari kajian tentang peranan dari polis sebagai dasar perjanjian asuransi.

  Berdasarkan dari pemahaman tentang bentuk, isi*, serta pembuatan polis berikut tenggang waktu penandatanganannya, maupun pemahaman tentang azas konsensual, maka pada bab IV dalam skripsi ini saya lebih jauh menguraikan tentang peranan polis sebagai dasar perjanjian asuransi, maupun sebagai akta dari perjanjian asuransi, maupun sebagai alat pembuktian adanya perjanjian asuransi.

  Disamping itu, akan dikaji pula tentang akibat hukum apabila dalam suatu perjanjian asuransi yang polisnya belum ditandatangani, telah terjadi resiko..

  Akhirnya, saya akhiri penulisan skripsi ini pada bab V tentang penutup dengan mengetengahkan kesimpulan dan saran.

  BAB II BENTUK, ISI, DAN PEMBUATAN POLIS Sebagaimana kita ketahui, pasal 255 KUHD telah menentukan keharusan adanya akta dalam setiap perjanjian asuransi, yaitu yang disebut polis. Namun demikian apabila disimak lebih jauh, maka seolah-olah terdapat ketidaksesuaian antara pasal 255 KUHD tersebut dengan pasal 257 KUHD yang pada pokoknya menyatakan bahwa perjanjian pertanggungan telah terjadi sejak terdapatnya kesepakatan antara pihak penanggung dengan pihak . tertanggung, sekalipun polis belum ditandatangani. Berdasarkan pasal 257 KUHD ini nampak bahwa keberadaan polis bukanlah merupakan syarat mutlak untuk terjadinya perjanjian asuransi. Perjanjian asuransi itu sendiri telah sah sejak terdapatnya kesepakatan antara penanggung dengan tertanggung.

  Dengan menyiraak pasal 258 (1) KUHD yang pada pokoknya menyatakan bahwa polis dapat dipakai untuk membuktikan adanya perjanjian asuransi, di samping alat bukti yang lain, maka dapat kita simpulkan bahwa adanya polis bukanlah merupakan syarat mutlak dari perjanjian asuransi. Namun oleh karena perjanjian asuransi adalah merupakan perjanjian tentang harta dalam jumlah yang besar, maka tidaklah berlebihan dan akan lebih bijaksana apabila penanggung maupun tertanggung selalu membuat polis dalam perjanjian asuransi.

  1 0

  Dalam hukum asuransi di Indonesia, tidak ada satu peraturan perundangan yang mengatur tentang bentuk polis secara tegas dan terinci. Hal tersebut membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi perusahaan-perusahaan asuransi untuk menentukan sendiri bagaimana bentuk polis bagi perusahaan asuransinya.

  Dalam praktek sehari-hari banyak perusahaan asuransi di Indonesia yang mempergunakan polis standard yang bersifat internasiona.3 Sebagai contoh penggunaan polis standard internasional adalah Amsterdam Bourse Fire Policy dan Amsterdam

  Bourse Godds Policy for Marine Transport yang kedua-duanya telah dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan asuransi Indonesia.4 Di samping penggunaan polis standart internasional sebagaimana dikemukakan di atas, perusahaan-perusahaan asuransi Indonesia juga telah menggunakan standard polis yang ditetapkan oleh Dewan Asuransi Indonesia yaitu, Polis Kebakaran Indonesia dan Polis Kendaraan Bermotor Indonesia.5

  Dengan bentuk yang bagaimanapun polis itu dibuat, polis tetap memuat hak-hak dan kewajiban tertanggung dan penangung. Hak- hak dan kewajiban tersebut adalah merupakan isi dari polis yang pada umumnya memuat klausula-klausula yang menjadi dasar ditutupnya suatu perjanjian asuransi.

  3Emmy Panggaribuan Simanjuntak, Hiik3M^ejJ^ggiili^ll_EQii^- Cet. X, Seksi

  Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, Jogjakarta, 1990, hal. 21.

  Ukid.

  5IkidU

  1 1

  Klausula-klausula dasar termaksud di atas seperti misalnya Free From Particular Avarage (FFA) yang berarti pembebasan bagi penanggung terhadap tanggung jawab untuk membayar ganti rugi kapada tertanggung sebagi akibat terjadinya sebab-sebab tertentu. Disaraping itu dikenal pula klausula With Particular Avarage (WPA) yaitu pembebanan bagi penanggung terhadap ganti rugi sebagai akibat terjadinya peristiwa yang ditimbulkan oleh sebab khusus. Selanjutnya dikenal pula adanya klausula All Risk yaitu, penanggung berkewajiban untuk membayar seluruh kerugian yang diderita oleh tertanggung (jadi bukan sebagian dari kerugian yang diderita), dan atau penanggung bertanggung jawab untuk membayar seluruh kerugian yang timbul akibat dari peristiwa apapun, kecuali karena kesengajaan yang dilakukan oleh tertanggung sendiri.

  Pasal 256 (KUHD) menentukan bahwa dalam setiap polis asuransi harus dimuat adanya 8 hal sebagai berikut : 1. hari pertanggungan dibuat; 2. nama orang yang mengadakan pertanggungan, untuk dirinya sendiri atau pihak ketiga; 3. rumusan yang jelas tentang benda yang dipertanggungkan; 4. jumlah dipertanggungkan; 5. bahaya yang dipertanggungkan; 6. jangka waktu pertanggungan; 7. premi;

  8. keterangan tambahan bagi penanggung dan janji-janji khusus.

  Sedangkan menurut pasal 256 pada ayat 2 KUHD ditentukan pula satu syarat mutlak bagi polis yaitu penandatanganan oleh penanggung.

  M 1

  I 1 K .

  Pi i , 1 . -vKAAN

  

"UNl'V i

a

  • AS AiKl-ANGGA" S i R ^ B ^
  • V A 1 2

      Isi polis sebagaimana disebutkan pada pasal 256 tersebut di atas adalah merupakan syarat-syarat umura yang harus dipenuhi untuk suatu polis pada semua jenis asuransi. Sedangkan disamping syarat umum tersebut diatas masih terdapat syarat-syarat khusus yang berlaku terhadap polis dari jenis-jenis pertanggungan tertentu.

      Khusus untuk polis kebakaran diharuskan adanya syarat-syarat tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 287 KUHD. Syarat-syarat tambahan tersebut adalah sebagai berikut :

      1. letak dan perbatasan dari benda-benda yang diper- tanggungkan; 2. pemakaiannya;

    • * 3. sifat pemakaian gedung yang berbatasan dengan benda yang dipertanggungkan, apabila hal tersebut berpengaruh ter­ hadap benda yang dipertanggungkan;

      4. harga benda yang dipertanggungkan; 5. letak dan batas-batas dari gedung-gedung atau tempat- tempat untuk meletakkan, menyimpan atau menimbun barang- barang bergerak yang dipertanggungkan. Syarat -syarat tambahan yang harus terdapat dalam polis perjanjian pertanggungan hasil pertanian diatur dalam psal 299

      KUHD. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : 1. letak dan batas tanah yang hasilnya dipertanggungkan; 2. pemakaian.

      Syarat kedua tentang pemakaian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pemakaian bahan yang hasilnya dipertanggungkan dilaksanakan

      1 3

      dengan cara yang sungguh-sungguh dan dapat dipertanggungjawabkan untuk mendatangkan hasil yang baik atau tidak.

      Persyaratan khusus untuk isi polis pada pertanggungan jiwa ditetapkan dalaa pasal 304 KUHD sebagai berikut : 1. hari pertanggungan diadakan; 2. nama tertanggung; 3. nama orang yang jiwanya di pertanggungkan; 4. jangka waktu pertanggungan; 5. jumlah pertanggungan; 6. premi.

      Pada pasal sub 3 pasal 304 KUHD ini terdapat satu hal khusus yang tidak ada pada jenis asuransi yang lain, yaitu orang yang jiwanya dipertanggungkan. Dalam hal ini pihak-pihak dalam perjanjian asuransi hanyalah tertangung dengan penanggung.

      Tertanggung menpunyai kewajiban untuk membayar premi, sedangkan penanggung berkewajiban membayar klaim tertanggung. Klaim atau tuntutan tertanggung didasarkan pada jiwa dari orang lain yang dipertanggungkan, Apabila orang lain yang di pertanggungkan oleh tertanggung tersebut meninggal dunia, maka tertanggung berhak menuntut pembayaran pertanggungan kepada penanggung.

      Khusus untuk polis pada pertanggungan terhadap bahaya laut menurut pasal 5S2 KUHD diharuskan menyebutkan syarat-syarat khusus sebagai berikut :

      1. nama nakhoda, nama kapal, jenis kapal, apakah kapal ter­ sebut terbuat dari kayu cemara, atau persyaratan bahwa si tertanggung tidak mengetahui keadaan itu;

      1 4

      2. tempat pembuatan barang; 3. pelabuhan pemberangkatan; 4. pelabuhan tempat pembuatan atau tempat pembongkaran; 5. pelabuhan tempat kapal harus masuk; 6. tempat mulai terjadinya bahaya; 7. nilai kapal yang dipertanggungkan.

      Pada pasal 686 KUHD ditentukan adanya syarat-syarat khusus untuk polis pada pertanggungan pengangkutan darat dan sungai dengan rincian sebagai berikut :

      1. batas waktu akhir perjalanan, bilamana hal ini ditentukan dalam surat angkutan; 2. apakah perjalanan harus dilanjutkan terus-menerus atau tidak; 3. nama nakhoda, pengangkut, atau ekspeditur yang telah mem- borong pengangkutan.

      Disamping ketentuan-ketentuan tambahan pada isi polis untuk jenis asuransi-asuransi tertentu sebagai tersebut diatas, masih terdapat beberapa ketentuan tentang hal-hal yang harus disebutkan dalam polis pada semua perjanjian asuransi dengan ancaman batal.

      Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut : 1.

      pasal 272 KUHD, mengenai pertanggungan dengan nama tertanggung; dapat membebaskan penanggung dari segala kewajibannya untuk waktu yang akan datang;

      2. pasal 280 KUHD, mengenai tertanggung yang mempertanggungkan sesuatu benda lalu mempertanggungkan benda yang sama itu lagi kepada penanggung lain;

      1 5

      3* pasal 603 KUHD, nsengenai pertanggungan atas kapal-kapal dan barang-barang yang sudah berangkat dari tenipat dari mana bahaya seharusnya mulai berjalan;

      4. pasal 606 KUHD, mengenai pertanggungan terhadap kapal yang belua berada di' tempat darimana bahaya seharusnya mulai berjalan; 5.

      pasal 615 KUHD, mengenai pertanggungan atas sesuatu keuntungan yang diharapkan akan didapat.6

      2. Eemb.uatm^P-Qlis Sebagaimana telah disebutkan pada bagian pendahuluan, pembuat undang-undang menunjuk undang-undang, (dalam hal ini pasal

      259 KUHD) raenunjuk tertanggung sebagai pembuat polis. Polis yang dibuat tertanggung tersebut diajukan kepada penanggung untuk ditandatangani. Selanjutnya sesudah polis ditandatangani oleh penanggung, polis tersebut harus diserahkan kembali kepada tertanggung dalam waktu 24 jam.

      Tujuan pembentukan undang-undang dalam menetapkan tertanggung sebagai pembuat polis adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi tertanggung yang pada umumnya awam hukum, dan yang keadaan sosial ekonominya pada umumnya lebih rendah daripada penanggung.

      Selanjutnya sesudah polis ditandatangani oleh penanggung, dalam hal perjanjian asuransi dibuat secara langsung antara penanggung

      6H.M.N. Poerwosutjipto, Eengsxtian__£oMk--^EuimiD.__H&gmg Indfiiifisia, Jilid VI' (Hukum Pertangungan), Cet. II, Jambatan, Jakarta, 1986, hal.64. dengan tertanggung, polis tersebut harus dikembalikan kepada tertanggung dalam waktu 24 jam.

      Dalam hal perjanjian asuransi dibuat dengan perantaraan makelar, maka tenggang waktu pengembalian polisnya adalah 8 hari sejak ditandatangani,

      Apabila dalam pengembalian polis tersebut terjadi keterlasibatan karena kelalaian penanggung, maka penanggung harus bertanggungjawab atas tuntutan ganti rugi tertanggung sebagai akibat dari kelalaiannya tersebut.

      Dalam praktek yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi, polis tidaklah dibuat oleh tertanggung malainkan oleh penanggung. Apabila disimak lebih jauh, nampaknya penerapan praktek demikian mempunyai alasan yang cukup -wajar, oleh karena sebagairaana telah ditentukan di atas, pihak tertanggung pada umumnya adalah mereka yang awam hukum uan mempunyai strata sosial ekonomi yang lebih rendah daripada penanggung, sedangkan perusahaan asuransi sebagai penanggung mempunyai kemampuan yang meniadai untuk keperluan pembuatan polis. Dengan demikian, wajar apabila pembuatan polis tersebut diserahkan penanganannya kepada pihak penanggung,

      Untuk tidak mengurangi jaminan perlindungan hukum bagi tertanggung, seyogyanya tertanggung memperoleh kesempatan yang cukup untuk mempelajari dan memberikan koreksi bilamana perlu, terhadap polis yang telah dibuat oleh penanggung tersebut.

      Namun demikian dalam praktek pelaksanaannya tertanggung tidak diberi kesempatan yang cukup untuk mempelajari polis. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini keterangan Dra. Ec. Sri Endah

      Nurhayati, Executive Supervisor pada Asuransi Jiwa Bersama

      1 6

      1 7

      Bumiputera 1912 kantor Rayon Manyar Kertoarjo, yang antara lain mengatakan : Setelah calon tertanggung sepakat untuk menutup perjanjian asuransi, premi pertama dibayar oleh tertanggung; segera setelah itu polis ditandatangani penanggung dan kemudian diserahkan kepada tertanggung; hal-hal yang berkaitan dengan tekhnis pertanggungan serta hak dan kewajiban tertanggung disampaikan oleh agen melalui wawancara, maupun proposal sebelum surat permintaan dibuat;7

      Metode pembuatan polis yang dikenal dalam hukum asuransi di Indonesia adalah metode tradisional dan metode atau pendekatan semua resiko (all risk approach).

      Dalam pendekatan tradisional, polis asuransinya dibuat dengan merinci bahaya-bahaya yang dipertanggungkan penanggung dan tertanggung. Dalam metode atau pendekatan tradisional ini para pihak bebas menentukan apa saja bahaya yang dipertanggungkan, termasuk segala bahaya-bahaya oleh undang-undang telah dengan tegas-tegas dilarang dipertanggungkan. Sebagai contoh bahaya- bahaya yang tidak boleh dipertanggungkan menurut undang-undang adalah bahaya sebagai akibat kesalahan sendiri atau bahaya-bahaya akibat cacat sendiri,

      Pada pendekatan semua resiko, polis asuransi tidak berisi uraian tentang bahaya-bahaya yang dipertanggungkan, melainkan berisi tentang bahaya-bahaya yang tidak dipertanggungkan. Penanggung bertanggung jawab terhadap semua resiko atau bahaya bahaya yang timbul pada tertanggung, kecuali terhadap bahaya-bahaya yang disebutkan secara terinci dalam polis.

      7Wawancara dengan Dra. Ec. Sri Endah Nurhayati, Executive Supervisor pada Asuransi Bumiputera 1912 Surabaya, Kantor Rayon Manyar Kertoarjo, Tanggal 20 Desember 1891. H.M.N. Purwosutjipto memberikan istilah pada pendekatan tradisional dengan cara negatif, dan pendekatan all risk (semua resiko) dengan cara positif.8

      Secara tegas pasal 256 ayat 2 KUHD menyatakan bahwa, setiap polis asuransi harus ditandatangani oleh penanggung. Setelah polis asuransi ditandatangani oleh penanggung, raaka polis tersebut harus segera diserahkan kepada tertanggung.

      Undang-undang telah menyatakan dengan tegas bahwa dalam hal perjanjian asuransi dibuat secara langsung antara tertanggung atau kuasanya dengan penanggung, tenggang waktu yang diperkanankan antara pengajuan penandatanganan polis, dan penyerahannya kembali kepada tertanggung adalah 24 jam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa bentuk undang-undang menganggap bahwa pembuat polis adalah tertanggung dan karenanya polis tersebut diajukan oleh tertanggung kepada penanggung. Setelah penanggung menyetujui ketentuan- ketentuan yang merauat dalam polis, maka penanggung berkewajiban menandatangani polis tersebut, dan segera menyerahkan kembali kepada tertanggung.

      Dalam hal perjanjian asuransi dibuat antara tertanggung dengan penanggung dengan melalui seorang perantara atau makelar, maka tenggang waktu yang diperkenankan adalah 8 hari sejak perjanjian asuransi ditutup.

      1 8 8Ibid., hal.43.

      1 9

      Tampaknya ketentuan tentang tenggang waktu pengembalian polis kepada tertanggung ini dalam praktek tidak diterapkan sebagaimana mestinya oleh penanggung.

      H.M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa : Sedangkan waktu, kapan polis itu harus dikembalikan kepada tertanggung menurut para penanggung di Jakarta, tidak perlu ditentukan batas waktunya, sebab penanggung akan berusaha secepat mungkin mengembalikan polis itu kepada tertanggung. Saya berpendapat bahwa pembatasan waktu' sebagai ditetapkan oleh pasal 259 KUHD dan 260 KUHD tidak mempunyai keburukan-keburukan, malahan saya berpendapat bahwa pembatasan waktu itu perlu bagi tertanggung yang menghadapi seorang penanggung yang kurang bertanggung jawab terhadap pengembalian polis itu kepada tertanggung.9

      Mengenai tenggang waktu penyerahan polis kepada tertanggung, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 menerapkan sistem sebagai berikut ;

      Setelah premi pertama dibayar, surat permintaan ditandatangani calon tertanggung, penanggung menandatangani polis kemudian menyerahkannya kepada tertanggung dalam jangka waktu lebih kurang dua minggu.10

      Dengan menyimak pandangan H.M.N. Purwosutjipto tersebut diatas, kiranya perlu dipikirkan upaya-upaya untuk mewujudkan perlindungan hukura bagi masyarakat yang berkedudukan atau akan berkedudukan sebagai tertanggung, misalnya dengan memberikan kewenangan kepada Dewan Asuransi Indonesia untuk memberikan sanksi- sanksi tertentu kepada perusahaan asuransi yang melanggar ketentuan pasal 259 KUHD dan 260 KUHD tersebut di atas.

      9IMd. hal. 63.

      10Wawancara dengan Dra. Ec. Sri Endah Nurhayati, Tanggal 20.Desember 1991.

      BAB III AZAS KONSENSUAL DALAM PERJANJIAN ASURANSI I . A&aaJfonsensH&l Perjanjian asuransi sebagaimana lazimnya perjanjian pada umumnya, tunduk pada ketentuan tentang perjanjian sebagaimana dimaksud pada pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata).

      Pasal 1320 KUH Perdata ini adalah merupakan ketentuan dasar dari segala bentuk perjanjian. Dalam pasal tersebut diuraikan adanya 4 syarat pokok untuk adanya perjanjian, yaitu :

      a. kesepakatan pihak-pihak;

      b. kecakapan pihak-pihak;

      c. suatu hal tertentu; d. causa yang diperbolehkan.

      Dengan menunjuk pada syarat kesepakatan pihak-pihak (sub a

      pasal 1320 KUH Perdata) dapat disimpulkan bahwa bentuk perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata menganut azas konsensual. Azas konsensual dalam suatu perjanjian adalah suatu azas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian dianggap telah terjadi sejak terdapatnya kesepakatan atau konsensus antara pihak-pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian.

      Dalam kaitan' dengan hukum asuransi, tampaknya pembuat undang-undang merasa perlu untuk mempertegas azas apa yang dianut dalam perjanjian asuransi. Untuk itu dalam KUHD ditentukan dengan tegas pada pasal 257 KUHD yang pada pokoknya menyatakan bahwa perjanjian asuransi telah ada sejak terjadinya kesepakatan, bahkan sebeluro polis ditandatangani.

      Apabila disimak ketentuan yang terurai dalam pasal 255 KUHD, dapat disimpulkan bahwa setiap perjanjian asuransi harus dituangkan secara tertulis dalam bentuk polis. Ketentuan dalam pasal 255 KUHD ini seakan-akan memberikan syarat mutlak adanya polis dalam setiap perjanjian asuransi. Namun demikian, oleh karena dalam ketentuan pasal 255 KUHD tersebut tidak dicantumkan syarat batal apabila ketentuan untuk adanya polis dilanggar, maka dapat disimpulkan bahwa polis tersebut bukan merupakan syarat mutlak untuk terjadinya perjanjian asuransi.

      Dengan mengkaitkan pada ketentuan pasal 257 KUHD, maka tidak ada satu keraguanpun untuk menyatakan bahwa dalam perjanjian asuransi tidak diterapkan azas konsensual, sehingga hak-hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian dimaksud dianggap telah ada dan harus dipenuhi sejak terdapatnya kesepakatan, meskipun hak-hak dan kewajiban tersebut belum dituangkan dalam polis.

      Menurut H.M.N. Purwosutjipto, keharusan adanya polis sebagaimana diatur dalam pasal 255 KUHD lebih dititik beratkan pada fungsi polis sebagai alat pembuktian.11

      Dalam hal ini H.M.N. Purwosutjipto mendasarkan daiilnya pada ketentuan yang tertuang dalam pasal 258 (1) KUHD yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya perjanjian asuransi

      2 1 “ UfcLid. hal. 32. diperlukan adanya bukti tertulis, dengan tidak menutup kemungkinan dipakainya alat bukti lain asalkan sudah ada bukti permulaan dengan tulisan.

      Berkaitan dengan dianutnya azas konsensual dikenal adanya dua permulaan dalam perjanjian asuransi, yaitu permulaan formil dan permulaan materiil.

      Permulaan formil adalah saat terbentuknya konsensus yang merupakan syarat mutlak terbentuknya perjanjian asuransi. Permulaan materiil adalah saat mulai dilaksanakannya hak-hak dan kewajiban pihak-pihak.

      Timbulnya perbedaan antara permulaan formil dan permulaan materiil ini disebabkan adanya kehendak dari pihak-pihak untuk menentukan sendiri jatuh tempo atau saat dimulainya pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak, Dalam hal ini, sekalipun perjanjian asuransi dianggap telah terjadi sejak terjadinya kata sepakat diantara pihak-pihak sebagaimana ditentukan dalam azas konsensual, namun pihak-pihak dapat menentukan sendiri saat dimulainya pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sebagai contoh, pihak-pihak dapat menentukan sendiri dimulainya pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak sejak dibayarnya premi pertama, atau sejak diserahkannya polis.

      Apabila pihak-pihak menentukan sendiri saat dimulainya pelaksanaan hak dan kewajiban, maka saat yang ditentukan dan diperjanjikan secara tersendiri tersebut disebut dengan permulaan materiil, sedangkan permulaan formilnya adalah sejak terdapatnya kesepakatan pihak-pihak.

      M 1 1- A K. I pfcHfUSTAKAAN - U S l V t K b U A S M K l - A N G G A | g i T R A B A V A __ 1 2 3

      Apabila pihak-pihak tidak menentukan secara tersendiri kapan dimulainya pelaksanaan hak dan kewajiban, maka permulaan formil dan permulaan materiilnya adalah sama, yaitu sejak terjadinya kesepakatan diantara pihak-pihak.

      Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan tentang azas konsensual, perjanjian asuransi dianggap telah ada sejak dicapainya kesepakatan oleh pihak-pihak, sedangkan polis bukanlah serupakan syarat mutlak dalam perjanjian asuransi.

      Namun demikian, tidaklah dapat diartikan bahwa semua perjanjian asuransi menganut azas konsensual; oleh karena dalam kenyataannya masih terdapat perjanjian asuransi-perjanjian asuransi tertentu yang mengharuskan adanya polis.

      Perjanjian asuransi yang mengharuskan adanya polis secara mutlak dengan ancaman batal adalah perjanjian asuransi sebagaimana dimaksud dalam pasal 272 KUHD, 280 KUHD, S03KUHD, 606 KUHD dan 615 KUHD.

      Berdasarkan pasal 272 KUHD, tertanggung dapat meng- asuransikan untuk yang kedua kalinya atas waktu yang sama dan untuk resiko yang sama pula.

      Apabila tertanggung membebaskan penanggung pertama untuk waktu yang akan datang dari kewajibannya kepada tertanggung dengan putusan pengadilan, maka putusan pengadilan tentang pembebasan kewajiban kepada penanggung pertama tersebut harus dimuat dalam polis sehingga penanggung kemudian mengetahui dan menyetujui pembebasan kewajiban kepada penanggung pertama tersebut. Kewajiban pemuatan dalam polls perjanjian asuransi kemudian tersebut adalah merupakan kewajiban (keharusan) mutlak. Apabila hal tersebut diatas tidak dimuat dalam polis, maka perjanjian asuransi dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian asuransi yang diatur dalam pasal 272 KUHD harus dibuat dengan polis. Tanpa dibuatnya polis, perjanjian asuransi tersebut dianggap tidak pernah ada.

      Pada perjanjian asuransi yang mempertanggungkan suatu benda kepada dua penanggung sekaligus sebagaimana diniaksud dalam pasal 280 KUHD juga harus dibuatkan polis. Dalam hal ini, keharusan adanya polis adalah pada perjanjian asuransi yang kemudian. Keharusan adanya polis tersebut disebabkan karena tertanggung berkewajiban menyatakan dengan tegas bahwa penanggung yang kemudian berkewajiban memenuhi tuntutan tertanggung hanya apabila penanggung terdahulu tidak memenuhi kewajibannya. Pernyataan bahwa tertanggung hanya dapat melakukan haknya terhadap penanggung yang kemudian bilamana tertanggung tidak dapat menuntut kerugian kepada penanggung yang terdahulu tersebut harus dituangkan dalam polis. Oleh karena keharusan tersebut dilekatkan dengan ancaman batal, maka dapat disimpulkan bahwa polis tersebut harus ada dalam perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam pasal 280

      KUHD. Apabila perjanjian asuransi tersebut dibuat tanpa polis, maka perjanjian asuransi demikian dianggap tidak pernah terjadi.

      Pada pasal 603 KUHD, ditentukan adanya keharusan pembuatan polis dalam perjanjian asuransi untuk kapal-kapal dan barang-barang yang sudah berangkat dari tempat' dimulainya kemungkinan timbulnya resiko yang dipertanggungkan. Folis untuk asuransi demikian harus

      2 4 memuat tentang saat yang tepat dari keberangkatan kapal atau dari pengangkutan barang-barang atau dalam hal tidak dapat diketahui tentang saat pemberangkatannya, maka ketidak tahuan tertanggung harus dinyatakan tegas dalam polis, kesemuanya dengan ancaman batal.

      Tidak dibuatnya polis dalam perjanjian asuransi sebagaimana dimaksud dalam pasal 603 KUHD tersebut sama halnya dengan tidak dinyatakannya saat pemberangkatan maupun ketidak tahuan tertanggung tentang saat pemberangkatan. Karenanya tidak adanya polis dalam asuransi demikian dapat membatalkan perjanjian asuransinya.

      Disamping pasal 272 KUHD) 280 KUHD dan 603 KUHD, keharusan adanya polis juga beriaku bagi pasal 606 KUHD dan 615 KUHD. Dalam pasal 606 KUHD ditentukan bahwa untuk asuransi terhadap kapal yang belum berada ditempat yang diperjanjikan sebagai tempat dimulainya pertanggungan, harus dibuatkan polis yang menguraikan dengan tegas mengenai keadaan itu atau mengenai ketidak tahuan tertanggung tentang keadaan itu. Tanpa adanya polis yang menguraikan hal-hal tersebut diatas, perjanjian asuransi tersebut batal.

      Dalam pasal 615 KUHD ditentukan bahwa keharusan adanya polis beriaku bagi pertanggung atas keuntungan yang diharapkan. Dalam perjanjian asuransi demikian harus dibuat polis yang memuat tentang penganggaran laba yang diharapkan serta penyebutan khusus dari barang-barang yang dipertanggungkan.

      Tanpa penyebutan hal diatas pada polis, maka asuransi demikian dianggap batal.

      2 6

      Dari uraian diatas, dapat diambil satu kesimpulan barang dalam perjanjian asuransi berlaku azas konsensual kecuali terhadap perjanjian asuransi-perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam pasal 272 KUHD, 280 KUHD, 603 KUHD, 606 KUHD dan 615. KUHD.

      Sekalipun Undang-Undang menetapkan azas konsensual dalam asuransi, tidaklah berlebihan apabila didalam praktek perasuransian sebagaimana terjadi dewasa ini dalam perjanjian asuransi selalu dibuat polis.

      BAB IV POLIS SEBAGAI DASAR PERJANJIAN ASURANSI 1. Fungsi polis sebagai akta dari perjanjian asuransi telah dirumuskan secara tegas pada pasal 255 KUHD. Dalam uraian pasal 255 KUHD ditegaskan bahwa setiap perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut polis. Perumusan pasal 255 KUHD secara tegas menyebutkan adanya suatu akta yang berbentuk polis. Secara a contrario peristilahan akta yang berbentuk polis dapat diartikan bahwa polis adalah merupakan akta dari perjanjian asuransi.