IDENTITAS ISLAM KONTEMPORER PADA REMAJA PEREMPUAN MUSLIM INDONESIA; SEBUAH PEMBACAAN KRITIS ATAS MAJALAH REMAJA “GLOSSY” INDONESIA Repository - UNAIR REPOSITORY

  IDENTITAS ISLAM KONTEMPORER PADA REMAJA PEREMPUAN MUSLIM INDONESIA; SEBUAH PEMBACAAN KRITIS ATAS MAJALAH REMAJA “GLOSSY” INDONESIA NISA KURNIA I

  Pembimbing : Dra. Rachmah Ida, M. Comms, PhD. MUSLIM ADOLESCENT; CONTEMPORARY ISLAMIC IDENTITY KKB KK-2 TSK 10 / 11 Nis i

  Copyright © 2011 by Airlangga Universit y Library Surabaya

RINGKASAN

  Salah satu persoalan yang cukup signifikan dalam proses modernisasi Indonesia adalah transformasi beragama dari ideologisasi menuju komersialisasi spiritualitas yang disimbolkan oleh gaya hidup. Penelitian ini hendak menganalisis secara kritis wacana mengenai penciptaan identitas kontemporer bagi remaja perempuan muslim Indonesia yang dikonstruksikan oleh majalah remaja “glossy”. Tema ini menarik menurut peneliti karena, semenjak masa Orde Baru berakhir, identitas perempuan muslim menjadi salah satu identitas perempuan yang dipopulerkan oleh media massa Indonesia untuk menunjukkan simbolisasi kesalehan kelas menengah. Media dengan konstelasi diskursusnya menciptakan sebuah makna baru mengenai seperti apa tampilan seorang muslimah dan bagaimana menjadi muslimah dalam kondisi Indonesia kontemporer. Kecenderungan ini menimbulkan sebuah reproduksi identitas keislaman yang memiliki modifikasi dibandingkan dengan kondisi keislaman pada masa Orde Baru. Sehingga, peneliti hendak membongkar, seperti apakah identitas keislaman kontemporer yang ditawarkan oleh majalah “glossy” remaja serta bagaimana remaja yang mengonsumsi majalah tersebut memberikan interpretasinya terhadap identitas yang ditawarkan. Pada lanskap Indonesia kontemporer, identitas keislaman yang dimanifestasikan bukan lagi mejadi hal yang tabu. Seiring dengan materialisme yang tumbuh di kalangan masyarakat Indonesia serta komodifikasi yang terus diresonansikan oleh media massa, menciptakan sebuah budaya islam pop yang mengunggulkan performativitas dalam beragama. Islam sendiri kini tidak hanya dilihat dari level-level simbolik yang diyakini sebagai artefak keislaman, melainkan diwujudkan dalam bentuk budaya pop yang kemudian diadaptasi sebagai gaya hidup kaum muslim Indonesia. Berjamurnya sekolah-sekolah Islam dengan biaya yang tidak bisa dikatakan murah, terciptanya fashion dengan label “Exclusive Moslem Fashion” menjadi salah satu indikator kebangkitan “Islam” yang dikategorisasikan sebagai Budaya Pop. Berkaitan dengan hal tersebut, dibutuhkan sebuah penelitian yang mampu merangkum secara komperhensif konstelasi diskursus identitas keislaman tersebut. Beberapa penelitian mengenai topik ini sudah pernah dilakukan hampir tiap tahunnya. Tidak heran, karena identitas keislaman yang dimanifestasikan dalam gaya hidup masyarakat dalam Indonesia kontemporer sudah menjadi tren. Penelitian yang akan saya lakukan ini tidak hendak mengkritisi penelitianpenelitian terdahulu mengenai topik konstruksi identitas melalui media massa. Penelitian ini hendak melengkapi kekosongan pada tema remaja dan identitas keislaman yang belum pernah dibahas sebelumnya. Lebih menarik lagi manakala saya tidak hanya membatasi pada majalah yang memang memberikan nuansa islam pada produksinya. Majalah yang hendak saya teliti merupakan gabungan dari majalah glossy popular dan majalah Islam. Secara metodologis, penelitian ini juga sedikit berbeda dengan penelitian lainnya. Menggunakan analisis wacana dengan perspektif kritis, penelitian ini hendak mengkonfirmasikan diskursus identitas islam “kontemporer” yang berusaha ditawarkan oleh majalah remaja popular, baik itu franchise, terbitan dalam negeri, maupun majalah yang memang mengatasnamakan dirinya sebagai “Islam” dengan para remaja sebagai pengonsumsi identitas tersebut. Sehingga pada akhirnya akan diperoleh analisis yang lebih komprehensif dari dua belah pihak. Saya tidak hendak mengkonfirmasikan pembacaan saya dengan industri media massa itu sendiri karena saya hanya akan mempelajari teks dengan kaitannya terhadap konstruksi identitas konsumennya. Dengan kata lain, saya hendak mengkonfirmasikan hanya pada komponen societal dalam sociocultural

  

practice dalam diagram analisis wacana kritis Fairclough sebagai bagian dari

social analysis atas diskursus identitas Islam kontemporer tersebut. Aktivitas

  menyimpulkan dari pemaparan analisis secara tekstual, melalui konten-konten majalah remaja, yang dikonfirmasikan dengan level societal yaitu interpretasi para remaja muslim mengenai identitas kontemporer yang ditawarkan oleh majalah, bukanlah suatu hal yang linear dan mudah. Menjadi remaja perempuan muslim di Indonesia merupakan suatu hal yang rumit dan problematis. Remaja yang notabene berada pada usia mencari jati diri harus dihadapkan pada sekian banyak komponen identitas yang saling kontradiktif. Perubahan lanskap sosio kultural di Indonesia yang cukup dinamis membuat permasalahan pencarian identitas ini menjadi lebih kompleks. Remaja sebagai salah satu bagian dari warga negara, yang masih dianggap belum sempurna karena ‘disinyalir’ belum bisa menentukan yang terbaik bagi dirinya, harus dilatih untuk nantinya menjadi warga negara yang baik. Majalah dijadikan sebagai salah satu media untuk mengartikulasikan nilai-nilai tersebut. Berdasarkan teks yang didekonstruksi melalui penelitian ini juga mencapai kesimpulan bahwa identitas perempuan masih diartikulasikan di dalam diskursus patriakal. Namun, tidak terhenti di situ, karena ternyata ada negosiasi antara diskursus patriakal tersebut dengan diskursus femininitas yang berusaha diartikulasikan oleh perempuan, yang dalam hal ini diwakili oleh penulis-penulis perempuan yang mengartikulasikan narasi feminin. Sementara itu terjadi proses negosiasi yang aktif dan dinamis di dalam benak para remaja perempuan muslim yang mengonsumsi representasi identitas majalah tersebut. Para remaja ini secara aktif menyeleksi untuk kemudian menegosiasikan konten-konten majalah dengan nilai-nilai hidupnya sehari-hari. Pendefinisian akan realita juga tidak secara mutlak diserahkan pada media massa, yang dalam konteks ini adalah majalah, melainkan turut mengonfirmasikannya dengan lingkungan sosio kultural dari masing-masing individu. Terlebih lagi, tiap remaja ini menyadari benar posisinya di dalam lingkungan sosial yang memang tersekuen atas bagian-bagian yang membuat hidupnya utuh. Untuk itu mereka menggunakan majalah sebagai referensi bagi persiapan dalam menghadapi lingkungan sosial. Selain itu, harapan akan tampilan identitas remaja yang memang sangat variatif di dalam majalah remaja baik itu populer maupun Islami untuk ditampilkan apa adanya selalu ada. Sehingga proses adopsi identitas tidak akan merugikan pihak manapun mengingat hasil representasinya memang nyata. Keberadaan identitas sebagai remaja perempuan muslim yang nyaris tidak pernah tunggal pada akhirnya mengarahkan remaja pada sebuah kondisi kontradiktif dari alternatif-alternatif identitas yang berusaha ditawarkan majalah. Namun, satu hal yang harus digarisbawahi bahwa terjadi pemisahan antara identitas simbolik dan syari’at Islam. Pemisahan ini muncul dalam rangka memberikan mediasi identitas Islam kepada para remaja perempuan muslim melalui alternatif identitas yang beragam. Identitas simbolik yang merepresentasikan nilai-nilai Islam tidak lantas membawa para remaja pada titik konvensional dan fundamental mengenai menjadi seorang muslim, namun memberikan tawaran kepada mereka mengenai menjadi Islam dan tetap menjadi remaja pada umumnya. Gagasan ini menimbulkan sebuah indikasi adanya diskursus Islam moderat yang mengakomodasi bentuk-bentuk negosiasi media terhadap ‘perubahan jaman’. Negosiasi Islam moderat yang diartikulasikan media massa melalui diskursus identitas remaja perempuan mau tidak mau memberikan dampak terhadap pembacaan para remaja akan identitas tersebut sekaligus dalam rangka mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk simbol-simbol serta praktik-praktik keislaman di dalam kultur Indonesia sendiri sudah mengalami pendefinisian yang khas. Namun, perubahan lanskap sosio-kultural baik itu global maupun lokal turut mempengaruhi dinamika tersebut yang pada akhirnya membawa identitas Islam pada posisi baru dalam formasi diskursif keberagamaan di Indonesia yang kemudian diinterpretasi dan dipraktikkan secara kultural oleh para remaja yang mengonsumsi diskursus tersebut. Remaja sebagai bagian dari subkultur ‘youth’ lantas memberikan interpretasi ‘resistensi’ atas diskursus yang berusaha ditawarkan oleh media massa tersebut. Mereka melakukan modifikasi-modifikasi yang bagi mereka lebih mencerminkan ke’diri’an mereka tanpa terjebak keharusan untuk mengikuti apa yang ideal versi majalah. Negosiasi identitas ini akhirnya terbawa ke ranah baru yang tidak hanya terjadi pada media massa yang dipengaruhi oleh lanskap sosiokultural global maupun lokal, namun juga pada ranah pribadi dari masingmasing remaja perempuan muslim yang mengonsumsi untuk kemudian memodifikasi identitas tersebut. Pada akhirnya, posisi identitas remaja perempuan muslim masih problematik mengingat adanya hibriditas identitas dalam peran yang dijalaninya. Formasi diskursif remaja perempuan muslim ternyata memunculkan banyak tawaran-tawaran yang saling menegosiasikan mengenai identitas mereka. Bukan tidak mungkin, tawaran-tawaran diskursus ini bahkan saling bertentangan. Namun, para pemeran identitas ini tahu betul apa yang dituntutkan lingkungan sosial padanya sehingga mereka mengadopsi hibriditas identitas tersebut. Kesimpulan tersebut memang bukan hal baru pada saat memandang konstelasi diskursus identitas remaja perempuan Islam yang berusaha dikonstruksi oleh media massa. Namun, tesis ini telah memberikan seperangkat formasi diskursif yang membuka konstelasi diskursus yang nyatanya tidak sekedar mereproduksi

identitas yang sudah pernah ada namun memberikan modifikasi identitas tersebut sesuai dengan perkembangan lanskap sosio-kultural Indonesia kontemporer. Peubahan konteks global yang turut mengubah cara hidup masyarakat Indonesia tidak lantas memberikan perubahan yang signifikan atas konstruksi identitas remaja perempuan muslim. Karena konteks Indonesia yang khas dengan pluralisme, baik itu dalam kehidupan beragama maupun sosial, memberikan warna tersendiri dalam praktik pengartikulasian identitas tersebut di kalangan remaja perempuan muslim. Tidak ada pendefinisian tunggal atas identitas dan semua dinegosiasikan dengan nilai-nilai lokal yang telah ditanamkan sedari kecil sebagai warisan budaya.

SUMMARY

  One significant problem in Indonesia modernization process is religious transformation of ideologizing toward commercialization of spirituality symbolized by the lifestyle. This research is going to critically analyze the discourse about the creation of identity for young contemporary Indonesian Muslim women which constructed by the "glossy" teen magazine. This theme is interesting according to researcher because, ever since the New Order period ends, the identity of Muslim women become one of the female identity popularized by mass media in Indonesia to show a symbol of piety middle class. Media with a constellation of discourse created a new meaning about the appearance of a Muslim and how to be a Muslim in contemporary Indonesian state. This trend raises an Islamic identity that has a reproduction of modifications compared to the Islamic state during the New Order. Thus, researchers want to unpack, like whether Islamic identity contemporary offered by the 'glossy' teens magazines and how these girls are taking the magazine to give its interpretation of identity offered. In the landscape of contemporary Indonesia, manifested Islamic identity is no longer becoming taboo. Along with the growing of materialism in Indonesia society and commodification that continue resonanced by the mass media, creating a pop culture that favor Islam in religious performativity. Islam itself is now not only seen from the symbolic levels are believed to be Islamic artefacts, but realized in the form of pop culture who later adapted as an Indonesian Muslim lifestyle. The growth of Islamic schools with expensive cost, the creation of fashion with the label 'Moslem Exclusive Fashion' is one indicator of the rise of "Islamic" is categorized as a Pop Culture. In this context, it takes a study that is able to summarize in a comprehensive constellation of discourses on the Islamic identity. Some research on this topic have been conducted almost every year. No wonder, because the Islamic identity which is manifested in a lifestyle of contemporary society in Indonesia has become a trend. What I would do in this research is not about to criticize the previous studies on the topic of identity construction through the mass media. This study would complement the vacancy on the theme of youth and Islamic identity that has not been discussed previously. Even more interesting when I am not just limited to magazines that do give the feel of Islam in its production. I want to combine analysis from popular glossy magazines and Islamic magazine. Methodologically, this study also slightly different from other studies. Using critical discourse analysis perspective, this study would confirm the identity of the "contemporary" Islamic discourse which are trying to offer by the popular teen magazine, be it a franchise, published in the country, as well as magazines that are on behalf of himself as "Islam" with the teens as consumed identity . So in the end, I will get a more comprehensive analysis of the two sides. I do not want to confirm my reading with the media industry itself because I will only study the text with regard to the construction of the consumer identity. In other words, I want to confirm only on societal component in the sociocultural practices in critical discourse analysis of Fairclough diagrams as part of social discourse analysis on the contemporary Islamic identity. Concluding activities from exposure textual analysis, through teen magazine content, which is confirmed by societal level of interpretation of the contemporary identity of Muslim teens offered by the magazine, not an easy and linear thing. Being a teenage Muslim women in Indonesia is complex and problematic. Girls who are in fact at the age of looking identity must be confronted with so many components of identity that sometimes mutually contradictory. Socio cultural landscape changes in Indonesia are dynamic enough to make this identity search problem becomes more complex. Teenagers as one part of the citizens, who are still considered immature because 'allegedly' has not been able to determine what is best for themself, must be trained to eventually become good citizens. Magazine as one of the media have to articulate those values. Based on the text deconstructed through this study also reached the conclusion that female identity is articulated in patriarchal discourse. However, it does not stop there, because there are some negotiations between the patriarchal discourse with the discourse of femininity that tries articulated by women, which in this case represented by women writers who articulate the feminine narrative. Meanwhile, the negotiation process which is active and dynamic happens in the minds of teenage Muslim girls who consume representation of the identity in the magazine. These teens are actively selecting for later negotiate magazine content with the values of their everyday life. Defining reality will also not be absolutely left to the mass media, which in this context is a magazine, but also confirm with the socio cultural environment of each individual. What's more, every teenager is aware of their position within the social environment that is sequenced on the parts that make their life intact. For that, they use magazine as a reference for preparation in dealing with the social environment. In addition, the expectation will display the identity of adolescents who are highly varied in both the popular teen magazines as well as Islamic to display what they really. So the adoption process identity will not be detrimental to any party considering the representations are real. The presence of Muslim women's identity as a teenager who hardly ever single, teenager in the end lead that seek to a contradictory state of alternatives identity that offered by magazines. However, one thing that must be underlined that the separation between the symbolic identity and Islamic syari’at. Separation occurs in order to provide mediation to youth Islamic identity of Muslim girl through a variety of alternative identities. Symbolic identity that represents Islamic values are not

necessarily bring the teens in the conventional and the fundamental point about being a Muslim, but an offer to them about becoming Muslim and remain a teenager in general. This idea raises an indication of a moderate Islamic discourse which accommodate other forms of media negotiation about 'changing century'. Moderate Islam negotiations articulated through the mass media discourse of female adolescent identity inevitably have an impact on the reading of the teens, will be the identity at once, in order to practice it in their everyday life. Form of symbols and Islamic practices in Indonesia's own culture has experienced a typical definition. However, changes in socio-cultural landscape both globally and a new position in the religious discursive formations in Indonesia which is then interpreted and practiced by the cultural discourse of adolescents who consume them. Adolescents as part of a 'youth'subculture, then give the 'resistance' interpretation to the discourse that tried to be offered by the mass media. They perform modifications to better reflect their ‘self’ without trapped having to follow what the ideal version of the magazine. The negotiation of identity was finally brought to a new realm that is not only happening in the mass media that are influenced by sociocultural landscape globally and locally, but also the private sphere of their respective Muslim girls who take and then modify that identity. In the end, the position of adolescent identity of Muslim women are still problematic in light of the hybridity of identity in the role she lived. Discursive formations teenage Muslim girl turned out to raise a lot of offers to negotiate each other about their identity. It is not impossible, the offers are even contradictory discourse. However, the cast of this identity are prescribed knows what her social environment so that they adopt the hybridity identity. This conclusion is not new at the time, looking at the constellation of discourses on adolescent identity of Muslim women who try to be constructed by the mass media. However, this thesis has provided a set of discursive formations that open discourse as in fact that constellation not merely reproduce the identity that has ever existed, but give the identity of the modification in accordance with the development of socio-cultural landscape contemporary Indonesia. Changes in global context that helped change the way of life of Indonesian people will not necessarily provide a significant change of the construction of adolescent identities of Muslim women. Due to the unique context of Indonesia with pluralism, both religious and social life, providing its own color in the practice articulating identity among adolescent Muslim girl. There is no single definition of identity and all negotiated with local values that have been implanted childhood as a cultural heritage.

ABSTRAK

  Salah satu persoalan yang cukup signifikan dalam proses modernisasi Indonesia adalah transformasi beragama dari ideologisasi menuju komersialisasi piritualitas yang disimbolkan oleh gaya hidup. Penelitian ini hendak menganalisis secara kritis wacana mengenai penciptaan identitas kontemporer bagi remaja perempuan muslim Indonesia yang dikonstruksikan oleh majalah remaja glossy”. Tema ini menarik menurut peneliti karena, semenjak masa Orde Baru berakhir, identitas perempuan muslim menjadi salah satu identitas perempuan yang dipopulerkan oleh media massa Indonesia untuk menunjukkan simbolisasi kesalehan kelas menengah. Media dengan konstelasi diskursusnya menciptakan sebuah makna baru mengenai seperti apa tampilan seorang muslimah dan bagaimana menjadi muslimah dalam kondisi Indonesia kontemporer. Kecenderungan ini menimbulkan sebuah reproduksi identitas keislaman yang memiliki modifikasi dibandingkan dengan kondisi keislaman pada masa Orde Baru. Sehingga, peneliti hendak membongkar, seperti apakah identitas keislaman kontenporer yang ditawarkan oleh majalah “glossy” remaja serta bagaimana remaja yang mengonsumsi majalah tersebut memberikan interpretasinya terhadap identitas yang ditawarkan. Untuk menjelaskan konstruksi majalah remaja terhadap identitas remaja perempuan muslim, penelitian ini menganalisis formasi diskursif mengenai identitas yang diartikulasikan melalui teks yang diproduksi oleh majalah remaja sekaligus mengkonfirmasikannya dengan interpretasi pembacanya. Menggunakan metode analisis wacana secara kritis, penelitian ini berusaha mengkaitkan produksi teks dengan interpretasi serta kondisi sosiokultural di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada akhirnya, posisi identitas remaja perempuan muslim masih problematik mengingat adanya hibriditas identitas dalam peran yang dijalaninya. Formasi diskursif identitas remaja perempuan muslim yang direpresentasikan dalam teks majalah ternyata memunculkan banyak tawaran- tawaran yang saling menegosiasikan mengenai identitas mereka. Bukan tidak mungkin, tawaran-tawaran diskursus ini bahkan saling bertentangan. Namun, para pemeran identitas ini tahu betul apa yang dituntutkan lingkungan sosial padanya sehingga mereka mengadopsi hibriditas identitas tersebut.

  Kata kunci: remaja perempuan muslim, analisis wacana, identitas Islam kontemporer, media studies, majalah remaja perempuan.