KEDUDUKAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REP

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang terdiri dari kesatuan berbagai budaya yang
majemuk. Perjalanan Indonesia untuk mencapai bentuk negara hukum berawal dari
keberadaan budaya majemuk yang kemudian menciptakan sistem hukum berupa hukum
adat yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan baik yang terlembaga dalam sebuah
masyarakat. Hukum tersebut kemudian menjadi tatanan norma yang digunakan sebagai
sistem peraturan yang terpelihara dan dipatuhi oleh manusia yang hidup dalam sebuah
masyarakat adat. Sistem hukum adat, karena berasal dari kebiasaan, kebanyakan hadir
dalam bentuk tidak tertulis. Hukum adat masing-masing masyarakat adat membutuhkan
kemauan masyarakat yang hidup di dalamnya untuk terikat pada hukum tersebut.
Karena bersifat sempit, dalam artian hanya dipatuhi oleh manusia yang tinggal dalam
sebuah masyarakat tertentu, hukum adat masih bersifat teritorial atau terbatas pada
kedaerahan saja.
Selanjutnya, dalam perkembangan sejarah, Indonesia kemudian menjadi bagian
dari kolonialisasi Belanda. Kolonialisai memperkenalkan sistem hukum baru yang
diperkenalkan penjajah kepada negara jajahan. Dalam kalimat yang lebih spesisfik,
Belanda membawa sistem hukum ke Indonesia dan menciptakan sistem-sistem hukum
baru yang harus dipatuhi oleh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat terjajah yang
membuat Indonesia menjadi negara jajahan dan harus menerapkan hukum yang dibawa
oleh Belanda. Hukum tersebut disebut sebagai hukum kolonial.
Konsekuensi dari pemberlakuan hukum kolonialisme adalah berlakunya hukum

yang dipaksakan untuk menciptakan keterikatan sehingga mengelimir unsur
kesepakatan dan bukan merupakan konsensus masyarakat yang hidup di dalamnya. Hal
tersebut menjadi wajar karena tujuan utama kolonialisme adalah kepatuhan masyarakat
negara terjajah demi maksud yang dibawa oleh negara penjajah.
Penjajahan di Indonesia menimbulkan gejolak kemerdekaan. Gejolak tersebut
tidak hanya menghasilkan peperangan secara fisik namun juga melahirkan dorongan-

1

dorongan untuk berpikir mengenai bentuk negara seperti apa yang hendak dilaksanakan
setelah kemerdekaan diraih.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Gagasan kebangsaan yang disepakati bersama dalam penyelenggaraan negara adalah
negara bangsa (nation state). Negara bangsa adalah konsep bernegara yang melampaui
konsep negara kuno di mana negara hanya bisa terbentuk dalam lingkup kesamaan ras,
bahasa, dan agama. Negara bangsa adalah gagasan tentang negara yang didirikan untuk
seluruh bangsa yang mendiami sebuah negara yang berdasarkan pada kesepakatan
bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara
pihak-pihak yang mengadakan kespakatan untuk kepentingan seluruh rakyat negara
tersebut.1 Gagasan tersebut disepakati karena kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari

berbagai macam ras, suku, dan agama selain karena bahwa hukum adat, agama, dan
kolonial yang masih hidup di awal kemerdekaan Indonesia.
Pengertian kepentingan seluruh rakyat inilah yang kemudian disebut sebagai
kedaulatan rakyat. Kedaulatan ini memegang kekuasaan penuh dalam pelaksanaan
negara bangsa. Di Indonesia kedaulatan tersebut dituangkan dalam Pancasila. Kelima
sila dalam Pancasila adalah pemikiran fundamental pendiri bangsa mengenai hal-hal apa
saja yang perlu dijadikan dasar dalam kehidupan bernegara. Pancasila juga memuat
keragaman yang menjadi nilai utama yang harus dijaga dalam pelaksanaan negara
Indonesia.2
Pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara diyakini hanya akan terealisasi
ketika sebuah negara menganut sistem demokrasi. Demokrasi merupakan pilihan yang
tepat dan paling masuk akal karena mengandaikan dan menjamin keragaman dalam
dinamika rakyat di suatu negara. Namun, demokrasi tidak bisa begitu saja menjadi
1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara, Setara Pers, Malang, 2015, hlm. 19.
2 Pancasila merupakan pemikiran panjang dari beberapa ahli hukum tata negara pra kemerdekaan di
Indonesia dalam rapat BPUPKI mulai Mei sampai Juli 1945. Dalam rapat tersebut masing-masing
perwakilan, mulai dari Muh. Yamin sampai Ir. Soekarno, mengajukan konsep-konsep dasar bernegara
yang masing-masing berjumlah 5 sila. Pancasila sendiri merupakan penyempurnaan Piagam Jakarta yang
disepakati bersama oleh panitia 9 pada 22 Juni 1945. Penyempurnaan pada Piagam Jakarta terjadi pada
sila pertama yang menyebutkan “Ketuhanan, dengan mewajibkan menjalankan Syari’at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang maha esa” dalam sila pertama Pancasila.

2

unsur penopang pelaksanaan negara bangsa tanpa adanya sikap saling percaya dan
saling menghargai dari rakyat yang hidup dalam negara bangsa. Demokrasi juga tidak
dapat diartikan sebagai demokrasi langsung seperti pada era polis di Yunani kuno
karena semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh suatu negara bangsa
beserta masyarakat yang berada di dalamnya. Demokrasi dengan kesediaan kompromi
atas pertimbangan prisipal, sikap saling menghargai, dan saling percaya adalah
demokrasi yang bisa dilaksanakan di era modern.3
Setelah kedaulatan ditemukan dan sistem yang digunakan untuk menopang
konsep negara bangsa disepakati, proses selanjutnya yang dibutuhkan adalah
membentuk sebuah peraturan tertulis yang kemudian menjadi dasar untuk pelaksanakan
praktik organisasi dan pelaksanaan praktik kenegaraan.4 Peraturan tertulis tersebut
dinamakan sebagai konstitusi. Awalnya konstitusi berasal dari kontrak sosial yang
mengikat seluruh masyarakat dalam kehidupan bernegara. Pelaksanaan tertinggi
konstitusi adalah dengan menjadikannya sebagai dokumen hukum dan politik yang
otoritasnya berasal dari kekuasaan rakyat. Dalam sejarah perkembangan hukum tata
negara, seorang ahli bernama Hans Kelsen mengajukan sebuah teori yang disebut

sebagai

Stufenbau

Theory

untuk

memperjelas

perlunya

konstitusi

dalam

penyelenggaraan negara.
Mula-mula dalam penjelasan yang abstrak, Kelsen mengemukakan bahwa:
“Hukum berada dalam satu tatanan yang disebut dengan nomodinamik.
Hukum merupakan sebuah kesatuan karena memiliki dasar validitas yang

sama, sebagai norma dasar yaitu suatu norma yang validitasnya tidak dapat
diperoleh dari norma lain. Bahwa suatu norma termasuk ke dalam suatu
sistem norma tertentu, dapat diuji hanya dengan penegasan bahwa norma
tersebut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk tata
normatif tersebut”.5

3 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 98-99.
4Tidak semua konstitusi negara berbentuk peraturan tertulis. Sebagai contoh, penulis mencontohkan
negara seperti Inggris, Arab Saudi, dan Israel sebagai negara-negara yang tidak memiliki konstitusi yang
tertulis.
5 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Penerjemah Drs. Somadi, Bee Media Press, Jakarta,
2007, hlm 140.

3

Konstitusi secara sederhana dapat diartikan sebagai dokumen yang berisi aturanaturan untuk menjalankan sebuah organisasi.6 Organisasi yang dimaksudkan oleh
Thompson dalam bukunya adalah segala sesuatu yang memiliki beragam bentuk dan
kompleksitas struktur. Negara dengan segala kompleksitasnya memerlukan konstitusi.
Dalam bahasa Indonesia, konstitusi biasa diterjemahkan menjadi undang-undang dasar.
Konstitusi mencakup pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensi

ketatanegaraan yang mementukan susunan dan kedudukan organ-oragan negara,
mengatur hubungan antar organ negara, dan mengatur hubungan organ negara dengan
warga negara.7 Seiring dengan berkembangnya zaman, konstitusi dianggap sebagai
kebutuhan utama bagi setiap negara demokrasi modern. Dasar pembentukan konstitusi
yang berasal dari kesepakatan bersama digunakan sebagai jalan untuk menuju kondisi
ideal yang hendak dicapai bersama dalam negara. Beberapa kesepakatan bersama yang
hendak dicapai dan diwujudkan meliputi:
1.

The general goals of society or general acceptance of the same philosophy;

2.

The Basis of government;

3.

The Form of Institutions and procedures.8
Norma dasar dalam Stufenbau theory kemudian dibahasakan dalam grundnorm.
Dalam ranah yang lebih sempit, di Indonesia,


tata normatif seperti apa yang

dikemukakan oleh Kelsen juga diterapkan dengan grundnorm adalah Pancasila yang
masih memuat hal yang terlalu luas, abstrak, dan membutuhkan penjelasan lebih
konkret melalui peraturan perundangan di bawahnya. Pelaksana Pancasila sebagai
grundnorm adalah UUD1945. Konstitusi tersebut adalah peraturan pelaksana dalam
usaha mencapai nilai-nilai luhur pembentukan negara Republik Indonesia.9 Selain itu,
masih menurut Kelsen, penurunan norma-norma suatu tata hukum dari norma dasarnya
6Brian Thompson, Textbook On Constitutional and Administrative Law, Third Edition, Blackstone Press
ltd, 1997, hlm. 3.
7 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 19.
8 William G. Andrews dalam Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm. 21
9 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

4

dilakukan untuk membuktikan bahwa norma-norma khusus yang telah dibuat menurut
norma dasar.
Konstitusi sebagai pelaksana grundnorm harus memiliki nilai-nilai luhur yang

dicitakan olehnya. Maka, UUD 1945 wajib memuat nilai-nilai luhur Pancasila. Apabila
Pancasila mengakomodasi keragaman, maka UUD 1945 harus mengakomodasinya.
Begitu juga peraturan perundangan yang berada di bawahnya.10
Di Indonesia, pelaksanaan negara terbagi dalam tiga masa, Orde Lama, Orde
Baru, dan Reformasi. Masing-masing masa selalu mengedepankan bahwa mereka
adalah perbaikan dari masa sebelumnya. Orde Baru merupakan perbaikan dari Orde
Lama yang dianggap mendekati tirani, Reformasi merupakan perbaikan dari Orde Baru
yang tidak kalah tiran dari Orde Lama.
Reformasi membawa semangat perbaikan. Orde Baru dianggap melakukan
penyalahgunaan Pancasila dan UUD 1945 dalam pemerintahan yang totaliter dan tiran.
Masalah tersebut dianggap merupakan masalah yang utama dan harus diselesaikan
dengan cara penyelesaian yang radikal.
Hal pertama yang dilakukan oleh pemerintahan reformasi adalah mengusahakan
amandemen terhadap UUD 1945 yang dianggap masih belum mengakomodasi banyak
hal dasar dalam bernegara.11 Permasalahan pertama yang kemudian timbul adalah suara
dari fraksi islam yang mengusulkan selain amandemen UUD 1945, perlu juga diadakan
perubahan radikal yang mengembalikan Pancasila pada bentuk aslinya yaitu Piagam
Jakarta yang memuat:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syari’at islam bagi
pemeluk-pemeluknya

10 Hans Kelsen, Op.cit.,, hlm. 144
11 Banyak pendapat yang mengemukakan usaha amandemen terhadap UUD 1945 mengutamakan pada
cara bagaimana mengurangi istilah presidential heavy untuk diarahkan pada sebaliknya, legislative heavy.
Namun, menurut penulis hal tersebut merupakan hal yang tidak tepat, sebab apabila dicermati secara
keseluruhan memang benar UUD 1945 merupakan konstitusi yang belum tuntas. Pendapat ini penulis
hadirkan merujuk pada perubahan kedua UUD1945 tanggal 18 Agustus 2000 yang memperluas Pasal 28
tentang Hak Asasi Manusia menjadi 10 pasal. Hak asasi manusia merupakan hal yang sedikit disinggung
dalam UUD 1945 sebelum amandemen, sehingga memerlukan banyak penambahan untuk menjamin
pelaksanaannya di Indonesia. Lihat UUD 1945 Dan Konstitusi Indonesia, Indonesian Legal Center
Publishing, Jakarta, 2008, hlm. 30.

5

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh
permusyarawaratan/perwakilan

hikmat,


kebijaksanaan

dalam

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.12
Keinginan tersebut dapat dikatakan seusatu yang wajar ketika melihat kembali
sejarah ketatanegaraan Indonesia terutama di Orde Baru. International IDEA mencatat
bahwa dengan berakhirnya Orde Baru, organisasi keagamaan meletup, menjadi apa
yang digambarkan sebagai “euforia”Aktivitas Politik. Hal ini terutama terjadi pada
organisasi-organisasi Islam yang merasa bahwa mereka telah diganjal secara opresif di
bawah rezim Soeharto atau Orde Baru.13
Meskipun akhirnya gagal dalam level norma dasar, euforia ini tidak berhenti
begitu saja. Selepas Undang-Undang-Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh diundangkan, usaha tersebut dialihkan pada level
yang lebih rendah yaitu perda. Banyak yang tidak memahami bahwa Undang-Undang
tersebut adalah awal dari rangkaian upaya panjang penyelesaian kasus pelanggaran hak
asasi manusia yang terjadi di Aceh akibat penetapannya sebagai Daerah Operasi Militer
sejak tahun 1989 sampai 1999.
Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa penyelenggaraan keistimewaan
Aceh meliputi: (a) Penyelenggaraan kehidupan beragama; (b) penyelenggaraan

kehidupan adat; (c) penyelenggaraan pendidikan; dan (d) peran ulama dalam
pembentukan peraturan daerah.14

Keistimewaan Aceh dilanjutkan dalam Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi daerah Istimewa Aceh
dan kemudian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 15
Dalam undang-undang tersebutlah akhirnya tercetus istilah Qanun yang menjadi
12 Alwi Wahyudi, Hukum Tata Negara Indonesia: Dalam Perspektif Pancasila Pasca Reformasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012, hlm.6-10
13 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, Cetakan Ketiga, 2011, hlm. 278.
14 Lihat Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh
15 Ibid., hlm. 309.

6

pendorong dilanjutkannya usaha untuk menjadikan syari’at islam sebagai peraturan
perundangan di tingkat daerah.
Pengundangan peraturan daerah yang didasarkan pada keinginan untuk
mengadopsi apa yang terjadi di Aceh mendorong timbulnya istilah peda bernuansa
syari’at. Beberapa contoh yang terjadi ditemukan di Garut dan Tasikmalaya melalui
Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 6 Tahun 2000 tentang Kesusilaan dan
Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pembangunan
Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam
dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya.
Perda-perda bernuansa syari’at tidak seperti Qanun di Aceh yang memiliki dasar
hukum pembentukannya berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.16 Secara umum, perda bernuansa syari’at adalah perda seperti
umumnya yang merupakan kewenangan yang diberikan pada pemerintah pusat yang
tidak dapat bertentangan dengan bunyi peraturan yang berada di atasnya yaitu Pasal 237
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
berbunyi: “Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia” tapi dengan ditempeli sesuatu yang bernuansa syari’at.
Dari kenyataan bahwa perda bernuansa syari’at merupakan produk hukum yang
tidak sesuai dengan tata urutan peraturan perundangan dan pemahaman-pemahaman
baru yang didapat dari konsep constitutional patriotism, penulis bermaksud menemukan
konsep constitutional patriotism dalam konstitusi Indonesia yang akan digunakan untuk
melihat letak UUD 1945 sebagai peraturan perundangan tertinggi pelaksana norma
dasar, Pancasila, yang menuntut kesesuaian nilai-nilai yang terdapat pada di peraturanperaturan perundangan yang terdapat di bawahnya yang berfungsi sebagai peraturan
pelaksana. Dengan menemukan konsep tersebut dalam UUD 1945 diharapkan akan
16 Lihat bagian Menimbang huruf c dan Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.

7

tercapai kesesuaian dalam pelaksanaan nilai-nilai luhur yang dicitakan oleh Pancasila
sebagai norma dasar atau grundnorm dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan yang akan diteliti
yaitu:
1. Apakah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat
konsep Constitutional Patriotism?
2. Bagaimanakah kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai Constitutional Patriotism terhadap pembentukan Peraturan
Daerah di Indonesia?
C. Metode Penelitian
Penelitian bersifat normatif melalui pendekatan undang-undang atau statute
approach dilengkapi dengan pendekatan konseptual atau conseptual approach yang
didapat dari penggunaan teori-teori dalam telaah pustaka.17 Kolaborasi dari pendekatanpendekatan tersebut akan digunakan untuk mengungkap constitutional patriotism yang
terdapat dalam UUD 1945 yang akan menunjukan pada kedudukan UUD 1945 dalam
pembentukan perda di Indonesia.

D. Pembahasan
Artikel ini memuat tiga variable: kedudukan, Constitutional Patriotism, dan
peraturan daerah. Ketiganya berawal dari pendapat Hans Kelsen dalam teorinya,
Stufenbau theory.
17 Peter Mahmud Marzuki, Artikel Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 93

8

1. Kedudukan Menurut Stufenbau theory
Kedudukan akan dijelaskan dalam dua ranah yaitu ranah das sollen dan das sein.
Secara das sollen, kedudukan merujuk pada apa yang dinyatakan Kelsen bahwa hukum
berada dalam satu kesatuan atau berada dalam satu sistem. Sistem tersebut ditopang
oleh satu hal yang sama, validitas. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, darimana
validitas itu hadir?
Kelsen dalam General Theory of Law an State menerangkan secara jelas
mengenai norma dasar dalam sistem hukum. Norma dasar tidak dibuktikan validitasnya
berdasarkan realitas, melainkan didasarkan pada postulasi yang telah diakui
kebenarannya tanpa harus dibuktikan. Norma dasar, karena memiliki makna yang
sangat luas, dapat memberikan validitas pada norma-norma di bawahnya. Norma dasar
akan mengarahkan pencarian yang dilakukan untuk menemukan validitas suatu norma
bukan pada realitas, melainkan pada norma dasar itu sendiri. Karena dari sanalah semua
berawal.18
Kekuasaan norma dasar mendistribusikan validitas terhadap norma-norma di
bawahnya membentuk suatu tata norma atau sistem norma. Norma dasar yang menjadi
sumber utama validitas mengikat norma yang berbeda-beda dalam satu tata norma.
Pernyataan tersebut menjawab pertanyaan darimana validitas dalam norma hadir?
Landasan validitas suatu norma adalah postulat, yaitu norma yang dipostulasikan
sebagai norma dasar.
Karena bersifat ilmiah, norma dasar tidak mungkin dibiarkan saja dipahami dan
dicari asal usulnya tanpa alasan yang jelas dan akan mengarahkan pencarian yang
bersandar pada kekuasaan Tuhan. Kelsen sebagai seorang positivistik membuang jauhjauh setiap pembenaran keagamaan dari sistem tata hukum. Kelsen berpendapat bahwa
positivisme hukum berasal dari wewenang historis yang memberikan kekuasan pada
para perumus norma dasar. 19
18 Hans Kelsen, Op.cit., hlm 139. Merkl memperkenalkan konsep, yang kemudian dilanjutkan oleh
Nawiasky dan Kelsen, menggunakan istilah pre-supposed yang artinya norma dasar dietapkan terlebih
dahulu oleh masyarakat sebelum ahkirnya dibentuk negara dan sistem norma yang berlaku di dalamnya.
19 Ibid., hlm. 145.

9

Keseluruhan fungsi norma dasar adalah untuk memberi kekuasaan membentuk
hukum kepada pembentuk undang-undang yang pertama, atau konstitusi, yang
merupakan pelaksana norma dasar. Norma dasar tidak dibentuk memlalui prosedur
hukum oleh suatu organ pembuat hukum. Tidak seperti validitas norma hukum positif,
yang berada di bawah norma dasar, norma dasar tidak valid karena dibuat menurut satu
cara tertentu oleh suatu tindakan hukum, melainkan valid karena norma dasar
dipostulasikan demikian; pre-supposed, dan dipostulasikan valid karena tanpa postulasi
ini tidak akan ada tindakan manusia yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan hukum,
khususnya sebagai tindakan pembentukan norma. Norma dasar adalah jawaban atas
pertanyaan: bagaimana semua pernyataan hukum mengenai norma-norma hukum,
kewjiban-kewajiban hukum, hak-hak hukum, dan sebagainya, dimungkinkan.20
Perlu dipahami lebih lanjut bahwa norma dasar tidak hanya memberikan tata
urutan dalam bentuk formil belaka, namun juga mensyaratkan adanya kesesuaian antara
norma-norma turunan yang berada di bawah norma dasar. Sehingga norma dasar
mensyaratkan pula keterjagaan substansi yang dimuatnya pada peraturan yang berada di
bawahnya. Hal yang sering ditemukan adalah bahwa tata urutan tersebut hanya
memberikan bentuk formal saja dengan mengabaikan nilai-nilai atau substansi yang
diturunkan oleh norma dasar. Kenyataan tersebut akan membuat sebuah sistem norma,
terutama yang berada di bawah konstitusi, akan mengalami ketidak sesuaian karena
tidak mampu mengakomodasi esensi konstitusi (constitutional essentials).
Sedangkan das sein dalam artikel ini merujuk pada tata urutan peraturan
perundangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang meletakan UUD 1945 sebagai peraturan tertinggi
dan Peraturan Daerah sebagai peraturan terendah.21

2. Constitutional Patriotism
20 Ibid., hlm. 146.
21 Lihat pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan PerundangUndangan.

10

Penemuan pengertian Constitutional patriotism dilakukan melalui tiga
metodologi, secara epistemologis, ontologis, dan aksiologis.
a. Pengertian Secara Epistemologis
Secara

epistimologis

constitutional

patriotism

akan

melibatkan

pendapat-pendapat yang berkaitan dengan sejarah dan tempat pertama kali
konsep tersebut dicetuskan lalu dikembangkan. Ahli yang pertama kali
mencetuskan constitutional patriotism secara epistemologis adalah Karl
Jaspers. Ia berangkat dari The Question of German Guilt, sebuah karya
seminal yang menggambarkan perbedaan antara kesalahan moralitas,
kriminal, dan kesalahan metapisis.22 Usaha Jaspers menjelaskan epistimologi
constitutional patriotism tidak dapat dilepaskan dari metode historis karena
dijelaskan bahwa masa lalu Jerman adalah asal konsep epistemologi konsep
tersebut. Jaspers menyatakan:
“Constitutional patriotism linked with the idea of working
through the past, explicitly with a new kind of cosmopolitanism:
the project of continously contested memory and the idea of
universal membership were to become inseparable – even if it
remained unclear what precisely universal membership was
supposed to be entail”23
Jaspers secara pribadi dan sadar menolak nasionalisme yang sebelumnya
diadopsi dari pemahaman Max Weber, di mana Weber menyatakan bahwa
identitas politik liberal dan bingkai negara bangsa dapat bekerja di Jerman.
Kemudian ditambahkan bahwa pertanyaan menganai kesalahan moral berlaku
bagi setiap kesadaran individu. Cara satu-satunya untuk menjawab pertanyaan
22 Jan-Werner Muller, Another Country: German Intellectuals, Unification and National Identity, London
And New Haven: Yale University Press, London, 2000, hlm. 13
23 Ibid., hlm. 15. Teks asli berasal dari tulisan Karl Jaspers yang berjudul Die Schuldfrage: Ein Beitrag
zur deutschen frage yang ditulis pada tahun 1945. Ada beberapa hal yang perlu penulis jelaskan dari
kutipan di atas. Pertama mengenai kesalahan Jerman yang dimaksud oleh Jaspers. Kesalahan yang
dimaksud oleh Jaspers adalah kegagalan Republik Weimar, Bangkitnya Third Reich melalui Partai Nazi
pada perang dunia kedua yang berujung pada pecahnya Jerman menjadi West Germany dan German
Democratic Republik. Kedua, corak yang diadopsi oleh Jaspers juga sangat terlihat sesusai jamannya
ketika ia menyatakan pendapatnya. Setelah dunia dua kali diguncang perang dunia konsep
cosmopolitanism, yang menganggap dunia sebagai satu kesatuan dan warga negara dunia memiliki
identitas yang sama, lihat pemikiran Plato dalam The Republic dan pemikiran-pemikiran Hannah Arrendt,
mengemuka dan akhirnya diwujudkan dalam sebuah entitas yaitu United Nations.

11

tersebut adalah dengan menciptakan komunikasi publik yang bebas dan apa
yang disebut sebagai perjuangan sukarela untuk solidaritas dibandingkan
mengajukan konsep penyesalan moral.24
Ahli selanjutnya yang menjelaskan constitutional patriotism secara
epistemologis adalah Dolf Sternberger, kolega dari Karl Jaspers. Sternberger
adalah salah satu pencetus West Germany. Mula-mula diciptakan istilah
Staatsfreundschaft (persahabatan dengan, atau lebih menuju pada, negara)
dan kemudian didorong menjadi Verfassungspatriotismus (hasrat rasional
patriotisme). Kedua istilah tersebut kemudian menjadi pijakan Sternberger
untuk merumuskan dasar constitutional patriotism yang lebih kuat,
menurutnya, dari milik Jaspers “passionate rationality is a kind of civic
reason that would make citizens identity with democratic state and, not least
defend it against its enemies”.25
Dalam metodologinya, Sternberger masih mengadopsi metode yang
sama dengan Jaspers, metode historis, yang juga berasal dari The Republic
milik Plato dan pemikiran-pemikiran Hannah Arrendt. Bedanya, tidak seperti
Jaspers yang masih belum berani menyatakan bahwa pemikiran milik Plato
dan Arrendt mengandung constitutional patriotism, di mana keduanya justru
masih dianggap seagai pemikiran cosmopolitanism, Sternberger secara tegas
membagi waktu di mana constitutional patriotism akhirnya lahir. Disebutkan
dalam pendapatnya bahwa patriotisme menurut Plato tidak ada hubungannya
sama sekali dengan negara. Sebuah pendapat yang bisa dipahami karena pada
masa tersebut negara, terutama negara bangsa, belum lahir konsepnya. Tapi
setelah abad kedelapan belas, Sternberger berpendapat bahwa semua jenis

24 Ibid., hlm. 17. Dalam terjemahannya, Muller masih menganggap konsep Jaspers sebagai sebuah
konsep yang apolitis, dalam arti politik sebagai sebuah praksis. Pernyataannya mengacu pada kenyataan
masih terdapat keraguan dari Jaspers mengenai bentuk pemerintahan yang tepat untuk melaksanakan
komunikasi publik yang bebas. Di sisi lain konsep tersebut membutuhkan pemerintahan yang kuat yang
didukung konstitusi yang kuat pula, merujuk pada Rule of Law, namun di sisi lain ia masih mengalami
trauma terhadap pemerintahan kuat yang dekat dengan konotasi tirani.
25 Dolf Sternberger, Staatfreundschaft, Frankfurt/Main, Suhrkamp, 1980, hlm. 22.

12

patriotisme adalah constitutional patriotism yang dipahami dalam kerangka
kecintaan terhadap the laws and common liberties.
Pendapat Sternberger tentang constitutional patriotism yang kemudian
mengemuka adalah pada “defending against its enemies” yang akhirnya
memberi corak pada pendapatnya. Dengan mencuatnya istilah tersebut, di
tangannya

constitutional

patriotism

menjadi

dekat

dengan

militant

democracy yang akhirnya menjadikan demokrasi di Jerman Barat menjadi
demokrasi yang paranoid terhadap resureksi Partai Nazi dan musuh-musuh
demokrasi Jerman.
Masalah yang dihadapi oleh constitutional patriotism Sterneberger
adalah kemudian menjadi bertentangan dengan tujuan demokrasi berupa
pemberian jaminan terhadap kebebasan berpendapat dan berbicara. Padahal
elaborasi antara constitutional patriotism dan sistem demokrasi mestinya
menitikberatkan pada jawaban politis dan legislatif untuk menghadapi
serangan-serangan anti demokrasi. Bukan malah dengan menciptakan
constitutional patriotism yang melakukan dengan “fight fire with fire” seperti
pendapat Sternberger.26
Ahli terakhir yang secara epistemologis menjelaskan constitutional
patriotism adalah Jurgen Habermas. Habermas adalah orang terakhir yang
mengembangkan dua konsep milik Jaspers dan Sternberger dengan sebisa
mungkin membuang seluruh entitas buruk yang terdapat dalam konsep
masing-masing.
Untuk mengawali formulasi constitutional patriotismnya, Habermas
berangkat dari kenyataan bahwa constitutional patriotism milik Jaspers
dinilai terlalu “lesu darah” karena bersifat apolitis dan Sternberger terlalu
“berdarah panas” karena menjadikan constitutional patriotism sebagai awal
26 Dikutip dan diartikan dari Karl Loewenstein, Militant Democracy and Fundamental Rights I,
American Political Science Review 31 (1987) yang merupakan refleksi dari pendeportasian Loewenstein
dari Jerman di tahun 1959 akibat dianggap sebagai musuh demokrasi Jerman.

13

mula militant democracy. Untuk mengatasi kedua sifat tersebut dalam
constitutional patriotism, Habermas mengawali usahanya dengan pernyataan
“What matters is a kind of critical, highly self-conscious back-and-forth
between actually existing traditions and institutions, on the one hand, and the
best universal norms and ideas that can be worked out, on the others”.27
Selanjutnya yang dilakukan adalah menjadikan constitutional patriotism
sebagai cara untuk membuka komunikasi pada level yang terendah, individu,
melalui interaksi sosial yang membutuhkan jaringan yang bebas dalam proses
komunikasi di level kolektif. Jaringan tersebut kemudian dinamakan sebagai
ruang publik atau public sphere yang menjadi poros yang memungkinkan
untuk diadakan untuk merenegosiasi identitas kolektif dan kemudian
membentuk identitas yang terrasionalisasi.
Habermas kemudian mulai memformulasikan constitutional patriotism
dalam dua tahap penyempurnaan, dan kesemuanya ditujukan untuk merevisi
pendapat Sternberger yang dianggapnya meletakan constitutional patriotism
pada titik terburuk. Tahap pertama adalah menempatkan ruang publik sebagai
counter untuk merevisi ketakutan atas potential anti-democrats or those
prone to neglecting the public good:
“The privileged site for the information of this kind of
“rationalized identity” – and the emergence of proper
constitutional patriotism – is thus he public sphere. And the
purpose of such patriotism , you might say, is the normative
purifucatuion of public argument, as opposed to the protection of
polity, which as we have seen, had been the main purpose of
Sternberger’s version of constitutional patriotism – a vigilat,
highly defensive, and, you might say, somewhat nervous form of
patriotism. The primary question here is about the democratic
quality of political culture, not the defense of a democracy
perpetually under therat from potential anti-democrats or those
prone to neglecting the public good”.28
27 Jan-Werner Muller, Constitutional Patriotism, Loc.cit, hlm. 29
28 Jurgen Habermas, Historical Consciousness and Post-Traditional Identity: The Federal Republic’s
Orientation to The West, Princetown University Press, New Jersey, 1989, hlm. 67.

14

Yang kedua adalah mengenai sifat statis dan terlalu positifistik
Sternberger yang meletakan negara, dalam hal ini Jerman, sebagai sebuah
entitas belaka yang statis dalam melaksanakan konstitusi.
“The traditionally German ide of the state as a substansial, or
even metaphysical, entity above and beyond society was to be
replaced by the rechtsstaat, the constitutional, rule-of-law-based
state, on the one hand, and the Sozialstaat, or welfare state, on
the other. Sternberger’s patriotism stood and centered on
democratic instituton worth defending neglected the idea of the
public sphere as a providing space for public reasoning among
citizens. In the public sphere, citizens could recognize each others
as free and equal, engage in democratic learning proceses and
subject each other’s claims to the very universal principles which
they endorsed patriotically”.29
Dari pendapat ketiga ahli di atas, dapat disimpulkan pengertian
constitutional patriotism secara epistemologis adalah cara warga negara
mengikatkan diri pada sebuah konstitusi dengan perasaan patriotisme yang
dimilikinya. Pengertian tersebut masih sangat abstrak mengingat ketiga ahli
tersebut belum menyatakan bagaimana kemudian constitutional patriotism
harus bekerja melalui norma dalam pelaksanaan negara. Mereka hanya
menyatakan asal, sumber, dan proses konsep tersebut, tanpa menyebut
keterikatan pada konstitusi harus muncul dari mana dan melalui usaha apa
saja.

b. Pengertian Secara Ontologis
Metodologi ini akan membagi dalam hal apa saja constitutional
patriotism bekerja dan akhirnya berwujud dalam tindakan-tindakan konkret.
Hal tersebut muncul dari kesadaran Muller yang mendapati kenyataan bahwa
constitutional patriotism akan menjadi konsep belaka tanpa bisa diaplikasikan
ketika tidak bisa memenuhi sifat dasarnya: normativelly dependant. Untuk
29 Ibid., hlm. 69.

15

memenuhi sifat konret constitutional patriotism harus memenuhi tiga
keterikatan atau attachment, terhadap:
a) Object of attachment, objek keterikatan constitutional patriotism adalah
manusia dan konstitusi. Muller menyatakan bahwa:
“the deepest impulse animating a normatively substansive account
of constitutional patriotism is the idea of individuals recognizing
each others s free and equal and finding fair terms of living
together; in other words, to find enough common, mutually
accpetance grounds to answer the question, “how do we want to
live together?” in a sense, you might say, it’s nothing less than the
political question as such”30
Frasa living together mendorong constitutional patriotism untuk dikaji
secara ontologis yang membuatnya harus melangkah dari pengertianpengertian epistemologis yang hanya akan membuatnya tetap statis dalam
ranah konsep belaka. Pada pembahasan objek keterikatan dijelaskan
mengenai pemahaman bahwa constitutional patriotism merujuk pada
keterikatan asosiasi politis yang akan mengarahkan pemahaman tersebut pada
sesuatu yang lebih konkret; bahwa keterikatan manusia terletak pada struktur
politis sebuah bangsa, bukan humanisme secara luas yang diletakan oleh
Jaspers dalam cosmopolitanism.
b) Mode of attachment, adalah cara mengikat constitutional patriotism tehadap
manusia di suatu negara. Muller secara tegas menyatakan cara tersebut tidak
dapat dilepaskan dari keterikatan dalam objects of attachment
“To spell out further what i have just called the deepest normative
impulse: political rule – that is, the ground rules for the collective
exercise of force over the members of the political community –
ought to be justified to those subject to collective decisions.
Otherwise, some citizens will simply dominate others. However, the
need for justification doesn’t apply to every single law or measure;
rather, the system of lawmaking in general – or the “law of law-

30 Jan-Werner Muller, Op.cit., hlm. 52.

16

making” – and the principles animating it have to be justifiable to
all citizens”.31
Pendapat Muller di atas memberikan cara yang paling tepat dalam
mengaplikasikan constitutional patriotism yaitu melalui peraturan politik,
terhadap orang yang terikat dengannya, untuk menentukan kepentingan
bersama, dalam satu peraturan yang tegas: hukum pembentukan peraturan
perundangan, dan prinsip-prinsip yang menjelaskan bahwa hukum tersebut
harus bersifat adil terhadap semua warga negara, atau apabila hal tersebut
tidak tercapai, maka satu pihak mayoritas akan menekan pihak minoritas.
Artinya harus ada peraturan politik yang jelas dalam mengatur pembentukan
hukum dan peraturan perundangan yaitu konstitusi yang berasal dari
kesepakatan bersama.
c) Reasons for attachment, alasan keterikatan terhadap constitutional
patriotism terletak pada esensi konstitusi yang disebut John Rawls sebagai
prosedur umum yang dianggap sebagai prosedur pembuatan hukum yang
memiliki legitimasi.32
c. Pengertian Secara Aksiologis
Untuk menjelaskan pengertian constitutional patriotism secara aksiologis
akan digunakan beberapa pendapat dari Frank Michelman, James Tully, dan
George

Fletcher.

Pada

akhirnya

pengertian

secara

aksiologis

akan

memunculkan esesnsi atau hakikat dari constitutional patriotism melalui
keberhasilannya melacak hubungan mutual antara warga negara dan konstitusi,
mulai dari ruang yang disediakan oleh kosntitusi untuk mengadakan
komunikasi publik, perlindungan pada minoritas, dan akhirnya membentuk
identitas konstitusi yang lebih mengarah pada kultur konstitusi yang membuat
setiap warga negara dengan kesadaran mereka akan menjadikan konstitusi
sebagai produk hukum yang wajib ditaati.
31 Ibid., hlm. 53
32 Ibid.,

17

Tahapan pertama akan menggambarkan bagaimana warga negara dapat
turut serta tidak hanya menaati konstitusi, melainkan juga menginterupsinya,
menciptakan dispute pada pasal-pasalnya. Pendapat yang akan digunakan pada
tahapan ini adalah milik Frank Michaelman. Dalam pendapatnya, mula-mula
digambarkan ketika warga negara diperintah untuk kemudian mengikatkan
dirinya pada sistem rule of law dan turut membangun pembuatan rule of law,
yang dapat mempertunjukan ketertarikan dan sebaliknya tidak akan
mempertunjukan satu alasanpun yang dapat mereka gunakan untuk menolak
sebuah konstitusi. Hal tersebut digunakan sebagai titik berangkat Michleman,
karena hukum, konstitusi, dan sistem politik harus dapat diterima oleh siapapun
bahkan golongan minoritas dalam sebuah negara.
Hukum secara umum kemudian, paling tidak, akan memiliki sebuah
asumsi: dibentuk oleh proses legal langsung yang dituangkan dalam konstitusi,
maka dianggap memiliki legitimasi. Michelman memberikan argumentasi
bahwa warga negara harus terikat pada konsep konstitusi, atau apabila salah
satu dari mereka ingin merekonsepsi argumentasi tersebut agar tidak terus
terikat dan terbebani oleh makna konstitusi, ide untuk terikat pada konstitusi
harus disertai dengan justifikasi mutual dalam sebuah masyarakat yang samasama memahami arti sesungguhnya kerjasama dan arti yang adil dalam
pembatasan kekuasaan.33
Michelman kemudian mencoba mengeleminir sifat positivistik dalam
konstitusi dengan menganggap bahwa warga negara tidak harus menaati
seluruh aturan dalam konstitusi. Alasan esensial yang dikemukakannya adalah
karena konstitusi memuat aturan dan pelaksanaan (general justification dan
application) yang kadang menjadi bertentangan ketika berada di ranah yang
konkret.34
33 Frank I. Michelman, Morality, Identity and “Constitutional Patriotism” Ratio Juris Vol.14 Issue 3
(September 2001), hlm. 71, diakses melalui www.onlinelibrary.wiley.com tanggal 17 November 2015.
Diterjemahkan oleh penulis.
34 Di sini Michaelman mulai juga membantah istilah constitutional identity dan mulai memperkenalkan
cosntitutional culture. Alasan yang digunakannya adalah karena identitas baginya menggambarkan

18

Meskipun keduanya tidak mungkin dan tidak seharusnya dipisahkan,
pada praktiknya sering terjadi kegagalan menerjemahkan esensi konstitusi
(constitutional essentials) menuju tindakan hukum yang sesungguhnya (actual
legal) dan institusi politik (political institutions) yang melaksanakannya.
Konstitusi akan bekerja sebagai sebuah situs yang intens dari kontestasi politik
dan tindakan moral yang beralasan, bahkan dalam menerjemahkan inti
pemikiran dari keadilan dalam parameter yang paling relatif sekalipun.35
Kedua, ide mengenai keadilan yang menjamin keterlibatan minoritas.
Michelman kemudian mengelaborasi idenya dengan ide James Tully bahwa
seharusnya juga konstitusi mengatur ketidaksetujuan atau pembatasan
keragaman sekaligus menentukan parameter keadilan yang ajeg.
Apa yang diatur dan dibatasi dalam konstitusi terikat pada ide warga
negara untuk meletakan diri mereka masing-masing sebagai individu yang
bebas dan setara guna menemukan istilah yang adil dari kerjasama politik yang
dapat dijadikan sebagai parameter saling menjustifikasi atau menilai.36
Kerjasama politik, lanjut Tully, akan menjadi sebuah keadaan yang sangat
berbeda ketika kehilangan cara yang demikian, saling memandang sebagai
individu yang bebas dan setara, di mana kerjasama yang adil atau bahkan
usaha-usaha yang mencoba membagi ruang-ruang politis berhenti menjadi
tujuan umum yang hendak dicapai bersama.
Dengan keadaan dan ruang-ruang yang diciptakan oleh pemikiran
Michaelman dan Tully, gambaran tentang constitutional patriotism semakin
menuju arah yang konkret. Sebagai contoh, apabila terjadi ketidaksetujuan
yang beralasan terhadap konstitusi, constitutional patriotism akan menyediakan
gambaran yang terlalu statis yang akhirnya mendorong fokus yang terlalu sempit untuk sebuah dokumen
tertulis. Sedangkan kultur merujuk pada fakta bahwa kita dapat melibatkan simbil-simbol bersama, ritus
dan ritual dari keanggotaan, dan lembaga terhormat seperti mahkamah kosntitusi yang merupakan
lembaga yang mengekspresikan esensi-esensi konstitusi.
35 Ibid.,
36 James Tully, The Unfreedom Of The Moderns In Relation The Ideals Of Cosntitutional Democracy,
Modern Law Rewievs Vol.65 Issue 2 (Maret 2002), hlm. 28 diakses melalui www.icon.oxfordjournals.org
tanggal 17 November 2015. Diterjemahkan oleh penulis.

19

motivasi moral untuk memperbaiki konstitusi tersebut karena terdapat ruang
yang disediakan olehnya. Constitutional patriotism juga akan menyediakan
alasan para minoritas untuk memperbaiki konstitusi yang seharusnya
memanifestasikan justifikasi mutual yang ideal, apabila konstitusi tidak
memuatnya.
Ketiga, dari dua hal di atas akhirnya akan terjadi kultur konstitusi yang
dijamin oleh lembaga negara yang bernama mahkamah konstitusi yang
merupakan lembaga yang menjaga esensi-esensi konstitusi. Meskipun
konstitusi lahir dari sebuah sistem dan tindakan politik, keduanya tidak dapat
dikatakan berdekatan. Karena sistem politik menjelaskan sesuatu yang lebih
luas sedang tindakan politik adalah sesuatu yang lebih khusus ketika keduanya
bernegosiasi dengan norma-norma universal.
Constitutional patriotism yang akhirnya menimbulkan kultur konstitusi
akan memberikan ruang bagi ketidaksetujuan dan konflik-konflik antar warga
negara dalam hal yang positif karena kedua hal tersebut dapat mendorong
menuju dua efek: penstabilan dan penyatuan (integrating dan stabilizing
effect). Pada akhirnya dengan pemahaman terhadap konstitusi yang lahir
melalui constitutional culture, baik warga negara maupun konstitusi, konflik
dapat dilihat sebagai masukan terhadap pelaksanaan konstitusi yang
kedudukannya sama pentingnya dengan konsensus untuk menaati konstitusi.37
Dari alur penjelasan di atas, mulai dari epistemologis, ontologis, sampai
aksioligis, akan disimpulkan pengertian constitutional patriotism, sehingga
didapatkan satu pengertian yang ajeg. Constitutional patriotism adalah bentuk
kesetiaan warga negara terhadap konstitusi, sebagai konsensus bersama, yang
didasarkan pada kultur dan kesadaran pribadi. Hal tersebut timbul karena
konstitusi memiliki tiga sifat mengikat pada objek, cara, dan moral untuk
tunduk pada konstitusi. Constitutional patriotism timbul karena warga negara
37 George P. Fletcher, Constitutional Identity, Vol.14:747 (Winter-Spring 1993), hlm. 46 diakses melalui
www.jstor.org. Diterjemahkan oleh penulis.

20

sadar bahwa konstitusi menyediakan ruang bagi warga negara untuk
berkomunikasi, mengenai ketidaksetujuan terhadap konstitusi dan pemberian
alasan yang wajar bagi golongan minoritas untuk tetap setia pada konstitusi
dengan penjaminan hak-hak minoritas melalui mekanisme law of law-making
process yang jelas dan melalui sebuah lembaga negara berupa mahkamah
konstitusi. Jadi, constitutional patriotism memiliki tiga unsur utama, yaitu
keterikatan (attachment), ruang berkomunikasi (public sphere), dan sistematika
yang jelas (law of law-making process).
Selain itu, dengan menjelaskan pengertian constitutional patriotism
secara epistemologis, ontologis, dan aksiologis, akan ditemukan bahwa
constitutional patriotism adalah konsep yang universal dan harus ditemukan
keberadaannya dalam konstitusi. Selama ini konstitusi hanya dikenal dalam
lingkup sebagai konsensus yang merupakan kesapakatan bersama yang
merupakan pelaksanaan dari norma dasar. Pengertian konsensus selalu gagal
dalam mengakomodasi bentuk partisipasi warga negara, sehingga dengan
dijelaskannya pengertian constituional patriotism akan hadir cara pandang baru
bahwa konstitusi juga harus memperhitungkan partisipasi yang kemudian
diakomodasi

oleh

lembaga-lembaga

politik

yang

lahir

dari

sistem

ketatanegaraan.

3. Perda Syari’at dan Perda Bernuansa Syari’at: Kontekstualisasi dan Penetapan
Parameter Terhadap Konstitusi
a. Kontekstualisasi
Kontekstualisasi akan digunakan untuk menjelaskan asal keberadaan
perda syari’at dan perda bernuansa syari’at. Sebelumnya akan didikotomikan
pengertian kedua perda tersebut adalah sesuatu yang berbeda merujuk pada
peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia yaitu 12 Tahun 2011

21

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Nomor 21 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Perda syari’at atau qanun diatur dalam Pasal 1 Nomor 21 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memilik
pengertian peraturan perundangan sejenis peraturan daerah daerah provinsi
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyrakat Aceh.
Hal ini apabila dikaitkan dengan konsideran menimbang huruf c yang berbunyi
“bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan
hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang
kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dapat
disimpulkan bahwa “penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarkat
Aceh” didasarkan pada syari’at Islam. Sehingga pengertian Perda Syari’at
hanya bisa diterapkan di Aceh karena secara tata urutan mereka memiliki dasar
untuk mengundangkan perda tersebut.
Perda bernuansa syari’at memiliki pengertian yang sebaliknya. Perda
tersebut terdapat di daerah yang tidak memiliki dasar peraturan perundangan
untuk mengadakannya. Biasanya inisiatif untuk mengadakan perda tersebut
didasari pada pengertaian sempit bahwa mayoritas agama yang berada di suatu
wilayah, baik provinsi atau kabupaten/kota, kemudian memiliki otoritas untuk
membawa hal yang sifatnya privat ke ranah publik. Padahal perda adalah
peraturan hukum yang sama seperti peraturan hukum lainnya harus merupakan
konsensus bersama, merupakan peraturan pelaksana yang harus sesuai dengan
peraturan perundangan yang lebih tinggi kedudukannya dalam sisem hukum
Indonesia, dan memiliki konsekuensi luas terhadap publik karena merupakan
produk hukum yang terlembaga melalui proses pembuatan yang ditentukan
oleh Undang-Undang.

22

Pemberlakuan perda syari’at di Aceh merupakan sejarah yang sangat
panjang. Namun, ketika mengaitkannya dengan kontekstulisasi hukum syari’at
dengan produk hukum nasional yang terjadi secara global, pendapat Kristen
Stilt dapat sangat membantu menjelaskan hal tersebut:
“When the articles dealing with Islam are treated independently of
other constitutional language or country specific issue, it is easy to
conclude that constitutional drafters aimed to achieve some
particular substansive doctrinal result. These cluases, however, are
part of larger debates and power struggles, and decisions about
their inclusion are often interwined with legal, political, economic,
social, and cultural issues such as federalism, the location of the
power to decide religious questions, nationalism, notions of the rule
of law, anti-colonial sentiment, monarchical privilege, national
security, ethnic previleging, and other context-specific concerns.
Constitutional Islams functions as available language that can be
hanessed in favor of the particular goals and needs of drafters or
society at large. It can stand in for, or reinforce, other language and
ideas. A contextual approach brings these linkages to the surface,
showing that constitutional islam does not operate as single issue
independent of other constitutional considerations. And an
understanding of thesehistorical linkages will do more than explain
the dynamics at the time of the constitution’s or article’s drafting, it
can also suggest new approaches to studying contemporary
constitutional practice since theses founding debates do not neatly
dissolve with addoption of the clause”.38
Pendapat Stilt membuktikan bahwa konstitusi islam, atau hukum islam,
dapat berlaku pada suatu wilayah tertentu yang memiliki sejarah yang
berkaitan dengan hukum Islam. Keberlakuan hukum Islam juga dapat
dipandang sebagai bahasa konstitusi alternatif atau bahkan lingua franca yang
lebih mudah dipahami oleh masyarakat di suatu wilayah karena kedekatan
sejarah dan kulturnya dengan islam. Tapi, tentu saja hal tersebut tidak dapat
berlaku pada semua wilayah di suatu negara dan menggantikan konstitusi yang
merupakan bahasa yang lebih universal. Maka, Stilt menambahkan, peran
perancang peraturan di sini sangat vital.
38 Kristen Stilt, Contextualizing Constitutional Islam: The Malayan Experience, International
Constitutional Law Journal Vol. 13 Issue 2, 2015, hlm. 2. Diakses melalui icon.oxfordjournals.org tanggal
23 Juni 2016.

23

Pendapat Stilt juga membuktikan bahwa dalam sebuah negara berbentuk
Republik, hukum islam tidak mungkin dilakukan sepenuhnya atau kaffah. Hal
tersebut dikarenakan hukum islam harus berkontekstualisasi dengan hukum
nasional yang digunakan di suatu negara. Sehingga harus ada kompromi dalam
pelaksanaan hukum islam dengan hukum nasional.

b. Penetapan Parameter Terhadap Konstitusi
Meskipun sifat penelitiannya yuridis normatif, artikel ini idak hanya akan
menetapkan parameter sebatas pada kesesuaian pemberlakuan peraturan
perundangan dengan peraturan yang lebih tinggi di atasnya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan mengabaikan faktor-faktor sosiologis yang terjadi
dalam pemberlakuan sebuah peraturan perundangan.
1. Pemberlakuan perda syari’at atau qanun di Aceh sebagai parameter positif
secara

tata

urutan

peraturan

perundangan

dan

negatif

dalam

pelaksanaannya
Pemberlakuan perda syari’at di Aceh memiliki dasar hukum UndangUndang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.39 Dalam konsideran menimbang dua undang-undang
tersebut menyebutkan dua hal yang menjadi alasan keistimewaan Aceh yang
memiliki kemiripan. Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 disebutkan
bahwa: (a) bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya
ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang
religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum
penjajah; (b) bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh