Alquran dan sunnah sebagai sumber doktri

ALQURAN DAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER
DOKTRIN DAN ILMU DALAM ISLAM

Makalah Diajukan untuk Dipresentasikan Pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Oleh:
Nasrullah Nurdin, S.Hum., Lc.

Promotor:
Dr. Khalid al-Kaff, MA.
Dr. Ujang Toyyib, MA.

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYAHID JAKARTA
PROGRAM MAGISTER FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB
2013 M/ 1434 H.

BAB I
PENDAHULUAN

Beberapa komunitas dalam peradaban, terutama umat Islam, Alquran dianggap sebagai

kitab suci yang lengkap dan sempurna. Alquran adalah sebuah “Teks” (dengan T besar) yang
mengatasi dan melampaui “teks-teks” lain dalam sejarah. Mengapa? Sebab Alquran
merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah (melalui malaikat-Nya) kepada umat manusia.
Ruh keilahian Alquranlah yang membuatnya tahan dari pelbagai kritik dan gempuran.
Sebagai sebuah teks, Alquran tidak pernah kering, apalagi habis. Teks Alquran bisa
ditafsirkan secara kaya, tergantung konteks sosial-budaya dan “hermeneutik dalam”
(struktur nilai dan kesadaran) pembacanya. Dengan demikian, persentuhan antara penafsir
dengan Alquran merupakan pergulatan yang dinamis, bahkan sering tak terduga. Ibarat
sebuah puisi dan tanda, Alquran tidak pernah berhenti dan membeku, tetapi selalu
mengajak para penafsirnya untuk mencari dan menjelajah, suatu “peziarahan” hidup yang
tak pernah usai.
Alquran dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab, bukan bermaksud
menyederhanakan jika dikatakan bahwa peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”.
Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas
landasan yang “teks” sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa yang
membangun peradaban hanya teks semata. Teks apa pun tidak dapat membangun
peradaban dan tidak pula mampu memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Dalam peradaban Islam, Alquran memiliki peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam
membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang
berkembang di dalamnya. Kalau boleh disimpulkan bahwa peradaban dalam suatu dimensi

saja dapat dikatakan bahwa peradaban Mesir Kuno adalah peradaban “pascakematian”,
peradaban Yunani adalah peradaban “akal”, sementara peradaban Arab-Islam adalah
peradaban “teks”. Alquran memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab suci yang
memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kaum Muslimin sendiri,
dalam rangka memahami Alquran, telah menghasilkan sangat banyak kitab tafsir yang

berupaya menjelaskan makna pesannya. Namun, sejumlah besar mufassir Muslim masih
memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyabihat yang, menurut mereka,
maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.
Dalam makalah ini, penulis berusaha untuk mengkaji dan menganalisis kembali tentang
Alquran sebagai sumber hukum syariah. Pertanyaannya yang perlu dirumuskan adalah: apa
pentingnya dibahas Alquran sebagai sumber hukum syariah dan bagaimana kedudukan
Alquran sebagai sumber hukum syariah itu? Penulis ingin menguraikan sumber doktrin ilmu
dan hukum Islam, yang mana sudah kita ketahui yaitu Alquran dan Hadis. Walaupun Alquran
dan Hadis merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam, namun ajaran-ajaran yang
terdapat dalam kedua sumber tersebut tidak dapat pula dipahami dengan baik, apabila tidak
adanya ijtihad para pakar di bidang ini untuk mengemukakan maksud dari ajaran-ajaran yang
terdapat dalam Alquran dan Hadis. Hal ini dipandang penting agar para penstudi dan
masyarakat muslim tidak salah memahami Alquran dan hadis. Oleh karena kita pun harus
mengetahui dan mengenal sumber hukum Islam ini.

Dalam ilmu ushul fikih, ada istilah yang biasa kita sebut “sumber”, “dalil” dan “metode”.
Ketiga istilah sering digunakan secara tumpang tindih yang akhirnya menimbulkan
pengertian yang rancu. Oleh karena itu pula, sebelum menguraikan tentang Alquran dan
hadis, maka yang diuraikan terlebih dahulu adalah mengenai sumber, dalil dan metode.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Sumber, Metode dan Dalil
Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah ( ‫)مصدر‬, dengan jamaknya: (‫)مصادر‬. Kata
sumber atau mashdar dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah itu dapat
ditemukan atau ditimba norma hukum. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa sumber
atau mashdar adalah suatu tempat yang dari segala sesuatu ini digali atau diambil.
Berdasarkan hal ini, maka yang paling tepat untuk dikatakan sebagai sumber adalah Alquran
dan Hadis. Selain dari keduanya, tidak dapat disebut sebagai sumber, karena hanya dari
Alquran dan Hadis lah ditemukannya segala norma yang kemudian hanya dari keduanya lah
segala sesuatu diambil.
Adapun metode yang dalam bahasa arabnya ( ‫ منهج‬atau


‫طريقة‬

) bermakna “cara”

atau “jalan”. Maksudnya adalah cara atau jalan untuk melakukan sesuatu baik dalam hal
menemukan, menetapkan, mengkaji atau cara menggali. Karena cara atau jalan ini berkaitan
dengan hukum Islam, maka cara atau jalan tersebut digunakan untuk menemukan hukum
Islam. Cara atau jalan untuk menggali dan menemukan hukum Allah ini, lazimnya disebut
“ushul fikih”, karena ushul fikih sendiri diartikan sebagai ilmu yang menyajikan berbagai cara
atau jalan (kaidah) yang digunakan untuk menggali dan menemukan hukum Allah tersebut.
B. Alquran sebagai Sumber Hukum Pertama
1. Pengertian Alquran
Secara etimologis, Alquran adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a (‫ )قرأ‬se-wazan dengan
kata fu’lan (‫)فعلن‬, artinya: bacaan; berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat
dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata ‫ قران‬berarti ‫ مقرؤ‬, yaitu isim maf’ul objek dari kata
‫قرأ‬. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18;
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu.


2.

Kehujjahan Alquran
Tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin tentang Alquran itu sebagai

Argumentasi yang kuat bagi mereka dan bahwa ia serta hukum-hukum yang wajib ditaati itu
datang dari sisi Allah. Sebagai bukti bahwa Alquran itu datang dari sisi Allah ialah
ketidaksanggupan orang-orang membuat tandingannya, biar mereka itu adalah sastrawan
sekalipun. Ketika Rasulullah Saw berada di Makkah, beliau diperintahkan oleh Allah agar
menjelaskan kepada orang banyak perihal Alquran dan bahwa ia adalah diluar batas
kemampuan manusia. Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
Tetapi orang-orang kafir melancarkan tuduhan kepada Nabi Muhammad bahwa
beliaulah yang membuat Alquran itu. Kemudian Allah memerintahkan menantang mereka
dalam firmanNya: Artinya: “Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuatbuatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan
sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."

3.


Hukum-Hukum yang terkandung dalam Alquran
Sesuai dengan definisi hukum syara’ sebagaimana telah dijelaskan, hanya sebagian
kecil dari ayat-ayat Alquran yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan
mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat, dan ketentuan yang diterapkan. Hukumhukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungan dengan Allah Swt.
Maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya. Secara garis besar
hukum-hukum dalam Alquran dapat dibagi tiga macam.

1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. Mengenai apa-apa
yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti
keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang
menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau
“ushuluddin”.

2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang
harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat.
Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam
“ilmu Akhlak”.
3. Hukum-hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam
hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesame manusia, dan dalam bentuk

apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang
pembahasannya dikembangkan “ilmu Akhlak”.
4. ALQURAN MENJAWAB TANTANGAN MODERN SEBAGAI DOKTRIN ISLAM PRIMER
Salah satu yang dari hal-hal yang menakjubkan dalam Alquran adalah dalam hal
kecocokannya dengan science. Alquran yang diturunkan pada abad ke-7 kepada Muhammad
(s.a.w.) mengandung fakta-fakta ilmiah yang tak terbayangkan di mana, kadang-kala ilmu
pengetahuan yang telah disinyalkan oleh Alquran itu, baru ditemukan di abad ini. Maka tidak
jarang,

para

ilmuwan

terkesima.

Bahkan seringkali tak dapat berkata-kata ketika kepada mereka ditunjukkan bagaimana
terperinci dan akuratnya beberapa ayat dalam Quran terhadap ilmu pengetahuan modern.
Dalam dua salinan Alquran yang terdapat dalam sebuah museum di Turki dan Rusia, ternyata
masing-masingnya telah berumur sekitar 1400 tahun (empat berlas abad). Masing-masing
salinan Alquran itu sama-sama persis dengan yang ada dewasa ini. Maka tidak dapat di

bantak bahwa Alquran adalah sebuah kitab suci yang amat otentik, teruji, dan tidak ditemui
pada satu dokumen-dokumen kitab suci yang lainnya. Ketika kita membaca keterangan ini,
sesungguhnya ingatlah selalu bahwa Alquran itu telah diturunkan lebih dari 1400 tahun yang
lalu, kepada seorang yang amat dipercaya, bersih dan bergelar al Amin, yakni Muhammad
SAW.
Pikirkanlah secara runtut dan mendalam, bahwa di dalam Alquran itu, didapati perkhabaran
yang amat jelas mengenai gagasan-gagasan umum saat itu, dan tentang keadaan yang
terjadi

sepanjang

masak,

dalam

konsep

dan

kontekstual


kehidupan

manusia.

Sebaiknya dicatat betapa terperincinya ayat-ayatnya. “Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru (ufuk) dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa sesungguhnya (Alquran) itu adalah benar. Dan

apakah Tiadakah tidak cukup untukmu, bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala
sesuatu?” [QS.41,Fushshilat : 53]
Melalui mitos-mitos sejarah dan takhyul-takhyul yang menyebar begitu luas di bawah
bendera agama sejak lama, sebelum Alquran diwahyukan kepada Muhammad SAW, maka
telah terjadi sesungguhnya sifat dari Tuhan telah dilumuri dan terdistorsi. Begitu banyaknya
sehingga dalam agama apapun dianggap sebagai suatu kebodohan yang kekanak-kanakan
oleh para raksasa intelek modern, jika seorang berpendapat bahwa ilmu atau science yang
sebenarnya adalah wahyu Tuhan, atau keterangan dalam kitab suci. Dalam mengahadapi
kondisi semacam itu, Alquran menjawab tantangan itu. Tidak ada buku lain selain Alquran
yang menyatakan dirinya atau dibuktikan secara nyata sebagai buku atau dokumen yang
bebas error dan kontradisksi seperti Kitab Alquran ini.

Kitab yang otentik berdasarkan pengetahuan dan pengujian dalam dunia dewasa ini.
Keadaan ini, telah memberikan tantangan kepada para ahli yang menganalisa sejarah
pengetahuan modern berdasarkan fakta-fakta ilmiah tentang keotentikan fakta-fakta yang
ada di dalamnya. Science (ilmu pengetahuan manusia yang diteliti dan diungkap
kebenarannya oleh manusia) dan Islam (yang sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari
Ilmu Tuhan yang direpresentasikan di dalam Alquran), layaknya dua saudara kembar.
Hubungan erat antara science (astronomi, fisika, biologi, matematika, dan segudang ilmu
pengetahuan lainnya yang dikenal manusia di zaman sekarang ini.) dan Islam telah
memberikan peran yang besar dalam kehidupan manusia secara langsung maupun tidak,
kedua-duanya telah menjadikan keyakinan manusia bertambah kuat dalam memahami
kebesaran dan kekuasaan Allah SWT Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa dan Maha Berilmu.
Science adalah salah satu bagian yang paling menakjubkan dari berbagai segi keajaiban
Quran.

Kita

selalu

kekurangan


waktu

untuk

membedahnya.

Sangat menakjubkan lagi setelah kita mengetahui sejarah turunnya, bahwa Alquran ini telah
diturunkan lebih dari 1400 tahun yang lalu. Ilmu Allah SWT yang diturunkan kepada manusia
ini memang untuk dibedah, dikaji untuk dijadikan petunjuk dan diambil manfaatnya bagi
semesta alam. Sebaliknya, data ilmiah tertentu yang dikuasai manusia dari hasil
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga merupakan sarana untuk memahami
ayat-ayat Allah SWT secara lebih baik dab lebih sempurna lagi. “Bukanlah kepercayaan

dalam Islam yang pertama kali menuntun langkah-langkahku, melainkan penelitian
sederhana untuk kebenaran. Apa yang membawaku pada keyakinan ini adalah fakta yang
tak akan pernah terpikirkan untuk seorang manusia dari masa Muhammad menjadi seorang
penulis dari pernyataan-pernyataan sebagaimana pengetahuan yang kenal saat ini pada
waktu-waktu tersebut.” kata ungkapan nurani Dr.Maurice Bucaille, seorang ilmuan medis
terkemuka dari French Academy of Medicine, yang kemudian menulis buku berjudul “Injil,
Quran dan Science.”
Allah SWT, Maha Pencipta dengan Cinta dan Kasih-Nya telah melimpah untuk umat manusia
bimbingan hidayah dan ma’unahNYA, sehingga dengan bimbingan itu, manusia tidak
ditinggalkan di dalam kegelapan untuk menemukan jalan yang lurus. Manusia dengan
wahyuNYA yang adalah sebagian dari ilmu Allah SWT Yang Maha Luas itu, telah membawa
manuysia menempuh jalan yang lurus, tanpa harus ragu dan dengan cara mencoba-coba.
Tidak. Tidak sama sekali. Sebagian ilmu Allah SWT yang diberikan melalui Alquran dan
kemudian digabung dengan kemampuan intelektual manusia, maka sebenarnya Allah SWT
telah memberikan petunjuk-Nya untuk mencapai Kebenaran dan berbagai pengetahuan.
Dari awal mula umat manusia diciptakan, maka Sang Pencipta, Allah Khaliq al ‘Alam telah
mengirimkan nabi-nabi untuk menyampaikan Wahyu-Nya dan mengajak manusia ke jalan
Kedamaian dan Kepatuhan yang benar-benar menuju kepada Tuhan semata-mata. Melalui
nabi-nabi yang berbeda dalam generasi ke generasi, namun tetap untuk tujuan yang sama,
menuju Allah Yang Esa, Allahu Ahad, menjangkau redha NYA semata. Inilah ISLAM. Namun,
malangnya manausia, karena sebagian atau bahkan seluruh pesan-pesan yang terdahulu dari
Tuhan itu, telah terdistorsi oleh orang-orang dari generasi ke generasi berikutnya,
dikaburkan dan dirusak dengan mitos, takhyul, kemusyrikan dan ideologi yang tidak rasional.
Ketika umat manusia tenggelam dalam kegelapan, Tuhan mengirimkan nabi terakhir-Nya,
Nabi Muhammad Shallalhu ‘alaihi wa Sallam untuk menyampaikan wahyu terakhir yang
merupakan sumber referensi yang sempurna sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Alquran adalah kata-kata Allah (kalimat haq) yang diwahyukan untuk pedoman bagi seluruh
manusia. Alquran adalah sumber bagi Pengajaran-pengajaran dan Hukum-hukum dalam
Islam. Alquran itu, isinya meliputi dasar-dasar keimanan, sejarah manusia, peribadahan,
pengetahuan, kebijaksanaan, hubungan Tuhan dengan manusia, dan hubungan antara

manusia dalam semua aspek kehidupan. Alquran berisi pengajaran-pengajaran yang
komprehensif dalam hal membangun sistem yang bagus dan keadilan sosial, ekonomi,
politik, pemerintahan. Alquran lengkap berisikan yurisprudensi, hukum dan hubungan
internasional. Semua hal penting bertalian dengan hidup dan matinya manusia, tentang
alam kini, kemarin dan yang akan datang, tentang kebahagiaan, arti, hakikat dan
makrifatnya, tentang hidup dan kehidupan, tentang dunia, yang nyata dan tersembunyi
(ghaib), semuanya itulah hal paling lengkap yang merupakan isi-isi yang penting dari
Alquran.
QURAN MENGENAI ALAM SEMESTA
“Sesungguhnya pada langit dan bumi terdapat tanda-tanda…”[QS.45,Al Jaatsiyah : 3]
(1). “Ilmu pengetahuan kosmologi modern, secara observasi maupun teori, menunjukkan
dengan jelas bahwa, pada suatu ketika dalam waktu, keseluruhan alam semesta adalah tak
sesuatupun melainkan sebuah AWAN BERUPA ASAP” (yaitu Sebuah komposisi padatan tinggi
yang gelap dan gas yang panas). Dijelaskan oleh Alquran, “Lalu kemudian, Dia mengarah
kepada langit, ketika langit itu berupa asap…”[QS.41,Fusshilat :11]. “Bukankah orang-orang
yang kafir mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi dahulunya keduanya berpadu,
lalu Kami pisahkan mereka. Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air…[QS.21, Al
Anbiya':30]” (2). “Air merupakan unsur utama dari benda hidup. Dari 50 hingga 90 persen
dari

berat

organisme

hidup

adalah

air.”

“Kami membangun langit itu dengan tangan-tangan kami, dan Kami meluaskannya.”[QS.51,
Adz-Dzariyaat:47]. (3). “Pengetahuan kami mengenai ekspansi alam semesta.” “Dan Dialah
yang

menciptakan

malam

dan

siang,

matahari

dan

bulan,

masing-masing BERENANG pada GARIS EDAR-nya.” [QS.21, Al Anbiya':33]
“Dia telah menciptakan langit dan bumi dengan benar (proporsinya): Dia menutupkan
malam atas siang dan menutupkan siang atas malam: dan menundukkan matahari dan
bulan (kepada hukum-Nya), semuanya beredar (berjalan) mengikuti waktu yang telah
ditentukan…..Ingatlah bahwa DIA yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” [QS.39, Az
Zumar:5]. “…Dia menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berpikir !”[QS.13, Ar Ra'du:3]. Beberapa referensi

iptek yang dengan jelas diungkapkan Alquran, antara lainnya: “Maka apabila langit terbelah,
maka dia menjadi mawar merah seperti minyak (berkilauan).”[QS.55, Ar-Rahman:37].
Lihatlah dan renungkan dalam-dalam sinyal Alquran tentang ilmu pengetahuan yang baru
terungkaap di abad ini. Kita melihatnya hasil penelitian kebenaran ilmu pengatahuan itu,
baru di tahun 1999/2000, oleh Teleskop Ruang Angkasa NASA ditangkap dari “Cat’s Eye
Nebula.”, yang merupakan sebuah ledakan bintang 3,000 tahun cahaya jauhnya, yang
sebenarnya ilmuan harus menamakan dengan ” MAWAR MERAH atau Red Rose Nebula”,
seperti telah diungkap oleh Alquran pada Surat 55, Ar Rahman ayat 33, sejak 14 abad
lamanya

sebelum

teleskop

menangkapnya.

ALQURAN BERCERITA MENGENAI GUNUNG-GUNUNG
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi terbentang dan gunung-gunung itu sebagai PASAKPASAK?[QS.78,An Naba':6-7]” Bahwa Gunung-gunung memiliki akar-akar yang menjuntai ke
bawah, kata ilm u pengetahuan (sciense). Ilmu-ilmu pengetahuan bumi modern telah
membuktikan bahwa gunung-gunung memiliki akar-akar yang dalam di bawah permukaan
tanah. “Dan Dia telah mengukuhkan gunung-gunung di bumi supaya tidak GONCANG
bersama kamu, sungai-sungai dan jalan-jalan, supaya kamu dapat menunjuki dirimu
sendiri”[QS.16, An-Nahl:15] . Ilmu pengetahuan modern menyebutkan bahwa “Gununggunung memainkan peranan penting dalam membuat kestabilan pada kerak bumi.”
Seperti halnya teori modern mengenai lapisan tektonik menyatakan bahwa gunung-gunung
bekerja

sebagai

stabilisator-stabilisator

bagi

bumi.

Kaedah ilmu ini baru mulai dipahami dalam kerangka kerja iptek mengenai lapisan tektonik
sejak akhir tahun 1960-an. Padahal Alquran telah menjelaskan sejelas-jelasnya sejak 14 abad
sebelum

ilmu

pengetahuan

membukti

Adakah lagi nikmat Allah SWT yang engkau tolak dan dustakan ???

C. Hadis sebagai Sumber Hukum Kedua

hasil

researchnya.

1. Pengertian Hadis
Sunnah atau hadis artinya adalah cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji.
Sedangkan menurut istilah bahwa hadis adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya
(yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkannya).
Dengan demikian sunnah Nabi dapat berupa: sunnah Qauliyah (perkataan), Sunnah Fi’liyah
(perbuatan), Sunnah Taqriryah (ketetapan).
2. Macam-macam dan pembagian Hadits
Hadits dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a.
Hadits mutawatir
Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang banyak dan tidak mungkin
mereka mufakat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.
1) Pembagian hadits mutawatir
Mutawatir lafzi, ialah hadits yang serupa lafaz dan maknanya dari setiap rawi.
Mutawatir maknawi, ialah hadits yang berbagai-bagai lafaz dan makna, akan tetapi
b.

didalamnya ada satu bagian yang sama bagian yang sama tujuannya.
Hadits ahad
Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tidak kebatasan hadits

mutawatir. Hadits ini tidak sampai kederajat mutawatir yaitu Shahih, hasan, dhaif.
a.
Pembagian hadits ahad
Hadits shahih ialah hadits yang berhubungan sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan
dhabith dari orang yang seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat yang
-

memburukkan.
Hadits hasan ialah hadits yang dihubungkan sanad diriwayatkan oleh orang yang adil yang

-

kurang dhabitnya, terpelihara dari perjanjian dan bersih dari cacat yang memburukkan.
Hadits dhaif ialah hadits yang kurang satu syarat atau lebih diantara syarat-syarat hadits
shahih dan hasan atau dalam sanadnya ada orang yang bercacat.

3. Hubungan Hadits dan Alquran
Al-hadis didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai
“Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun
sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan

Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula
perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka
namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut,
dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi
kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu AlQuran.
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan
pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang
sederajat lebih rendah dari Alquran. Adapun fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari
segi materi hukum yang terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni:
a. Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam
Alquran.
b. Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.
c. Menciptakan hukum baru yang tiada terdapat didalam Alquran.

KONTEKSTUALISASI HADIS DALAM MODERNITAS
Kondisi sosial-politik dan orientasi umat Islam yang terus berubah sangat mempengaruhi
perspektif dan pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami hadis. Berbagai
metode dapat dilalui untuk memahami Sunnah, seperti reinterpretasi, takwil dan tekstual.
Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode Nabi dan contoh prakteknya) dipelajari secara
seimbang, jangan mengkaji aspek praktek yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan kurang
memperhatikan aspek metode dan pola pikir Nabi yang bersifat substansi-komprehensif.
Akibatnya Sunnah Nabi pun menjadi hadis dan didefinisikan sekarang ini. Padahal hadis
hanya media teks dan informasi yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke
generasi berikutnya, dan belum tentu menjadi Sunnah Nabi
Kajian dan dan penerapan hadis Nabi pada era modern menghadapi tantangan berat,
yang ditandai dengan munculnya spirit rasional, positivisme, dan paradigma pluralisme atas
dasar sikap inklusifitas kemanusiaan. Problem kajian bukan saja bersifat klasik seperti
Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-Islamolog yang subyektif, tetapi persoalan tersebut
juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri yang mengembangkan pola kajian hadis
secara stagnan dan rigid.

Pada era kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam masa klasik, kajian hadis
merupakan ilmu yang dianggap paling awal berkembang dan mencapai puncak kematangan.
Metode ilmiah pertama dalam bangunan ilmu-ilmu keislaman klasik justru ditemukan
dalam ilmu hadis. Di dalamnya telah dipadukan epistemologi bayani dan burhani dengan
struktur pemikiran deduksi dan induksi. Melalui teknik verifikasi data yang populer dalam
logika empiris ilmu sejarah, maka kajian hadis banyak menghasilkan temuan-temuan baru
yang orisinal dan dinamis. Pada saat seperti inilah muncul dialektika keilmuan dan suasana
kebebasan, bukan saja di wilayah institusi pendidikan tetapi juga dalam ranah keseharian
umat Islam. Masterpiece yang telah diciptakan oleh imam al-Bukhari berupa kitab Sahih alBukhari sangat dihargai dan dihormati, tetapi ilmuan lain seperti Muslim, al-Nasai, al-Hakim
dan

al-Daruqutni,

tidak

segan-segan

untuk

mengkritik,

merevisi

dan

lalu

mengembangkannya. Dampak dialektika ini luar biasa, sebagaimana ditegaskan oleh imam
al-Zarkasyi, ilmu hadis menjadi ilmu paling "siap" dan dinamis saat itu. Namun suasan politik
dan orientasi umat Islam yang berubah dalam perkembangan selanjutnya sangat
mempengaruhi perspektif dan pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami
hadis. Pembekuan dan pembakuan kajian hadis dengan standar ortodoks, kaku dan
irrasional (tidak logis) merupakan faktor utama kemunduran ilmu tersebut.
Ilmu Hadis dalam Bingkai ilmu-ilmu KeIslaman
Agar kajian hadis Nabi kembali menjadi ilmu primadona dan mempesona,
sebagaimana pada era klasik, maka ilmu hadis harus mampu melakukan peran yang
signifikan dan memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk
itulah, maka kajian pemahaman dan penerapan hadis Nabi di dunia moderen harus
dikembangkan sesuai tuntutan konteks kekinian. Sumber dari segala sumber ilmu
pengetahuan adalah Allah SWT yang Maha Tunggal dan Maha Mengetahui. Dia lalu
menurunkan petunjuk dan pengetahuannya melalui dua macam sumber perantara; yaitu
wahyu tertulis (kitab suci al-Qur’an) dan wahyu tidak tertulis (alam semesta atau kauniyah).
Jika wahyu formal atau kitab suci lebih bersifat argumen deduktif apriori, maka wahyu
kauniyah lebih berupa argumen data induktif empiris aposteriori. Dalam lingkup demikian,
maka Sunnah Nabi menjadi metode sekaligus contoh praktis dari Nabi dalam
mengimplementasikan dua sumber petunjuk tsb (Kitab suci dan kauniyah). Nabi Saw
mendialektika-kan wahyu dan alam semesta.

Jadi Sunnah Nabi memiliki dua sisi, yaitu metode - pola (tariqah, manhaj) dan
praktek - implementasi (‘amal, tathbiq). Sedangkan hadis hanya merupakan media berita
atau informasi yang menyampaikan Sunnah Nabi kepada kita. Oleh karena itu, maka yang
perlu dikaji dan diteliti lebih dahulu memang adalah proses penyampaian informasi tentang
Nabi kepada kita, dan kajian itu dinamakan ‘Ilmu al-Hadis (‘Ulum al-Hadis). Sedangkan
tujuan pokok kajian hadis tersebut tidak lain untuk menemukan informasi Sunnah Nabi yang
valid dan otentik, untuk kemudian dapat dipahami dan diamalkan secara tepat (relevan) di
setiap waktu dan tempat (seperti dunia moderen saat ini). Skema tahapan kajian ‘Ilmu Hadis
sampai kepada tahap menemukan Sunnah Nabi adalah Sejarah hadis - Kritik otentisitas –
Fahmul Hadis (pemahamn) – dan Tathbiq (penerapan).
Metode Pemahaman Klasik dan Tantangan Dunia Moderen
Upaya penafsiran terhadap Sunnah Nabi telah terjadi sejak masa awal Islam. Ketika
para sahabat pulang dari peperangan, maka Nabi SAW berpesan agar jangan ada sahabatnya
yang salat Zuhur (sebagian riwayat menyatakan salat ‘Asar) di perjalanan kecuali setelah
sampai di kampung bani Quraizah. Sebagian sahabat memang melakukannya, namun
sebagian lainnya tetap salat di tengah perjalanan. Nabi SAW ternyata tetap membenarkan
kedua kelompok sahabatnya.
Ketika dihadapkan kepada tantangan sosiologis dan politis yang semakin kompleks,
maka ‘Umar ibn al-Khathab harus melakukan terobosan baru dalam membuat kebijakan
dengan tetap berpedoman kepada Sunnah Nabi. Saat itu wilayah Islam semakin luas,
keuangan negara melimpah, populasi meningkat yang diikuti penyempitan wilayah
pertanian, di samping terjadi pertemuan dengan beragam kehidupan sosial budaya baru.
Dalam situasi demikian, maka ‘Umar tidak memberikan tanah rampasan perang kepada
pasukan muslim, padahal praktek di zaman Nabi SAW adalah diberikan. ‘Umat juga tidak
menjatuhkan hukuman hadd potong tangan kepada pencuri yang melakukannya karena
krisis paceklik, dan beliau juga pernah tidak memberikan hak zakat kepada mu’allaf. Di sini
‘Umar bukan meninggalkan Sunnah Nabi apalagi menentangnya, namun beliau menafsirkan
Sunnah Nabi secara kreatif untuk kemudian diterapkan secara tepat sesuai dengan
tantangan yang dihadapi pada waktu itu. Walaupun secara lahiriah seolah ‘Umar telah
meninggalkan Sunnah Nabi, namun pada substansinya beliau tetap mengaktualkan ruh dan
misi Nabi SAW, yaitu menegakkan keadilan sosial.
Imam al-Qarāfī, ulama besar abad tengah (w. 684 H/1254 M) memperkenalkan 4
tipologi dalam memahami Sunnah Nabi, yaitu posisi Nabi sebagai: (1) sebagai seorang Nabi,
(2) sebagai seorang mufti, (3) sebagai seorang hakim, dan (4) sebagai seorang kepala negara.
Setelah Rasul wafat, maka para mufti menggantikan posisinya sebagai mufti, para qadi
menggantikannya sebagai hakim, dan para khalifah menggantikannnya sebagai kepala
negara. Dalam model pemahaman ini, maka efek hukum yang ditimbulkan dari suatu ĥadīś
tergantung kepada situasi yang melatarbelakangi munculnya ĥadīś tersebut, yakni apakah
sebagai putusan hukum dan pengadilan yang mengikat, atau sebagai fatwa yang tidak
mengikat, atau sebagai tindakan politis dari kebijakan suatu kepala pemerintahan.

Menurut konsep al-Qarafi ini, jika suatu ĥadīś yang mengandung perintah atau
larangan akan dijadikan dalil atau hujjah atas suatu kasus hukum, maka yang harus dilihat
lebih dahulu adalah “apakah perintah atau larangan itu bersifat mengikat atau tidak?”. Jika
ĥadīś tersebut disampaikan dalam kapasitas sebagai seorang mufti, maka larangan dimaksud
tidak mengikat, sebab ĥadīś tersebut hanya merupakan opini atau pandangan. Jika suatu
ĥadīś dikeluarkan dalam kapasitas beliau sebagai seorang hakim, dan keputusannya
merupakan sebuah produk hukum, maka ĥadīś tersebut bisa mengikat. Model pemahaman
yang dikemukakannya, jika diterapkan dengan konsisten, dapat menimbulkan implikasi besar
dan dinamis dalam penerapan hukum Islam.
Gagasan baru al-Qarāfi dalam memahami Sunnah ternyata didukung oleh ulama lain
pada era ini bernama Ibn al-Qayyim al-Jaużiyah (w. 751 H). Tokoh lain abad pertengahan
yang menawarkan pemahaman baru terhadap fungsi dan otoritas Sunnah Nabi adalah Abū
Isĥak al-Syāţibī (w. 790 H/1388 M), dengan konsep Al-Qur’ān berfungsi sebagai ta’şīl
sedangkan Sunnah Nabi adalah sebagai tafsīl, sehingga melahirkan Maqāşid al-Syarī’ah.
Memasuki era moderen, umat Islam mulai bersentuhan dengan perkembangan baru
dalam berbagai aspek kehidupan, seperti rasionalisme dan nasionalisme, dan perubahan
sosial budaya. Anomali semakin terasa ketika umat Islam memasuki era globaliasasi dan
informasi yang membawa berbagai gagasan seperti demokrasi, pluralisme, dan HAM. Dalam
lingkungan masyarakat global ini, umat Islam tidak bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan
diskriminatif. Ajaran Sunnah dalam hadīs yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik
(teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi persoalan ketika
dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas dasar epistemologi moderen.
Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi pola pikir pragmatis yang tegak di atas
fondasi positivisme yang anti metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran Sunnah ditantang untuk
memberikan solusi yang logis-rasional namun tetap orisinal, sehingga Islam tidak dituding
sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan diskriminatif.
Kontekstualisasi Hadis Nabi
Beberapa contoh hadis yang harus dipahami secara kontekstual, antara lain adalah
tentang ketentuan mahram bagi perempuan yang akan melakukan perjalanan tertentu,
hukuman mati bagi orang murtad, dan hubungan antar yumat beragama. Hadis dimaksud
berbunyi:
‫ةمر أ‬
‫أ‬
‫لى الأ‬
‫ل‬
‫أأ‬
‫ل‬
‫أ‬
‫م أ‬
‫أة‬
‫أ رأ‬
‫رم‬
‫ررر ال‬
‫ساف‬
‫قاأل أل ت‬
‫أل‬
‫وس‬
‫ره‬
‫أي‬
‫أل‬
‫لهم ع‬
‫ر ص‬
‫له‬
‫سوأل الل‬
‫ل ر‬
‫أ‬
‫أن‬
‫رن‬
‫ر اب‬
‫أن‬
‫ع‬
‫أة‬
‫ةأ‬
‫ر أ‬
‫لأ‬
‫ر عأ أ‬
‫أ‬
‫ل‬
‫أأل ث‬
‫ها ة‬
‫أأ‬
‫أم‬
‫أحرر‬
‫ذو م‬
‫وم‬
‫ثا إ‬
‫ث‬
‫رل أ‬
‫عأ‬
Artinya: “Janganlah perempuan itu bepergian selama tiga hari kecuali bersama
mahram yang mendampinginya”.
Memang hadis di atas memiliki banyak redaksi matan yang berbeda-beda, tetapi
intinya melarang perempuan keluar rumah sendirian. Munculnya larangan Nabi tersebut
harus dipahami latar belakangnya, yakni ketika situasi perjalanan tidak aman seperti
perjalanan sendirian di tengah padang pasir. Namun ketika situasi sudah aman dan
perjalanan tidak ada gangguan, maka ketentuan tersebut tentunya tidak berlaku lagi,
sehingga hal yang semula dilarang oleh Nabi Saw dapat berubah menjadi kebolehan.
Dalam dunia moderen saat ini, hukum pidana Islam harus dibangun atas dasar
hubungan harmonis antar umat manusia, dan paradigma kemanusiaan serta kesetaraaan,
sehingga tidak dibenarkan ada sikap dan prilaku intimidasi, pemaksaan atau diskriminasi.

Dalam konteks ini maka hadis yang memerintahkan agar orang murtad (pindah agama)
dihukum mati, harus diterapkan dalam konteks pengkhianatan. Hadis dimaksud adalah:
‫أ‬
‫لى الأ‬
‫ل‬
‫أأ‬
‫ل‬
‫س أ‬
‫أ‬
‫أه‬
‫دين‬
‫أد‬
‫أنر ب‬
‫م م‬
‫أل‬
‫وس‬
‫ره‬
‫أي‬
‫أل‬
‫لهم ع‬
‫ل ص‬
‫لب‬
‫أ‬
‫قاأل الن‬
‫رنأ ع‬
‫أنر اب‬
‫ع‬
‫لأل ر‬
‫ر أ‬
‫أأ‬
‫ل‬
‫لأ‬
‫ة‬
‫بام‬
‫رية‬
‫ة‬
‫أ‬
‫ر‬
‫ةلوه‬
‫فاقت‬
‫ة‬
Artinya: "Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia".
Konteks hukuman mati demikian terjadi pada zaman Nabi di mana saat itu antara
umat Islam dan non muslim berada dalam situasi peperangan dan permusuhan terus
menerus. Seorang muslim yang kembali kepada musyrik kekafiran dikhawatirkan akan
membocorkan rahasia kekuatan dan kelemahan umat Islam kepada kaum musyrik Mekah
saat itu. Hal ini tentu sangat berbahaya, sehingga pelaku murtad dianggap pengkhianat yang
harus dihukum mati. Namun ketika perbuatan murtad dilakukan bukan karena
pengkhianatan, melainkan murni faktor kedaran dalam agama, atau faktor sosial dan
ekonomi, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, maka pelakunya tidak boleh dihukum
mati. Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip al-Qur’an yang menegaskan tidak boleh ada
paksaan dalam agama.
Pemahaman serupa juga dapat diterapkan terhadap hadis yang memerintahkan agar
melakukan tindakan diskriminatif terhadap kaum Yahudi dan Nasrani. Hadis dimaksud
menyatakan:
‫أ أ‬
‫ع أ‬
‫أ‬
‫لى الأ‬
‫ل‬
‫أأ‬
‫ل‬
‫أ‬
‫م أ‬
‫أة‬
‫ءوا‬
‫رد‬
‫أب‬
‫قاأل أل ت‬
‫أل‬
‫وس‬
‫ره‬
‫أي‬
‫أل‬
‫لهم ع‬
‫ر ص‬
‫له‬
‫سوأل الل‬
‫ل ر‬
‫أ‬
‫أن‬
‫أة‬
‫رر‬
‫أي‬
‫ةر‬
‫بي ه‬
‫أة‬
‫ر أ‬
‫لأ‬
‫أنر أ ر‬
‫وأل‬
‫هود‬
‫ري‬
‫ال‬
‫أ أ‬
‫أة‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫أ‬
‫إأ‬
‫قه‬
‫رلى أضري‬
‫ة إ‬
‫روه‬
‫ريق‬
‫أه‬
‫م أحأد‬
‫قيت‬
‫بالس‬
‫أ‬
‫الن‬
‫أر‬
‫ذا لر‬
‫ر‬
‫م ر‬
‫للر‬
‫أ‬
‫ةر‬
‫ةر‬
‫لأ‬
‫م فاضرط ة‬
‫ل‬
‫رى ر‬
‫صا أ‬
‫م فر‬
‫في ط ر‬
Artinya: “Janganlah kalian memulai ucapan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani.
Jika kalian bertemu salah seorang mereka di jalan maka desaklah mereka ke jalan yang
paling sempit”.
Sikap Rasul yang keras terhadap orang Yahudi dan Nasrani ketika itu dapat
dimaklumi, karena saat itu hubungan antara umat Islam dan Yahudi serta Nasrani sangat
panas penuh dengan kecurigaan dan permusuhan. Namun ketika Rasul berhadapan dengan
non muslim (zimmi) atau Ahlul Kitab yang baik maka beliau juga memperlakukan dengan
penuh hormat, toleran dan melindungi. Dengan demikian, ketentuan diskriminatif terhadap
non muslim tidak berlaku selamanya, melainkan hanya untuk situasi khusus dan golongan
tertentu. Pada saat umat Islam dan umat lainnya di Indonesia harus membangun hubungan
baik, toleran dan saling melindungi, maka sikap dan prilaku yang harus dikembangkan antara
umat beragama tentunya adalah saling menghormati dan menghargai dengan perlakuan
yang setara dan sederajat, tidak ada perlakuan diskriminatif yang merugikan.
Hadis lain yang juga dapat dipahami secara kontekstual, tidak lagi secara tekstual
harfiyah, adalah tentang larangan perempuan menjadi kepala negara, yang berbunyi:
‫ع أ‬
‫لى الأ‬
‫ل‬
‫أأ‬
‫ل‬
‫أ‬
‫أ‬
‫قاأل أ‬
‫أ أ‬
‫وا‬
‫ول‬
‫أ قأو‬
‫رح‬
‫رل‬
‫ةف‬
‫أنر ي‬
‫ر ل‬
‫ره‬
‫أي‬
‫أل‬
‫لهم ع‬
‫ر ص‬
‫له‬
‫سوأل الل‬
‫قاأل ر‬
‫أة‬
‫رر‬
‫أك‬
‫بي ب‬
‫أة‬
‫رم أ‬
‫لر‬
‫أنر أ ر‬
‫أ‬
‫ث‬
‫أأة‬
‫رر‬
‫م ام‬
‫أه‬
‫رر‬
‫أم‬
‫أ‬
‫ةة‬
Artinya: Dari Abi Bakrah ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan
beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.
Sangat banyak hadis yang harus dipahami secara konteks tertentu, seperti hadis
tentang perempuan (gender), ekonomi, maupun terkait dengan sosial dan budaya.

PENUTUP
Peran Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pengembangan kajian hadis sangat
signifikan, apalagi dengan adanya jurusan Tafsir dan Hadis. Banyak tokoh besar hadis yang
ternama muncul. Sebenarnya kajian hadis di lembaga pendidikan tinggi di Indonesia
memiliki karakter lokal keindonesiaan yang sekaligus menjadi keunggulan, karena dilakukan
dengan interdisipliner, seperti pendekatan ilmu sosial dan budaya. Dengan demikian, maka
kajian hadis semakin berkembang dan berkualitas, bukan hanya menjadi hapalan secara
kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shawkani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Irshad al-Fuhul, (Mesir: Mathba’ah alMadani, 1992)
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th.)
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001)
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Alquran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005)
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, Sahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, Bairut, 1975.
Al-Qarađāwi, Yūsuf, al-Sunnah Maşdar li al-Ma’rifah wa al-Hađārah, Kairo: Dār al-Syurūq, cet. 1,
1997
-------, Kaifa Natā’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Kairo: Dār al-Syurūq, 1992
Malik ibn Anas, al-Muwaththa’ (Kairo: 1951) Juz II.
Muslim bin Hajajaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, Dar al-Fikr, Bairut, 1975
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks dan Kritik Otoritas Kebenaran, penerbit LKiS, Yogyakarta, 2005
Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, juz III.
al-Syāţibī, al-Muwāfaqāt fī Uşūl al-Syarī’ah (Beirut: Dār al-Fikr, 1987) juz II.
Syihāb al-Dīn al-Qarāfi, Kitāb al-Furūq (Kairo: Dār al-Ma’rifah, tt) juz I.
Wensinc, A.J, Mu’jām al-Mufahras li Alfāž al-Ĥadīś al-Nabawi al-Syarīf, Leiden: penerbit E.J.
Brill, 1932
_____, Miftāĥ Kunūż al-Sunnah, edisi terjemahan dalam bahasa Arab oleh Ahmad Muĥammad
Syakir, Pakistan: Dār Turjuman al-Sunnah, 1952