Perempuan dan Politik Peran Legislator P

Perempuan dan Politik
(Peran Legislator Perempuan dalam Politik Legislasi DPRD Kota
Mataram, Nusa Tenggara Barat Periode 2009-2014)
Ayu Pratiwi Wulandari, S.IP1
Mar’atul Makhmudah, S.IP, M.Si2 dan Juwita Hayyuning, S.IP, M.IP2
1) Alumni Jurusan Ilmu Politik
2) Staff Pengajar Jurusan Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Brawijaya
The research entitled “Woman and Politics (The Role of Women Legislators in
Politics Legislative DPRD of Mataram, West Nusa Tenggara Period of 2009-2014)”.
It is a study using qualitative descriptive. This study is intended to see how far the
role of women legislators in decision making process of legislative. This study is
intended to see how far the role of women legislators in legislation politics DPRD of
Mataram, period of 2009-2014. This qualitative research use the research framework
of the role women in political arena with untilizing some of thinking framework of the
number of political representation in the legislatur, Mataram City, member of
DPRD, legislation function and local regulation.
Keyword: Local regulation, number of women representation, role of women
legislators

PENDAHULUAN


Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah perempuan lebih dari
separuh jumlah seluruh penduduk Indonesia yaitu 49,63% dan jumlah laki-laki yaitu 50,37%.
Dari angka tersebut tentunya menjadi penting untuk dikaitkan dengan potensi Sumber Daya
Manusia (SDM) untuk mendukung pembangunan. Pada kenyataannya pula potensi
perempuan dalam pembangunan memang luar biasa, khususnya dibidang pertanian dan
lingkungan. Akan tetapi pembangunan itu sendiri tidak memberikan timbal balik terhadap
peran perempuan. Selain itu juga, masih adanya ketidakadilan terhadap perempuan di
Indonesia dalam bidang politik.

1

Representasi politik perempuan merupakan salah satu tolak ukur sampai tahap mana
sebuah proses demokrasi membuahkan hasil. Fakta yang dapat diamati di parlemen saat ini
baik secara kuantitatif maupun kualitatif menjadi pertanyaan yang menyerang balik gerakan
perempuan Indonesia mengenai sejauh mana gerakan berhasil mendorong terbangunnya
kesadaran akan representasi politik perempuan.
Representasi perempuan pada pemilu 2009 secara kuantitatif menunjukkan
peningkatan. Diawali dengan naiknya representasi jumlah calon legislatif (caleg) nasional
peremouan untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRD RI) 32,2% pada

pemilu 2004 menjadi 34,7% atau 3.895 orang pada pemilu 2009. Tercatat pula delapan partai
politik memajukan lebih dari 40% caleg perempuan, yaitu: Partai Pengusaha dan Pekerja
Indonesia (PPPI) sebanyak 49,3%; Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebanyak
45,7%; Partai Persatuan Nadhlatul Ummuh Indonesia (PNUI) sebanyak 41,3%; Partai
Demokrasi Pembaruan (PDP) sebanyak 41%; Partai Matarahari Bangsa (PMB) sebanyak
40,9%; dan Partai Bintang Reformasi (PBR) sebanyak 40,8%.
Fakta tentang jumlah keterwakilan perempuan tersebut harus diamati secara
kuantitatif dan kualitatif. Artinya, peningkatan jumlah anggota perempuan dari hasil pemilu
sebelumnya (pemilu 2004), meski belum mencapai kuota 30%, diharapkan mampu membawa
perubahan positif bagi penanganan isu-isu gender yang belum terselesaikan dengan baik di
negeri ini.
Pada era Demokrasi Terpimpin, terlihat dengan fenomena dimana Presiden pada
waktu itu dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan mengangkat anggotaanggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai menteri. Hal itu menunjukkan
bahwa lembaga perwakilan rakyat tersebut dapat dikendalikan pihak eksekutif. Hal ini sudah
tentu menyimpang dari UUD 1945.
Pemilu tahun 1999 yang merupakan era transisi demokrasi, agak berbeda dari pemilu
tahun-tahun sebelumnya. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie misalnya, sudah mulai
tumbuh kembali harapan terhadap berfungsinya kedaulatan rakyat dengan sesungguhnya,
sebagaimana harapan yang timbul pada awal berdirinya pemerintahan Republik Indonesia.
Pada Pemilu 1999, timbul kepercayaan terhadapa lembaga perwakilan dengan harapan agar

DPR dapat bersifat pro-aktif serta berfungsi optimal dalam legislasi.

2

DPR tidak hanya melaksanakan fungsinya secara formalitas yaitu sekedar
mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari pemerintah menjadi UU.
Karena jika DPR tidak dapat berfungsi optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat, maka
bisa diprediksi bahwa eksekutif akan berjalan menurut persepsi dan kemauannya sendiri.
Selain itu juga diharapkan agar pihak eksekutif tidak lebih dominan dari pihak legislatif.
Sebelum Pemilu 2004, harapan akan membaiknya fungsi lembaga legislatif makin
bertambah dengan berlakunya sistem pemilu yang menetapkan bahwa calon anggota legislatif
jadi tidak ditentukan oleh partai politik, akan tetapi diseleksi sendiri oleh pemilih. Selain itu,
keluar pula keputusan yang menetapkan agar partai-partai politik mengajukan calon anggota
DPR/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30% sebagaimana UU Nomor 12 Tahun 2003 pasal 61 Ayat
1 tentang Pemilu.
Adanya sistem kuota bagi calon politisi perempuan ini menyebabkan perhatian
masyarakat luas mulai terarah pada masalah keberadaan perempuan di kancah politik
Indonesia. Pendapat anggota masyarakat pun berbeda-beda. Ada yang setuju, dan
menyatakan bahwa hal itu memang sudah sepatutnya dilakukan. Ada yang kurang setuju, dan

menyatakan bahwa keberadaan di dewan tersebut haruslah atas dasar kualitas serta usaha
calon anggota itu sendiri tanpa perlu diadakan kuota.
Ada pula yang masih mempertanyakan hal tersebut sehingga belum membuat
kesimpulan tentang patut kuota 30% tersebut. Jadi, reaksi atas usul peningkatan jumlah
keterwakilan perempuan di dunia politik ini berlainan. Alasan bagi yang kontra adalah bahwa
kuota berlawanan dengan prinsip kesempatan yang sama bagi semua orang, serta
mempermasalahkan kualitas dari para calon perempuan. Alasan bagi mereka yang pro kuota
adalah bahwa kuota bukanlah diskriminasi melainkan kompensasi bagi kendala nyata yang
dihadapi perempuan untuk secara adil bisa berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Jika ditinjau dari sejarah, dari sudut budaya atau tradisi masyarakat Indonesia pada
berbagai suku di Indonesia, umumnya tidak mendukung kaum perempuan untuk menempati
posisi sebagai pengambil keputusan. Namun demikian sejak awal abad 20, ada sejumlah
tokoh perempuan yang berpikiran maju seperti Kartini, walau tidak dapat berbuat banyak
karena hidup dalam lingkungan feudal yang mengungkung. Di Aceh, ada Cut Nya’ Dhien
yang dapat memimpin dan meneruskan perjuangan suaminya melawan penjajah. Demikian
3

pula dengan Cut Meutia, Cut Malahayati dan yang lainnya yang telah berjasa dalam berjuang
mengisi kemerdekaan bangsa.
Dalam bidang pendidikan, perempuan Indonesia telah melangkah sama dengan kaum

lelaki, akan tetapi dalam bidang politik kaum perempuan Indonesia sangat jauh ketinggalan.
Dalam UU partai politik dan pemilu Tahun 2004 pasal 60E, disebutkan bahwa calon anggota
DPR, DPRD dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berpendidikan serendah-rendahnya
Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat. Oleh karena itu, ditinjau dari segi
pendidikan, perempuan tidak bermasalah dalam hal itu. Walaupun dalam kenyataannya
banyak calon legislatif (caleg) baik laki-laki maupun perempuan yang bermasalah karena
diduga memalsukan ijazah.
Walaupun dalam hal pendidikan perempuan Indonesia masa kini tidak mengalami
kendala yang berarti, namun dari segi nilai budaya masih terdapat kendala yang dihadapi oleh
kaum perempuan. Pada umumnya, diseluruh Indonesia sistem patrilineal sangat mewarnai
budaya masyarakat. Adat dan tradisi sangat kuat mengikat serta membatasi kebebasan
sebagian besar perempuan di Indonesia.
Walaupun ada sedikit perbedaan antara berbagai suku di Indonesia, namun pada
umumnya perempuan hanya dianggap sebagai konco wingking, pendamping hidup lelaki
tetapi dengan kedudukan yang tidak setara. Perempuan berada pada posisi di belakang. Pihak
lemah yang dilindungi. Hal ini berpengaruh pada sikap dan perilaku perempuan, dan sudah
tentu hal ini menghambat kemajuan perempuan tersebut.
Dari hasil pemilu 2004, jumlah perempuan Indonesia yang berada dalam bidang
legislatif sangat sedikit. Padahal untuk memperjuangkan kepentingan yang berhubungan
dengan perempuan, sudah tentu harus melibatkan perempuan itu sendiri yang lebih mengerti

akan permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Ada banyak sekali masalah-masalah
perempuan yang harus dibahas, yang membutuhkan UU atau peraturan mengikat, agar tidak
melanggar rambu-rambu hukum. Masalah-masalah tersebut Antara lain: masalah kesehatan
reproduksi, masalah aborsi, kekerasan terhadap perempuan, bahaya penyakit kelamin atau
penyakit menular yang disebabkan oleh hubungan seks, mensosialisasikan pendidikan seks
bagi remaja, diskriminasi dalam pembagian kerja, diskriminasi dalam pembagian upah kerja,
dan lain sebagainya.

4

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif,
dimana penelitian kualitatif ini sumber datanya berasal dari interview dan data yang
dihasilkan dalam wawancara merupakan data primer. Peneliti mengambil konsep
fenomenologi sebagai dasar fokus penelitian.
Fokus penelitian dari penelitian ini yaitu termasuk penelitian berbasis peran legislator
perempuan dalam pengambilan keputusan, yaitu menekankan pada kajian yang dilaksanakan
untuk memahami peran legislator perempuan dalam politik legislasi. Untuk menentukan
sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini peneliti memilih teknik nonprobability
yaitu teknik purposive.
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan yaitu;

wawancara, observasi, studi literatur, dan dokumentasi. Pemilihan informan dari penelitian
ini terdiri dari informan kunci dan informan pendukung, dimana informan kunci ini terdiri
dari anggota DPRD perempuan dan informan pendukung terdiri dari anggota DPRD laki-laki
di Kota Mataram. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah sumber data primer
dan sekunder.
PEMBAHASAN

Penelitian ini pada dasarnya ingin mengkaji tentang peran perempuan yang bertujuan
untuk melihat sejauh mana peran legislator perempuan dalam politik legislasi DPRD Kota
Mataram periode 2009-2014.
Analisis Kondisi Perempuan di Kota Mataram
Seperti yang kita ketahui bahwa SDM dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah
satunya adalah pendidikan. Dari data yang diperoleh terlihat bahwa persentase perempuan
yang belum pernah bersekolah lebih tinggi (9,51%) dibandingkan dengan laki-laki (2,73%)
sehingga lowongan pekerjaan berdasarkan pendidikan untuk perempuan menjadi kurang.
Dengan persentase penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha
dan jenis kelamin 2012, data hasil survei angka kerja nasional pada NTB dalam angka
menunjukan bahwa pekerja pada bidang pertanian laki-laki sebesar (44,32%) perempuan
sebesar (44,17%); pertambangan dan penggalian laki-laki sebesar (3,75%) perempuan
sebesar (0,71%); industri laki-laki sebesar (6,83%) perempuan sebesar (10,80%); listrik, gas

5

dan air laki-laki sebesar (0,32%) perempuan sebesar (0,03%); konstruksi laki-laki sebesar
(8,11%) perempuan sebesar (0,14%); perdagangan laki-laki sebesar (11,96%) perempuan
sebesar (28,24%); angkutan dan komunikasi laki-laki sebesar (5,97%) perempuan sebesar
(0,26%); keuangan laki-laki sebesar (1,69%) perempuan sebesar (0,98%); dan jasa laki-laki
sebesar (17,05%) perempuan sebesar (14,68%).
Pekerjaan perempuan seperti yang dituangkan dari teori fungsional bahwa perempuan
harus tinggal dilingkungan rumah tangga karena ini merupakan pengaturan yang paling baik
dan berguna bagi keuntungan masyarakat secara keseluruhan. Pernyataan demikian ditambah
oleh Talcot Parson dalam Ritzer George yang mengatakan bahwa kegunaan perempuan harus
bekerja di dalam rumah tangga, maka ditiadakan kemungkinan terjadi persaingan antara
suami istri.
Keterlibatan perempuan dalam ranah politik di Kota Mataram masih sangat rendah
hal ini dapat dilihat dari rendahnya jumlah anggota DPRD perempuan yaitu sebesar 8,57% (3
orang). Adapun hambatan dari keberhasilan partisipasi dan keterwakilan perempuan untuk
terlibat di bidang politik antara lain adalah:
1. Faktor manusianya sendiri, dalam hal ini karena memang perempuan sedari kecil
dibiasakan dalam lingkup kehidupan rumah tangga dan keluarga saja, dan pekerjaan
perempuan selalui dinilai lebih rendah dari laki-laki. Hal itu pun yang membuat

perempuan hanya sebagai pelaksana dan tidak memiliki kesempatan untuk berperan
sebagai pengambil keputusan.
2. Faktor struktural mencakup dari budaya dan agama, kondisi ekonomi, pendidikan, dan
pekerjaan. Dimaksudkan disini adalah sebagaiman kita lihat bahwa perempuan itu
memiliki kedudukan di bawah laki-laki dan dari segi pendidikan, perempuan sekarang
memang sudah terbilang setara dengan laki-laki namun dalam hal pekerjaan terutama
kita lihat pada buruh, upah perempuan nominalnya selalu dibawah laki-laki, karena
perempuan dianggap pekerjaannya tidak setara dengan pekerjaan laki-laki.
Perempuan dalam politik jelas mempunyai banyak kelebihan, ia tidak hanya akan bisa
mengontrol keinginan laki-laki yang sering mau benar sendiri, rasional dan tanpa kompromi.
Politik juga butuh kesabaran, keuletan, pantang menyerah yang biasanya melekat pada diri
perempuan. Intinya adalah hidup ini adalah keseimbangan karena keterlibatan perempuan

6

pada politik untuk mencapai keadilan pada akhirnya muaranya apa lagi kalau bukan usaha
menciptakan keseimbangan tersebut.
Legislator Perempuan DPRD Kota Mataram
DPRD terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih
berdasarkan hasil pemilihan umum Tahun 2009. Jumlah anggota DPRD Kota Mataram

ditetapkan sebanyak 35 orang, dimana jumlah laki-laki sebesar 32 orang (91,43%) dan
jumlah perempuan sebesar 3 orang (8,57%).
Perolehan kursi DPRD Kota Mataram Hasil Pemilu 2009-2014, dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1
Perolehan Kursi DPRD Kota Mataram Hasil Pemilu 2009-2014

Sumber: Data diolah 2014

Sesuai dengan Gambar 1 bahwa perolehan jumlah kursi DPRD Kota Mataram hasil
pemilu 2009-2014 dimenangkan oleh Partai Demokrat, pada perolehan kursi yang kedua
diduduki oleh Partai Golkar, pada perolehan kursi yang ketiga diduduki oleh Partai PDIP,
pada perolehan kursi yang keempat diduduki oleh Partai PPP, pada perolehan kursi yang
kelima diduduki oleh Partai PKS, pada perolehan kursi yang keenam diduduki oleh Partai
PAN, pada perolehan kursi yang ketujuh diduduki oleh Partai Hanura, pada perolehan kursi
yang kedelapan diduduki oleh Partai Gerindra, pada perolehan kursi yang kesembilan
diduduki oleh Partai PKPB, pada perolehan kursi yang kesepuluh diduduki oleh Partai PBR
dan posisi yang terakhri diduduki oleh Partai PPI.
7


Seperti yang kita ketahui DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama-sama dengan
pemerintah pusat. DPRD sebagai unsur lembaga pemerintahan daerah memiliki
tanggungjawab yang sama dengan pemerintah daerah dalam membentuk peraturan daerah
untuk kesejahteraan rakyat. 3 fungsi dari lembaga legislatif diantaranya legislasi, anggaran
dan pengawasan.
Sesuai dengan dasar hukum fungsi legislasi adapun beberapa landasan hukum fungsi
legislasi antaranya, a. Undang-undang 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPD, DPR/D; b.
Undang-undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; c. Undang-undang 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan d. Peraturan Pemerintah 25 tahun
2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Tidak hanya landasan hukum, makna
dari fungsi legislasi itu sendiri adalah pertama, untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda)
bersama Kepala Daerah (DPRD adalah policy maker , bukan policy implementor ). Kedua,
strategis yang menempatkan DPRD sebagai “lembaga terhormat” dalam mengemban amanah
dan memperjuangkan aspirasi rakyat. ketiga, merupakan “fungsi perjuangan” untuk
menentukan keberlangsungan serta masa depan daerah. Keempat, merupakan suatu proses
untuk mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak/Stakeholders (Menurut Pusat
Informasi Proses Legislasi Indonesia).
Dari ketiga fungsi legislatif tersebut peneliti lebih berfokus pada fungsi legislasi
berdasarkan peran legislator perempuan yang terjadi baik di DPRD sendiri maupun di
masyarakat. Adapun proses fungsi legislasi dapat dilihat Gambar2.
Gambar 2
Proses Fungsi Legislasi
1.

Penyusunan
PROLEGDA

8.

Sosialisasi
PERDA

2.

7.

Penyusunan
RAPERDA

3.

Pengajuan
RAPERDA

Pengembangan
Perda

6.

8

Pengesahan
dan
Penetapan

4.

Sosialisasi
RAPERDA

5. Pembahasan
RAPERDA

 Raperda tentang APBD/Perubahannya, Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang
Daerah perlu mendapat evaluasi pejabat berwenang terlebih dahulu sebelum bisa
ditetapkan menjadi Perda.
Sumber: Buku KPK 2008

Gambar 2 ini merupakan alur bagaimana pemerintah daerah merancang peraturan
daerah atau biasa disebut Raperda lalu bagaimana Raperda tersebut diajukan dalam rapat
Pleno lalu disosialiasikan kepada anggota DPRD lalu setelah disetujui dalam rapat Pleno
maka barulah Raperda tersebut berubah menjadi Perda, lalu setelah itu Perda ini
disosialisasikan kepada masyarakat.
Gambar di atas merupakan gambaran alur pembuatan dari peraturan daerah yang
mana memang DPRD memiliki kekuasaan atas pembentukan atau rancangannya, keterlibatan
perempuan dalam ranah politik di Kota Mataram masih sangat rendah. Jumlah anggota
perempuan pun hanya 3 orang saja, tetapi dengan jumlah yang terbilang sedikit ini ternyata
mereka mampu menyaingi kedudukan anggota laki-laki yang mana pada periode ini mereka
mampu menginisiatif Perda terkait tentang perempuan dan Perda tersebut sudah diterapkan
pada tahun 2012 yang lalu.
Menurut Azza Karam dan Joni Lovenduski menekankan bahwa kendati hanya satu
kehadiran perempuan pun di dalam parlemen, maka diyakini ia mampu membawa suatu
perubahan, namun tentunya untuk perubahan yang signifikan diperlukan juga keterwakilan
perempuan dalam jumlah yang signifikan. Azza Karam dan Joni Lovenduski beranggapan
bahwa keterwakilan perempuan merupakan hal penting, karena diyakini dapat memberikan
perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat. Azza
Karam dan Joni Lovenduski tidak hanya sekedar melihat pentingnya jumlah perempuan di
parlemen saja, sebaliknya mengalihkan ketitik apa yang sebenarnya dapat kaum perempuan
lakukan diparlemen (bagaimana mereka dapat mempengaruhi), berapa pun jumlah mereka.
Menurut keduanya, perempuan mempelajari aturan main, dan menggunakan pengetahuan dan
pemahaman ini untuk mengangkat isu dan persoalan perempuan dari dalam dibadan pembuat
UU (legislatur) dunia.
Azza Karam dan Joni Lovenduski menambahkan bahwa anggota parlemen
perempuan akan melalui tiga tahap untuk mewujudkannya. Langkah pertama yang dilakukan
perempuan anggota parlemen adalah untuk memahami bagaimana bekerjanya legislator
9

dalam rangka untuk dapat menggunakan pengetahuannya sehingga dapat bekerja secara lebih
efektif. Tahap kedua, yakni dengan mempelajari bagaimana menggunakan aturan-aturan yang
ada, sehingga perempuan dapat meraih peluang untuk ikut serta dalam posisi dan komitekomite kunci, membuat diri mereka didengar dalam pembahasan dan debat-debat, dan dapat
menggunakan sepenuhnya keahlian dan kemampuan mereka.
KESIMPULAN

Sesuai dengan uraian pembahasan sebelumnya yang menjelaskan tentang apa saja
tugas dari DPRD Kota Mataram dan sudah sesuai atau belum pelaksanaan fungsi mereka
dengan tatib yang sudah ada. Skripsi dengan judul “Perempuan dan Politik (Peran Legislator
Perempuan dalam Politik Legislasi DPRD Kota Mataram, Nusa Tenggara barat Periode
2009-2014)”, membahas mengenai bagaimana peran legislator perempuan DPRD Kota
Mataram dalam hal peran mereka atas pembuatan Raperda yang terkait tentang perempuan.
Terlihat dalam penelitian ini bahwa pertama, perempuan di Kota Mataram masih
sangat rendah minatnya untuk terjun keranah politik. Adapun diantara mereka yang terjun ke
dunia politik memang kebanyakan mengikuti jalur keluarga entah itu paman, kakak, bahkan
ayah mereka.
Kedua,walaupun hanya berjumlah 3 orang dari 35 orang, namun anggota dewan

perempuan pada periode 2009-2014 berhasil menghasilkan produk Perda terkait tentang
perempuan.
Dari hasil tersebut dapat direkomendasikan:
1. Memperhatikan isu/bahan dasar penyusunan Perda.
2. Menambahkan Perda yang terkait tentang perempuan.
3. Lebih memperhatikan aspirasi masyarakat dan lebih merangkul masyarakat yang ada
di Kota Mataram.
4. Memberikan pendidikan politik bagi para anggota dewan secara keseluruhan.
5. Tidak ada batasan antara anggota dewan laki-laki dengan perempuan dalam hal
pengambilan keputusan.

10

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Persentase Penduduk Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin . Badan Pusat
Statistik. http://ntb.bps.go.id/index.php, diakses 2 Oktober 2013.
Hanim, R. 2010. Perempuan dan Politik, Studi Kepolitikan Perempuan di DKI Jakarta .
Madani Institute. Jakarta: hlm 18.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2008. Meningkatkan Kapasitas Fungsi Legislasi dan
Pengawasan DPRD dalam Konteks Pencegahan Korupsi. KPK: hlm 4.

Rimbani, S.K. 2013. Efektivitas Sosialisasi Politik Humas DPR Dalam Meningkatkan
Partisipasi Pemilih Pemula . Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Brawijaya.
Septri, S. 2010. Peranan Anggota Legislatif Perempuan Dalam Pengawasan Implementasi
Perda No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak
(Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara). Universitas

Sumatra Utara.
Soetjipto, A.W dan S. Adelina. 2012. Partai Politik dan Strategi Gender Separuh Hati.
Parentesis Publisher. Jakarta: hlm 1.
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. ALFABET. Bandung:
hlm 218.

11