MAKALAH EVALUASI GIZI Proses Pembentukan
MAKALAH EVALUASI GIZI
Proses Pembentukan Senyawa Bioaktif dan Zat Gizi dengan Faktor yang
Mempengaruhinya
Oleh
Diah Nuryanti
201310220311133
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANGBAHAN MAKANAN DAN ZAT GIZI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Zat gizi adalah, komponen pembangun tubuh manusia dimana zat tersebut dibutuhkan
untuk pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses
dalam tubuh dan menyediakan energi bagi fungsi tubuh. Zat gizi yang harus ada dalam bahan
pangan agar tubuh tetap sehat, dibedakan menjadi golongan protein, lemak, dan karbohidrat
yang disebut zat gizi makro, serta vitamin dan mineral yang disebut zat gizi mikro. Air juga
merupakan bagian penting dari gizi yang baik.
Manusia memperoleh kebutuhan zat gizi pentingnya dari bahan pangan nabati dan
hewani. Biokimia tanaman, hewan dan manusia mempunyai banyak persamaan. Karena itu
manusia membutuhkan komponen pembangun tubuh yang sama seperti yang terkandung
dalam tanaman dan hewan.
Penelitian terhadap keragaman genetik menunjukkan bahwa kadar zat gizi dapat
diperbesar, walaupun memerlukan teknologi yang lebih tinggi. Kemajuan teknologi yang
berkembang sekarang ini memudahkan untuk dapat meningkatkan zat gizi tanaman sesuai
dengan kebutuhan manusia. Setiap zat gizi harus disekati sendiri-sendiri berdasarkan
sistemnya sendiri yang sudah menjadi bagian metabolisme dari zat tersebut. Sejarah mencatat
bahwa kuantitas bahan pangan berhasil dinaikkan melalui revolusi hijau. Mungkin mutu
bahan pangan sekarang dapat dinaikkan dengan cepat tanpa mengorbankan kuantitasnya.
Makanan berfungsi sebagai sumber energi dan zat gizi (nutrien). Tetapi, efek
fisiologis dari berbagai senyawa minor yang ada dalam makanan dan pengaruhnya terhadap
kesehatan banyak mendapat perhatian para peneliti dalam tiga dekade terakhir ini. Kadar
senyawa ini biasanya rendah sehingga biasanya dikelompokkan dalam komponen bioaktif,
karena mempunyai efek fisiologis yang positif dan negatif. Komponen-komponen bioaktif
dalam makanan dapat terbentuk secara alami atau terbentuk selama proses pengolahan
makanan. Komponen bioaktif ini meliputi senyawa yang berasal dari karbohidrat, protein,
lemak, dan komponen-komponen yang terdapat secara alami di dalam sayuran serta buahbuahan. Khusus mengenai komponen bioaktif di dalam sayur dan buah-buahan yang
berpengaruh secara fisiologis untuk meningkatkan kesehatan, mencegah, serta mengobati
berbagai
penyakit,
disebut
sebagai
phytochemicals.
Makanan
yang
mengandung
phytochemicals, di samping fungsinya sebagai sumber zat gizi, disebut juga makanan
fungsional. Berikut ini akan diuraikan mengenai pembentukan dan efek fisiologis dari
berbagai komponen bioaktif turunan dari karbohidrat, protein, dan lemak pangan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui pembentukan senyawa bioaktif dan zat gizi pada makanan.
2. Mengetahui sumber makanan yang mengandung senyawa bioaktif.
3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi pembentukan senyawa bioaktif dan zat gizi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Senyawa Bioaktif
Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang mempunyai efek fisiologis dalam tubuh
yang berpengaruh positif terhadap kesehatan manusia .Peran senyawa bioaktif dalam tubuh
diperoleh jika senyawa tersebut mencapai lokasi aksinya (site of action).
1. Bioaktif Amin dari Protein, Proses Pembentukan
Protein pangan adalah sumber utama asam amino yang dikonsumsi, baik sebagai
protein atau sebagai asam amino bebas. Selama proses pengolahan, protein dapat berubah
menjadi asam amino bebas yang selanjutnya menjadi senyawa amin. Jadi, senyawa amin
merupakan komponen minor dalam makanan yang tersedia secara alamiah atau terbentuk
selama proses pengolahan. Sebagian senyawa amin tersebut aktif secara fisiologis sehingga
sering disebut amin bioaktif (bioactive amine). Pada umumnya, amin bioaktif terdapat di
dalam bahan makanan dalam jumlah kecil dan biasanya tidak beracun. Tetapi, dalam
makanan tertentu, terutama yang diolah dengan proses fermentasi, konsentrasi beberapa amin
bioaktif meningkat sehingga dapat bersifat toksis jika dikonsumsi. Amin bioaktif yang
menjadi fokus perhatian para ahli kimia pangan ialah tiramin, feniletilamin, histamin,
putresin, dan kadaverin. Asam amino bebas merupakan bahan baku dalam pembentukan amin
toksis tersebut. Histidin, misalnya, akan diubah oleh histidin dekarboksilase menjadi
histamin. Dengan cara yang sama, tirosin diubah oleh tirosin dekarboksilase menjadi tiramin,
fenilalanin menjadi feniletilamin, ornitin menjadi putresin, dan lisin menjadi kadaverin.4
Keberadaan senyawa amin dalam makanan dapat menjadi indikator kerusakan makanan
sekaligus sebagai indikator toksisitas, sehingga analisis senyawa amin yang terdapat dalam
makanan telah dikembangkan, kemudian telah digunakan untuk menganalisis senyawa amin
dalam produk ikani. 5,6,7,8 Makin tinggi kandungan senyawa amin dalam produk ikani dan
daging, makin rendah mutunya yang juga berarti makin toksis.5 Ada tiga faktor yang
mempengaruhi pembentukan amin toksis di dalam makanan, yaitu: (a) tersedianya asam
amino bebas; (b) kehadiran dan perkembangan bakteri penghasil enzim dakarboksilase; dan
(c) adanya kondisi yang mendukung pertumbuhan mikroba serta proses dekarboksilasi asam
amino tersebut.
2. Komponen Bioaktif dari Karbohidrat Serat Pangan
Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang tidak
dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim percernaan manusia, dan akan sampai di usus besar
(kolon) dalam keadaan utuh sehingga kebanyakan akan menjadi substrat untuk fermentasi
bagi bakteri yang hidup di kolon. Serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur
molekul dan kelarutannya. Kebanyakan jenis karbohidrat yang sampai ke kolon tanpa
terhidrolisis meliputi polisakarida yang bukan pati (non-starch polysaccharides = NSP), pati
yang resisten (resistant starch = RS), dan karbohidrat rantai pendek (short chain
carbohydrates = SC). 9,10,11 Serat pangan yang larut sangat mudah difermentasikan dan
mempengaruhi metabolisme karbohidrat serta lipida, sedangkan serat pangan yang tidak larut
akan memperbesar volume feses dan akan mengurangi waktu transitnya (bersifat laksatif
lemah). Monomer dari serat pangan (NSP) adalah gula netral dan gula asam, sedangkan
lignin terdiri dari monomer aromatik. Gula-gula yang membentuk serat pangan yakni
glukosa, galaktosa, xylosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa, dan gula asam, yakni mannuronat,
galakturonat, glukoronat, serta 4-O-metil-glukoronat.10,12 Rangkaian NSP yang dibentuk
oleh monosakarida ini dihubungkan melalui ikatan b (1-4) glikosida seperti pektin, sellulosa,
dan gum. Oleh karena itu, serat pangan tersebut (NSP) tidak dapat dihidrolisis oleh enzim
percerna manusia. Misalnya, pektin mengandung asam galakturonat, baik yang termetilasi
maupun yang tidak. Perbandingan dari metilasi dan sebagai asam (derajat metilasi) dalam
polimer pektin, sangat berpengaruh terhadap sifat fungsional dari pektin. Pektin dengan
derajat metilasi yang tinggi (high-methoxy pectin = HMP) yang terdapat secara alamiah pada
buah dan sayuran, mungkin tidak larut dengan baik dibandingkan dengan pektin yang telah
diisolasi. Hemisellolosa terdiri dari xylosa dan arabinosa dengan perbandingan tertentu yang
membedakan jenis hemisellulosa tersebut. Nilai gizi dari serat pangan semula dianggap tidak
menyumbangkan energi karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencerna manusia. Akan tetapi
karena serat pangan difermentasikan di dalam kolon dan menghasilkan hidrogen, metana,
karbon dioksida, serta asam lemak rantai pendek seperti propionat, butirat yang dapat diserap,
dan menghasilkan sejumlah energi maka serat pangan dapat menghasilkan energi 0-3 kalori
per gram. 9,10,12
3.
Komponen Bioaktif dari Lemak
Lipida merupakan komponen senyawa organik yang terdapat di dalam mahluk hidup
yang larut di dalam pelarut organik atau pelarut non-polar, tapi tidak larut di dalam air.
Lemak (komponen lipida terbesar) merupakan ester dari gliserol dan tiga asam lemak
sehingga disebut triasilgliserol atau trigliserida. Sifat fisis dan kimia dan bahkan nilai gizi
dari lemak ditentukan oleh komposisi asam lemak dan posisi asam lemak di dalam molekul
trigliserida.18,19 Ada beberapa asam lemak dan senyawa lipida lain yang mendapat perhatian
secara khusus karena mempunyai efek fisiologis yang positif maupun negatif terhadap
kesehatan, yakni asam lemak essensial, omega-3, dan asam lemak tak jenuh isomer trans
(trans fatty acids =TFA).
2.2 Zat Gizi
Ilmu pertanian dan Teknologi
Pembudidayaan
Pemanenan
CO2 + H2O + Zat gizi + Energi ------- Bahan pangan Tkt I + Bahan pangan Tkt II + Bahan Pangan Tkt III
------- Sayuran, buah,bijian
Konsumsi - Gizi
Daging, Unggas, Ikan, Telur, susu
Pengolahan – Pengawetan
Bahan pangan alami merupakan sistem hayati yang dapat cepat rusak sesudah
dipanen. Karena kebutuhan manusia akan makanan dan saat panen biasanya tidak terjadi
dalam waktu yang bersamaan, maka bahan pangan tersebut perlu diawetkan melalui
pengolahanBerbagai macam bahan pangan berperan sebagai pembawa zat gizi dan
mempengaruhi stabilitasnya. Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur tergantung dari
cara pengolahannya. Berbagai macam cara pengolahan dapat mempercepat atau menghambat
perubahan kadar zat gizi.
Semua bahan pangan mentah adalah komoditi mudah rusak, sejak panen, pemotongan
hewan bahan ini mengalami kerusakan secara berangsur akibat berbagai jenis kerusakan
biologis. Faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kadar air yang secara hayati aktif
dalam jumlah besar, seperti pada sayuran daun dan daging, dapat rusak hanya dalam beberapa
hari, sedangkan biji-bijian kering yang hanya mengandung air struktural dapat disimpan
bertahun- tahun.
Penyebab utama kerusakan bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba, kegiatan
enzim, dan perubahan kimia, dan ternyata pertumbuhan mikroba merupakan penyusutan
utama bahan pangan. Kegiatan dan reaksi ini berlangsung paling cepat pada aktivitas air yang
tinggi, didukung pula oleh faktor suhu, pH, dan faktor lingkungan lainnya. Asas pengawetan
bahan pangan adalah didasarkan pada pengawetan semua faktor lingkungan tersebut.
Sebagai contoh mikroba membutuhkan suhu optimum untuk pertumbuhannya. Suhu
yang lebih tinggi merusak pertumbuhannya, sedangkan suhu yang lebih rendah sangat
menghambat metabolismenya.
Ada enam ( 6 ) prinsip dasar pengolahan pangan untuk pengawetan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penghilangan (penurunan kadar) air, pengeringan, dehidrasi dan pengentalan
Perlakuan panas , blansing, pasteurisasi dan sterilisasi
Perlakuan suhu rendah, pendinginan, pembekuan
Pengendalian keasaman, fermentasi dan pemberian zat tambahan
Berbagai macam zat kimia tambahan
Irradiasi
Karena makanan olahan harus disimpan sampai dikonsumsi antara dua masa panen,
maka pengemasan yang baik merupakan pembantu dalam pengolahan di samping dasar dan
cara pengolahannya. Metabolisme mikroba memerlukan banyak air bebas. Penghilangan air
yang secara hayati aktif melalui pengeringan atau dehidrasi menghentikan pertumbuhan
mikroba. Penghentian ini juga menurunkan aktivitas enzim dan reaksi kimia. Ketengikan
komponen lipid menurun apabila air struktural yang melindunginya dibiarkan tetap seperti
semula.
Pengaruh utama perlakuan panas adalah denaturasi protein, yaitu proses yang
menyebabkan mikroba dan sejumlah enzim lain tidak aktif. Pasteurisasi membebaskan bahan
pangan dari zat patogen dan sebahagian besar sel vegetatif mikroba, sedangkan pensterilan
dapat didefenisikan sebagai proses mematikan semua mikroba yang hidup. Pensterilan
dengan panas merupakan proses pengawetan pangan yang lebih efektif namun mempunyai
pengaruh yang merugikan terhadap zat gizi yang tak mantap, terutama vitamin, dan
menurunkan nilai gizi protein, terutama melalui reaksi Maillard.
Pengawetan dengan suhu rendah, terutama pengawetan dengan suhu beku, ditinjau
dari banyak segi merupakan pengawetan bahan pangan yang paling tidak merugikan. Suhu
rendah menghambat pertumbuhan mikroba dan memperlambat laju reaksi kimia dan enzim.
Aktivitas enzim dalam daging dapat berhenti akibat penyimpanan pada suhu beku, sedangkan
bahan pangan nabati perlu diblansing terlebih dahulu sebelum dibekukan untuk mencegah
perubahan mutu yang tidak diinginkan. Penurunan vitamin akan minimum dibandingkan
dengan cara pengawetan lain. Penyebab utama kerusakan mutu adalah karena kondisi yang
kurang menguntungkan pada proses pembekuan, penyimpanan, dan pelelehan kristal es.
Pertumbuhan mikroorganisme perusak bahan pangan sangat terhambat dalam
lingkungan yang keasamannya tinggi. Salah satu cara mengawetkan makanan adalah dengan
menurunksn pH dengan cara fermentasi anaerob senyawa karbohidrat menjadi asam laktat.
Keasaman beberapa bahan pangan dapat dinaikkan dengan menambah zat tambahan yang
bersifat asam seperti asam cuka atau asam sitrat yang menimbulkan pengaruh penghambatan
yang sama. Tidak banyak kehilangan zat gizi akibat fermentasi. Dalam beberapa hal zat gizi
dapat ditingkatkan melalui sintesis vitamin dan protein oleh mikroba.
Zat tambahan kimia mempunyai daya pengawet terhadap bahan pangan karena
menyediakan lingkungan yang menghambat pertumbuhan mikroba, reaksi enzim, dan reaksi
kimia. Pengolahan demikian termasuk juga penggunaan zat curing dan pengasapan daging,
pengawetan sayuran dan buah melalui pemanisan, serta perlakuan dengan berbagai jenis zat
tambahan kimia. Pengaruh cara ini terhadap zat gizi beragam, namun pada umumnya kecil.
Penyinaran dengan cara irradiasi merupakan cara pengawetan bahan pangan yang
lebih canggih. Penggunaan cara ini tidak banyak digunakan karena penyinaran dengan energi
tinggi menghasilkan senyawa baru dalam bahan pangan yang disinari, bentuk radikal bebas
yang sangat reaktif. Mekanisme radikal bebas tidak hanya mematikan mikroba tetapi juga
sangat merusak zat gizi, terutama vitamin. Kelemahan lain cara ini adalah perubahan yang
cukup besar dalam cita rasa.
2.3 Faktor yang Mempengaruhi
Pengaruh lingkungan juga sangat mempengaruhi kadar zat gizi tanaman. Antaraksi
genotipe dengan lingkungannya juga terjadi. Sejumlah penelitian telah berhasil dilakukan
untuk melihat pengaruh budi daya pertanian terhadap kadar zat gizi.
1.
Tomat (Lycopersicon esculentum)
Senyawa karoten dalam buah tomat merah masak adalah likopen, α karoten, β
karoten dan pigmen lain tertentu, serta poliena dalam jumlah kecil. Senyawa likopen (tidak
mempunyai aktivitas vitamin A) menyusun kurang lebih dari 95% pigmen dan memberikan
warna merah. Sebagian besar sisanya berupa β karoten ., dan telah diteliti pengendalian
genetik terhadap kandungan pigmen ini.
Dari beberapa laporang penelitian ditunjukkan bahwa kadar provitamin A dapat
ditingkatkan sampai 30 kali melalui rekayasa genetika. Tetapi warna buah berubah dari merah
ke jingga akibat kenaikan kadar β karoten
dan penurunan kadar likopen. Penerimaan
konsumen terhadap varietas baru ini tidak begitu baik karena adanya perubahan warna
tersebut.
2.
Wortel (Daucus carota)
Wortel biasanya dimakan dalam keadaan mentah atau setelah dimasak. Warna jingga
cerah wortel disebabkan kandungan α karoten, β karoten yang tinggi. Berbeda dengan
tomat, akar tanaman wotel ini mengandung sedikit atau tanpa likopen. Karena warnanya
jingga menyala wortel merupakan sumber provitamin A yang terbaik dibandingkan dengan
sayuran lain. Kadar provitamin A wortel kurang lebih sepuluh kali buah tomat. Kadar zat gizi
dan mutu buah wortel dipengaruhi oleh banyak faktor seperti varietas, tempat tumbuh, suhu
kadar air,tingkat kemasakan dan lain-lain.
Dari rangkaian-rangkaian penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
varietas`wortel dapat dikembangkan menjadi wortel berkonsentrasi karoten (provitamin A)
sangat tinggi. Karena vitamin A yang diperoleh dari konversi β karoten lebih besar daripada
yang diperoleh dari α karoten, maka lebih menguntungkan apabila konsentrasi β karoten
ditingkatkan. Pada semua genotipe yang telah diteliti ternyata konsentrasi α karoten tidak
pernah melebihi konsentrasi β karoten.
3. Jagung (Zea mays)
Pada umumnya diketahui bahwa perbedaan jenis jagung banyak pati dengan jenis
jagung manis diatur oleh suatu gen tertentu yang sudah diketahui, yang menurunkan laju
perubahan gula menjadi pati.Dari pengetahuan tentang gen ini telah berhasil dikembangkan
jagung manis yang lebih manis.
Penemuan yang lebih menarik dalam penelitian genetik intuk meningkatkan kadar zat
gizi adalah jagung berlisin tinggi. Dari penelitian genetik yang telah dilakukan telah dapat
mengubah mutu protein jagung. Manipulasi genetik untuk meningkatkan mutu gizi dan kadar
zat gizi tanaman yang nilai ekonominya tinggi merupakan tahap awal yang menarik
perhatian. Berbagai temuan penting mengenai zat gizi lain dan spesien tanaman lain akan
terjadi dengan menggunakan sisten model genetika-biokimia untuk sintesis provitamin A,
mutu protein, dan komponen cita rasa. Kapasitas peningkatan nilai gizi melalui manipulasi
genetik sangatlah menarik, walaupun untuk itu masih dibutuhkan banyak penelitian lain
sebelum diperoleh pengetahuan yang berguna bagi ahli pemuliaan tanaman untuk dapat
mengembangkan varietas dengan nilai gizi yang lebih besar daripada yang sudah ada
sekarang.
BAB III
KESIMPULAN
Komponen bioaktif dan zat gizi dalam makanan, baik yang bersifat negatif dan positif,
terbentuk secara alami dan/atau selama proses pengolahan. Komponen bioaktif dari protein
adalah turunan asam amino berupa senyawa amin dan bersifat toksis; histamin, feniletilamin,
tiramin, cadaverin, dan putrescin yang terbentuk selama proses pengolahan, terutama selama
fermentasi. Keracunan histamin akan menimbulkan gejala-gejala alergis dan bersifat
hipotensif. Tingkat keracunan dipengaruhi oleh senyawa amin lain dan obat-bat monoamin
oksidae inhibitor (MAOI). Feniletilamin dan triptamin mempunyai efek fisiologis yang mirip
sebagai hiperternsif dan menimbulkan migrain.
DAFTAR PUSTAKA
Bird, A R.. Prebiotics: A role for dietary fibre and resistant starch. Asia Pacific J
Clin
Nutr.: 1999: 8(Suppl.): S32-S36.
Johnson,
DB.
Nutrition
in
Infancy:
Physiology,
Development,
and
Nutritional
Recommendations. In: Roberts, BSW and Williams, SR (eds). Nutrition Throughout
The Life Cycle. Fourth edition. McGrawHill. Sydney. 2000. p. 193-210.
Martin, JC., Nour,M., Lavillonniere, F.,and Sebedio, JL. Effect of Fatty Acid Positionsl
Distribution and Triacylglycerol Composition on Lipid By-Products Formation
During Heat Treatment: II. Trans Isomers. J Am Oil Chem Soc. 1998:75(9): 10731078.
Muir, JG. Location of colonic fermentation events: Importance of combining resistant starch
with dietary fibre. Asia Pacific J Clin Nutr: 1999: 8(Suppl.): S14-S21
O`Brien, RD. Fats and Oils: Formulating and Processing for Applications. Technomic.
Lancaster. 1998
Oomen, CM., Ocke, MC., Feskens, EJM., Kok, FJ., and Kromhout, D. Association between
trans fatty acid intake and 10-year risk of coronary heart disease in the Zutphen
Elderly Study: a prospective population-based study. Lancet. 2001: 357, March 10:
746-751.
Roberts, BSW. Lactation: The Mother and Her Milk. In: Roberts, BSW and Williams, SR
(eds). Nutrition Throughout The Life Cycle. Fourth edition. McGrawHill. Sydney.
2000. p. 130-161.
Silalahi, J. Hypocholesterolemic Factors in Foods: A Review. Indonesian Food and Nutrition
Progress. 2000: 7(1): 26-35.
Silalahi, J. Toksikologi senyawa amin bioaktif yang terdapat di dalam makanan. Media
Farmasi. 1994: 2(1): 19-25.
Simopoulos, AP. Fatty Acids. In: Goldberg, I(ed). Functional Foods: Designer Foofs,
Pharma foods, Nutraceuticals. Chapman & Hall. New York. 1994:p. 183-201.
Stark, A., Madar, Z. Dietary fibre. In: Goldberg, I (ed). Functional Foods: Designer Foods,
Pharmafoods, and Nutraceuticals. Chapman &Hall. New York. 1994: p. 183-201.
Tomomatsu, H. Health Effects of Oligosaccharides. Food Technology,. 1994. Oct: 61-64.
Topping, DL. Physiological effects of dietary carbohydrates in the large bowel: Is there a
need to recognize dietary fibre equivalents? Asia Pacific J Clin Nutr. 1999: 8(Suppl.):
S22-S26.
Wills, RBH., Silalahi, J., and Wootton, M. Simultaneous determination of food-related
amines by high performance liquid chromatography. J Liq Chromatog. 1987: 10:
3183-3191.
Wootton, M., Silalahi, J., and Wills, RBH. Amine levels in some Asian Seafood Products. J
Sci Food Agric. 1989: 49: 503-506.
Proses Pembentukan Senyawa Bioaktif dan Zat Gizi dengan Faktor yang
Mempengaruhinya
Oleh
Diah Nuryanti
201310220311133
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANGBAHAN MAKANAN DAN ZAT GIZI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Zat gizi adalah, komponen pembangun tubuh manusia dimana zat tersebut dibutuhkan
untuk pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses
dalam tubuh dan menyediakan energi bagi fungsi tubuh. Zat gizi yang harus ada dalam bahan
pangan agar tubuh tetap sehat, dibedakan menjadi golongan protein, lemak, dan karbohidrat
yang disebut zat gizi makro, serta vitamin dan mineral yang disebut zat gizi mikro. Air juga
merupakan bagian penting dari gizi yang baik.
Manusia memperoleh kebutuhan zat gizi pentingnya dari bahan pangan nabati dan
hewani. Biokimia tanaman, hewan dan manusia mempunyai banyak persamaan. Karena itu
manusia membutuhkan komponen pembangun tubuh yang sama seperti yang terkandung
dalam tanaman dan hewan.
Penelitian terhadap keragaman genetik menunjukkan bahwa kadar zat gizi dapat
diperbesar, walaupun memerlukan teknologi yang lebih tinggi. Kemajuan teknologi yang
berkembang sekarang ini memudahkan untuk dapat meningkatkan zat gizi tanaman sesuai
dengan kebutuhan manusia. Setiap zat gizi harus disekati sendiri-sendiri berdasarkan
sistemnya sendiri yang sudah menjadi bagian metabolisme dari zat tersebut. Sejarah mencatat
bahwa kuantitas bahan pangan berhasil dinaikkan melalui revolusi hijau. Mungkin mutu
bahan pangan sekarang dapat dinaikkan dengan cepat tanpa mengorbankan kuantitasnya.
Makanan berfungsi sebagai sumber energi dan zat gizi (nutrien). Tetapi, efek
fisiologis dari berbagai senyawa minor yang ada dalam makanan dan pengaruhnya terhadap
kesehatan banyak mendapat perhatian para peneliti dalam tiga dekade terakhir ini. Kadar
senyawa ini biasanya rendah sehingga biasanya dikelompokkan dalam komponen bioaktif,
karena mempunyai efek fisiologis yang positif dan negatif. Komponen-komponen bioaktif
dalam makanan dapat terbentuk secara alami atau terbentuk selama proses pengolahan
makanan. Komponen bioaktif ini meliputi senyawa yang berasal dari karbohidrat, protein,
lemak, dan komponen-komponen yang terdapat secara alami di dalam sayuran serta buahbuahan. Khusus mengenai komponen bioaktif di dalam sayur dan buah-buahan yang
berpengaruh secara fisiologis untuk meningkatkan kesehatan, mencegah, serta mengobati
berbagai
penyakit,
disebut
sebagai
phytochemicals.
Makanan
yang
mengandung
phytochemicals, di samping fungsinya sebagai sumber zat gizi, disebut juga makanan
fungsional. Berikut ini akan diuraikan mengenai pembentukan dan efek fisiologis dari
berbagai komponen bioaktif turunan dari karbohidrat, protein, dan lemak pangan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui pembentukan senyawa bioaktif dan zat gizi pada makanan.
2. Mengetahui sumber makanan yang mengandung senyawa bioaktif.
3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi pembentukan senyawa bioaktif dan zat gizi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Senyawa Bioaktif
Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang mempunyai efek fisiologis dalam tubuh
yang berpengaruh positif terhadap kesehatan manusia .Peran senyawa bioaktif dalam tubuh
diperoleh jika senyawa tersebut mencapai lokasi aksinya (site of action).
1. Bioaktif Amin dari Protein, Proses Pembentukan
Protein pangan adalah sumber utama asam amino yang dikonsumsi, baik sebagai
protein atau sebagai asam amino bebas. Selama proses pengolahan, protein dapat berubah
menjadi asam amino bebas yang selanjutnya menjadi senyawa amin. Jadi, senyawa amin
merupakan komponen minor dalam makanan yang tersedia secara alamiah atau terbentuk
selama proses pengolahan. Sebagian senyawa amin tersebut aktif secara fisiologis sehingga
sering disebut amin bioaktif (bioactive amine). Pada umumnya, amin bioaktif terdapat di
dalam bahan makanan dalam jumlah kecil dan biasanya tidak beracun. Tetapi, dalam
makanan tertentu, terutama yang diolah dengan proses fermentasi, konsentrasi beberapa amin
bioaktif meningkat sehingga dapat bersifat toksis jika dikonsumsi. Amin bioaktif yang
menjadi fokus perhatian para ahli kimia pangan ialah tiramin, feniletilamin, histamin,
putresin, dan kadaverin. Asam amino bebas merupakan bahan baku dalam pembentukan amin
toksis tersebut. Histidin, misalnya, akan diubah oleh histidin dekarboksilase menjadi
histamin. Dengan cara yang sama, tirosin diubah oleh tirosin dekarboksilase menjadi tiramin,
fenilalanin menjadi feniletilamin, ornitin menjadi putresin, dan lisin menjadi kadaverin.4
Keberadaan senyawa amin dalam makanan dapat menjadi indikator kerusakan makanan
sekaligus sebagai indikator toksisitas, sehingga analisis senyawa amin yang terdapat dalam
makanan telah dikembangkan, kemudian telah digunakan untuk menganalisis senyawa amin
dalam produk ikani. 5,6,7,8 Makin tinggi kandungan senyawa amin dalam produk ikani dan
daging, makin rendah mutunya yang juga berarti makin toksis.5 Ada tiga faktor yang
mempengaruhi pembentukan amin toksis di dalam makanan, yaitu: (a) tersedianya asam
amino bebas; (b) kehadiran dan perkembangan bakteri penghasil enzim dakarboksilase; dan
(c) adanya kondisi yang mendukung pertumbuhan mikroba serta proses dekarboksilasi asam
amino tersebut.
2. Komponen Bioaktif dari Karbohidrat Serat Pangan
Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang tidak
dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim percernaan manusia, dan akan sampai di usus besar
(kolon) dalam keadaan utuh sehingga kebanyakan akan menjadi substrat untuk fermentasi
bagi bakteri yang hidup di kolon. Serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur
molekul dan kelarutannya. Kebanyakan jenis karbohidrat yang sampai ke kolon tanpa
terhidrolisis meliputi polisakarida yang bukan pati (non-starch polysaccharides = NSP), pati
yang resisten (resistant starch = RS), dan karbohidrat rantai pendek (short chain
carbohydrates = SC). 9,10,11 Serat pangan yang larut sangat mudah difermentasikan dan
mempengaruhi metabolisme karbohidrat serta lipida, sedangkan serat pangan yang tidak larut
akan memperbesar volume feses dan akan mengurangi waktu transitnya (bersifat laksatif
lemah). Monomer dari serat pangan (NSP) adalah gula netral dan gula asam, sedangkan
lignin terdiri dari monomer aromatik. Gula-gula yang membentuk serat pangan yakni
glukosa, galaktosa, xylosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa, dan gula asam, yakni mannuronat,
galakturonat, glukoronat, serta 4-O-metil-glukoronat.10,12 Rangkaian NSP yang dibentuk
oleh monosakarida ini dihubungkan melalui ikatan b (1-4) glikosida seperti pektin, sellulosa,
dan gum. Oleh karena itu, serat pangan tersebut (NSP) tidak dapat dihidrolisis oleh enzim
percerna manusia. Misalnya, pektin mengandung asam galakturonat, baik yang termetilasi
maupun yang tidak. Perbandingan dari metilasi dan sebagai asam (derajat metilasi) dalam
polimer pektin, sangat berpengaruh terhadap sifat fungsional dari pektin. Pektin dengan
derajat metilasi yang tinggi (high-methoxy pectin = HMP) yang terdapat secara alamiah pada
buah dan sayuran, mungkin tidak larut dengan baik dibandingkan dengan pektin yang telah
diisolasi. Hemisellolosa terdiri dari xylosa dan arabinosa dengan perbandingan tertentu yang
membedakan jenis hemisellulosa tersebut. Nilai gizi dari serat pangan semula dianggap tidak
menyumbangkan energi karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencerna manusia. Akan tetapi
karena serat pangan difermentasikan di dalam kolon dan menghasilkan hidrogen, metana,
karbon dioksida, serta asam lemak rantai pendek seperti propionat, butirat yang dapat diserap,
dan menghasilkan sejumlah energi maka serat pangan dapat menghasilkan energi 0-3 kalori
per gram. 9,10,12
3.
Komponen Bioaktif dari Lemak
Lipida merupakan komponen senyawa organik yang terdapat di dalam mahluk hidup
yang larut di dalam pelarut organik atau pelarut non-polar, tapi tidak larut di dalam air.
Lemak (komponen lipida terbesar) merupakan ester dari gliserol dan tiga asam lemak
sehingga disebut triasilgliserol atau trigliserida. Sifat fisis dan kimia dan bahkan nilai gizi
dari lemak ditentukan oleh komposisi asam lemak dan posisi asam lemak di dalam molekul
trigliserida.18,19 Ada beberapa asam lemak dan senyawa lipida lain yang mendapat perhatian
secara khusus karena mempunyai efek fisiologis yang positif maupun negatif terhadap
kesehatan, yakni asam lemak essensial, omega-3, dan asam lemak tak jenuh isomer trans
(trans fatty acids =TFA).
2.2 Zat Gizi
Ilmu pertanian dan Teknologi
Pembudidayaan
Pemanenan
CO2 + H2O + Zat gizi + Energi ------- Bahan pangan Tkt I + Bahan pangan Tkt II + Bahan Pangan Tkt III
------- Sayuran, buah,bijian
Konsumsi - Gizi
Daging, Unggas, Ikan, Telur, susu
Pengolahan – Pengawetan
Bahan pangan alami merupakan sistem hayati yang dapat cepat rusak sesudah
dipanen. Karena kebutuhan manusia akan makanan dan saat panen biasanya tidak terjadi
dalam waktu yang bersamaan, maka bahan pangan tersebut perlu diawetkan melalui
pengolahanBerbagai macam bahan pangan berperan sebagai pembawa zat gizi dan
mempengaruhi stabilitasnya. Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur tergantung dari
cara pengolahannya. Berbagai macam cara pengolahan dapat mempercepat atau menghambat
perubahan kadar zat gizi.
Semua bahan pangan mentah adalah komoditi mudah rusak, sejak panen, pemotongan
hewan bahan ini mengalami kerusakan secara berangsur akibat berbagai jenis kerusakan
biologis. Faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kadar air yang secara hayati aktif
dalam jumlah besar, seperti pada sayuran daun dan daging, dapat rusak hanya dalam beberapa
hari, sedangkan biji-bijian kering yang hanya mengandung air struktural dapat disimpan
bertahun- tahun.
Penyebab utama kerusakan bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba, kegiatan
enzim, dan perubahan kimia, dan ternyata pertumbuhan mikroba merupakan penyusutan
utama bahan pangan. Kegiatan dan reaksi ini berlangsung paling cepat pada aktivitas air yang
tinggi, didukung pula oleh faktor suhu, pH, dan faktor lingkungan lainnya. Asas pengawetan
bahan pangan adalah didasarkan pada pengawetan semua faktor lingkungan tersebut.
Sebagai contoh mikroba membutuhkan suhu optimum untuk pertumbuhannya. Suhu
yang lebih tinggi merusak pertumbuhannya, sedangkan suhu yang lebih rendah sangat
menghambat metabolismenya.
Ada enam ( 6 ) prinsip dasar pengolahan pangan untuk pengawetan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penghilangan (penurunan kadar) air, pengeringan, dehidrasi dan pengentalan
Perlakuan panas , blansing, pasteurisasi dan sterilisasi
Perlakuan suhu rendah, pendinginan, pembekuan
Pengendalian keasaman, fermentasi dan pemberian zat tambahan
Berbagai macam zat kimia tambahan
Irradiasi
Karena makanan olahan harus disimpan sampai dikonsumsi antara dua masa panen,
maka pengemasan yang baik merupakan pembantu dalam pengolahan di samping dasar dan
cara pengolahannya. Metabolisme mikroba memerlukan banyak air bebas. Penghilangan air
yang secara hayati aktif melalui pengeringan atau dehidrasi menghentikan pertumbuhan
mikroba. Penghentian ini juga menurunkan aktivitas enzim dan reaksi kimia. Ketengikan
komponen lipid menurun apabila air struktural yang melindunginya dibiarkan tetap seperti
semula.
Pengaruh utama perlakuan panas adalah denaturasi protein, yaitu proses yang
menyebabkan mikroba dan sejumlah enzim lain tidak aktif. Pasteurisasi membebaskan bahan
pangan dari zat patogen dan sebahagian besar sel vegetatif mikroba, sedangkan pensterilan
dapat didefenisikan sebagai proses mematikan semua mikroba yang hidup. Pensterilan
dengan panas merupakan proses pengawetan pangan yang lebih efektif namun mempunyai
pengaruh yang merugikan terhadap zat gizi yang tak mantap, terutama vitamin, dan
menurunkan nilai gizi protein, terutama melalui reaksi Maillard.
Pengawetan dengan suhu rendah, terutama pengawetan dengan suhu beku, ditinjau
dari banyak segi merupakan pengawetan bahan pangan yang paling tidak merugikan. Suhu
rendah menghambat pertumbuhan mikroba dan memperlambat laju reaksi kimia dan enzim.
Aktivitas enzim dalam daging dapat berhenti akibat penyimpanan pada suhu beku, sedangkan
bahan pangan nabati perlu diblansing terlebih dahulu sebelum dibekukan untuk mencegah
perubahan mutu yang tidak diinginkan. Penurunan vitamin akan minimum dibandingkan
dengan cara pengawetan lain. Penyebab utama kerusakan mutu adalah karena kondisi yang
kurang menguntungkan pada proses pembekuan, penyimpanan, dan pelelehan kristal es.
Pertumbuhan mikroorganisme perusak bahan pangan sangat terhambat dalam
lingkungan yang keasamannya tinggi. Salah satu cara mengawetkan makanan adalah dengan
menurunksn pH dengan cara fermentasi anaerob senyawa karbohidrat menjadi asam laktat.
Keasaman beberapa bahan pangan dapat dinaikkan dengan menambah zat tambahan yang
bersifat asam seperti asam cuka atau asam sitrat yang menimbulkan pengaruh penghambatan
yang sama. Tidak banyak kehilangan zat gizi akibat fermentasi. Dalam beberapa hal zat gizi
dapat ditingkatkan melalui sintesis vitamin dan protein oleh mikroba.
Zat tambahan kimia mempunyai daya pengawet terhadap bahan pangan karena
menyediakan lingkungan yang menghambat pertumbuhan mikroba, reaksi enzim, dan reaksi
kimia. Pengolahan demikian termasuk juga penggunaan zat curing dan pengasapan daging,
pengawetan sayuran dan buah melalui pemanisan, serta perlakuan dengan berbagai jenis zat
tambahan kimia. Pengaruh cara ini terhadap zat gizi beragam, namun pada umumnya kecil.
Penyinaran dengan cara irradiasi merupakan cara pengawetan bahan pangan yang
lebih canggih. Penggunaan cara ini tidak banyak digunakan karena penyinaran dengan energi
tinggi menghasilkan senyawa baru dalam bahan pangan yang disinari, bentuk radikal bebas
yang sangat reaktif. Mekanisme radikal bebas tidak hanya mematikan mikroba tetapi juga
sangat merusak zat gizi, terutama vitamin. Kelemahan lain cara ini adalah perubahan yang
cukup besar dalam cita rasa.
2.3 Faktor yang Mempengaruhi
Pengaruh lingkungan juga sangat mempengaruhi kadar zat gizi tanaman. Antaraksi
genotipe dengan lingkungannya juga terjadi. Sejumlah penelitian telah berhasil dilakukan
untuk melihat pengaruh budi daya pertanian terhadap kadar zat gizi.
1.
Tomat (Lycopersicon esculentum)
Senyawa karoten dalam buah tomat merah masak adalah likopen, α karoten, β
karoten dan pigmen lain tertentu, serta poliena dalam jumlah kecil. Senyawa likopen (tidak
mempunyai aktivitas vitamin A) menyusun kurang lebih dari 95% pigmen dan memberikan
warna merah. Sebagian besar sisanya berupa β karoten ., dan telah diteliti pengendalian
genetik terhadap kandungan pigmen ini.
Dari beberapa laporang penelitian ditunjukkan bahwa kadar provitamin A dapat
ditingkatkan sampai 30 kali melalui rekayasa genetika. Tetapi warna buah berubah dari merah
ke jingga akibat kenaikan kadar β karoten
dan penurunan kadar likopen. Penerimaan
konsumen terhadap varietas baru ini tidak begitu baik karena adanya perubahan warna
tersebut.
2.
Wortel (Daucus carota)
Wortel biasanya dimakan dalam keadaan mentah atau setelah dimasak. Warna jingga
cerah wortel disebabkan kandungan α karoten, β karoten yang tinggi. Berbeda dengan
tomat, akar tanaman wotel ini mengandung sedikit atau tanpa likopen. Karena warnanya
jingga menyala wortel merupakan sumber provitamin A yang terbaik dibandingkan dengan
sayuran lain. Kadar provitamin A wortel kurang lebih sepuluh kali buah tomat. Kadar zat gizi
dan mutu buah wortel dipengaruhi oleh banyak faktor seperti varietas, tempat tumbuh, suhu
kadar air,tingkat kemasakan dan lain-lain.
Dari rangkaian-rangkaian penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
varietas`wortel dapat dikembangkan menjadi wortel berkonsentrasi karoten (provitamin A)
sangat tinggi. Karena vitamin A yang diperoleh dari konversi β karoten lebih besar daripada
yang diperoleh dari α karoten, maka lebih menguntungkan apabila konsentrasi β karoten
ditingkatkan. Pada semua genotipe yang telah diteliti ternyata konsentrasi α karoten tidak
pernah melebihi konsentrasi β karoten.
3. Jagung (Zea mays)
Pada umumnya diketahui bahwa perbedaan jenis jagung banyak pati dengan jenis
jagung manis diatur oleh suatu gen tertentu yang sudah diketahui, yang menurunkan laju
perubahan gula menjadi pati.Dari pengetahuan tentang gen ini telah berhasil dikembangkan
jagung manis yang lebih manis.
Penemuan yang lebih menarik dalam penelitian genetik intuk meningkatkan kadar zat
gizi adalah jagung berlisin tinggi. Dari penelitian genetik yang telah dilakukan telah dapat
mengubah mutu protein jagung. Manipulasi genetik untuk meningkatkan mutu gizi dan kadar
zat gizi tanaman yang nilai ekonominya tinggi merupakan tahap awal yang menarik
perhatian. Berbagai temuan penting mengenai zat gizi lain dan spesien tanaman lain akan
terjadi dengan menggunakan sisten model genetika-biokimia untuk sintesis provitamin A,
mutu protein, dan komponen cita rasa. Kapasitas peningkatan nilai gizi melalui manipulasi
genetik sangatlah menarik, walaupun untuk itu masih dibutuhkan banyak penelitian lain
sebelum diperoleh pengetahuan yang berguna bagi ahli pemuliaan tanaman untuk dapat
mengembangkan varietas dengan nilai gizi yang lebih besar daripada yang sudah ada
sekarang.
BAB III
KESIMPULAN
Komponen bioaktif dan zat gizi dalam makanan, baik yang bersifat negatif dan positif,
terbentuk secara alami dan/atau selama proses pengolahan. Komponen bioaktif dari protein
adalah turunan asam amino berupa senyawa amin dan bersifat toksis; histamin, feniletilamin,
tiramin, cadaverin, dan putrescin yang terbentuk selama proses pengolahan, terutama selama
fermentasi. Keracunan histamin akan menimbulkan gejala-gejala alergis dan bersifat
hipotensif. Tingkat keracunan dipengaruhi oleh senyawa amin lain dan obat-bat monoamin
oksidae inhibitor (MAOI). Feniletilamin dan triptamin mempunyai efek fisiologis yang mirip
sebagai hiperternsif dan menimbulkan migrain.
DAFTAR PUSTAKA
Bird, A R.. Prebiotics: A role for dietary fibre and resistant starch. Asia Pacific J
Clin
Nutr.: 1999: 8(Suppl.): S32-S36.
Johnson,
DB.
Nutrition
in
Infancy:
Physiology,
Development,
and
Nutritional
Recommendations. In: Roberts, BSW and Williams, SR (eds). Nutrition Throughout
The Life Cycle. Fourth edition. McGrawHill. Sydney. 2000. p. 193-210.
Martin, JC., Nour,M., Lavillonniere, F.,and Sebedio, JL. Effect of Fatty Acid Positionsl
Distribution and Triacylglycerol Composition on Lipid By-Products Formation
During Heat Treatment: II. Trans Isomers. J Am Oil Chem Soc. 1998:75(9): 10731078.
Muir, JG. Location of colonic fermentation events: Importance of combining resistant starch
with dietary fibre. Asia Pacific J Clin Nutr: 1999: 8(Suppl.): S14-S21
O`Brien, RD. Fats and Oils: Formulating and Processing for Applications. Technomic.
Lancaster. 1998
Oomen, CM., Ocke, MC., Feskens, EJM., Kok, FJ., and Kromhout, D. Association between
trans fatty acid intake and 10-year risk of coronary heart disease in the Zutphen
Elderly Study: a prospective population-based study. Lancet. 2001: 357, March 10:
746-751.
Roberts, BSW. Lactation: The Mother and Her Milk. In: Roberts, BSW and Williams, SR
(eds). Nutrition Throughout The Life Cycle. Fourth edition. McGrawHill. Sydney.
2000. p. 130-161.
Silalahi, J. Hypocholesterolemic Factors in Foods: A Review. Indonesian Food and Nutrition
Progress. 2000: 7(1): 26-35.
Silalahi, J. Toksikologi senyawa amin bioaktif yang terdapat di dalam makanan. Media
Farmasi. 1994: 2(1): 19-25.
Simopoulos, AP. Fatty Acids. In: Goldberg, I(ed). Functional Foods: Designer Foofs,
Pharma foods, Nutraceuticals. Chapman & Hall. New York. 1994:p. 183-201.
Stark, A., Madar, Z. Dietary fibre. In: Goldberg, I (ed). Functional Foods: Designer Foods,
Pharmafoods, and Nutraceuticals. Chapman &Hall. New York. 1994: p. 183-201.
Tomomatsu, H. Health Effects of Oligosaccharides. Food Technology,. 1994. Oct: 61-64.
Topping, DL. Physiological effects of dietary carbohydrates in the large bowel: Is there a
need to recognize dietary fibre equivalents? Asia Pacific J Clin Nutr. 1999: 8(Suppl.):
S22-S26.
Wills, RBH., Silalahi, J., and Wootton, M. Simultaneous determination of food-related
amines by high performance liquid chromatography. J Liq Chromatog. 1987: 10:
3183-3191.
Wootton, M., Silalahi, J., and Wills, RBH. Amine levels in some Asian Seafood Products. J
Sci Food Agric. 1989: 49: 503-506.