DARI KYOTO PROTOCOL 1997 HINGGA PARIS AGREEMENT 2015: DINAMIKA DIPLOMASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN ASEAN MENUJU 2020 Andreas Pramudianto Universitas Indonesia Email: andreas.pramudiantoui.ac.id Abstrak - Dari Kyoto Protocol 1997 Ke Paris Agreement 2015 :
DARI KYOTO PROTOCOL 1997 HINGGA PARIS AGREEMENT 2015:
DINAMIKA DIPLOMASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN ASEAN
MENUJU 2020
Andreas PramudiantoUniversitas Indonesia Email: andreas.pramudianto@ui.ac.id Abstrak
Participating countries in the international climate change initiatives face another
thchallenges when the 15 UNFCCC Conference of the Parties (COP) was only concluded
thby a non-legally binding pact. The 15 COP became a problematic issue when the
second period of Kyoto Protocol Commitment will end in 2018. In order to proceed, The
Commitment would require an international agreement with a certain degree of
institutionalized mechanism. Prospects of an international commitment- – in regards to global climate changes issue
- – became ambiguous as Russia, Japan and Canada had
withdrew from the second commitment. This unfavorable situation, however, did not
stand for a long period of time. Involved parties in global climate change initiative
nd
agreed to extend the Kyoto Protocol 2 commitment until 2020. Concurently, there are
stalso an alternative to supercede The Kyoto Protocol as members of 21 UNFCCC COP
signed the new Paris Agreement. With this newly signed agreement, international
negotiation on climate change re-found its direction once again to be in line with the
establishment of the Ad-Hoc Working Group on Paris Agreement (APA), which would
effectively function as a steering committee in 2020. With this newly agreed Paris
Agreement and established APA, UNFCCC member countries, including ASEAN
members, should prepare themselves and get ready for other international negotiation
and commintment on the global climate change isues. In particular for ASEAN, with its
institutional refinement in the recent years, the Association should be able to actively
engage and posit constructive views in the international dialog on climate change.Kata kunci Copenhagen Accord 2009, Kyoto Protocol 1997, Paris Agreement 2015, ASEAN Pendahuluan
Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on
Climate Change,UNFCCC) dihasilkan di New York, Amerika Serikat tanggal 9 Mei
tahun 1992 dan ditandatangani di Rio De Janerio, 4 Juni tahun 1992 pada Earth Summit
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016 GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016
77
COP ke-6, dari tanggal 13-24 November tahun 2000 dan COP ke-6 Tambahan dari tanggal 16-27 Juli tahun 2001 Den Haag,
National
Communication from Annex I, Special Climate Change Fund and Least Developed Countries FundDeklarasi ini ditandatangani pada tanggal 1 November 2001 oleh Menteri dan perwakilan delegasi yang hadir dalam COP ini. COP ke-9, dari tanggal 1-12 Desember tahun 2003 Milan, Italia
New Delhi
Declaration on Climate Change andSustainable
Development23 Oktober- 1 November tahun 2001 New Delhi, India
COP ke-8, dari tanggal
Marakesh Ministerial
Declaration
Mengakui pentingnya World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang akan diadakan di Johanesburg, Afrika Selatan.29 Oktober- 10 November tahun 2001 Marakesh, Maroko
COP ke-7, dari tanggal
Diadakan dua kali dikarenakan terjadi “deadlock”
The Bonn Agreements on the implementation of the Buenos Aires Plan of Action
Belanda (COP ke-6) dan Bonn, Jerman (COP ke-6 bis)
Mempersiapkan pedoman untuk National Communication.
atau Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi). Dua tahun kemudian yaitu pada tanggal 21 Maret tahun 1994, UNFCCC atau Konvensi Perubahan Iklim mulai diberlakukan. Dengan berlakunya Konvensi Perubahan Iklim maka dimulailah Pertemuan Para Pihak atau Conferences of the Parties (COP) yang berfungsi untuk mempertemukan pihak-pihak yang menyepakati berbagai komitmen dan tindak lanjut UNFCCC. Conference of the Parties (COP) pertama diadakan di Berlin, Jerman pada tahun 1995 yang menghasilkan Mandat Berlin (Berlin Mandate). Selanjutnya COP UNFCCC dan hasil yang dicapai dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Daftar COP UNFCCC dan Hasil Penting Yang Dicapai.
1 Conference of theImplementation Buenos Aries Action Plan
25 Oktober hingga 5 November tahun 1999 Bonn, Jerman
COP ke-5, dari tanggal
Mengatur mengenai mekanisme keuangan, pengembangan dan transfer teknologi, kesiapan program kerja untuk penerapan Protokol Kyoto
Argentina Buenos Aries Action Plan
COP ke-4, dari tanggal 2-13 November tahun 1998 Buenos Aries,
Protokol ini merupakan pelaksanaan dari UNFCCC 1992 dan bersifat mengikat secara hukum atau legally binding
Protokol Kyoto atau Kyoto Protocol to the United Nations
Framework
Convention on Climate ChangeCOP ke-3, dari tanggal 1-10 Desember tahun 1997 Kyoto, Jepang
Geneva Ministerial
Declaration
Para pihak sepakat untuk menghubungan antara Ad Hoc Group on Article 13 dan the Ad Hoc Group on the Berlin MandateCOP ke-2, dari tanggal 8-19 Juli tahun 1996 Jenewa, Swiss
Parties Tempat Hasil Terpenting Keterangan
Negara-negara Annex I untuk pertamakalinya menyampaikan Laporan Komunikasinya kepada COP dan sekertariat UNFCCC COP ke-22 Tahun Maroco, Maroko ? Direncanakan dilaksanakan pada bulan November- Desember Tahun 2016
Paris Agreement merupakan pengganti Kyoto Protocol 1997 yang akan dimulai tahun 2020
10 Desember tahun 2010 Cancun, Mexico
Paris Agreement Bersamaan dengan CMP ke- 11 Kyoto Protocol.
10 Kyoto Protocol COP ke-21 dari tanggal 30 November
Lima Call for Climate Action Bersamaan dengan CMP ke-
Bersamaan dengan CMP ke-9 Kyoto Protocol COP ke-20 dari tanggal 1-12 November tahun 2014 Lima, Peru
Polandia Warsaw International Mechanism For Loss
And Damage
Associated With Climate1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2020. COP ke-19, dari tanggal 11-22 November tahun 2013 Warszawa,
Doha Gateway and Doha Amandement Bersamaan dengan CMP ke-8 Kyoto Protocol. Menyepakati Protokol Kyoto Periode Komitmen ke-II yang dimulai
7 Desember tahun 2012 Doha, Qatar
Bersamaan dengan CMP ke-7 Kyoto Protocol COP ke-18, dari tanggal 26 November-
Ad Hoc Working Group on the Durban
Platform for
Enhanced Action9 Desember tahun 2011 Durban, Afrika Selatan
Bersamaan dengan CMP ke-6 Kyoto Protocol COP ke-17, dari tanggal 28 November-
Cancun Agreement
and Cancun
Adaptation
Framework
Bersamaan dengan CMP ke-5 Kyoto Protocol COP ke-16, dari tanggal 29 November-
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016 Lanjutan dari Tabel 1.
Denmark Copenhagen Accord
Bersamaan dengan CMP ke-4 Kyoto Protocol COP ke-15, dari tanggal 7-18 Desember tahun 2009 Copenhagen,
Polandia Advancing the Bali
Action Plan
COP ke-14, dari tanggal 1-12 Desember tahun 2008 Poznan,
Bali Road Map and Bali Action Plan Bersamaan dengan CMP ke-3 Kyoto Protocol
COP ke-13, dari tanggal 3-14 Desember tahun 2007 Bali, Indonesia
Nairobi Framework Bersamaan dengan CMP ke-2 Kyoto Protocol
Pada COP ke-11 ini bersamaan diadakan Conferences of Meeting of the Parties (CMP) Kyoto Protocol 1997. COP ke-12, dari tanggal 6-17 November tahun 2006 Nairobi, Kenya
Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention
9 Desember tahun 2005 Montreal, Kanada
COP ke-11, dari tanggal 28 November-
Para pihak sepakat untuk membentuk Standard electronic format for reporting Kyoto Protocol units.
Argentina
Buenos Aries
Programme
COP ke-10, dari tanggal 6-17 Desember tahun 2004 Buenos Aries,
- – 12 Desember tahun 2015 Paris, Perancis
Hasil-hasil di atas menunjukan bahwa perundingan rezim perubahan iklim berlangsung sangat dinamis. Perubahan dari tahun ke tahun dari perundingan satu ke perundingan lainnya sering tidak dapat diduga. Sebagai contoh pada COP ke-6 terjadi
deadlock dan rezim ini terancam terhenti dikarenakan adanya perbedaan pendapat di
antara negara-negara maju. Namun berkat kepiawaian diplomasi Jan Pronk sebagai presiden Cop ke-6, maka diadakan pertemuan kembali yang dikenal dengan COP ke-6
bis (Tambahan) dan mencapai kesepakatan penting yaitu melanjutkan proses
perundingan atas rezim ini dengan menghasilkan Bonn Agreement. Contoh lain adalah proses perundingan untuk menggantikan Protokol Kyoto 1997 yang sering mengalami kegagalan, bahkan beberapa negara maju yang termasuk annex I 9seperti Jepang, Russia, dan Kanada) sudah tidak ingin berpartisipasi lagi dalam rezim Kyoto. Akan tetapi, pengganti Protokol Kyoto 1997 berhasil disepakati melalui Paris Agreement 2015 yang ditandatangani pada tanggal 22 April tahun 2016.
Hasil yang menggembirakan ini tentu saja harus disikapi oleh negara-negara anggota dan pihak lainnya termasuk Association of South East Asia Nations (ASEAN). ASEAN telah mengubah keorganisasiannya yang kini bersifat rules based dan memiliki
legal personality melalui Piagam ASEAN (ASEAN Charter 2007) yang telah
membentuk Masyarakat ASEAN (ASEAN Community). Dengan perubahan keorganisasian ASEAN ini, maka ASEAN harus mempersiapkan diri dalam kerangka baru rezim perubahan iklim dengan harapan di regional ASEAN paling tidak mampu menangani dampak dari perubahan iklim baik melalui proses adaptasi dan mitigasi serta dukungan keuangan dan teknis lainnya.
Operasionalisasi UNFCCC melalui Protokol Kyoto 1997
UNFCCC merupakan kerangka perjanjian internasional yang masih bersifat umum, yang berisikan arahan-arahan secara garis besar dan belum bersifat operasional. Berdasarkan Pasal 17 UNFCCC diperlukan Protokol untuk lebih mengoperasionalkan UNFCCC agar tujuan konvensi dapat tercapai. Pada COP ke-3 UNFCCC di Kyoto, Jepang disepakati The Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on
Climate Change atau Protokol Kyoto tahun 1997 sebagai operasionalisasi UNFCCC
tahun 1992, yang ditandatangani di Kyoto, Jepang tanggal 11 Desember tahun 1997 dan telah diberlakukan sejak 16 Februari tahun 2005. Selama ini pelaksanaan Kyoto Protokol 1997 dilakukan melalui 3 mekanisme yaitu Emmission Trading (ET), Joint
Implementation (JI) dan Clean Development Mechanism (CDM) dan Para Pihak terbagi
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 201679 kewajibannya yang tercantum dalam dalam dua Annex. Annex I untuk negara-negara yang wajib menurunkan emisinya pada angka tertentu yang umumnya diemban oleh negara-negara maju dan negara-negara dalam masa transisi. Sedangkan negara-negara
Non-Annex yang umumnya negara-negara berkembang, tidak dibebani kewajiban untuk
menurunkan emisi namun harus melaporkan status emisinya dan dapat berpartisipasi dalam menurunkan emisi melalui kerjasama dengan negara yang termasuk Annex I.
Hingga saat ini masih banyak negara-negara yang belum mampu memenuhi target penurunan emisi terutama negara-negara yang termasuk dalam Annex I. Target emisi yang harus diturunkan adalah sebanyak 5 % dari base line di tahun 1990 pada periode Komitmen I. Dengan baseline, emisi masing-masing negara di tahun 1990, setiap negara yang termasuk Annex I memiliki komitmen yang berbeda untuk mengurangi emisinya, misalnya Austria berkewajiban mengurangi 13% tingkat emisinya
2
dibandingkan level emisinya di tahun 1990. Bahkan laporan Panel Antar Pemerintah
th
mengenai Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC 5
Assessment Report) justru menunjukan adanya peningkatan rata-rata suhu permukaan
3
bumi. Karena itu upaya penurunan emisi sangat penting, baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan pihak lainnya diantaranya melalui proses mitigasi maupun adaptasi.
Mitigasi yang dilakukan diantaranya melalui proyek, kegiatan atau program berdasarkan mekanisme Kyoto (Kyoto Mechanism) melalui ET, JI dan CDM, dan mekanisme non-Kyoto seperti Land Use Land Use Change for Forestry (LULUCF),
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) atau
mekanisme lainnya seperti Debt Swap for Nature (DSN). Sedangkan adaptasi dilakukan dengan berbagai cara yang pada prinsipnya adalah kemampuan untuk menyesuaikan dampak dari perubahan iklim. Adaptasi dapat dilakukan melalui cara penyesuaian tata ruang, mengubah sikap dan perilaku manusia, hemat energi, dan lain-lain. Untuk melaksanakan Protokol Kyoto 1997 dilakukan melalui dua Periode Komitmen. Periode Komitmen I berlangsung 1 Januari tahun 2008 dan berakhir 31 Desember tahun 2012. Sedangkan saat ini berlangsung Periode Komitmen ke-II yang dimulai tanggal 1 Januari tahun 2013 hingga 31 Desember tahun 2018 (diperpanjang hingga tahun 2020). Dalam Periode Komitmen ke-II sudah beberapa negara maju telah mengundurkan diri
(withdrawl) terutama negara yang termasuk Annex I. Selanjutnya untuk tahun 2018 ke
atas, memunculkan ketidakpastian terutama setelah berakhirnya Kyoto Protokol 1997.GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016 Ketidakpastian ini dirasakan sejak akan berakhirnya Periode Komitmen I dan tentu saja akan membahayakan masa depan rezim perubahan iklim serta dampak perubahan iklim yang akan semakin sulit dikendalikan. Melalui proses perundingan yang sangat dinamis terutama dalam Conferences of the Parties (COP), Conference of the
Meeting of the Parties (CMP) maupun badan tambahan yaitu Subsidary Bodies on
Scientific, Technical Advance (SBSTA) dan Subsidary Bodies on Implementation (SBI)
diperlukan langkah yang lebih tegas. Maka COP ke-11 tahun 2005, yang diadakan di Montreal Kanada membentuk kelompok kerja bersifat ad-hoc mengenai Further
Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP), yang mengatur
pelaksanaan Kyoto Protokol pasca 2012. AWG-KP bertugas untuk membahas pelaksanaan Protokol Kyoto 1997 Pasca Periode Komitmen I (2008-2012). AWG-KP juga memutuskan bahwa Protokol Kyoto 1997 pada periode Komitmen II (2013-2018) harus diperpanjang hingga 2020.
Pada COP ke-12 UNFCCC di Nairobi, Kenya, disepakati kerangka untuk proses adaptasi dan pada COP ke-13 UNFCCC di Denpasar, Bali, Indonesia disepakati Bali
Action Plan yang mengarahkan pada visi jangka panjang dalam menangani perubahan
iklim. Protokol Kyoto 1997 yang berisi komitmen penurunan emisi yang dikuantifikasi/dihitung (quantified emission-reduction commitments) khususnya negara- negara yang termasuk Annex I, yang ternyata dianggap tidak adil. Hasil ini kemudian mempengaruhi dalam perundingan berikutnya pada COP ke-14 UNFCCC di Poznan, Polandia. Ketidaksepakatan mengenai angka kewajiban emisi yang harus diturunkan kemudian diperparah dengan terjadinya krisis yang melanda negara-negara maju pada waktu itu mepengaruhi komitmen mereka. Komitmen dalam menangani perubahan iklim semakin tidak jelas dan menjadi kenyataan dalam COP ke-15 UNFCCC tahun 2009 di Copenhagen, Denmark. Harapan perlunya penurunan emisi yang lebih dalam (deep cut), progresif dan ambisius agar dampak perubahan iklim dapat dikurangi melalui kesepakatan mengikat (legally binding) di antara negara maju dan negara berkembang yang lebih progresif terutama untuk mengganti Protokol Kyoto di Tahun 2020, gagal disepakati pada COP ke-15 di Kopenhagen, Denmark. Walaupun demikian Copenhagen
Accord menjadi kesepakatan yang paling realistis pada saat itu walaupun tidak mengikat
secara hukum. COP ke-15 UNFCCC juga menegaskan dalam Keputusannya melalui Decision 2/CP.15, FCCC/CP/2009/11/Add.1 tertanggal 30 Maret 2009 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa negara-negara harus bekerja sama secara jangka panjang
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016
81 untuk menangani perubahan iklim dengan dasar kebersamaan dalam konteks
4 pembangunan berkelanjutan.
Setelah COP ke-15 UNFCCC ketidakpastian akan masa depan rezim perubahan iklim kembali dirasakan oleh para pihak UNFCCC. Selain hasil yang tidak memuaskan pada COP ke-15 UNFCCC juga adanya beberapa negara Annex I yang mengundurkan diri di Periode Komitmen ke-II yang tentu saja mempengaruhi masa depan rezim. Apalagi Russia, Jepang, Kanada sebagai pemain utama di Periode Komitmen ke-I, ditambah Amerika Serikat yang sejak awal tidak berpartisipasi, menambah semakin jelasnya posisi Protokol Kyoto 1997 yang semakin rapuh. Di sisi lain, keputusan penting agar tidak ada jeda antara tahun 2018-2020 terutama pada periode Komitmen II juga belum berhasil diputuskan.
Dari Protokol Kyoto 1997 Menuju Paris Agreement 2015 Di antara harapan yang suram tersebut ternyata ada setitik harapan yang cerah.
Dalam COP ke-16 UNFCCC tahun 2010 di Cancun, Meksiko telah disepakati Cancun
Agreements yang menegaskan bahwa para pihak akan bertindak bersama dalam
kerangka kerja sama jangka panjang untuk mencapai tujuan UNFCCC seperti tercantum dalam Pasal 2 melalui pencapaian tujuan global (global goal) dengan dasar kebersamaan, yang sesuai dengan common but differentiated responsibilities and respective
5
capabilities. Expresi para pihak dalam COP ke-16 menunjukan bahwa tujuan jangka
panjang global dalam kerangka penurunan emisi gas rumah kaca agar tidak melebihi suhu rata-rata dibawah 2°C setalah masa pre-industrial, yang konsisten dengan dasar kebersamaan dan ilmu pengetahuan merupakan ekspresi yang secara tidak langsung diperlukan kesepakatan lebih lanjut, tegas dan jelas bahkan lebih mengikat.
Pada COP ke-17 UNFCCC di Durban, Afrika Selatan, para pihak kemudian sepakat untuk membentuk Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for
Enhanced Action dengan mandat untuk menyelesaikan negosiasi pada tahun 2015 dalam
rangka mengembangkan protokol, instrumen hukum lain atau sebuah kesepakatan bersama yang memiliki kekuatan dan keterikatan secara hukum di bawah sebuah skema UNFCCC yang berlaku untuk semua pihak. Durban Platform merupakan dasar untuk menyepakati bentuk, sifat dan cara memberlakukan dari perjanjian internasional yang akan disepakati tahun 2015 sebagai pengganti Protokol Kyoto 1997. Dalam kenyataannya, berbagai bentuk perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup saat
6
ini sudah berkembang termasuk yang bersifat hard law maupun soft law. Sehingga
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016 diperlukan kejelasan bentuk dan sifat keterikatan dari perjanjian internasional tersebut apakah termasuk soft law ataupun hard law. Namun, kesepakatan awal adalah perjanjian internasional tersebut adalah bersifat hard law, sebagai pengganti Protokol Kyoto 1997 dan berada dalam kerangka UNFCCC dimana tujuan yang dicapai berdasarkan keputusan No. 1/COP 16 adalah mempertahankan suhu iklim bumi berada di bawah 2 derajat Celcius.
Selanjutnya, pada COP ke-18 UNFCCC di Doha, Qatar, disepakati Doha
Gateway dan Doha Amandement yang selanjutnya memperjelas status Periode
Komitmen ke-II yang akan diakhiri pada tanggal 31 Desember tahun 2020. Dengan demikian maka tidak ada jeda setelah berakhirnya Periode Komitmen ke-II Protokol Kyoto 1997. COP ke-18 UNFCCC juga telah mengumumkan dimulainya periode Komitmen ke-II UNFCCC yang dimulai pada tanggal 1 Januari tahun 2013 dan akan berakhir pada 31 Desember tahun 2020. Pada COP ke-19 UNFCCC di Warsawa, Polandia, juga disepakati suatu mekanisme penting dalam persoalan ganti rugi yang disebut Warsawa International Mechanism Loss and Damage Associated with Climate yang akan diintegrasikan ke dalam perjanjian internasional yang baru. COP ke-19 UNFCCC juga memutuskan untuk mendorong Ad Hoc Working Group on the Durban
Platform for Enhanced Action (AWDP) untuk semakin cepat menyelesaikan target
7 pembentukan Rancangan perjanjian internasional yang baru.
Pada pertemuan berikutnya yaitu COP ke-20 UNFCCC di Lima, Peru, disepakati
Lima Call for Climate Action yang salah satunya menegaskan bahwa kesepakatan
internasional yang baru akan mengikat secara hukum dan akan diterapkan oleh semua pihak konvensi (convention applicable to all Parties). Selain itu AWDP juga menegaskan akan menyelesaikan pekerjaannya dengan rancangan perjanjian internasional baru pada sebelum Mei tahun 2015 dan akan disampaikan menjelang COP ke-15 di Paris, Perancis. Selain itu para pihak juga diminta untuk menyampaikan Kontribusi Niat Nasional yang Ditentukan atau Intended Nationally Determined
Contributions (INDC) sebelum berlangsungnya COP ke-15 UNFCCC di Paris, Perancis
tahun 2015.Dengan demikian, semakin jelas arah rezim perubahan iklim dan keputusan yang terpenting adalah saat dilaksanakan COP ke-21 UNFCCC pada tahun 2015 di Paris, Perancis. Namun di sisi lain, menjelang COP ke-15 UNFCCC terjadi teror yang menganggu Paris, Perancis sehingga muncul ketidakpastian dan mengancam
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016
83 dilaksanakannya COP UNFCCC. Namun peristiwa tersebut justru menjadi titik balik karena hampir semua pimpinan negara-negara maju hadir dalam COP ini.
Paris Agreement 2015: Masa Depan Rezim Perubahan Iklim Tahun 2020
Menurut Maljean-Dubois, et. al., perjanjian internasional sebagai pengganti Protokol Kyoto 1997 harus dalam kerangka Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change tahun 1992, menerapkan prinsip applicable to all, bersifat multilateral dan rezim harus didasarkan pada aturan (rules based regime) serta didasarkan pada ketentuan
“protocol,
8
another legal instrument or an agreed outcome with legal force Dalam Pasal 2, 3 dan
.”
4 UNFCCC 1992 pada prinsipnya menegaskan tujuan konvensi, prinsip-prinsip serta komitmen-komitmen harus dicapai. Tujuan UNFCCC 1992 yaitu menstabilkan gas-gas rumah kaca untuk mencapai tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim global. Agar tujuan UNFCCC 1992 tercapai, maka diperlukan tindak lanjut melalui perangkat hukum yang bersifat mengikat baik berupa Amandemen maupun Protokol. Beberapa perangkat yang dicapai untuk melaksanakan UNFCCC diantaranya Protokol Kyoto 1997, Amandemen Doha 2012 dan Paris Agreement 2015.
Pada COP ke-21 UNFCCC yang diselenggarakan pada tanggal 30 November yang rencananya sampai dengan 11 Desember 2015, namun berakhir sehari kemudian, di Paris, Perancis telah berakhir. COP ke-15 UNFCCC ini dihadiri oleh sebagian besar pimpinan negara-negara berpengaruh seperti Amerika Serikat, Cina, Russia dan Negara- negara Uni Eropa seperti Jerman, Inggris dan beberapa negara Uni Eropa lainnya termasuk Perancis yang kini bertindak sebagai tuan rumah dan juga Sekretaris Jenderal PBB, Ban Kim Moon. Hadir juga delegasi yang mewakili badan-badan PBB dan non- PBB, organisasi non Pemerintah, individu atau tokoh lingkungan, industriawan, masyarakat adat, ilmuwan yang berpengaruh serta organisasi lainnya seperti organisasi keagamaan, wanita, serta masyarakat sipil lainnya.
Draft Agreement yang disusun oleh Ad Hoc Working Group on the Durban
Platform for Enhanced Action yaitu Paris Agreement 2015 telah berhasil diadopsi oleh
lebih dari 156 negara. Hasil yang dicapai paling tidak telah berhasil menunjukan arah terpenting bagi pembangunan di masa mendatang khususnya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon. Keberhasilan adopsi Paris Agreement
2015 menjadi penting untuk menindaklanjuti Protokol Kyoto 1997 dengan pendekatan
yang berbeda yakni diterapkannya prinsip applicable for all. Dibanding dengan Protokol
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016 Kyoto 1997, Paris Agreement 2015 lebih mencerminkan partisipasi yang luas serta menjamin negara-negara maju untuk tetap berkomitmen pada penurunan emisi hingga tahun 2030 agar tidak lebih dari 2 derajat celcius dan mempertahankan rata-rata 1,5 derajat celcius suhu bumi. Melalui Intended Nationally Determined Contribution (INDC), yang diusulkan oleh para pihak yang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yaitu prinsip kebersamaan tetapi berbeda tanggung jawab atau principle equity and common but
differentiated responsibilities dan prinsip menghormati kemampuan dalam perbedaan
kondisi nasional yang ada atau respective capabilities in the light of different national circumstances.
Paris Agreement 2015 terdiri dari 29 Pasal yang diadopsi pada tanggal 12
Desember tahun 2015 dan rencananya akan ditandatangani oleh Para Pihak pada tanggal 22 April tahun 2016 di New York, Amerika Serikat pada saat Hari Bumi (Earth Day).
Paris Agreement 2015 dibentuk dan untuk mengejar pencapaian tujuan dari UNFCCC
1992 yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang disepakati para pihak, seperti dinyatakan dalam bagian pembukaannya:
“In pursuit of the objective of the Convention, and being guided by its principles,
including the principle of equity and common but differentiated responsibilities
and respective capabilities, in the light of different national circumstances.”
Sedangkan tujuan konvensi tercantum pada Pasal 2 UNFCCC 1992 yang menyatakan bahwa:
“The ultimate objective of this Convention and any related legal instruments
that the Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with
the relevant provisions of the Convention, stabilization of greenhouse gas
concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous
anthropogenic interference with the climate system.”
Penegasan mengenai pentingnya peran pemerintah nasional dan berbagai aktor lainnya serta perangkat peraturan perundang-undangan nasional juga dinyatakan dalam Paris
Agreement 2015 bahwa:
“Recognizing the importance of the engagements of all levels of government and
various actors, in accordance with respective national legislations of Parties, in
addressing climate change.” GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016
85 Untuk lebih meningkatkan kesadaran secara global dari adanya perubahan iklim diperlukan pendidikan dan pelatihan yang dinyatakan bahwa:
“Affirming the importance of education, training, public awareness, public
participation, public access to information and cooperation at all levels on the
matters addressed in this Agreement.”
Selanjutnya ditegaskan dalam Paris Agreement 2015 agar dapat meningkatkan penerapan konvensi terutama mencapai tujuan dan memperkuat respon global akibat dari adanya perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan upaya untuk menekan suhu rata-rata global agar tidak boleh lebih dari 2 derajat celcius pada dan berupaya untuk menekan di tingkat 1,5 derajat celcius sebelum pre-industri. Disebutkan dalam Pasal 3 Paris Agreement 2015 bahwa para pihak harus mengambil tindakan yang ambisius melalui kontribusi nasional yang ditentukan (NDC) dan melihat perkembangan dari waktu ke waktu serta memperhatikan kebutuhan Negara-negara berkembang. Beberapa ketentuan lainnya mengatur NDC, Loss and Damage, Global
Stocktake, Measuring Report and Verification (MRV), Peningkatan Kapasitas Negara-
negara Berkembang, Pendanaan, Target, Mekanisme Non-Pasar, Adaptasi Global, Memperkuat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pendidikan Perubahan Iklim, Pelatihan, Kesadaran Masyarakat, Partisipasi Publik dan Akses Informasi untuk Publik, Kerangka Transparansi dan beberapa ketentuan lainnya.
Sementara Pasal 20 menyatakan bahwa Agreement ini akan terbuka untuk ditandatangani dan ratifikasi, acceptance atau approval oleh negara dan organisasi ekonomi regional terintegrasi atau regional economic integration organizations yang menjadi pihak UNFCCC. Mulai terbuka untuk ditandatangani di Markas PBB New York, Amerika Serikat dari tanggal 22 April tahun 2016 hingga 21 April tahun 2017. Bagaimanapun juga Agreement ini terbuka untuk aksesi (accession) dari tanggal ditutupnya penandatangan. Instrumen ratification, acceptance, approval atau accession didepositkan di tempat penyimpanan (depositary) yaitu di Sekretariat Jenderal PBB.
Pasal 21 menyatakan Agreement ini akan berlaku pada hari ke 33 sesudah tanggal paling sedikit 55 pihak UNFCCC melaporkan jumlah paling sedikit 55 persen dari perhitungan jumlah gas rumah kaca global yang telah didepositkan instruments ratification,
acceptance, approval, accession. Mengingat tujuan yang dibatasi berdasarkan ayat 1
pasal ini
“total global greenhouse gas emissions” yang berarti jumlah paling up-to-date GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016 yang dikomunikasikan selama ini atau sebelum tanggal adopsi Agreement oleh para pihak UNFCCC.
Dengan demikian, Paris Agreement 2015 masih akan dikembangkan terutama dalam mempersiapkan modalitas, aturan dan keputusan-keputusan serta keorganisasian melalui COP, CMP, SBSTA, SBI maupun pertemuan lainnya yang akan datang. Karena itu peran Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA) yang merupakan kesepakatan dari COP ke-15 UNFCCC sangat penting. APA akan memulai sidang pertamakalinya pada bulan Mei tahun 2016 di Bonn, Jerman yang akan membahas modalitas, prosedur dan pedoman agar Paris Agreement 2015 dapat dipersiapkan secara operasional dan mampu menggantikan Protokol Kyoto 1997.
ASEAN dalam Rezim Perubahan Iklim
ASEAN pada awal berdirinya belum memiliki peran berarti dalam persoalan lingkungan hidup. Baru pada tahun 1977 setelah dicanangkannya ASEAN
Environmental Programme (ASEP) ke I dan II, maka mulai banyak kesepakatan di
bidang lingkungan hidup mulai dicapai. Penegasan keterlibatan ASEAN dalam isu lingkungan hidup global dimulai sejak dicanangkannya Manila Declaration on the
ASEAN Environment tahun 1981. Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Bangkok
Declaration on the ASEAN Environment tahun 1984. Namun kedua produk tersebut
masih belum bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Baru pada tahun 1985, negara-negara ASEAN sepakat membentuk ASEAN Agreement on the Conservation of
Nature and Natural Resources yang merupakan produk hukum internasional regional
namun hingga saat ini belum berlaku penuh. Dalam ASEAN Agreement 1985 inilah pembangunan berkelanjutan menjadi bagian penting terutama dalam perlindungan konservasi dan sumber daya alam di regional ASEAN. Dua tahun kemudian konsep pembangunan berkelanjutan ditegaskan kembali melalui Jakarta Resolution on
Sustainable Development tahun 1987. Pada saat pertemuan di Kuala Lumpur, Malaysia
tahun 1990, disepakati Kuala Lumpur Accord on Environment and Development yang kemudian dilanjutkan dengan Singapore Resolution on Environment and Development tahun 1992, Bandar Seri Begawan Resolution on Environment and Development tahun 1994 yang semuanya merupakan keinginan ASEAN agar lingkungan hidup menjadi lebih baik.
Isu perubahan iklim belum masuk dalam dokumen yang dihasilkan ASEAN. Baru pada pertemuan di Jakarta, Indonesia dicanangkan Jakarta Declaration on
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016
87
Environment and Development pada tanggal 18 September 1997. Untuk pertama kalinya
isu perubahan iklim secara tegas mulai masuk dalam dokumen kesepakatan ASEAN.Pada bagian 11 Deklarasi Jakarta 1997 ini menyatakan “to urge developed countries to
commit targets of limitation and reduction of greenhouse gas emissions under the Berlin
Mandate.” Masuknya Mandat Berlin 1995 menjadi bagian penting karena merupakan
Conference of the Parties (COP) UNFCCC pertama, yang di Berlin, Jerman. Selain itu
ASEAN dalam deklarasinya ini ingin mengingatkan dan menegaskan kembali komitmen untuk membatasi dan mengurangi emisi gas rumah kaca terutama bagi negara-negara maju.
Awal dari Deklarasi Jakarta 1997 inilah ASEAN kemudian aktif untuk menyikapi isu perubahan iklim yang semakin berkembang. Pada KTT ASEAN-Asia Timur (East Asia Summit, EAS) ke-3 di Singapura tahun 2007 disepakati Singapore
Declaration on Climate Change, Energy and the Environment. Pada saat menjelang COP
ke-13 UNFCCC di Bali, Indonesia, tahun 2007, ASEAN menegaskan perannya melalui
th
ASEAN Declaration on the 13 session of the Conference of the Parties to the UNFCCC
rdand the 3 session of the CMP to the Kyoto Protocol. Dua tahun kemudian ditegaskan
di Singapura pada Pertemuan ke-11 Menteri Lingkungan Hidup ASEAN (ASEAN
Ministerial Meeting on Environment, AMME) tahun 2009 melalui Singapore
Resolution on Environmental Sustainability and Climate Change. Kemudian menjelang
COP ke-15 UNFCCC di Kopenhagen, melalui KTT ASEAN ke-15 negara-negara ASEAN kembali membuat pernyataan bersama untuk menyikapi perundingan di COP ke-15 UNFCCC melalui ASEAN Joint Statement on Climate Change to COP-15 to the
UNFCCC and CMP-5 to the Kyoto Protocol. Pada KTT ASEAN ke-16 di Hanoi,
Vietnam tahun 2010 dicanangkan
ASEAN Leaders’ Statement on Joint Response to Climate Change.
Menjelang COP ke-17 UNFCCC di Durban, Afrika Selatan melalui KTT ASEAN ke-19 para pemimpin ASEAN menyepakati
ASEAN Leaders’ Statement on
Climate Change to COP-17 to the UNFCCC and CMP-7 to the Kyoto Protocol. Pada
tahun 2014, posisi ASEAN menjelang COP ke-20 UNFCCC disampaikan oleh Mynmar dalam Joint High Level Segment Conference of the Parties ke-20 dan Meeting of the
Parties ke-10 Protocol Kyoto di Lima, Peru, dengan menyatakan sikapnya melalui
ASEAN Joint Statement on Climate Change 2014 dan setahun kemudian juga
menerbitkan ASEAN Joint Statement on Climate Change 2015. Dalam menyikapi Agenda Pembangunan Post-2015 atau Sustainable Development Goals (SDGs), di mana
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016 salah satu tujuannya adalah perubahan iklim, para pemimpin ASEAN melalui KTT ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 21 November 2015, telah menegaskan sikapnya melalui Declaration on ASEAN Post 2015 Environmental
Sustainability and Climate Change Agenda 2015. Dalam deklarasi ini ditegaskan
mengenai dukungan ASEAN terhadap COP ke-21 UNFCCC yang akan diselenggarakan di Paris, Perancis.
Hampir semua negara ASEAN telah menjadi pihak UNFCCC tahun 1992 dan Protokol Kyoto 1997. Demikian juga dengan Paris Agreement 2015 dimana negara- negara anggota ASEAN kelihatannya berkeinginan untuk terlibat dan menjadi pihak, paling tidak terlihat dari dikirimnya Intended Nationally Determined Contribution (INDC) oleh semua negara ASEAN. Karena itu dorongan dari deklarasi ini telah menjadi petunjuk dasar bagi negara-negara anggota ASEAN untuk terlibat aktif dalam rezim perubahan iklim.
Setelah ASEAN menandatangani Piagam ASEAN 2007, maka dalam struktur keorganisasian ASEAN yang khusus menangani perubahan iklim adalah Kelompok Kerja ASEAN mengenai Perubahan Iklim (ASEAN Working Group on Climate Change, AWGCC). Keanggotaan AWGCC terdiri dari akademisi, masyarakat sipil, perusahaan maupun individu yang memiliki reputasi. Beberapa kali pertemuan AWGCC telah diadakan diantaranya pertemuan ke-2 AWGCC tanggal 19 - 21 April tahun 2011 di Hanoi, Vietnam, Pertemuan ke-4 AWGCC diadakan di Siem Reap, Kamboja tanggal 27-
28 Maret tahun 2013, Pertemuan ke-6 AWGCC diadakan di Viantiane, Laos tanggal 12 Mei Tahun 2015. Selama ini KTT ASEAN (ASEAN Summit), ASEAN Ministerial
Meeting (AMM), ASEAN Informal Ministerial Meeting (AIMM), ASEAN Official
Environmental Meeting (ASOEN) telah menghasilkan kesepakatan dan dokumen-
dokumen mengenai perubahan iklim. Kesepakatan ini akan menjadi dasar bagi ASEAN dalam menyikapi perubahan iklim sebagai salah satu isu global yang tentu saja akan mempengaruhi regional Asia Tenggara.
Peran ASEAN di Masa Mendatang
Sejak ASEAN menyepakati Piagam ASEAN tahun 2007, terjadi perubahan penting terutama dalam keorganisasian ASEAN. Pada mulanya ASEAN belum memiliki dasar hukum yang kuat dalam bertindak sebagai organisasi karena pendiriannya hanya didasarkan pada Bangkok Declaration 1967. Dengan berlakunya Piagam ASEAN, maka organisasi ini berubah menjadi rule based dan memiliki legal personality. Diharapkan
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016
89 perubahan ini akan menjadikan ASEAN lebih memperkuat perannya terutama dalam proses negosiasi dan pengambilan keputusan mengenai perubahan iklim di tingkat global.
Selain itu dengan diberlakukan ASEAN Communities 2015, ASEAN akan memiliki berbagai organisasi yang dapat dikembangkan terutama dalam kerangka menghadapi perubahan iklim yang semakin diperhatikan di masa mendatang. ASEAN harus bertindak secara keorganisasian dengan memperkuat kelembagaan yang ada maupun yang baru dibentuk. Terbentuknya ASEAN Working Group on Climate Change (AWGCC) akan mendorong peran ASEAN di bidang perubahan iklim menjadi lebih baik. Demikian juga peran dari KTT ASEAN (ASEAN Summit), Pertemuan Menteri Lingkungan ASEAN (ASEAN Environmental Ministerial Meeting, AMM), Pertemuan Informal Menteri Lingkungan ASEAN (ASEAN Informal Environmental Ministerial
Meeting, AIEMM), Pertemuan Pejabat Tinggi ASEAN Bidang Lingkungan Hidup
(ASEAN Official Environmental Meeting, ASOEN) yang telah dan akan menghasilkan kesepakatan dan dokumen-dokumen mengenai perubahan iklim harus semakin aktif.
Dengan demikian, partisipasi ASEAN dalam perundingan rezim perubahan iklim diharapkan meningkat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti. Dalam kerangka penerapan Paris Agreement 2015 yang dimulai tahun 2020, ASEAN Community harus dipersiapkan dan mampu mengantisipasi berbagai bencana akibat perubahan iklim. Banjir, topan badai, kebakaran hutan merupakan bencana yang harus diperhitungkan dan akan mempengaruhi iklim di Asia Tenggara. Kesadaran masyarakat ASEAN harus ditingkatkan terutama adanya perubahan iklim. Tidak cukup hanya melalui pendidikan, pelatihan, kesadaran masyarakat seperti yang diamanatkan dalam UNFCCC tahun 1992, Protokol Kyoto tahun 1997 maupun Paris Agreement tahun 2015. Selain itu diperlukan riset dan pengembangan mengenai bagaimana menangani perubahan iklim. Pendanaan, alih teknologi, peningkatan kapasitas, pengembangan sumberdaya manusia yang mampu beradaptasi dan melakukan mitigasi perubahan iklim harus dilakukan dalam tingkat ASEAN. Diperlukan inovasi dan kreatifitas dalam membangun masyarakat ASEAN yang lebih peduli pada perubahan iklim agar bencana di masa mendatang dapat dicegah.
KTT ASEAN ke-27 yang menghasilkan Declaration on ASEAN Post 2015
Environmental Sustainability and Climate Change Agenda, telah mendorong agar
negara-negara anggotanya terlibat aktif dalam menangani dampak perubahan iklim melalui mitigasi dan adaptasi serta dukungan teknis dan keuangan. Dorongan ini akan dapat memberikan makna yang berarti terutama dalam diplomasi ASEAN di rezim
GLOBAL Vol.18 No.1 Mei 2016 perubahan iklim. Walaupun sebagai organisasi regional, ASEAN diharapkan mampu menjadi pelindung bagi negara-negara anggotanya bahkan negara-negara Asia-Pasifik dalam menghadapi perubahan iklim global. Di masa mendatang perubahan iklim semakin kompleks permasalahannya dan hasil dari COP ke-21 UNFCCC berupa Paris
Agreement 2015 akan menjadi panduan atau pedoman dalam menangani perubahan